Jumat, 30 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (15)

"Di Talkanda, hiduplah seorang Begawan yang sangat dihormati bernama Resi Ganggadata. Dikenal oleh kearifan mendalam dan sifat komtemplatifnya, Resi Ganggadata kerap berbagi pelajaran yang menggugah pikiran dengan para muridnya.
Suatu hari, Resi Ganggadata mengumpulkan murid-muridnya di sebuah taman yang adem. Ia meletakkan sebuah toples besar kosong di atas sebuah meja dan mulai mengisinya dengan bebatuan besar hingga mencapai bagian atasnya.
'Sudah penuhkah toples ini?' tanya Resi Ganggadata. Para murid mengangguk, yakin toples itu sudah penuh.
Resi Ganggadata lalu mengambil sebuah wadah berisi kerikil-kerikil kecil dan menuangkannya ke dalam toples. Kerikil-kerikil itu memenuhi ruang-ruang di antara bebatuan. 'Sekarang, sudahkah toples ini penuh?' tanyanya lagi. Para murid ragu-ragu tapi sepakat bahwa toples itu sudah penuh.
Selanjutnya, Resi Ganggadata mengambil sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam toples. Pasir itu mengisi celah-celah yang tersisa. 'Sudah penuhkah sekarang?' tanyanya.
Para murid saling berpandangan, bingung. Namun, mereka mengangguk dengan ragu, mengira toples itu gak mungkin bisa nampung apa-apa lagi.
Akhirnya, Resi Ganggadata mengambil secangkir air dan menuangkannya ke dalam toples. Airnya meresap ke dalam celah-celah kecil di antara butiran pasir.

'Nah,' kata Resi Ganggadata, "toples ini menyiratkan kehidupanmu. Bebatuan besar melambangkan aspek-aspek mendasar keberadaan—nilai-nilai, tujuan, dan keterhubunganmu. Pilar-pilar inilah yang memberi makna dan arah pada kehidupan. Tanpanya, hidup akan terasa hampa dan tanpa tujuan.
Jika engkau seorang raja, bebatuan besar menyimbolkan nilai-nilai inti dan prioritas kerajaan—keadilan sosial, mencapai kemakmuran sesuai standar, dan well-being masing-masing anggota masyarakat. Sebagai seorang raja, penting berfokus pada hal-hal ini terlebih dahulu. Tanpanya, kerajaan tak punya arah dan tujuan.
Jika engkau seorang CEO, bebatuan besar menandakan prioritas inti dan tujuan strategis perusahaan—proyek-proyek utama, klien-klien besar, dan inisiatif-inisiatif utama. Sebagai pemimpin, penting berfokus pada hal-hal ini terlebih dahulu. Tanpanya, perusahaan tak punya target dan sasaran.
Dan dalam perspektif dirimu sebagai individu, bebatuan besar merepresentasikan hal-hal terpenting dalam hidupmu—keluarga, kesehatan, minat, dan pertumbuhan pribadi. Jika engkau tak memprioritaskannya, batu-batu itu takkan muat di kemudian hari.

Kerikil merepresentasikan elemen penting tapi sekunder—karier, hobi, dan prestasimu. Elemen-elemen ini berkontribusi pada kehidupan yang memuaskan, namun tak boleh mengalahkan nilai-nilai inti. Jika engkau seorang raja, kerikil mewakili tugas-tugas penting tapi kurang penting—perjanjian perdagangan, proyek infrastruktur, dan acara budaya. Semua ini diperlukan bagi kelancaran fungsi kerajaan, namun tak boleh mengorbankan bebatuan besar. Jika engkau seorang CEO, kerikil menandakan tugas-tugas penting tapi tak terlalu penting—rapat tim, sesi pelatihan, dan proyek-proyek sekunder. Semua ini diperlukan guna kelancaran operasional, tapi tak boleh mengesampingkan bebatuan besar. Jika engkau sebagai individu, kerikil menymbolkan aspek penting lainnya—persahabatan, pekerjaan, dan hobi. Semuanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh batu-batu besar.

Pasir melambangkan detail-detail kecil dan rutinitas harian—pekerjaan dan tugas keseharian, serta gangguan. Kendati diperlukan, hal-hal ini tak boleh menyita waktu dan energimu. Jika engkau seorang raja, pasir dapat berupa tugas sehari-hari dan detail-detail kecil—tugas administratif, inspeksi rutin, dan perselisihan kecil. Meskipun hal-hal tersebut perlu ditangani, bukan berarti boleh menyita sebagian besar waktu dan energi kita. Jika engkau seorang CEO, pasir merepresentasikan tugas sehari-hari dan detail-detail kecil—email, dokumen rutin, dan tugas administratif. Walaupun hal-hal tersebut perlu ditangani, tak boleh menyita sebagian besar waktu dan energi kita. Jika dirimu sebagai individu, pasir mewakilkan tugas-tugas kecil sehari-hari—rutinitas yang membosankan, kewajiban-kewajiban kecil, dan ganjalan. Tugas-tugas itu akan selalu menemukan tempatnya jika engkau membiarkannya.

Dan air? Air—atau dapat berupa teh atau kopi—perlambang momen refleksi dan ketenangan—jeda yang memungkinkanmu menikmati hidup, memperoleh kejelasan, dan menemukan kedamaian batin. Jika engkau seorang raja, air sebagai simbol momen koneksi dan keceriaan—festival, perayaan, dan momen persatuan. Momen-momen ini, meskipun kecil, memperkaya budaya kerajaan dan menumbuhkan rasa kebersamaan. Jika engkau seorang CEO, air mewakili momen keterhubungan dan ikatan tim—percakapan santai, selebrasi, dan pengalaman bersama. Momen-momen ini, walaupun kecil, memperkaya kultur tempat kerja dan menumbuhkan rasa kebersamaan. Dan bila engkau seorang individu, air merupakan bentuk kesenangan-kesenangan kecil—momen kegembiraan, tawa, dan relaksasi. Bahkan ketika hidup tampak penuh, masih ada ruang bagi pengalaman-pengalaman menyenangkan ini.

Resi Ganggadata melanjutkan, 'Anutannya? Prioritaskan batu-batu besarmu terlebih dahulu—hal-hal yang benar-benar penting. Lalu masukkan kerikil, pasir, dan air. Jika engkau memulai dengan hal-hal kecil, engkau takkan punya ruang bagi sesuatu yang amat berarti. Bila engkau mengisi toples dengan pasir terlebih dahulu, takkan ada ruang bagi batu-batu besar atau bahkan kerikil. Sebagai pencari hikmah, dirimu hendaknya memprioritaskan nilai-nilai inti dan tujuanmu. Hanya dengan begitulah, lalu engkau dapat menyesuaikan tugas-tugas yang lebih kecil dan menikmati momen-momen refleksi yang memperkaya hidupmu.
Hidup bukanlah tentang mengisi toples—ia tentang memilih apa yang akan dimasukkan ke dalamnya. Semoga adaptasi filosofis ini, menginspirasimu merenungkan prioritas-prioritasmu dan menjalani hidup yang penuh tujuan dan makna.'"

Cattleya meneruskan, "Faktor lingkungan semisal degradasi lingkungan dan penyakit yang menyebar luas dapat melemahkan sebuah negara dalam beberapa cara. Degradasi lingkungan, seperti penggundulan hutan, erosi tanah, dan polusi air, mengurangi ketersediaan dan kualitas sumber daya alam. Misalnya, deforestasi dapat menyebabkan degradasi lahan, mengurangi hasil pertanian. Hal ini secara langsung berakibat pada penghasilan para petani dan pasokan pangan negara. Industri yang bergantung pada sumber daya alam, semisal pertanian, perikanan, dan pariwisata, menderita ketika sumber daya habis atau terdegradasi. Contoh lainnya, penangkapan ikan berlebihan dapat merusak stok ikan, merugikan industri perikanan dan sektor terkait seperti pengolahan dan ekspor makanan laut. Polusi dan kondisi lingkungan yang buruk dapat menyebabkan masalah kesehatan di antara tenaga kerja, sehingga menurunkan produktivitas secara keseluruhan. Contohnya, polusi udara dapat menyebabkan masalah pernapasan, menyebabkan peningkatan ketidakhadiran dan penurunan efisiensi pekerja.
Penyakit-penyakit yang menyebar luas meningkatkan biaya perawatan kesehatan karena pemerintah dan individu menghabiskan lebih banyak biaya perawatan medis, rawat inap, dan tindakan pencegahan. Misalnya, pandemi COVID-19 meningkatkan pengeluaran perawatan kesehatan secara global. Bencana alam yang diperburuk oleh kerusakan lingkungan, semisal banjir atau badai, memerlukan investasi besar guna memperbaiki dan membangun kembali infrastruktur. Hal ini mengalihkan dana dari bidang-bidang penting lainnya semisal pendidikan dan pembangunan infrastruktur. Sumber daya yang dapat digunakan bagi pembangunan ekonomi malah dialokasikan untuk mengatasi krisis lingkungan dan kesehatan. Kesalahan alokasi ini, menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

Ketika sebuah negara menghadapi penyakit yang menyebar luas, sistem perawatan kesehatannya dapat kewalahan, mengakibatkan perawatan medis yang tak memadai bagi penduduknya. Hal ini dapat mengakibatkan angka kematian yang lebih tinggi dan penurunan harapan hidup. Krisis kesehatan dapat menyebabkan ketakutan dan kepanikan meluas, mengganggu kehidupan sehari-hari dan kegiatan ekonomi. Contoh, selama wabah Ebola di Afrika Barat, ketakutan akan penularan menyebabkan penutupan pasar dan sekolah, mengganggu mata pencaharian dan pendidikan. Jika pemerintah tak mampu mengelola krisis kesehatan secara efektif, kepercayaan publik terhadap lembaga dapat menurun, dapat berakibat skeptisisme terhadap arahan pemerintah dan berkurangnya kerjasama dengan langkah-langkah kesehatan masyarakat.
Degradasi lingkungan, semisal naiknya permukaan air laut atau desertifikasi, memaksa orang bermigrasi dari rumah mereka. Hal ini dapat menyebabkan daerah perkotaan yang padat penduduk, meningkatnya persaingan mendapatkan pekerjaan, perumahan, dan layanan penting, serta meningkatnya ketegangan sosial.
Saat populasi bermigrasi, persaingan dalam memperoleh sumber daya langka semisal air dan lahan subur, dapat meningkat, berpotensi konflik antara komunitas atau kelompok etnis yang berbeda. Sebagai contoh, perang saudara Suriah sebagian disebabkan oleh kekeringan berkepanjangan yang menyebabkan mandeknya pertanian, lalu migrasi massal. Meningkatnya migrasi, menekan layanan sosial, termasuk perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan, yang berpotensi menyebabkan penurunan kualitas layanan dan meningkatnya ketimpangan sosial.

Jika pemerintah tak mampu mengatasi kerusakan lingkungan atau mengelola wabah penyakit secara efektif, warga negara akan menganggapnya tak kompeten. Hal ini dapat menyebabkan protes, penurunan partisipasi politik, dan tantangan kepemimpinan. Kebijakan yang tak memadai dalam mengatasi masalah lingkungan atau krisis kesehatan masyarakat, dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Misalnya, salah urus krisis air Flint di Amerika Serikat menyebabkan kemarahan publik dan hilangnya kepercayaan pada pejabat pemerintah setempat. Ketidakmampuan yang terus-menerus dalam mengatasi masalah utama dapat melemahkan lembaga demokrasi, yang mengarah pada otoritarianisme atau berkurangnya kebebasan demokrasi karena pemerintah berupaya mempertahankan kendali.
Sumber daya yang langka di sebuah negara, semisal kekurangan air atau sengketa tanah, dapat menyebabkan konflik internal antara berbagai kelompok atau wilayah. Konflik ini dapat mengganggu stabilitas negara dan mengalihkan sumber daya dari pembangunan ke penyelesaian konflik. Kerusakan lingkungan dapat memperburuk ketegangan antara negara-negara tetangga atas sumber daya bersama seperti sungai, danau, atau wilayah pesisir. Misalnya, sengketa atas hak atas air dari sungai bersama dapat membebani hubungan diplomatik dan berpotensi menyebabkan konflik. Negara-negara dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya dalam upaya militer guna mengamankan sumber daya, sehingga mengurangi investasi di bidang-bidang penting lainnya semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan infrastruktur.

Dedradasi lingkungan meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam, yang dapat menghancurkan infrastruktur, menggusur penduduk, dan memerlukan upaya pemulihan ekstensif. Misalnya, penggundulan hutan dapat memperparah banjir, sementara kerusakan pesisir dapat meningkatkan kerentanan terhadap badai. Bencana alam dapat mengganggu rantai pasokan, perdagangan, dan kegiatan ekonomi, menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Gempa bumi dan tsunami Tohoku 2011 di Jepang berdampak signifikan terhadap perekonomian baik di dalam negeri maupun global. Lingkungan yang rusak dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya penting semisal air bersih dan lahan subur, yang sangat penting bagi stabilitas dan keamanan nasional.
Perubahan iklim merupakan masalah global yang mempengaruhi semua negara. Negara-negara yang tak berhasil mengurangi atau beradaptasi dengan perubahan iklim dapat menghadapi dampak ekonomi dan sosial yang parah, berakibat pada kedudukan dan hubungannya di panggung global. Penyakit tak mengenal batas negara. Negara-negara yang tak siap menghadapi pandemi dapat berkontribusi terhadap krisis kesehatan global, mempengaruhi hubungan internasional, perdagangan, dan kerjasama. Krisis lingkungan dan kesehatan memerlukan respons internasional terkoordinasi. Negara-negara yang berjuang dengan masalah ini, akan merasa sulit berpartisipasi secara efektif dalam inisiatif global, yang melemahkan aliansi dan kemitraan.

Penanganan kerusakan lingkungan dan penyakit kerap membutuhkan sumber daya penting, yang dapat mengurangi investasi di bidang pembangunan lain semisal pendidikan, infrastruktur, dan teknologi. Krisis kesehatan dapat mengurangi modal manusia dengan meningkatkan angka kematian dan mengurangi produktivitas serta tingkat pendidikan tenaga kerja. Hal ini menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Bencana lingkungan dan krisis kesehatan dapat mengganggu sistem pendidikan, menyebabkan rendahnya pencapaian pendidikan dan berkurangnya kemampuan tenaga kerja di masa mendatang.
Tantangan lingkungan dan kesehatan yang terus-menerus dapat menjebak negara-negara dalam siklus kemiskinan, dimana terbatasnya pertumbuhan ekonomi, menghalangi investasi dalam perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat, selanjutnya memperburuk masalah. Kerusakan lingkungan dan penyakit sering secara tak proporsional mempengaruhi populasi yang rentan dan terpinggirkan, meningkatkan ketimpangan sosial dan menghambat pembangunan inklusif. Tantangan lingkungan dan kesehatan yang terus-menerus dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial jangka panjang, sehingga sulit mencapai pembangunan ekonomi dan sosial yang sustainable.

Degradasi lingkungan dan penyakit dapat mempengaruhi generasi mendatang semisal akses ke pendidikan. Di wilayah-wilayah tempat anak-anak harus bermigrasi atau menderita krisis kesehatan akibat masalah lingkungan, kehadiran di sekolah menurun, sehingga membatasi pengembangan modal manusia di masa mendatang. Selain itu, fokus pada upaya bertahan hidup dari krisis saat ini, dapat membatasi investasi dalam pendidikan dan pelatihan pemuda, yang berperan penting dalam inovasi jangka panjang dan daya saing ekonomi. Ketidakmampuan mengatasi krisis lingkungan dan kesehatan secara efektif juga dapat merusak kedudukan global sebuah negara. Respons yang buruk dapat menyebabkan berkurangnya investasi asing, pembatasan perdagangan, atau pengecualian dari perjanjian internasional, yang selanjutnya mengisolasi negara tersebut dan menghambat tujuan pembangunan jangka panjang.

'Our Common Future (Masa Depan Kita Bersama)', yang juga dikenal sebagai Laporan Brundtland, adalah dokumen penting yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and Development (WCED). Komisi yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland ini dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengatasi meningkatnya kekhawatiran tentang semakin memburuknya lingkungan manusia dan sumber daya alam serta konsekuensi dari kemerosotan tersebut terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Laporan ini amat dikenal karena mempopulerkan konsep 'sustainable development,' didefinisikan sebagai 'pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri.' Laporan ini menekankan keterkaitan antara keberlanjutan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan keadilan sosial, dengan menyatakan bahwa elemen-elemen ini hendaknya diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan global. WCED menyoroti percepatan kerusakan lingkungan manusia dan sumber daya alam sebagai tantangan kritis yang dihadapi dunia. Laporan tersebut merinci bagaimana kerusakan ini berdampak pada pembangunan ekonomi dan sosial, dengan menekankan bahwa degradasi lingkungan dan penipisan sumber daya sangat terkait erat dengan kemiskinan, kesenjangan, dan praktik ekonomi yang tak berkelanjutan. Laporan tersebut mengidentifikasi berbagai masalah lingkungan yang meluas semisal deforestasi, desertifikasi, erosi, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi udara dan air, serta penipisan lapisan ozon. Masalah-masalah ini didorong oleh kegiatan industri, pertanian, urbanisasi, dan praktik penggunaan lahan yang unsustainable. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, termasuk bahan bakar fosil, mineral, hutan, air, dan perikanan, merupakan masalah utama. Laporan tersebut menyatakan bahwa laju ekstraksi sumber daya saat ini, tak berkelanjutan dan akan menyebabkan kelangkaan sumber daya, biaya yang lebih tinggi, dan konflik atas akses ke sumber daya penting.
Degradasi lingkungan menyebabkan inefisiensi ekonomi dengan meningkatkan biaya produksi dan mengurangi ketersediaan sumber daya. Misalnya, erosi tanah dapat mengurangi produktivitas pertanian, dan polusi dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan menurunkan produktivitas pekerja. Laporan tersebut memperingatkan bahwa degradasi lingkungan yang terus-menerus akan merusak pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menipisnya sumber daya alam yang penting dan degradasi ekosistem dapat membatasi kemampuan ekonomi agar tumbuh sambung-sinambung, yang mengarah pada potensi stagnasi atau penurunan ekonomi. Konsekuensi degradasi lingkungan secara tak proporsional mempengaruhi negara-negara dan masyarakat yang lebih miskin, memperburuk ketidaksetaraan global. Negara-negara berkembang kerap sangat bergantung pada sumber daya alam bagi perekonomian mereka, dan kerusakan lingkungan dapat menjebak mereka dalam siklus kemiskinan.
Laporan tersebut menekankan bahwa degradasi lingkungan memperburuk kemiskinan dan kesenjangan sosial. Masyarakat miskin seringkali bergantung langsung pada sumber daya alam bagi mata pencaharian mereka, dan ketika sumber daya ini terkuras atau terdegradasi, kemampuannya menopang diri sendiri terancam. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kemiskinan, kekurangan gizi, dan keresahan sosial. Masalah lingkungan semisal polusi udara dan air, limbah beracun, dan sanitasi yang tak memadai, berkontribusi terhadap berbagai masalah kesehatan, terutama di negara-negara berkembang. Masalah kesehatan ini, dapat mengurangi kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan, dan membatasi peluang ekonomi. Degradasi lingkungan dapat memaksa masyarakat agar bermigrasi, menyebabkan meningkatnya urbanisasi dan tekanan pada kota-kota, yang kerap mengakibatkan pertumbuhan daerah kumuh dan masalah sosial, kemudian lingkungan. Migrasi ini, dapat pula menyebabkan konflik atas tanah dan sumber daya.
Laporan tersebut berpendapat bahwa guna mengatasi tantangan-tantangan ini, dunia hendaknya mengadopsi pendekatan baru terhadap pembangunan—sustainable development—yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial. Tujuannya menciptakan jalur pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Hal ini memerlukan pemikiran ulang terhadap kebijakan ekonomi, pilihan teknologi, dan pola konsumsi untuk memastikan bahwa semuanya berkelanjutan secara lingkungan dan inklusif secara sosial. Dengan menghubungkan keberlanjutan lingkungan secara langsung dengan pembangunan ekonomi dan sosial, 'Our Common Future' menganjurkan pendekatan holistik terhadap pembangunan global, dimana pengelolaan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial dikejar secara bersamaan dan dengan cara yang saling memperkuat.

Degradasi lingkungan dan penyebaran penyakit kerap saling berinteraksi dan dengan faktor-faktor sosial lainnya, sehingga menimbulkan tantangan yang kompleks. Misalnya, perubahan iklim dapat memperburuk penyebaran penyakit dengan mengubah habitat dan meningkatkan jangkauan vektor penyakit semisal nyamuk.
Menghadapi kerusakan lingkungan yang parah akibat penggundulan hutan, erosi sungai, dan siklon, Bangladesh berjuang melawan kerugian ekonomi, pemindahan penduduk, dan tantangan dalam memelihara infrastruktur dan layanan. Wabah Ebola berdampak parah pada ekonomi Guinea, Liberia, dan Sierra Leone dengan mengganggu perdagangan, mengurangi produktivitas tenaga kerja, dan membebani sistem perawatan kesehatan. Negara-negara semisal Maladewa menghadapi ancaman eksistensial dari naiknya permukaan air laut, yang dapat menyebabkan hilangnya wilayah, pemindahan penduduk, dan matinya peekonomian yang bergantung pada pariwisata dan perikanan.

Nicole Perlroth membahas bagaimana krisis global semisal pandemi dan bencana lingkungan dapat memperburuk kerentanan keamanan siber. Misalnya, selama pandemi COVID-19, peralihan cepat ke pekerjaan jarak jauh membuat banyak organisasi rentan terhadap serangan siber karena penerapan sistem jarak jauh yang terburu-buru dan langkah-langkah keamanan yang tak memadai. Musuh-musuh, termasuk negara-negara bangsa dan penjahat siber, acapkali memanfaatkan kekacauan dan gangguan yang disebabkan oleh krisis global untuk melancarkan serangan siber. Serangan ini dapat menargetkan infrastruktur penting, semisal sistem perawatan kesehatan selama pandemi atau jaringan listrik selama bencana lingkungan, yang selanjutnya memperparah krisis.
Perlroth menekankan bagaimana serangan siber dapat memperparah dampak krisis global lainnya. Misalnya, serangan siber pada sistem perawatan kesehatan selama pandemi dapat melumpuhkan kemampuan suatu negara untuk merespons secara efektif, menyebabkan tingkat kematian yang lebih tinggi dan gangguan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Banyak infrastruktur penting, semisal sistem energi, air, dan transportasi, semakin bergantung pada teknologi digital. Ancaman lingkungan seperti peristiwa cuaca ekstrem dapat merusak infrastruktur fisik, dan serangan siber yang terjadi secara bersamaan dapat mengganggu sistem digital yang mengendalikan infrastruktur tersebut, sehingga memunculkan kemacetan berantai.
Krisis global dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, yang dapat diperburuk oleh serangan siber yang menargetkan sistem keuangan, rantai pasokan, dan infrastruktur ekonomi lainnya. Perlroth menjelaskan bagaimana serangan siber selama pandemi atau bencana lingkungan dapat memperburuk kemerosotan ekonomi, yang menyebabkan periode pemulihan yang berkepanjangan. Krisis global melemahkan keamanan nasional dengan membuka peluang bagi musuh melancarkan serangan siber. Dalam konteks ancaman lingkungan, misalnya, negara yang telah berjuang menghadapi dampak bencana alam akan merasa sulit mempertahankan diri atau pulih dari serangan siber terhadap sistem militer atau pemerintahannya. Perlroth menunjukkan bahwa persinggungan antara krisis global dan kerentanan siber dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga. Jika negara tak dapat melindungi warganya dari serangan siber selama pandemi atau bencana lingkungan, kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga publik dapat menurun, menyebabkan keresahan sosial dan ketidakstabilan politik.

Menangani kerusakan lingkungan dan penyakit memerlukan kerjasama global, sebab masalah ini melampaui batas negara. Kerangka kerja internasional semisal Paris Agreement dan inisiatif World Health Organization sangat penting dalam mengkoordinasikan upaya mengurangi ancaman ini dan mendukung negara-negara yang terkena dampak.
Degradasi lingkungan dan penyebaran penyakit menimbulkan berbagai ancaman terhadap stabilitas dan pembangunan nasional. Dampaknya menyebar melalui sistem ekonomi, struktur sosial, lembaga politik, dan kerangka kerja keamanan, menimbulkan kerentanan yang dapat melemahkan negara, baik secara internal maupun dalam interaksinya di panggung global. Manajemen yang efektif dan tindakan proaktif sangat penting agar mengurangi ancaman ini dan memastikan sustainable development serta ketahanan nasional.

Mengingat arti pentingnya, kita akan melanjutkan pembicaraan kita tentang isu lingkungan dan pembangunan. Biidznillah.”
Setelah itu, Cattleya membacakan puisi,

Di ladang hijau, kini bayang jatuh,
Alam menangis, seruan penuh.
Namun harapan tetap kita pegang,
Jalan lestari harus kita jaga terang.
Kutipan & Rujukan:
- World Commission on Environment and Development, Our Common Future, 1987, Oxford University Press
- Nicole Perlroth, This is How They Tell Me the World Ends: The Cyberweapons Arms Race, 2021, Bloomsbury Publishing

Kamis, 29 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (14)

"Di negeri pelik bernama Ribuan Pulau, terdapat sebuah taman yang tak seperti taman biasanya. Namanya 'Padang Rumput Angan-angan' dan seusai direnovasi, taman ini berubah jadi dunia yang amat aneh. Warga kota berkumpul di sana, bersemangat mengeksplorasi keajaiban yang baru ditemukan.
Seorang penyanyi lokal, dengan selera musik balada, berdiri di pintu masuk taman. Gitar di bahunya, ia mendengungkan tembangnya Ebiet G. Ade, 'Lagu untuk Sebuah Nama.' Liriknya, dengan indah menangkap pengaruh emosional musik pada sukma: Mengapa jiwaku mesti bergetar? Sedang musik pun manis kudengar ....
Saat berkidung, sang penembang menunjuk ke arah taman. Rumput yang dulu hijau kini bagaikan keju Swiss, penuh lubang. Ayunan dan luncuran yang baru dipasang terlihat sempurna, tapi ada catatan: 'Cuma buat Display.' Tak ada yang berani menyentuhnya, takut mengusik realita.
Padang Rumput Angan-angan punya penjaga—makhluk aneh dengan topi tinggi dan monokel besar. Mereka berpatroli, memastikan pengunjung mematuhi aturan-aturan menjengahkan. 'Jangan melompati lubang!' teriak mereka, mengejar siapa pun yang berani menginjak liang.
Dan odong-odong—permainan karnaval yang dulu berwarna-warni dan menyenangkan anak-anak. Kini, menjadi monster monokrom, dengan warna pelangi berkurang menjadi satu warna beige. Hanya beberapa orang terpilih yang boleh naik—mereka yang sanggup menyebutkan deret Fibonacci terbalik sambil melompat dengan satu kaki.

Lalu, tersebutlah seorang lelaki, sang misteri. Ia terlihat di dekat air mancur taman, berbisik pada burung dara. Ada yang bilang, ia dalang di balik keanehan Padang Rumput Angan-angan. Ada pula yang menyebutnya sekadar pion dalam permainan catur kosmik.
Di dunia maya, poster pencarian beredar. Gambar buram sang lelaki menghiasi setiap forum dan platform medsos. Tulisannya:
 
Dicari:
MOELJONO
Con-Artist dan Perusak Taman
 
Hadiahnya berupa kriptokurensi, meme langka, dan pasokan kertas konfeti virtual seumur hidup.
Suatu malam bertepatan dengan bulan purnama, ketika para penjaga taman tertidur (atau mungkin sedang bermimpi tentang fraktal), sang lelaki berdiri di atas odong-odong. Ia lalu menghilang ke dalam gorong-gorong teraneh di taman, meninggalkan jejak paradoks dan pertanyaan tanpa jawab.
Karenanya, sohib budimanku, jika kalian mengunjungi Padang Rumput Angan-angan, awasilah lelaki itu. Tapi hati-hati: mungkin saja dirimu bakal kehilangan nama, akal-sehat, atau kedua-duanya."
[Catatan: Segala kesamaan dengan taman betulan, penyanyi, atau kenyataan, hanyalah kebetulan. Atau, apa emang gitu?]

"Ketika sebuah negara terlalu bergantung pada bantuan, investasi, atau mitra dagang asing, negara tersebut dapat kehilangan kedaulatan ekonominya dan menjadi rentan terhadap manipulasi atau eksploitasi eksternal. Ketergantungan ekonomi dapat menyebabkan melemahnya industri dan inovasi dalam negeri dalam jangka panjang," lanjut Cattleya.
Ketergantungan ekonomi terjadi manakala sebuah negara sangat bergantung pada negara lain atau entitas eksternal dalam hal dukungan keuangan, perdagangan, atau sumber daya penting. Dikala sebuah negara bergantung secara ekonomi, negara tersebut akan harus menyelaraskan kebijakannya dengan kepentingan negara atau entitas dominan guna mempertahankan aliran sumber daya atau bantuan. Hal ini dapat membatasi kemampuannya menjalankan strategi ekonomi atau politik yang independen. Ketergantungan ekonomi dapat mebjadikan sebuah negara rentan terhadap guncangan ekonomi eksternal, semisal fluktuasi harga komoditas global, perubahan kebijakan perdagangan, atau krisis keuangan di negara mitra. Guncangan ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi negara yang bergantung, yang menyebabkan resesi atau ketidakstabilan keuangan. Ketergantungan pada investasi atau bantuan asing dapat menghambat pengembangan industri dalam negeri, karena bisnis lokal akan kesulitan bersaing dengan perusahaan asing atau bergantung pada barang impor daripada mengembangkan produksi lokal. Seiring waktu, keadaan ini dapat melemahkan basis ekonomi negara dan mengurangi kemampuannya menghasilkan pertumbuhan yang berlanjut.
Ketergantungan ekonomi Yunani pada pinjaman Uni Eropa selama krisis Zona Euro (2009-2015) menyoroti kerentanan ketergantungan pada dukungan keuangan eksternal. Agar menerima dana talangan, Yunani harus menerapkan langkah-langkah penghematan yang ditentukan oleh UE dan International Monetary Fund (IMF). Langkah-langkah ini menyebabkan kontraksi ekonomi yang parah, pengangguran yang tinggi, dan keresahan sosial, melemahkan ekonomi Yunani dan memperburuk ketidakstabilan politik.

Fernando Henrique Cardoso dan Enzo Faletto menyajikan versi teori ketergantungan yang bernuansa, yaitu kerangka kerja yang mengkritik hubungan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Menurut Cardoso dan Faletto, ketergantungan mengacu pada keadaan dimana perkembangan ekonomi sebuah negara dikondisikan oleh perkembangan dan perluasan negara lain yang biasanya lebih kuat. Di Amerika Latin, keadaan ini kerap terwujud sebagai struktur ekonomi yang bergantung pada ekspor barang-barang primer ke negara-negara industri, menyebabkan kerentanan dalam ekonomi domestik dan membatasi kapasitas pertumbuhan otonomnya. Mereka menekankan bahwa ketergantungan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi sistem ekonomi global dan pengaruh perusahaan multinasional, sedangkan faktor internal melibatkan struktur politik, sosial, dan ekonomi lokal. Interaksi antara faktor-faktor ini membentuk sifat dan tingkat ketergantungan.
Banyak negara Amerika Latin mengembangkan ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor komoditas primer (semisal mineral, produk pertanian, dan bahan baku) ke negara-negara yang lebih maju. Ketergantungan ini memunculkan struktur perekonomian yang berorientasi eksternal dan bergantung pada kondisi pasar global, membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi harga dan pergeseran permintaan di pasar internasional. Fokus pada ekspor bahan baku kerap menyebabkan keterbelakangan industri dalam negeri. Karena sektor yang paling menguntungkan terikat dengan pasar luar negeri, investasi lokal dan perhatian kebijakan dialihkan dari pembangunan industri manufaktur atau jasa dalam negeri yang kuat, yang mengakibatkan terbatasnya diversifikasi dan inovasi industri.
Negara-negara Amerika Latin seringkali mengandalkan modal asing dalam membiayai proyek infrastruktur, industri, dan pembangunan. Namun, investasi ini biasanya dikendalikan oleh perusahaan atau pemerintah asing, yang mengarahkan keuntungan kembali ke negara asal mereka daripada menginvestasikannya kembali secara lokal. Hal ini menyebabkan situasi dimana pertumbuhan ekonomi di Amerika Latin sebagian besar ditentukan oleh kepentingan investor asing, bukan oleh tujuan pembangunan nasional. Modal asing acapkali mendominasi sektor-sektor utama ekonomi, semisal pertambangan, pertanian, dan energi. Kontrol ini membatasi kemampuan pemerintah Amerika Latin membuat keputusan ekonomi independen dan menjalankan kebijakan yang mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan investor asing. Akibatnya, kebijakan ekonomi kerap dibentuk untuk menarik dan mengakomodasi modal asing, yang sering mengorbankan kebutuhan pembangunan lokal.
Ketergantungan pada modal dan pasar asing melemahkan daya tawar negara-negara Amerika Latin dalam negosiasi internasional. Perekonomian mereka menjadi rentan terhadap tekanan eksternal, termasuk penerapan persyaratan perdagangan yang tak menguntungkan, ketentuan utang, atau sanksi ekonomi oleh negara-negara yang lebih kuat atau lembaga keuangan internasional. Ketergantungan pada investasi dan pasar asing sering membatasi pilihan kebijakan yang tersedia bagi pemerintah Amerika Latin. Misalnya, mereka akan ditekan agar mempertahankan pajak rendah pada perusahaan asing atau mengadopsi kebijakan ekonomi neoliberal yang memprioritaskan liberalisasi dan privatisasi pasar, bahkan ketika kebijakan ini merugikan ekonomi lokal.
Ketergantungan pada modal dan pasar asing mengikis kedaulatan ekonomi negara-negara Amerika Latin. Pengambilan keputusan di berbagai bidang utama kebijakan ekonomi semakin dipengaruhi oleh kepentingan asing, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah nasional mengendalikan nasib ekonomi mereka. Ketergantungan ini menghambat perkembangan industri dan inovasi lokal. Dengan laba dan sumber daya yang mengalir keluar dari negara tersebut, terdapat lebih sedikit investasi ulang dalam bidang pendidikan, teknologi, dan infrastruktur, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih beragam dan berkelanjutan. Akibatnya, banyak negara Amerika Latin mengalami industrialisasi terbatas dan tetap terperangkap dalam siklus ketergantungan dan keterbelakangan.
Struktur ekonomi yang dibentuk oleh ketergantungan, acapkali memperburuk ketimpangan sosial, karena kekayaan yang dihasilkan oleh industri ekspor dan investasi asing terpusat di tangan segelintir elit, sementara masyarakat luas hanya merasakan sedikit manfaat. Ketimpangan ini semakin menghambat kohesi sosial dan pengembangan ekonomi yang inklusif dan berbasis luas. Ketergantungan ekonomi dan ketimpangan sosial yang diakibatkannya, berkontribusi pula terhadap ketidakstabilan politik. Kepentingan elit domestik, yang kerap berpihak pada investor asing, bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas, menyebabkan ketegangan dan, dalam beberapa kasus, konflik yang semakin merusak pembangunan nasional.

Oswaldo De Rivero secara kritis meneliti konsep pembangunan dan berpendapat bahwa banyak negara berkembang jatuh ke dalam apa yang disebutnya perangkap ketergantungan pada bantuan dan investasi asing. Menurut De Rivero, ketergantungan ini merugikan dan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang merusak pembangunan sejati dan kelangsungan ekonomi jangka panjang. De Rivero berpendapat bahwa bantuan dan investasi asing lebih sering memunculkan ilusi pembangunan ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya. Negara-negara menjadi tergantung pada sumber daya eksternal guna mempertahankan layanan dan infrastruktur dasar, tetapi ketergantungan ini tak menghasilkan pembangunan berkelanjutan atau kemandirian ekonomi. Sebaliknya, hal itu melanggengkan siklus dimana negara-negara bergantung pada dukungan eksternal yang berkelanjutan tanpa membangun kapasitasnya.
Ketergantungan pada bantuan dan investasi asing dapat menyebabkan berlanjutnya keterbelakangan. De Rivero berpendapat bahwa bantuan asing sering disertai dengan syarat atau agenda yang ditetapkan oleh negara donor atau organisasi internasional, yang akan tak sejalan dengan kebutuhan pembangunan jangka panjang negara penerima. Ketidakselarasan ini dapat mengakibatkan penerapan kebijakan yang lebih menguntungkan bagi donor daripada penerima, yang selanjutnya memperparah keterbelakangan. Ketergantungan pada bantuan dan investasi asing dapat menghambat pertumbuhan industri dan inovasi dalam negeri. Tatkala sebuah negara sangat bergantung pada sumber daya eksternal, maka insentif untuk mengembangkan industri, teknologi, atau usaha kewirausahaan lokal pun berkurang. Efek penghambat ini mencegah negara tersebut membangun perekonomian yang mandiri, sehingga rentan terhadap guncangan eksternal dan fluktuasi pasar global.
De Rivero menyoroti bahwa ketergantungan pada bantuan dan investasi asing mengikis kedaulatan ekonomi sebuah negara. Kekuasaan pengambilan keputusan kerap beralih dari pemerintah nasional ke donor atau investor asing, yang akan memprioritaskan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan penduduk lokal. Hilangnya kedaulatan ini, menyulitkan negara-negara menjalankan kebijakan ekonomi independen yang dapat mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Banyak negara berkembang jatuh ke dalam lingkaran setan utang karena ketergantungan mereka pada bantuan dan investasi asing. Pinjaman dan bantuan keuangan acapkali disertai dengan suku bunga tinggi atau persyaratan pembayaran yang tidak menguntungkan, yang menyebabkan beban utang yang semakin meningkat. Ketika negara-negara berupaya membayar utang-utang ini, mereka menjadi semakin bergantung pada pinjaman atau bantuan baru, yang semakin memperdalam ketergantungan dan kerentanan finansialnya.
De Rivero memperluas konsep ketergantungan melampaui sekadar faktor ekonomi, dengan menyatakan bahwa hal itu berkontribusi pada meluasnya 'krisis peradaban'. Ia berpendapat bahwa perangkap ketergantungan merupakan bagian dari sistem global yang memprioritaskan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai tujuan akhir, yang kerap mengorbankan keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan integritas budaya. Krisis ini mencerminkan sifat model pembangunan yang tak berkelanjutan, yang sangat bergantung pada sumber daya eksternal dan tak mampu mengatasi masalah struktural yang mendasarinya di negara-negara berkembang.

Dani Rodrik mengeksplorasi ketegangan yang ada antara globalisasi, kedaulatan nasional, dan stabilitas ekonomi. Ia berpendapat bahwa ketiga elemen ini, kerap saling bertentangan, dan mencapai keseimbangan di antara ketiganya merupakan tantangan bagi negara-negara yang beroperasi dalam ekonomi global. Rodrik berpendapat bahwa globalisasi, khususnya dalam bentuk perekonomiannya, cenderung mengikis kedaulatan nasional dengan membatasi kemampuan pemerintah menetapkan kebijakannya. Ketika negara-negara berintegrasi ke dalam pasar global, mereka sering dituntut mengadopsi kebijakan yang menguntungkan perdagangan dan investasi internasional, namun akan tidak sejalan dengan prioritas atau nilai-nilai domestik mereka. Misalnya, perjanjian perdagangan global dan aturan lembaga keuangan internasional acapkali memberlakukan batasan pada bagaimana pemerintah dapat mengatur perekonominnya, mengelola mata uangnya, atau melindungi industrinya. Persaingan bagi investasi asing dan akses ke pasar global dapat menyebabkan 'race to the bottom', dimana negara-negara merasa tertekan menurunkan standar ketenagakerjaan, peraturan lingkungan, dan pajak perusahaan guna menarik perusahaan multinasional. Hal ini melemahkan kemampuan pemerintah melindungi kesejahteraan warga negaranya dan menjalankan kebijakan yang mencerminkan kepentingan nasional.
Rodrik menyoroti bahwa globalisasi keuangan dapat menyebabkan peningkatan ketidakstabilan ekonomi. Aliran modal bebas lintas batas dapat mengakibatkan volatilitas keuangan, seperti yang terlihat dalam berbagai krisis keuangan dimana perubahan tiba-tiba dalam sentimen investor menyebabkan arus keluar modal besar-besaran, devaluasi mata uang, dan resesi ekonomi. Negara-negara yang terintegrasi secara mendalam ke dalam pasar keuangan global lebih rentan terhadap guncangan ini, yang dapat berakibat parah bagi stabilitas ekonomi. Globalisasi ekonomi seringkali membatasi efektivitas alat kebijakan domestik tradisional. Misalnya, ketika negara-negara terintegrasi secara mendalam ke dalam ekonomi global, efektivitas kebijakan moneter dapat terganggu lantaran modal dapat dengan mudah mengalir lintas batas, mengurangi kendali bank sentral atas suku bunga dan inflasi. Hal ini membuat lebih sulit bagi pemerintah menstabilkan ekonomi mereka di masa krisis.
Rodrik memperkenalkan konsep 'trilema politik ekonomi dunia,' yang menyatakan bahwa mustahil mencapai globalisasi ekonomi penuh, kedaulatan nasional, dan pemerintahan demokratis secara bersamaan. Negara-negara hanya dapat mencapai dua dari tiga tujuan ini secara penuh. Misalnya, jika negara memprioritaskan kedaulatan nasional dan stabilitas ekonomi, negara tersebut perlu membatasi integrasinya ke dalam ekonomi global (misalnya, dengan menerapkan kontrol modal atau hambatan perdagangan). Jika negara memprioritaskan globalisasi dan stabilitas ekonomi, negara tersebut perlu menyerahkan sebagian kedaulatan nasionalnya kepada lembaga atau aturan internasional yang menegakkan norma ekonomi global. Jika negara memprioritaskan kedaulatan nasional dan globalisasi, negara tersebut harus mengorbankan sebagian stabilitas ekonominya, sebab negara tersebut tak dapat sepenuhnya mengendalikan kebijakan ekonominya dalam menghadapi kekuatan pasar global.
Rodrik berpendapat bahwa globalisasi juga dapat memunculkan ketegangan dengan tatakelola demokrasi. Ketika pemerintah nasional harus mematuhi perjanjian ekonomi internasional atau tuntutan pasar global, mereka terpaksa menerapkan kebijakan yang tidak populer di kalangan warga negaranya. Hal ini dapat menyebabkan defisit demokrasi, dimana keputusan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga negara dibuat oleh organisasi internasional atau dipengaruhi oleh kekuatan pasar global, bukan melalui proses demokrasi di dalam negeri. Ketidakpuasan dengan dampak globalisasi terhadap kedaulatan nasional dan stabilitas ekonomi, dapat menyebabkan reaksi publik, termasuk munculnya populisme, nasionalisme, dan proteksionisme. Warga negara akan menuntut kembalinya kebijakan yang lebih berfokus pada negara, meskipun kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip globalisasi ekonomi.

Selain risiko ketergantungan ekonomi, tekanan lingkungan eksternal, semisal perubahan iklim, bencana alam, atau kelangkaan sumber daya, dapat membebani kamampuan sebuah negara merespons secara efektif, menyebabkan keresahan sosial, perpindahan penduduk, dan tantangan terhadap keamanan nasional. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya penting seperti air, lahan subur, dan energi. Kelangkaan ini dapat memperburuk konflik, mendorong perpindahan penduduk, dan membebani sumber daya pemerintah. Bencana lingkungan, semisal banjir, kekeringan, atau badai, dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang signifikan dengan meluluhlantakkan infrastruktur, mengganggu pertanian, dan menggusur masyarakat. Upaya pembangunan kembali dapat memakan biaya mahal, dan bencana yang sering terjadi dapat menghambat pembangunan ekonomi jangka panjang. Tekanan lingkungan dapat menyebabkan migrasi internal, persaingan mendapatkan sumber daya, dan meningkatnya ketegangan di antara masyarakat. Dalam beberapa kasus, tekanan ini dapat menyebabkan keresahan sosial, konflik, dan tantangan terhadap otoritas pemerintah.
Wilayah Sahel di Afrika menghadapi tekanan lingkungan yang parah akibat perubahan iklim, menyebabkan lahan tandus, kekeringan, dan kelangkaan sumber daya. Tantangan lingkungan ini telah memperburuk kerawanan pangan, mendorong migrasi massal, dan memicu konflik atas sumber daya tanah dan air. Pemerintah di wilayah tersebut, yang sudah berjuang melawan kemiskinan dan ketidakstabilan politik, akan merasa sulit mengelola tekanan ini, menyebabkan semakin melemahnya kapasitas negara dan kohesi sosial.

Michael T. Klare meneliti bagaimana persaingan dalam sumber daya alam—semisal minyak, air, dan mineral—telah menjadi faktor penting dalam konflik global. Klare berpendapat bahwa dikala sumber daya menjadi langka, konflik atas sumber daya tersebut akan meningkat, yang mengarah pada perang jenis baru dan ketegangan internasional. Minyak adalah sumber daya paling vital dalam analisis Klare, mengingat peran pentingnya dalam perekonomian global dan kekuatan militer. Kontrol atas cadangan minyak dan rute pasokan, semisal Teluk Persia, telah menjadi pendorong utama ketegangan dan konflik internasional. Klare membahas Perang Teluk sebagai contoh dimana minyak merupakan faktor utama. Invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 dan intervensi yang dipimpin AS berikutnya sebagian didorong oleh keinginan mengendalikan sumber daya minyak dan mengamankan pasokan energi global.
Kelangkaan air, terutama di wilayah kering, menyebabkan konflik atas sumber air bersama semisal sungai dan danau. Klare menyoroti Sungai Nil, cekungan Tigris-Efrat, dan Sungai Yordan sebagai titik api potensial tempat negara-negara dapat terlibat dalam konflik atas akses dan kendali air. Seiring bertambahnya populasi dan perubahan iklim mempengaruhi ketersediaan air, persaingan sumber daya air bersih pun meningkat. Persaingan ini dapat memperburuk ketegangan politik dan etnis yang ada, berujung pada konflik.
Mineral semisal berlian, tembaga, dan elemen-elemen tanah yang langka, sangat penting bagi proses industri dan aplikasi militer. Pengendalian sumber daya ini dapat menyebabkan perebutan kekuasaan, terutama di wilayah yang kaya akan mineral tetapi berpemerintahan yang lemah. Klare membahas bagaimana kekayaan mineral dapat menyebabkan korupsi, perang saudara, dan intervensi eksternal, sebuah fenomena yang sering disebut sebagai 'resource curse'. Republik Demokratik Kongo adalah contoh utama, dimana kekayaan mineral telah memicu konflik terus-menerus dan menarik kepentingan asing.
Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, kerap melakukan intervensi di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya guna mengamankan kepentingannya. Hal ini dapat menyebabkan perang proksi, dimana konflik lokal diperburuk oleh keterlibatan kekuatan-kekuatan global yang berusaha menguasai sumber daya. Klare mencatat meningkatnya militerisasi wilayah-wilayah yang kaya sumber daya, dimana pangkalan-pangkalan militer dan intervensi-intervensi dibenarkan oleh kebutuhan melindungi akses ke sumber daya vital.
Karena permintaan global akan sumber daya terus meningkat, didorong oleh pertumbuhan populasi dan pembangunan ekonomi, potensi konflik atas sumber daya ini, kemungkinan akan meningkat. Klare memperkirakan bahwa perang sumber daya akan menjadi lebih umum dan intens di masa depan. Negara-negara dengan sumber daya yang signifikan dapat mengadopsi kebijakan proteksionis, mengarah pada ketegangan dengan negara-negara lain yang bergantung pada sumber daya tersebut. Nasionalisme ini dapat menyebabkan konflik, baik di dalam maupun antarnegara.
Analisis Klare menunjukkan bahwa ketika sumber daya menjadi semakin langka dan lebih berharga, sumber daya tersebut akan semakin menjadi pusat konflik global, sehingga pengelolaan sumber daya dan kerjasama internasional menjadi krusial untuk mencegah perang.

Saeid Eslamian dan Faezeh Eslamian membahas bagaimana perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam, semisal banjir, kekeringan, dan badai. Mereka mengkaji ilmu di balik perubahan ini dan implikasinya bagi berbagai wilayah dan komunitas. Meningkatnya suhu global menyebabkan badai yang lebih dahsyat, kekeringan yang berkepanjangan, dan pola cuaca yang tak dapat diprediksi, yang dapat memicu bencana semisal banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor. Dampak perubahan iklim tak seragam; beberapa wilayah lebih rentan daripada yang lain. Misalnya, wilayah pesisir berisiko lebih tinggi terhadap kenaikan permukaan laut dan badai, sementara wilayah kering menghadapi ancaman penggurunan dan kelangkaan air. Perubahan iklim juga mengganggu ekosistem, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, yang dapat memperburuk risiko bencana. Misalnya, penggundulan hutan meningkatkan kemungkinan tanah longsor, sementara hilangnya terumbu karang membuat wilayah pesisir lebih rentan terhadap gelombang badai.
Saeid Eslamian dan Faezeh Eslamian menekankan pentingnya adaptasi perubahan iklim dalam membangun ketahanan. Ini termasuk mengadaptasi infrastruktur yang ada, mengembangkan teknologi baru, dan membuat kebijakan yang dapat membantu masyarakat mengatasi dampak perubahan iklim dengan lebih baik. Adaptasi melibatkan penyesuaian dalam praktik sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk meminimalkan dampak negatif perubahan iklim. Ini dapat mencakup perubahan praktik pertanian, modifikasi sistem pengelolaan air, dan pengembangan tanaman yang tahan terhadap iklim. Membangun ketahanan berarti merancang infrastruktur yang dapat menahan dampak perubahan iklim. Misalnya, membangun rumah panggung di daerah rawan banjir atau menggunakan bahan yang dapat bertahan dalam kondisi cuaca ekstrem. Mereka menekankan pentingnya membangun ketahanan sosial—memperkuat kapasitas masyarakat agar pulih dari bencana. Ini termasuk mengedepankan kohesi sosial, mendukung kelompok rentan, dan memastikan bahwa upaya pemulihan bersifat inklusif dan adil.
Adaptasi perubahan iklim yang efektif memerlukan struktur tatakelola yang kuat, yang dapat mengoordinasikan upaya, mengalokasikan sumber daya, dan menegakkan peraturan. Struktur tatakelola mengacu pada kerangka kerja dan proses organisasi yang memandu pengambilan keputusan, koordinasi, dan alokasi sumber daya dalam mengelola risiko bencana dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Dalam model tatakelola terpusat, kewenangan pengambilan keputusan terkonsentrasi di tingkat pemerintah nasional atau pusat. Model ini kerap melibatkan pendekatan top-down, dimana kebijakan dan strategi dirumuskan oleh otoritas pusat dan kemudian diterapkan di seluruh negeri. Model terpusat dapat memastikan keseragaman dalam implementasi kebijakan dan memungkinkan mobilisasi sumber daya yang cepat dalam menanggapi bencana. Model ini sangat efektif di negara-negara dengan pemerintah pusat yang kuat dan sistem administrasi yang berkembang dengan baik. Tatakelola terpusat akan menghadapi kesulitan dalam menangani kebutuhan dan konteks lokal, karena keputusan yang dibuat di tingkat nasional tak selalu sejalan dengan kondisi khusus berbagai daerah atau masyarakat. Model ini juga dapat menyebabkan respons yang lebih lambat terhadap bencana lokal jika otoritas pusat kewalahan atau terputus dari realitas di lapangan.
Tatakelola terdesentralisasi melibatkan pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan kepada pemerintah daerah, lokal, atau kota. Model ini menekankan otonomi daerah, dengan pemerintah daerah memainkan peran penting dalam merancang dan mengimplementasikan strategi adaptasi. Model terdesentralisasi sering kali lebih responsif terhadap kebutuhan dan kondisi lokal, sehingga memungkinkan solusi yang disesuaikan dengan mempertimbangkan risiko dan kerentanan tertentu. Model ini juga mendorong kepemilikan lokal atas upaya adaptasi, yang dapat meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat. Desentralisasi dapat menyebabkan inkonsistensi dalam implementasi kebijakan dan kurangnya koordinasi antara berbagai tingkat pemerintahan. Desentralisasi juga dapat mengakibatkan distribusi sumber daya yang tidak merata.
Mereka menggarisbawahi bahwa tiada satu pun model tatakelola yang secara universal lebih unggul; efektivitas masing-masing model bergantung pada konteks spesifik, termasuk jenis risiko bencana, lingkungan sosial-politik, dan sumber daya yang tersedia. Kuncinya ialah menyesuaikan struktur tatakelola agar sesuai dengan konteks lokal sambil memastikan koordinasi dan kolaborasi di berbagai tingkat dan sektor.

Pada sesi selanjutnya, kita masih membicarakan tentang Lingkungan dalam perspektif faktor yang melemahkan sebuah negara. Biidznillah."
Lalu Cattleya bersajak,

Tali tak terputus, ekonomi terjalin,
Alam terabaikan, bertambahlah tekanan.
Sumber daya menipis, negara tergoyahkan,
Keseimbangan rapuh, reduplah kekuatan.
Kutipan & Rujukan:
- Fernando Henrique Cardoso & Enzo Faletto, Dependency and Development in Latin America, 1979, University of California Press
- Oswaldo De Rivero, The Myth of Development: Non-Viable Economies and the Crisis of Civilization, 2010, Zed Books
- Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy, 2011, W. W. Norton
- Michael T. Klare, Resource Wars: The New Ladscape of Global Conflict, 2002, Owl Books
- Saeid Eslamian & Faezeh Eslamian (Eds.), Disaster Risk Reduction for Resilience: Climate Change and Disaster Risk Adaptation, 2023, Springer

Rabu, 28 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (13)

"Pendekar Mabuk, terhuyung laksana nyiur melambai di tengah badai, menghibur kita dengan sebuah fiksi. Saat ia mengawang di atas jabal tertutup kabut, kata-katanya berpusar antara kepelikan dan keganjilan, bagai balerina yang berusaha nyari jalan sempalan. So, ceritanya kayak gini,
Di sudut hangat bufet minuman tua, tiga sahabat absurd tengah asyik ngobrol. Pertama, ada botol wiski elegan, beling berhiaskan cerita tentang negeri jauh dan malam-malam terlupakan. Di sebelahnya duduk kacang asin—yang aslinya sepolong sofis, meski tetap renyah. Dan terakhir, botol air mineral bersih berdiri, labelnya tak tercoret dan tujuannya jelas: buat ditelan.
Botol wiski, dengan banyolan jangarnya, bersender pada rak berdebu. 'Dengerin, guys,' katanya, 'Gua nih, lebih dari sekadar wadah buat cairan api. Gua menyimpan kenangan—tentang penyair, pelaut, dan ikrar-ikrar yang dibangai.'
Kacang asin, yang duduk di dekatnya, mengangguk bestari, 'Hidup ini, bagaikan kacang,' gumamnya. 'Kadang asin, kadang retak, tapi selalu layak dibaham.'
Botol air mineral menyela, suaranya tegas. 'Bisa enggak sih, kita fokus pada hal yang praktis-praktis ajah? Semisal menjaga keseimbangan pH.'

Petualangan mereka dimulai kala senja bulan purnama. Mereka terguling dari rak, labelnya kusam namun semangat tetap murup. Botol wiski memimpin, bergelebar laksana penari balet kubam. Kacang mengikutinya, berteorikan tupai dan merpati. Dan botol air mineral? Ia tetap acuh, menghitung partikel ion semua orang.
Petualangan membawa mereka ke luar dapur. Botol wiski jadi seorang pujangga, mengucapkan syair pada gelas-gelas berkilau cahaya rembulan. Kacang menulis buku terlaris bertajuk “Mengunyah Lewat Peradaban.' Dan botol air mineral? Ia setia menyiram tanaman hias, pandangannya tajam pada kadar klorofil.
Mereka berjalan-jalan di atas meja dapur, mengejutkan kucing yang menjatuhkan toples bumbu. Botol wiski tergelak, 'Sayaang, kami ini barang antik! Kami dipajang, kagak didaur ulang.'
'Maka, sobatku yang budiman, kelak dikala dirimu menenggak wiski, memamah kacang, atau meminum air mineral, ingatlah tiga sohib tipsy ini—tawanya, keanehannya, dan warisan bergairahnya. Hidup, seperti petualangan mereka, paling nikmat dengan sentuhan whiskycal,' pendekar kita mengakhiri dongengannya."
[Disclaimer: Tiada botol, kacang, atau air mineral yang terluka dalam pembuatan dongeng ini. Minumlah dengan bijak, dan semoga petualanganmu, sebahadur mereka!]

"Penyebaran pengaruh kultural atau ideologi asing terkadang dapat menimbulkan perpecahan internal, mengikis nilai-nilai tradisional, atau menantang tatanan politik dan sosial yang ada. Hal ini dapat melemahkan identitas nasional dan membangunkan konflik internal," berkata Cattleya, menindaklanjuti perbincangan sebelumnya.
"Pengaruh kultur dan ideologi eksternal, dapat menantang tatanan sosial dan politik yang ada di sebuah negara. Masuknya norma, nilai, dan gaya hidup budaya asing dapat mengikis praktik dan kepercayaan tradisional. Hal ini dapat memunculkan kesenjangan antargenerasi atau menyebabkan homogenisasi budaya, dimana tersirnanya identitas budaya yang unik.
Ideologi yang bersaing, terutama jika diperkenalkan oleh entitas asing, dapat memperburuk perpecahan sosial yang ada. Misalnya, penyebaran ideologi radikal atau model politik asing dapat menyebabkan polarisasi, kerusuhan sipil, atau bahkan munculnya kelompok ekstremis.
Manakala ideologi atau nilai budaya asing menantang legitimasi pemerintah yang berkuasa atau tatanan sosial yang ada, dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Hal ini dapat melemahkan kemampuan pemerintah dalam memerintah secara efektif dan menjaga kohesi sosial.
Selama Perang Dingin, banyak negara Amerika Latin mengalami konflik internal yang dipicu oleh pengaruh ideologi eksternal dari Amerika Serikat dan Uni Soviet. Contohnya, di Chili, AS mendukung kudeta yang menggulingkan presiden sosialis yang terpilih secara demokratis, Salvador Allende, pada tahun 1973. Intervensi ini menyebabkan puluhan tahun kediktatoran di bawah Augusto Pinochet, yang ditandai oleh pelanggaran hak asasi manusia dan perpecahan masyarakat yang mendalam.

Samuel P. Huntington membahas bagaimana penyebaran nilai-nilai dan ideologi Barat dapat menyebabkan perlawanan dan perpecahan masyarakat non-Barat, yang berkontribusi pada konflik internal dan erosi identitas tradisional. Huntington berpendapat bahwa modernisasi tak selalu berarti Westernisasi. Ia juga menyatakan bahwa penyebaran nilai-nilai dan institusi Barat dapat menjadi tantangan bagi masyarakat non-Barat karena ketidakbersesuaian budaya. Misalnya, ia mencatat bahwa institusi-institusi demokrasi Barat menghadapi kesulitan untuk berakar dalam budaya non-Barat, semisal budaya Konfusianisme Tiongkok, karena perbedaan mendasar dalam nilai-nilai dan tradisi.
Penyebaran nilai-nilai Barat dapat menyebabkan erosi identitas tradisional dalam masyarakat non-Barat. Huntington berpendapat bahwa erosi ini merupakan tantangan internal yang penting bagi peradaban Barat itu sendiri, karena merusak kohesi budaya yang diperlukan mempertahankan kekuasaan dan pengaruh di arena global. Huntington mencatat bahwa komunikasi global yang didominasi oleh Barat merupakan sumber utama kebencian dan permusuhan di antara masyarakat non-Barat. Dominasi yang dirasakan ini, dapat memperburuk perbedaan budaya dan ideologis, yang berkontribusi pada konflik internal dan perpecahan dalam masyarakat non-Barat.
Huntington berpendapat bahwa Amerika didirikan oleh para pemukim Inggris yang membawa serta budaya yang khas, termasuk bahasa Inggris, nilai-nilai Protestan, individualisme, komitmen agama, dan rasa hormat terhadap hukum. Ia membahas bagaimana gelombang imigran secara bertahap menerima nilai-nilai ini dan berasimilasi ke dalam budaya Anglo-Protestan Amerika. Namun, imigrasi yang lebih baru, khususnya dari negara-negara Hispanik, telah menimbulkan tantangan semisal bilingualisme, multikulturalisme, devaluasi kewarganegaraan, dan 'denasionalisasi' kaum elit Amerika. Huntington berpendapat bahwa asimilasi sejumlah besar imigran Hispanik telah mengikis identitas nasional Amerika. Ia berpendapat bahwa erosi ini diperburuk oleh isu-isu semisal bilingualisme dan multikulturalisme. Huntington mengkritik kaum elit liberal karena tak berhubungan dengan populasi Amerika yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa kaum elit ini seringkali mengedepankan multikulturalisme dan bilingualisme, yang menurutnya merusak nilai-nilai tradisional Amerika. Beberapa pengulas telah mencatat bahwa ide-ide Huntington mengantisipasi banyak pertarungan politik dan intelektual Amerika kontemporer, tetapi yang lain mengkritik pandangannya yang sempit tentang keunikan Amerika dan peringatannya terhadap multikulturalisme dan imigrasi.

Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington menampilkan sekelompok akademisi, jurnalis, dan beragam praktisi, termasuk tokoh-tokoh terkemuka semisal Francis Fukuyama, Nathan Glazer, Ronald Inglehart, Seymour Martin Lipset, Orlando Patterson, Michael Porter, Jeffrey Sachs, Richard Shweder, mengeksplorasi pertanyaan mengapa beberapa negara dan kelompok etnis lebih baik dibanding yang lain, dengan fokus pada peran nilai-nilai budaya dalam mendorong pembangunan politik, ekonomi, dan sosial. Mereka berpendapat bahwa nilai-nilai budaya memainkan peran penting dalam membentuk kemajuan manusia, termasuk pembangunan politik, ekonomi, dan sosial. Mereka menyatakan bahwa nilai-nilai budaya merupakan faktor yang kuat dalam menggalakkan pembangunan dan bahwa perubahan nilai sangat diperlukan bagi kemajuan masa depan di negara-negara terbelakang. berpendapat bahwa ada hubungan yang kuat antara nilai-nilai budaya dan kemajuan manusia. Nilai-nilai budaya mempengaruhi bagaimana individu memandang risiko, imbalan, dan peluang, yang pada gilirannya mempengaruhi hasil ekonomi dan sosial.
Mereka mengkritik penjelasan universal bagi perilaku sosial, politik, dan ekonomi, semisal kepentingan pribadi material di antara para ekonom atau pilihan rasional di antara para ilmuwan politik. Sebaliknya, mereka menekankan pentingnya faktor budaya dalam membentuk hasil masyarakat. 'Budaya itu ibu; institusi itu anak-anaknya,' yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya membentuk perkembangan institusi, yang kemudian mempengaruhi perilaku masyarakat. Keberhasilan kelompok etnis tertentu di berbagai negara kendati punya kebijakan ekonomi yang serupa, menggarisbawahi peran faktor budaya dalam pencapaiannya. Kebijakan ekonomi yang tepat dan diterapkan secara efektif akan menghasilkan hasil yang sama tanpa mengacu pada budaya. Perbedaan budaya dapat menyebabkan respons yang berbeda-beda terhadap kebijakan ekonomi, yang mempengaruhi keberhasilannya.
Mereka mendefinisikan kultur dengan berbagai cara, yang mencerminkan kompleksitas dan sifat multifaset konsep ini. Salah satunya mendefinisikan budaya dalam hal nilai-nilai yang berdasarkan sejarah yang berbeda di antara kelompok-kelompok dan yang menjadi identitas masyarakat. Definisi lain mendeskripsikan budaya sebagai simpanan kumulatif pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hierarki, agama, gagasan tentang waktu, peran, hubungan spasial, konsep alam semesta, dan benda-benda material serta harta benda yang diperoleh oleh sekelompok orang selama beberapa generasi melalui usaha individu dan kelompok. Mereka juga menggambarkan budaya sebagai komunikasi simbolik, termasuk simbol-simbol semisal keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan motif suatu kelompok. Makna dari simbol-simbol ini, dipelajari dan sengaja diabadikan dalam masyarakat melalui institusi-institusinya. Definisi yang lebih sederhana namun komprehensif memandang budaya sebagai 'cara hidup sekelompok orang—perilaku, kepercayaan, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima, umumnya tanpa memikirkannya, dan yang diwariskan melalui komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi berikutnya'. Perspektif yang lebih bernuansa, melihat budaya sebagai keterikatan makna, materialitas, dan praktik sosial. Definisi ini menekankan bahwa budaya melibatkan produksi dan konsumsi, dan bahwa maknanya bervariasi dan sering diperdebatkan.
Nilai-nilai budaya memainkan peran penting dalam membentuk pembangunan ekonomi. Nilai-nilai budaya mempengaruhi perilaku dan pembangunan ekonomi dengan membentuk sikap, nilai-nilai, dan keyakinan, yang memandu tindakan individu dan kolektif. Misalnya, norma-norma kultur yang terkait dengan kepercayaan, rasa hormat, dan penentuan nasib sendiri individu dapat merangsang interaksi sosial dan ekonomi, sementara kepatuhan dapat membatasi interaksi dan pembangunan ekonomi dengan mengurangi pengambilan risiko dan kewirausahaan. Nilai-nilai kultur dipandang sebagai landasan bagi pembangunan kelembagaan. Institusi itu anak-anak budaya, bermakna bahwa nilai-nilai budaya membentuk pembangunan lembaga, yang kemudian mempengaruhi perilaku masyarakat dan hasil ekonomi. Studi empiris, semisal yang menggunakan kumpulan data dari European Social Survey, telah menunjukkan bahwa dimensi budaya seperti hierarki, otonomi afektif, dan penguasaan dapat menghambat inovasi dan pembangunan ekonomi, sementara keterikatan, egalitarianisme, dan harmoni dapat mendorongnya.
Nilai-nilai kultural berpengaruh pada hasil ekonomi secara langsung dan tak langsung. Misalnya, kepercayaan dapat mengurangi biaya transaksi, sementara rasa hormat terhadap otoritas dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan ekonomi. Perubahan kultural sangat diperlukan bagi kemajuan masa depan di negara-negara terbelakang. Perubahan nilai dapat memfasilitasi penerapan praktik dan lembaga ekonomi baru, sehingga mendorong pembangunan ekonomi. Budaya berinteraksi dengan sistem ekonomi dengan cara yang kompleks. Budaya mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan, yang pada gilirannya memengaruhi hasil ekonomi. Selain itu, latar belakang kultural dapat mempengaruhi persetujuan dan efektivitas kebijakan ekonomi.

Serangan siber eksternal dapat mengganggu infrastruktur penting, membahayakan keamanan nasional, dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga. Perang informasi, semisal penyebaran disinformasi, dapat memunculkan kebingungan, memanipulasi opini publik, dan memperburuk perpecahan sosial.
Di era digital, serangan siber dan perang informasi merupakan alat ampuh, yang dapat digunakan aktor eksternal mengacaukan sebuah negara. Serangan siber dapat menargetkan infrastruktur vital semisal jaringan listrik, sistem keuangan, jaringan komunikasi, dan sistem transportasi. Gangguan di area ini, dapat menyebabkan kekacauan yang meluas, kerugian ekonomi, dan merusak kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah menyediakan layanan penting. Serangan siber dapat membahayakan data militer atau pemerintah yang sensitif, yang berpotensi mengungkap kerentanan dan memungkinkan musuh asing mengeksploitasinya. Hal ini dapat melemahkan kemampuan pertahanan nasional dan membuat negara menghadapi risiko yang lebih besar. Perang informasi melibatkan penyebaran disinformasi, propaganda, atau narasi yang menyesatkan secara sengaja mempengaruhi opini publik, menabur perselisihan, atau memanipulasi hasil politik. Dengan mempolarisasi wacana publik atau mendiskreditkan pemimpin politik, aktor eksternal dapat melemahkan kohesi sosial dan mengacaukan lingkungan politik.
Pada tahun 2016, pelaku Rusia melakukan serangan siber dan perang informasi yang bertujuan mempengaruhi pemilihan presiden AS. Mereka meretas email partai politik, menyebarkan disinformasi melalui media sosial, dan berupaya merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Upaya ini berkontribusi pada polarisasi politik, mengikis kepercayaan terhadap lembaga demokrasi, dan mengungkap kerentanan dalam sistem pemilu AS.

Ben Buchanan berpendapat bahwa serangan siber telah menjadi bagian normal dari geopolitik, menggunakan konsep semisal pensinyalan dan pembentukan guna menjelaskan bagaimana negara menggunakan serangan siber dalam menyampaikan maksud dan mempengaruhi hasil global. Buchanan berpendapat bahwa serangan siber tidak terutama digunakan untuk pensinyalan, yang melibatkan tindakan atau sinyal yang disengaja yang diambil oleh negara dalam mengkomunikasikan maksud atau kapasitasnya, mempengaruhi persepsi dan membentuk ekspektasi. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa kemampuan siber pada dasarnya tak sesuai bagi pensinyalan lantaran ketidakjelasannya dan kesulitan menghubungkan serangan dengan aktor tertentu. Ia menganjurkan kerangka konseptual yang didasarkan pada pembentukan, yang melibatkan upaya yang disengaja mengubah dinamika, norma, atau struktur sistem internasional menghasilkan hasil yang mendukung tujuan atau kepentingan strategis seseorang. Operasi siber dipandang sebagai alat membentuk geopolitik dengan mempengaruhi hasil global melalui spionase, serangan, dan destabilisasi.
Buchanan berpendapat bahwa serangan siber telah menjadi alat bagi para pembuat kebijakan memberi isyarat dan membentuk operasi. Serangan siber telah mengubah taktik mata-mata dan statecraft, menjadikannya bagian integral dari geopolitik modern. Serangan-serangan ini tak serusak yang diantisipasi tetapi lebih meluas dan lebih sulit dicegah, yang berdampak pada berbagai aspek masyarakat modern, termasuk perbankan, sistem teknologi dan kesehatan, serta demokrasi. Serangan siber merupakan bentuk baru persaingan geopolitik yang sesungguhnya, dimana negara yang paling jago meretas akan menang. Perspektif ini mengalihkan fokus dari peperangan tradisional ke logika strategis di balik operasi siber, yang menekankan peran mereka dalam membentuk dinamika global.

Richard A. Clarke dan Robert K. Knake menekankan bahwa dunia maya bukan sekadar media, melainkan domain yang perlu dipertahankan dan dikelola seperti domain lainnya. Ini termasuk memahami karakteristik uniknya dan ancaman yang ditimbulkannya. Istilah 'fifth domain' digunakan dalam menyoroti pentingnya dunia maya dalam peperangan modern dan keamanan nasional. Istilah ini menggarisbawahi perlunya pendekatan komprehensif untuk mempertahankan diri dari ancaman dunia maya, yang dapat menimbulkan konsekuensi signifikan di dunia nyata. Clarke dan Knake menganjurkan pendekatan pertahanan strategis yang berfokus pada ketahanan dan pencegahan. Hal ini melibatkan pembangunan sistem yang dapat menahan sebagian besar serangan dan meningkatkan biaya bagi penjahat dunia maya dan pelaku negara.
Clarke dan Knake merekomendasikan beberapa strategi keterlibatan diplomatik guna mengurangi ketegangan siber. Mereka menganjurkan membangun kemitraan dengan negara lain dalam mengatasi ancaman siber global secara kolektif. Pendekatan ini bertujuan membangun lingkungan kolaboratif tempat negara-negara bekerjasama meningkatkan keamanan siber dan mengurangi kemungkinan konflik siber. Clarke dan Knake menyarankan penggunaan saluran diplomatik dalam menyuarakan keprihatinan tentang aktivitas siber yang jahat kepada pemerintah asing. Jika pemerintah ini tak mau terbuka, tindakan diplomatik yang lebih koersif dapat digunakan membendung aktivitas siber jahat. Mereka menekankan pentingnya kemitraan internasional, khususnya dalam berbagi informasi teknis tentang serangan siber. Ini termasuk membangun kemitraan dengan militer asing dan terlibat dalam hubungan militer-ke-militer untuk meningkatkan kerjasama siber.
Clarke dan Knake menekankan bahwa ancaman serangan siber itu nyata dan akan segera terjadi, dengan konsekuensi yang signifikan bagi keamanan nasional, stabilitas ekonomi, dan keselamatan individu. Mereka menyoroti berbagai serangan siber ternama, semisal Stuxnet dan WannaCry, yang telah menunjukkan potensi ancaman siber untuk mengganggu infrastruktur penting dan menyebabkan kerusakan meluas. Mereka menekankan bahwa mengamankan dunia maya bukanlah hal yang mustahil, tetapi memerlukan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan. Mereka berpendapat bahwa yang hilang adalah konsensus nasional, kemauan, dan penetapan prioritas. Ini berarti bahwa para pembuat kebijakan harus bekerjasama lintas partai dan memprioritaskan keamanan siber sebagai isu kepentingan keamanan nasional.

Selanjutnya kita akan menjelajahi bentangan rumit ketergantungan ekonomi dan tekanan lingkungan, dimana pengejaran pertumbuhan yang tak kenal lelah seringkali mengorbankan peningkatan ekstraksi dan konsumsi sumber daya, yang memperburuk degradasi lingkungan. Biidznillah."
Di tengah latar belakang yang rumit ini, Cattleya lalu membacakan sebuah puisi sebagai pengingat pengalaman manusia,

Suara terluar berbisik, menggugat jalan,
Ideologi bertabrakan, struktur sosial terjatuh lunglai.
Dalam era digital, bayangan cyber mengintai,
Perang informasi, mengguncang kestabilan.
Kutipan & Rujukan:
- Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991, University of Oklahoma Press
- Samuel P. Huntington, Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, 2005, Simon & Schuster
- Lawrence E. Harrison & Samuel P. Huntington (Eds.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress, 2000, Basic Books
- Ben Buchanan, The Hacker and the State: Cyber Attacks and the New Normal of Geopolitics, 2020, Harvard University Press
- Richard A. Clarke & Robert K. Knake, The Fifth Domain: Defending Our Country, Our Companies, and Ourselves in the Age of Cyber Threats, 2019, Penguin Press
[Sesi 14]

Selasa, 27 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (12)

"Di negeri tempat bayang-bayang menari dan kisah-kisah berhayati, tinggallah Kunti, seorang tetua, dan seorang gadis belia, Srikandi. Pada suatu sore yang cerah, saat sinar keemasan menembus pepohonan tua, Kunti dan Srikandi duduk di tepi sungai, bayangan mereka berkilauan di permukaan air sungai.
'Bunda,' Srikandi memulai, 'mengapa kepercayaan amat penting, tapi sangat rapuh?'
Kunti berpikir sejenak dan berkata. 'Nah, anak gadis ayuku, kepercayaan itu ibarat sungai ini. Mengalir dengan lancar jika dipelihara, tapi bisa bergejolak jika terganggu.'
Srikandi, yang selalu ingin mendengar kisah, mencondongkan tubuhnya lebih dekat. 'Sampaikan lebih banyak, Bunda.'
Kunti tersenyum dan memulai kisahnya. 'Dahulu kala, di sebuah desa tak jauh dari sini, ada dua sahabat, Trust dan Distrust. Trust dicintai oleh semua orang, karena ia membawa keharmonisan dan keriangan kemana pun ia pergi. Orang-orang akan berbagi rahasia mereka dengannya, karena tahu ia akan menjaganya tetap aman.'

'Tapi Distrust,' lanjut Kunti, 'ceritanya beda. Ia selalu mengintai dalam bayang-bayang, membisikkan keraguan ke telinga orang. 'Bisakah engkau mempercayai tetanggamu?' katanya. 'Bagaimana kalau mereka mengkhianatimu?'
Srikandi terkekeh. 'Kelihatannya, Distrust seperti pembuat onar!'
'Memang,' Kunti mengangguk. 'Suatu hari, Distrust memutuskan mempermainkan penduduk desa. Ia membujuk pak lurah mencuri hasil panen semua orang. Kepanikan pun terjadi, dan penduduk desa mulai menyembunyikan hasil panen dan mengunci pintu-pintu mereka.'
'Trus, apa yang terjadi Bun?' tanya Srikandi, matanya terbelalak penuh harap.
'Terjadi ketidakpuasan di desa itu,' kata Kunti berbisik lembut. 'Tetangga saling berhenti berbicara, teman jadi musuh, dan masyarakat yang dulunya bersemangat berubah jadi tempat kecurigaan dan ketakutan. Ketidakpercayaan telah menabur benih ketidakpuasan, dan panennya pahit.' Srikandi menggelengkan kepalanya. 'Ngeri banget Bun! Apa keadaannya bisa jadi baik?'
'Nah,' mata Kunti berbinar. 'Butuh banyak usaha. Mereka akhirnya belajar bahwa kepercayaan menunjukkan kepada mereka, meskipun ketidakpercayaan dapat mendatangkan ketidakpuasan, kepercayaan dapat memulihkan keharmonisan.'
Srikandi tersenyum. 'Sekarang daku ngerti, Bun. Kepercayaan itu ibarat perekat yang menyatukan kita, sedangkan ketidakpercayaan itu, ganjalan yang memisahkan kita.'
'Tepat sekali, cantik,' kata Kunti sambil menepuk bahu Srikandi. 'Ingatlah pelajaran ini baik-baik, karena dalam tarian kehidupan, kepercayaan dapat memberimu usaha dan dukungan yang tulus, serta akan selalu menghadirkan pertunjukan yang lebih indah.'"

"Kita lanjutkan," kata Cattleya. "Tekanan eksternal dapat melemahkan negara dengan menimbulkan stres, ketidakstabilan, dan kerentanan dalam berbagai aspek struktur dan fungsi negara tersebut. Tekanan eksternal mengacu pada pengaruh, tindakan, atau kekuatan yang berasal dari luar  negara, yang dapat berdampak negatif pada stabilitas, keamanan, atau kekuatannya secara keseluruhan. Tekanan ini dapat berasal dari negara lain, organisasi internasional, aktor non-negara, atau tren global dan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, semisal tantangan ekonomi, politik, militer, budaya, atau lingkungan.
Tujuan tekanan eksternal ini, baik disengaja atau tidak, kerap untuk mempengaruhi kebijakan, perilaku, atau struktur negara dengan cara yang sejalan dengan kepentingan aktor eksternal, atau mengacaukan negara demi keuntungan strategis. Tekanan eksternal dapat mengeksploitasi kerentanan yang ada di dalam negara, memperburuk konflik internal, atau membuka tantangan baru yang akan sulit dikelola oleh negara secara efektif.

Ketika negara lain memberlakukan sanksi ekonomi atau pembatasan perdagangan, dapat menyebabkan tekanan keuangan, berkurangnya akses ke barang-barang penting, dan kemerosotan ekonomi. Hal ini dapat melemahkan ekonomi sebuah negara, yang berujung pada pengangguran, inflasi, dan keresahan sosial. Sanksi ekonomi adalah tindakan hukuman yang dijatuhkan oleh satu atau beberapa negara menekan sebuah negara agar mengubah perilaku atau kebijakan tertentu. Sanksi ini dapat mencakup embargo perdagangan, pembekuan aset, dan pembatasan transaksi keuangan. Sanksi dapat menyebabkan kemerosotan ekonomi yang parah dengan membatasi kemampuan sebuah negara mengekspor barang, mengakses modal asing, dan berpartisipasi dalam sistem keuangan internasional. Hal ini dapat menyebabkan inflasi, devaluasi mata uang, dan penurunan standar hidup. Dikala kondisi ekonomi memburuk, pengangguran dapat meningkat, dan masyarakat dapat mengalami kekurangan barang-barang penting, yang menyebabkan ketidakpuasan yang meluas. Keadaan ini dapat memicu protes, pemogokan, dan bentuk-bentuk keresahan sosial lainnya. Sanksi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kemerosotan industri, berkurangnya investasi asing, dan brain drain karena pekerja terampil mencari peluang di tempat lain. Seiring waktu, berakibat mengurangi ketahanan ekonomi sebuah negara dan daya saing global.
Iran telah menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan negara-negara lain atas program nuklirnya. Sanksi ini telah berdampak buruk pada ekonomi Iran, menyebabkan penurunan tajam dalam ekspor minyak, inflasi, dan devaluasi rial Iran. Kesulitan ekonomi yang diakibatkannya telah memicu keresahan dan protes sosial, sehingga melemahkan kewenangan dan stabilitas pemerintahannya.

Keterasingan diplomatik atau hubungan yang tegang dengan negara lain dapat mengurangi pengaruh negara di panggung global, membatasi aksesnya ke dukungan internasional, dan menghambat kemampuannya menegosiasikan persyaratan yang menguntungkan dalam perjanjian internasional. Hal ini dapat membuat negara tersebut rentan terhadap ancaman eksternal. Isolasi diplomatik terjadi ketika sebuah negara terpinggirkan atau dikecualikan dari organisasi internasional, aliansi, atau hubungan diplomatik. Tatkala sebuah negara terisolasi secara diplomatik, negara tersebut kehilangan kemampuannya membentuk kebijakan internasional dan melindungi kepentingannya di panggung global. Hal ini dapat menyebabkan hasil yang tak menguntungkan dalam negosiasi internasional, semisal kesepakatan perdagangan, pengaturan keamanan, atau perjanjian lingkungan. Isolasi diplomatik mengurangi akses sebuah negara terhadap bantuan, dukungan, dan kerjasama internasional. Pada saat krisis, semisal bencana alam atau konflik bersenjata, kurangnya dukungan internasional dapat memperburuk keadaan dan menghambat upaya pemulihan. Negara-negara yang terisolasi akan sulit membentuk aliansi atau koalisi guna mempertahankan diri dari ancaman eksternal. Hal ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap agresi atau campur tangan oleh kekuatan lain.
Korea Utara merupakan salah satu negara yang paling terisolasi secara diplomatik di dunia karena program senjata nuklirnya dan pelanggaran hak asasi manusia. Isolasi ini telah membatasi kemampuannya turut-serta dalam perdagangan internasional, menerima bantuan asing, atau berpartisipasi dalam lembaga global. Kurangnya hubungan diplomatik dan kemitraan ekonomi telah menjadikan Korea Utara bergantung pada beberapa sekutu, seperti China, dan telah berkontribusi terhadap stagnasi ekonomi dan kerentanan politik negara tersebut.

Ancaman militer eksternal, baik dalam bentuk agresi langsung atau konflik proksi, dapat menguras sumber daya negara, mengacaukan perbatasannya, dan menyebabkan hilangnya nyawa dan infrastruktur. Konflik yang berkepanjangan dapat melemahkan persatuan nasional dan melemahkan kemampuan pemerintah mempertahankan kendalinya. Ancaman militer, baik langsung maupun tak langsung, dapat berdampak besar pada stabilitas dan keamanan sebuah negara. Mempersiapkan diri atau turut dalam konflik militer memerlukan sumber daya keuangan dan manusia yang signifikan. Konflik berkepanjangan dapat menguras kas negara, mengganggu kegiatan ekonomi, dan mengakibatkan hilangnya nyawa dan infrastruktur. Konflik, terutama yang melibatkan kekuatan asing atau perang proksi, dapat mengganggu stabilitas kawasan, menggusur penduduk, dan menimbulkan kekosongan kekuasaan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan yang terus-menerus, karena faksi-faksi yang bersaing atau kekuatan asing bersaing untuk menguasai. Konflik militer juga dapat melemahkan persatuan nasional, terutama jika konflik tersebut tak populer atau jika ada perpecahan dalam masyarakat mengenai legitimasi perang. Perbedaan pendapat internal dapat melemahkan kemampuan pemerintah mempertahankan kendali dan menanggapi konflik secara efektif.
Ukraina telah menghadapi ancaman militer yang penting sejak aneksasi Rusia atas Krimea pada tahun 2014 dan konflik yang sedang berlangsung di Ukraina Timur. Perang tersebut telah menyebabkan hilangnya wilayah, pengungsian jutaan orang, dan kerugian ekonomi yang besar. Konflik tersebut telah menguras sumber daya Ukraina, mengganggu stabilitas lingkungan politik, dan melemahkan persatuan nasional, sehingga semakin mempersulit pemerintah melaksanakan reformasi dan membangun kembali perekonomian.

Robert A. Pape menyajikan konsepnya tentang koersi militer (military coercion) yang ia definisikan sebagai upaya mengubah perilaku sebuah negara dengan memanipulasi biaya dan manfaat melalui cara-cara kekerasan yang konkret atau potensial. Definisi ini menekankan bahwa paksaan (coercion) melibatkan perubahan posisi musuh dengan memanipulasi biaya dan manfaat, yang dapat mencakup ancaman kekerasan. Penetapan batas objeknya dalam ranah koersi terjadi melalui penambahan cara tindakan—kekerasan. Dengan demikian, koersi militer terdiri dari upaya mengubah posisi musuh dengan menggunakan cara-cara kekerasan yang konkret atau potensial. Koersi militer tak terjadi dalam ruang hampa, tetapi dalam konteks politik konflik keinginan. Pape membatasi studinya pada kasus-kasus dimana target diminta melepaskan kepentingan-kepentingan pentingmya.
Pape menyajikan koersi militer sebagai entitas yang berbeda dalam fenomena perang, terpisah dari tindakan perang. Tindakan koersi militer yang berhasil adalah tindakan yang mampu memperoleh konsesi yang diinginkan dari musuh yang memiliki cara untuk melawan. Potensi ancaman kekerasan yang menghasilkan hasil konkret dianggap sebagai bentuk koersi yang paling bersih. Pendekatan ini menekankan bahwa koersi dapat terjadi tanpa 'tindakan kekerasan' yang sebenarnya, tetapi dengan kekerasan yang ditahan dan digunakan sebagai ancaman.
Tindakan koersi militer yang berhasil akan menghasilkan konsesi yang diinginkan dari musuh, bahkan jika mereka memiliki cara untuk melawan. Sebaliknya, strategi militer tradisional sering kali bertujuan untuk meraih kemenangan langsung atau kekalahan total. Pape menganjurkan strategi penyangkalan, yang melibatkan penargetan strategi militer musuh untuk mencegah mereka mencapai tujuan mereka. Pendekatan ini lebih efektif daripada strategi hukuman, yang menargetkan warga sipil atau pemimpin dan sering menjadi bumerang dengan meningkatkan tekad musuh.
Pape mengkritik kebijakan konvensional tentang pengeboman strategis, dengan menyatakan bahwa pengeboman strategis sering menjadi bumerang dengan meningkatkan ketahanan dan loyalitas penduduk sipil. Ia berpendapat bahwa pengeboman strategis jarang memberikan hasil yang menentukan dan bahwa efektivitasnya acapkali diukur berdasarkan waktu penyerahan diri musuh. Pape menganjurkan agar mengintegrasikan kekuatan udara dan darat dengan cara 'hammer and anvil (palu dan paron)'. Ia meyakini bahwa operasi udara, darat, dan laut yang tersinkronisasi lebih mungkin menghasilkan kemenangan yang menentukan daripada hanya mengandalkan kekuatan udara. Pape menolak strategi pemenggalan kepala dan hukuman sebagai strategi yang tidak efektif. Pemenggalan kepala melibatkan penargetan kepemimpinan utama, yang menurutnya seringkali tak berhasil, sementara hukuman melibatkan pengenaan biaya pada penduduk sipil, yang menurutnya tak bermoral dan tak efektif.
Pape membahas berbagai teori kekuatan udara, termasuk penyangkalan (larangan melemahkan pasukan musuh), risiko (secara bertahap meningkatkan efek pengeboman), hukuman (menimbulkan rasa sakit pada warga sipil), dan pemenggalan kepala (serangan terhadap kepemimpinan utama). Gagasan Pape membantu para pembuat kebijakan memahami keterbatasan dan potensi kekuatan udara dalam mencapai tujuan strategis. Pape juga menantang kesalahpahaman umum tentang efektivitas pengeboman strategis dan menyoroti pentingnya mempertimbangkan konteks strategis yang lebih luas dimana kekuatan udara digunakan.

Mohamed ElBaradei mengkaji kompleksitas proliferasi nuklir, dengan fokus pada negara-negara semisal Irak, Korea Utara, dan Iran. ElBaradei membahas tantangan pemantauan dan pengendalian program nuklir, serta upaya mencegah penyebaran senjata nuklir. Ia menekankan bahwa keamanan nasional terkait dengan keamanan individu. Ia berpendapat bahwa pelucutan senjata sangat penting tetapi juga menyoroti perlunya komitmen universal terhadap martabat manusia, nilai-nilai demokrasi, dan bebas dari keinginan. Ia mengkritik standar ganda dalam hubungan internasional, khususnya dalam cara berbagai negara diperlakukan terkait program nuklir mereka. ElBaradei berpendapat bagi pendekatan yang lebih adil dan konsisten terhadap keamanan global.
ElBaradei berpendapat bahwa senjata nuklir harus didelegitimasi. Ini melibatkan pengembangan sistem keamanan alternatif yang tak bergantung pada pencegahan nuklir. Ia juga menekankan perlunya menyediakan langkah-langkah keamanan inklusif dimana negara-negara tak merasa terancam dan dengan demikian, tak perlu memperoleh senjata nuklir sebagai pencegahan. Ia menggarisbawahi bahwa keamanan negara terkait dengan keamanan individu. Ia menganjurkan komitmen universal terhadap martabat manusia, nilai-nilai demokrasi, dan kebebasan dari keinginan. Pendekatan ini penting untuk mengurangi faktor pendorong proliferasi nuklir, seperti ketidakstabilan, ketidakamanan, serta kesenjangan ekonomi dan sosial.

Penggunaan senjata nuklir akan menyebabkan kerusakan besar dan jangka panjang, termasuk kerusakan yang meluas, keracunan radiasi, dan dampak yang berpotensi menimbulkan bencana bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagian besar penelitian sepakat bahwa meledakkan senjata atom pada dasarnya tak bermoral karena efek-efek katastrofisnya. Penangkalan nuklir melibatkan risiko terhadap nyawa warga sipil yang tak bersalah, yang secara moral bermasalah. Ancaman pembalasan nuklir dapat menyebabkan situasi dimana warga sipil terjebak dalam baku tembak, sehingga penangkalan tak dapat diterima secara moral.
Penggunaan teknologi nuklir menimbulkan pertanyaan tentang penerimaan dan tanggungjawab publik. Dinyatakan bahwa proses teknologi harus tunduk pada pengawasan dan diskusi publik yang konstan agar memastikan bahwa proses tersebut melayani nilai-nilai kemanusiaan dan tak mengabaikannya. Alternatif etis penangkalan nuklir kerap dilihat sebagai pelucutan senjata bilateral, dimana kedua negara sepakat mundur dari senjata nuklir. Pendekatan ini bertujuan mengurangi risiko perang nuklir dan mendorong kerja sama internasional.
Cynthia C. Kelly menyajikan kompilasi wawasan dan catatan sejarah yang terkait dengan peran J. Robert Oppenheimer dalam Proyek Manhattan. J. Robert Oppenheimer memberikan kontribusi berarti bagi Proyek Manhattan, yang merupakan upaya penting selama Perang Dunia II, bertujuan mengembangkan bom atom pertama. Ia diangkat sebagai direktur ilmiah Proyek Manhattan pada tahun 1942. Oppenheimer mengumpulkan tim ilmuwan yang hebat, termasuk Enrico Fermi dan Richard Feynman, bekerjasama dalam proyek tersebut. Puncak upaya mereka adalah uji coba nuklir Trinity yang berhasil pada bulan Juli 1945, yang menandai ledakan pertama bom atom. Ia memilih dataran tinggi Los Alamos, dekat Santa Fe, New Mexico, sebagai lokasi laboratorium tempat proyek tersebut dilakukan. Pembuatan bom atom, di bawah kepemimpinan Oppenheimer, mengubah lanskap geopolitik global. Hal itu mengakhiri Perang Dunia II, namun menandai pula dimulainya Perang Dingin, mendefinisikan ulang hubungan internasional dan membangun iklim pencegahan.
Usai perang, Oppenheimer menjadi pendukung vokal pengendalian senjata nuklir internasional. Advokasinya merupakan bagian dari perdebatan pascaperang tentang penggunaan dan regulasi teknologi nuklir, meskipun juga dirusak oleh kontroversi dan tuduhan ketidaksetiaan. Oppenheimer merasa sangat bersalah tentang penciptaan bom atom. Ia sering merujuk pada legenda Prometheus, yang mencerminkan pengakuannya terhadap kejahatan dan pengetahuan lama tentangnya, yang menyertai kekuatan baru manusia. Rasa bersalah ini bukan hanya tentang penggunaan bom selama Perang Dunia II, melainkan pula tentang perlombaan senjata yang terjadi setelahnya dan ancaman terhadap peradaban yang ditimbulkannya. Ia dengan keras menentang pengembangan bom hidrogen, yang menurutnya lebih merusak daripada yang dapat dikendalikan manusia secara bertanggungjawab. Penentangan ini menempatkannya dalam konflik langsung dengan rekannya di Manhattan Project, Edward Teller, yang merupakan pendukung kuat H-bomb. Kode moral pribadinya rumit dan tak ditentukan oleh satu agama atau budaya. Ia mencari pertobatan atas kesalahan masa lalunya melalui berbagai teks keagamaan, termasuk Hinduisme, dan sangat berkonflik dengan dampak karyanya. Konflik moral batin ini, terus berlanjut hingga kematiannya, saat ia bergulat dengan pertanyaan akankah bom membawa kehidupan melalui tenaga nuklir atau kehancuran. Konflik-konflik ini menyoroti dilema etika dan politik yang dihadapi Oppenheimer, baik selama maupun setelah keterlibatannya dalam Proyek Manhattan. Keyakinan pribadinya tentang demokrasi, etika, dan penggunaan pengetahuan ilmiah yang bertanggungjawab, kerap berbenturan dengan realitas saat itu, menyebabkan tantangan-tantangan personal dan profesional yang berarti.

Robert D. Blackwill dan Jennifer M. Harris menyoroti integrasi strategis perangkat ekonomi ke dalam kebijakan luar negeri, dengan menekankan pentingnya memanfaatkan kekuatan ekonomi dalam mencapai tujuan geopolitik. Blackwill dan Harris menggambarkan bahwa penggunaan instrumen ekonomi mencakup berbagai perangkat semisal kebijakan perdagangan, kebijakan investasi, sanksi ekonomi dan keuangan, kebijakan siber, keuangan, dan moneter, serta energi dan komoditas sebagai 'geoekonomi.' Mereka mendefinisikan 'geoekonomi' sebagai penggunaan instrumen ekonomi dalam menggalakkan dan mempertahankan kepentingan nasional dan menghasilkan perolehan geopolitik yang menguntungkan. Definisi ini mencakup pula dampak tindakan ekonomi negara lain terhadap tujuan geopolitik sebuah negara. Geoekonomi bertujuan memajukan tujuan strategis negara melalui cara ekonomi, ketimbang hanya mengandalkan kekuatan militer. Tujuan utamanya ialah mencapai hasil geopolitik yang menguntungkan negara dengan menggunakan instrumen ekonomi ini.
Blackwill dan Harris berpendapat bahwa Amerika Serikat secara historis terlalu bergantung pada kekuatan militer daripada alat ekonomi dalam memajukan kepentingannya di luar negeri. Kelalaian ini telah menyebabkan kerugian bagi AS dalam persaingan geopolitik, khususnya melawan kekuatan yang sedang naik daun semisal China dan Rusia. Mereka merekomendasikan penggunaan posisi AS sebagai 'energy superpower (negara adikuasa energi)' guna membantu sekutu dan mengamankan kesepakatan perdagangan utama semisal Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP) untuk mengimbangi kebijakan geoekonomi China dan Rusia. Mereka berpendapat bahwa jika kebijakan AS tetap tak berubah, negara tersebut akan semakin bergantung pada kekuatan militer dalam melindungi kepentingannya, yang dapat menimbulkan biaya besar dalam bentuk darah dan harta.
Blackwill dan Harris menggarisbawahi meningkatnya penggunaan instrumen ekonomi dalam kebijakan luar negeri, yang merupakan tren dominan dalam geopolitik modern. Negara-negara memanfaatkan instrumen ekonomi dalam mencapai tujuan geopolitik, termasuk kebijakan perdagangan, sanksi, dan manipulasi energi, seperti yang terlihat dalam tindakan China dan Rusia. Mereka menekankan perlunya AS menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan penggunaan instrumen ekonomi dan keuangan yang lebih gencar. Hal ini penting karena negara-negara lain, terutama negara-negara yang tidak liberal, menggunakan strategi geoekonomi bagi keuntungan mereka.
Dengan tidak memanfaatkan instrumen ekonomi, AS berisiko kehilangan posisi sebagai kekuatan dunia. Negara-negara berkembang seperti China dan Rusia semakin menggunakan cara-cara geoekonomi, melemahkan pengaruh Amerika dan memajukan kepentingan mereka. AS akan terpaksa lebih mengandalkan kekuatan militer demi melindungi kepentingannya, yang dapat menimbulkan pengorbanan besar dalam bentuk darah dan harta. Ketergantungan yang berlebihan ini dapat menyebabkan risiko konflik militer yang lebih tinggi dan beban keuangan yang lebih besar. Tanpa strategi geoekonomi yang kuat, AS menjadi lebih rentan terhadap koersi ekonomi dari negara-negara lain. Ini dapat mencakup pembatasan perdagangan, sanksi, dan tindakan ekonomi lainnya yang dapat berdampak signifikan terhadap ekonomi AS.
Dengan tak mengintegrasikan instrumen ekonomi ke dalam kebijakan luar negerinya, AS kehilangan kesempatan untuk mencapai tujuan strategis melalui cara ekonomi. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya peluang diplomatik dan ekonomi yang dapat dimanfaatkan dalam memajukan kepentingan AS. Lapangan permainan geoekonomi global condong ke arah AS lantaran meningkatnya penggunaan instrumen ekonomi oleh negara-negara lain. Pergeseran ini dapat mengakibatkan AS berada pada posisi yang kurang menguntungkan dalam persaingan ekonomi dan keamanan internasional. AS akan sulit secara efektif melawan strategi geoekonomi yang digunakan oleh negara-negara yang sedang bangkit seperti China dan Rusia. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pengaruh dan kekuatan AS relatif terhadap negara-negara ini. Mengabaikan geoekonomi bagi AS, dapat menyebabkan hilangnya pengaruh global, meningkatnya ketergantungan militer, kerentanan ekonomi, hilangnya peluang strategis, lapangan permainan geoekonomi yang miring, respons yang tak memadai terhadap negara-negara yang sedang bangkit, dan konsekuensi ekonomi yang negatif.
Blackwill dan Harris menekankan pentingnya memanfaatkan instrumen ekonomi untuk mempengaruhi musuh dan mencapai tujuan strategis. Mereka berpendapat bahwa langkah-langkah ekonomi dapat menjadi instrumen pengaruh yang kuat, yang mampu membentuk hasil internasional tanpa harus menggunakan kekuatan militer. Akan tetapi, mereka tak menganjurkan pengabaian total kekuatan militer; sebaliknya, mereka menyarankan agar para pembuat kebijakan mempertimbangkan pendekatan yang lebih komprehensif yang mencakup statecraft ekonomi di samping alat-alat militer tradisional.
Penggunaan perangkat ekonomi bukan berarti harus meninggalkan kekuatan militer. Sebaliknya, hal itu menunjukkan pendekatan yang lebih bernuansa mencakup berbagai instrumen yang lebih luas guna mencapai tujuan strategis. Langkah-langkah ekonomi dapat menjadi perangkat yang ampuh dalam membentuk hasil internasional tanpa harus menggunakan kekuatan militer.

David A. Baldwin menyoroti pentingnya statecraft ekonomi sebagai alat yang ampuh dalam kebijakan luar negeri, yang mampu mempengaruhi hubungan internasional dengan cara yang kompleks dan beragam. Statecraft mengacu pada seni dan praktik menjalankan urusan negara, yang mencakup berbagai teknik dan strategi yang digunakan oleh pemerintah guna mencapai tujuan kebijakan luar negeri mereka. Ini melibatkan penggunaan kekuatan dan pengaruh yang terampil mengelola hubungan internasional, yang kerap mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu semisal ekonomi, politik, psikologi, filsafat, sejarah, hukum, dan sosiologi. Statecraft telah dipraktikkan sepanjang sejarah, dengan contoh-contoh penting termasuk boikot perdagangan Athena kuno dan sanksi modern.
David A. Baldwin membedakan statecraft ekonomi dari bentuk-bentuk statecraft lainnya dengan mendefinisikannya sebagai 'upaya pengaruh pemerintah, yang mengandalkan sumber daya, terutama yang memiliki kemiripan yang wajar dengan harga pasar dalam bentuk uang'. Definisi luas ini mencakup berbagai alat ekonomi yang digunakan mempengaruhi aktor internasional lainnya, termasuk bantuan luar negeri, kebijakan perdagangan, dan sanksi. Statecraft ekonomi bergantung pada sumber daya yang memiliki harga pasar, semisal uang, perdagangan, dan arus modal. Baldwin mendefinisikan statecraft ekonomi sebagai upaya pengaruh, yang bermakna bahwa hasil yang diinginkan tak harus terbatas pada istilah ekonomi. melainkan dapat mencakup dampak strategis dan politik yang lebih luas. Ia membagi statecraft ekonomi menjadi dua kategori besar: sanksi negatif (hukuman aktual atau yang mengancam) dan sanksi positif (hadiah aktual atau yang dijanjikan). Baldwin menantang pandangan konvensional bahwa alat ekonomi kebijakan luar negeri tak berfungsi, dengan menyatakan bahwa kegunaannya telah diremehkan secara sistematis karena ketidakcukupan dalam kerangka analitis.
Baldwin berpendapat bahwa kegunaan teknik ekonomi statecraft telah diremehkan secara sistematis. Hal ini karena kerangka analitis tradisional memiliki kekurangan yang menyebabkan estimasi yang keliru atas efektivitasnya. Ia mendefinisikan statecraft ekonomi secara luas tak semata mencakup sarana ekonomi, melainkan pula upaya pengaruh yang lebih luas, yang ditujukan membentuk perilaku negara lain. Hasil yang diinginkan dari statecraft ekonomi tak harus terbatas pada istilah ekonomi. Sebaliknya, dikonseptualisasikan sebagai 'upaya pengaruh,' yang berarti nerupaya mempengaruhi perilaku negara lain dengan cara apa pun, ekonomi atau lainnya.
Statecraft ekonomi adalah cara yang digunakan negara dalam mempengaruhi negara lain. Dengan menggunakan alat ekonomi semisal bantuan luar negeri, kebijakan perdagangan, dan sanksi, negara dapat membentuk perilaku negara lain, dan dengan demikian, mempengaruhi kekuatan nasional mereka. Statecraft ekonomi sering digunakan dalam proses tawar-menawar. Negara menggunakan cara ekonomi bernegosiasi dengan negara lain, yang dapat menyebabkan perubahan dalam dinamika kekuatan nasional. Contohnya, menawarkan bantuan luar negeri atau menjatuhkan sanksi dapat digunakan mempengaruhi perilaku negara lain. Perdagangan luar negeri dan bantuan luar negeri merupakan alat penting dalam statecraft ekonomi. Alat-alat ini dapat digunakan memperkuat atau melemahkan posisi ssebuah negara dalam hubungan internasional, dengan demikian mempengaruhi kekuatan nasionalnya.
Baldwin juga membahas moralitas dan legalitas statecraft ekonomi. Ia berpendapat bahwa meskipun sanksi dan penghargaan ekonomi dapat berdampak signifikan pada kekuatan nasional, sanksi dan penghargaan tersebut harus digunakan secara etis dan legal guna menghindari konsekuensi yang tak diinginkan. Legalitas sanksi ekonomi unilateral menjadi subjek banyak perdebatan dan perbedaan pendapat dalam bidang hukum internasional. Sanksi ekonomi dapat menimbulkan biaya kemanusiaan yang signifikan, termasuk kekurangan gizi, kurangnya perawatan medis darurat, dan perampasan kebutuhan dalam bertahan hidup. Sanksi ekonomi juga dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi populasi yang rentan seperti bayi, orang tua, dan orang sakit. Meskipun tidak efektif dalam mengubah perilaku, sanksi ekonomi punya fungsi simbolis. Sanksi ekonomi menandakan perilaku etis yang dapat diterima dan tidak, membantu membangun norma-norma baru tentang kepercayaan dan perilaku dari waktu ke waktu. Fungsi simbolis ini sangat penting bagi tindakan dan simbol etika dalam membentuk praktik normatif.
Penggunaan sanksi ekonomi menimbulkan dilema etika karena potensi kerugian warga sipil yang besar. Langkah-langkah yang diambil guna meminimalkan kerugian warga sipil kerap tak konsisten dengan sifat sanksi ekonomi, yang secara inheren melibatkan kerusakan ekonomi yang dapat menghancurkan penduduk sipil. Moralitas negara ekonomi bersinggungan dengan legalitasnya. Sementara beberapa pihak berpendapat bahwa negara punya kebebasan ekonomi yang inheren dalam mengubah hubungan mereka, termasuk mengenakan sanksi, pihak lain berpendapat bahwa tindakan koersif, melanggar hukum. Moralitas sanksi sering diperdebatkan dalam hal dampaknya terhadap warga sipil yang tak bersalah dan prediktabilitas hasilnya.

Kita masih lanjut membincangkan tekanan eksternal, yang meliputi pengaruh budaya dan ideologis, serangan siber, perang informasi, ketergantungan ekonomi, dan tekanan lingkungan. Biidzinillah."
Setelah itu, Cattleya melantunkan tembangnya Sting bertajuk Russian,

How can I save my little boy from Oppenheimer's deadly toy?
[Bagaimana ku bisa menyelamatkan bocah kecilku dari boneka mematikan Oppenheimer?]
There is no monopoly on common sense
[Tiada monopoli pada akal sehat]
On either side of the political fence
[Di kedua sisi pagar politik]
We share the same biology, regardless of ideology
[Kita berbagi biologi yang sama, tanpa memandang ideologi]
Kutipan & Rujukan:
- Robert D. Blackwill and Jennifer M. Harris, War by Other Means: Geoeconomics and Statecraft, 2016,  Belknap Press 
- Robert A. Pape, Bombing to Win: Air Power and Coercion in War, 1996, Cornell University Press
- Mohamed ElBaradei, The Age of Deception: Nuclear Diplomacy in Treacherous Times, 2011, Bloomsbury Publishing
- Cynthia C. Kelly (Ed.), Oppenheimer and the Manhattan Project, 2006, World Scientific Publishing 
- David A. Baldwin, Economic Statecraft, 2020, Princeton University Press