Kamis, 22 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (7)

"Sebelum khalayak dapat mengenali siapa sosok misterius itu, yang muncul di cakrawala dengan jubah berkilauan bagaikan bola disko, doi ngeluarin surat yang penuh dengan omon-omon birokrasi. Doi membacanya dengan lantang dalam bahasa yang terdengar seperti campuran antara aksara kuno dan karaoke rusak.
Dengan jentikan dramatis jarinya, tembok yang susut mendadak hidup, menjepit Lembusura dalam keadaan amat terdesak tak terbayangkan—separuh tubuhnya terjuntai di atas tembok, setengah lagi terjepit di belakangnya. Lembusura kini menjadi korban malang tembok paling norak di dunia.

Para hadirin ternganga kaget, rahang mereka hampir menyentuh lantai. Setelah beberapa saat terdiam, mereka tersadar dan mulai berteriak, 'Ini jebakan! Ini konyol! Ayo kita tangkap orang itu!'
Berbekal apa pun yang dapat mereka temukan—popcorn, gelas soda, dan bahkan beberapa sepatu—para khalayak meluncurkan serangan dadakan mereka ke arah sosok misterius itu. Doi langsung tinggal glanggang colong playu, menghindari hujanan makanan ringan dan hinaan.
Namun hiruk-pikuk tak berhenti di situ. Dipicu oleh amarah dan popcorn yang campuraduk, orang-orang memutuskan mengambil tindakan sendiri. Mereka berkumpul di luar tempat itu, mengibarkan tanda-tanda protes dadakan yang bertuliskan, 'Turunkan Tembok Norak!' dan 'Keadilan Sosial untuk Semua!' Teriakan 'Kesetaraan dan Keadilan!' menggema di jalanan saat mereka berbaris, bertekad menarik perhatian pada absurditas yang baru saja mereka saksikan dan menuntut keadilan bagi semua, bukan hanya buat Lembusura.

Pengamat di sisi lapangan tak dapat menahan diri berkomentar tentang keadaan tersebut. Seseorang berkata sambil menggelengkan kepala, 'Keputusan ini hanya menguntungkan segelintir orang.' Yang lain menambahkan, 'Selalu sama—yang berkuasa selalu lolos, kita yang menderita.'
Yang lain ikut berkomentar dengan lebih lucu. 'Andai aja gua bawa peluncur popcorn!' seru seseorang, jelas menyesali kurangnya persiapan mereka. Yang lain, sambil ngunyah camilan, berkata, 'Ini protes atau perang makanan yaq? Tapi okelah, gua ikutan!' Seseorang menyarankan, 'Lain kali, kita jebak doi dengan marshmallow raksasa. Jauh lebih enak.' Di tengah tawa, seorang pengamat mencatat, 'Gua belum pernah ngeliat drama sekolosal ini sejak reuni keluarga terakhir gua!' Dan akhirnya, suara dari belakang berteriak, 'Semoga saja kita bisa menyelesaikan semua masalah ini dengan popcorn dan gelas soda.'
Lalu, seorang pengamat yang amat skeptis menambahkan, 'Barangkali, semua ini hanya pengalihan mempercepat penebangan pohon beringin!' Komentar ini memicu gelombang baru bisikan dan teori konspirasi di antara kerumunan. Pengamat lain menimpali, 'Dan kita butuh gelombang besar menegakkan keadilan sosial di kerajaan ini.'

Sementara itu, di bagian lain kerajaan, utusan raja telah berhasil menguasai pohon beringin purba, simbol ketahanan dan sejarah. Aksi utusan itu disambut dengan reaksi beragam, ada yang memuji langkah tersebut sebagai hal yang diperlukan dan yang lain mengecamnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
Apa yang terjadi selanjutnya? Akankah para khalayak berhasil menegakkan keadilan? Bisakah Lembusura dibebaskan dari cengkeraman tembok norak itu? Dan bagaimana nasib pohon beringin? Nantikan episode mendebarkan berikutnya dari 'Tembok Norak'!"

"Sekarang mari kita lanjutkan," kata Cattleya. "Ketidakstabilan politik memunculkan serangkaian efek negatif yang merusak fondasi kekuatan sebuah negara, termasuk ekonomi, tatanan sosial, lembaga, dan keamanannya. Negara-negara yang menghadapi ketidakstabilan politik internal lebih rentan terhadap ancaman eksternal, seperti intervensi asing, eksploitasi oleh negara lain, atau bahkan terorisme. Ketidakstabilan dapat dilihat sebagai peluang bagi aktor eksternal semakin melemahkan atau mempengaruhi negara demi kepentingan mereka. Ketidakstabilan politik sering menyebabkan pemerintahan yang tak konsisten dan melemahnya supremasi hukum. Dikala pemerintahan kerap berubah atau tidak stabil, kebijakan dapat menjadi tidak menentu, dan penegakan hukum tak konsisten. Somalia telah mengalami ketidakstabilan politik selama beberapa dekade, tanpa adanya pemerintahan pusat yang efektif sejak runtuhnya rezim Siad Barre pada tahun 1991. Ketidakstabilan ini telah menyebabkan runtuhnya supremasi hukum, yang memungkinkan panglima perang, kelompok militan seperti Al-Shabaab, dan bajak laut berkembang biak. Pemerintahan yang kurang stabil telah mempersulit penegakan hukum, melindungi warga negara, atau menyediakan layanan dasar, yang mengakibatkan kekacauan dan pelanggaran hukum yang meluas.
Ketidakstabilan dalam pemerintahan dapat menimbulkan lingkungan ekonomi yang tak dapat diprediksi. Investor, baik domestik maupun internasional, cenderung menghindari kawasan yang tidak stabil karena risiko yang terkait dengan kebijakan yang berfluktuasi, potensi konflik, atau salah urus ekonomi. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya foreign direct investment (FDI), pelarian modal, dan kemerosotan ekonomi secara keseluruhan. Ketidakstabilan politik menimbulkan ketidakpastian ekonomi karena para pelaku bisnis dan investor tak yakin tentang masa depan kebijakan, peraturan, dan kepemimpinan negara tersebut. Ketidakpastian ini menghambat investasi, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat, pelarian modal, dan terkadang bahkan keruntuhan ekonomi. Venezuela telah menderita ketidakstabilan politik yang parah, terutama di bawah kepemimpinan Nicolás Maduro. Krisis politik, yang ditandai dengan pemilihan umum yang disengketakan, protes, dan sanksi internasional, telah menyebabkan hiperinflasi, jatuhnya mata uang nasional, dan penurunan signifikan dalam investasi asing. Ketidakpastian ekonomi telah mengakibatkan salah satu krisis ekonomi terburuk dalam sejarah negara tersebut, dengan jutaan warga negara meninggalkan negara tersebut mencari peluang yang lebih baik.
Sistem politik yang stabil sangat penting bagi pengembangan dan pemeliharaan lembaga nasional yang kuat, seperti peradilan, militer, dan layanan sipil. Bila ketidakstabilan politik terjadi, lembaga-lembaga ini dapat menjadi terpolitisasi atau melemah, sehingga mengurangi efektivitasnya dalam menjaga ketertiban dan menyediakan layanan publik. Sistem politik yang stabil diperlukan bagi pengembangan dan pemeliharaan lembaga-lembaga nasional yang kuat. Ketidakstabilan politik sering menyebabkan politisasi atau pelemahan lembaga-lembaga ini, sehingga mengurangi efektivitasnya. Irak telah menghadapi ketidakstabilan politik sejak invasi AS pada tahun 2003 dan penggulingan rezim Saddam Hussein berikutnya. Ketidakstabilan tersebut menyebabkan melemahnya lembaga-lembaga nasional, termasuk militer, peradilan, dan pegawai negeri. Akibatnya, lembaga-lembaga ini kesulitan memerintah, menyediakan keamanan, atau memberikan layanan secara efektif, yang berkontribusi terhadap kekerasan, korupsi, dan ketegangan sektarian yang terus berlanjut.
Negara-negara yang menghadapi ketidakstabilan politik internal lebih rentan terhadap ancaman eksternal, semisal intervensi asing, eksploitasi oleh negara lain, atau bahkan terorisme. Ketidakstabilan dapat dilihat sebagai peluang bagi aktor eksternal semakin melemahkan atau mempengaruhi negara demi kepentingan mereka sendiri. Ukraina telah menghadapi ketidakstabilan politik, khususnya sejak aneksasi Krimea oleh Rusia pada tahun 2014 dan konflik di Ukraina Timur dengan separatis yang didukung Rusia. Ketidakstabilan politik dan perpecahan di Ukraina telah membuatnya rentan terhadap ancaman eksternal, termasuk intervensi militer asing dan serangan siber. Konflik yang sedang berlangsung telah melemahkan kedaulatan Ukraina dan membuatnya terus-menerus menghadapi tekanan eksternal.
Ketidakstabilan politik kerap mengganggu layanan sosial semisal pendidikan, layanan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Hal ini menyebabkan memburuknya indikator pembangunan manusia, seperti tingkat literasi yang lebih rendah, tingkat kematian yang lebih tinggi, dan harapan hidup yang lebih rendah, sehingga melemahkan potensi keseluruhan negara. Yaman telah mengalami perang saudara sejak 2015, yang menyebabkan ketidakstabilan politik yang parah. Konflik tersebut telah menghancurkan infrastruktur negara tersebut, termasuk sekolah, rumah sakit, dan fasilitas air. Akibatnya, Yaman mengalami krisis kemanusiaan, dengan jutaan orang menghadapi kelaparan, kurangnya akses ke layanan kesehatan, dan pendidikan yang terganggu. Perang tersebut telah secara signifikan menghambat pembangunan manusia Yaman, dengan anak-anak menjadi yang paling terkena dampaknya.

Ketidakstabilan politik kerap memicu social unrest (keresahan sosial), karena berbagai faksi atau kelompok dalam sebuah negara merasa terpinggirkan atau tertindas. Hal ini dapat menyebabkan protes, pemogokan, atau bahkan perang saudara, yang selanjutnya mengganggu stabilitas negara dan mengurangi kualitas hidup warga negaranya. Ketidakstabilan politik dapat memperburuk perpecahan sosial, yang menyebabkan keresahan dan terkadang konflik kekerasan. Keresahan ini sering berasal dari kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau tertindas oleh pemerintah yang berkuasa atau faksi-faksi dalam negara tersebut. Arab Spring dimulai pada tahun 2010 ketika ketidakstabilan politik yang meluas dan ketidakpuasan terhadap rezim otoriter menyebabkan protes dan revolusi di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. Di negara-negara seperti Libya, penggulingan Muammar Gaddafi menyebabkan kekosongan kekuasaan, yang mengakibatkan perang saudara berkelanjutan, fragmentasi negara, dan keresahan sosial yang parah hingga belakangan ini.
Keresahan sosial merujuk pada keadaan dimana sekelompok besar orang dalam masyarakat mengekspresikan ketidakpuasan, frustrasi, atau kemarahan terhadap pemerintah, lembaga, atau struktur sosial lainnya. Keresahan ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk, semisal protes, pemogokan, demonstrasi, kerusuhan, atau bentuk pembangkangan sipil lainnya. Penyebab keresahan sosial dapat beragam, termasuk ketimpangan ekonomi, korupsi politik, pelanggaran hak asasi manusia, ketegangan etnis atau agama, dan ketidakadilan yang dirasakan.

Ketika terdapat kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin, dapat menyebabkan frustrasi dan kebencian di antara mereka yang merasa tertinggal. Ketimpangan ekonomi kerap terwujud dalam akses yang tak merata terhadap sumber daya dasar semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan perumahan. Tingkat pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan kaum muda, dapat menyebabkan perasaan putus asa dan terpinggirkan. Hal ini dapat menjadi motivator yang kuat terhadap protes dan bentuk-bentuk keresahan sosial lainnya. Kenaikan harga tanpa kenaikan upah yang sesuai dapat membebani kemampuan penduduk memenuhi kebutuhan dasar, yang menyebabkan protes atas isu-isu semisal harga pangan, biaya bahan bakar, dan keterjangkauan perumahan.
Dikala pemimpin atau lembaga politik dianggap korup, kepercayaan terhadap pemerintah pun terkikis. Warga akan merasa bahwa pemimpin mereka memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan masyarakat, yang berujung pada protes menuntut transparansi dan akuntabilitas. Dalam masyarakat dimana orang merasa dikecualikan dari proses politik atau dimana pemilihan umum dianggap curang, keresahan sosial dapat muncul sebagai cara menuntut pemerintahan yang lebih inklusif dan adil.
Pemerintah yang menggunakan tindakan represif, semisal penyensoran, penangkapan sewenang-wenang, atau tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, kerap menghadapi reaksi keras. Keresahan sosial dapat muncul manakala orang menuntut hak dan kebebasan dasar. Diskriminasi etnis, agama, atau ras dapat menyebabkan ketegangan dan keresahan sosial, terutama jika kelompok minoritas merasa tertindas atau terpinggirkan secara sistematis oleh negara atau penduduk mayoritas. Dalam masyarakat multietnis atau multiagama, ketegangan berbasis identitas dapat menyebabkan keresahan, terutama jika satu kelompok merasa bahwa identitas atau budayanya terancam. Terkadang, keresahan sosial dapat didorong oleh bentrokan antara generasi yang berbeda, terutama ketika orang yang lebih muda merasa bahwa nilai-nilai dan aspirasi mereka tidak terwakili atau dihormati oleh generasi yang lebih tua yang berkuasa.
Persaingan atas sumber daya yang langka seperti air, tanah, dan energi dapat menyebabkan konflik, terutama di wilayah-wilayah yang sumber dayanya sangat penting bagi kelangsungan hidup. Perusakan lingkungan, baik melalui polusi industri, penggundulan hutan, atau perubahan iklim, dapat menyebabkan keresahan sosial, terutama ketika masyarakat setempat merasa bahwa mata pencaharian dan kesehatan mereka terancam. Peristiwa semisal krisis keuangan, guncangan harga komoditas, atau gangguan perdagangan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, yang memicu keresahan sosial karena orang bereaksi terhadap hilangnya pendapatan atau pekerjaan secara tiba-tiba. Globalisasi dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan di industri tertentu, stagnasi upah, dan perubahan budaya yang mungkin ditolak oleh beberapa segmen masyarakat, yang menyebabkan ketegangan dan keresahan sosial.
Gerakan populis kerap muncul sebagai respons terhadap elit atau lembaga yang dipandang korup dan dapat menyebabkan keresahan sosial karena gerakan ini memobilisasi sebagian besar penduduk. Ketika sebagian besar penduduk mengadopsi ideologi revolusioner yang menantang tatanan sosial yang ada, dapat menyebabkan pemberontakan, revolusi, dan bentuk keresahan sosial lainnya.
Terkadang, sebuah peristiwa, semisal penembakan polisi, skandal pemerintah, atau bencana alam, dapat menjadi katalisator yang memicu keresahan sosial. Kejadian-kejadian ini sering menyentuh akar permasalahan, yang menyebabkannya meledak di hadapan publik. Jika jaring pengaman sosial tak mampu melindungi populasi yang paling rentan, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan keresahan yang meluas, terutama pada masa krisis atau kemerosotan ekonomi. Kurangnya kepercayaan pada sistem hukum dalam menegakkan keadilan, dapat menyebabkan orang-orang turun ke jalan menuntut keadilan, terutama dalam kasus kejahatan besar atau korupsi.

Ketidakstabilan politik mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga dan pemimpin pemerintah. Disaat warga negara kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemerintah mereka mengelola negara secara efektif, mereka akan tak peduli, sinis, atau bahkan bermusuhan terhadap negara. Hal ini dapat mengakibatkan partisipasi warga negara yang lebih rendah, kepatuhan yang lebih rendah terhadap hukum, dan berkurangnya rasa persatuan nasional. Brasil telah mengalami serangkaian skandal politik dan kasus korupsi, terutama investigasi 'Operasi Cuci Mobil', yang menyebabkan pemakzulan Presiden Dilma Rousseff pada tahun 2016. Ketidakstabilan politik yang terjadi setelahnya telah mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah, dengan banyak warga Brasil menjadi kecewa dengan sistem politik. Erosi kepercayaan ini telah memicu protes, penurunan jumlah pemilih, dan peningkatan polarisasi politik.
Keresahan sosial dan terkikisnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat berujung pada pembangkangan sosial (social disobidience). Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada kemampuan atau kemauan pemerintah menangani masalah mereka, akan merasa terpaksa mengambil tindakan sendiri, yang dapat terwujud dalam berbagai bentuk pembangkangan, semisal protes, pemogokan, dan bentuk perlawanan sipil lainnya. Pembangkangan sosial merujuk pada penolakan publik yang aktif, dan kolektif mematuhi hukum, peraturan, atau arahan pemerintah tertentu yang dianggap tidak adil, tidak wajar, atau tidak sah. Pembangkangan sosial merupakan bentuk protes atau perlawanan dimana individu atau kelompok menentang otoritas negara atau norma sosial, biasanya dengan cara yang tak disertai kekerasan, meskipun terkadang dapat meningkat menjadi tindakan yang lebih konfrontatif.
Jika sebagian besar masyarakat meyakini bahwa pemerintah tidak adil atau korup, mereka akan lebih cenderung melakukan pembangkangan sipil sebagai bentuk protes. Perjuangan ekonomi sering memperburuk perasaan ketidakadilan dan ketidakpercayaan. Manakala orang menghadapi pengangguran, kenaikan biaya, atau kesulitan ekonomi lainnya, mereka akan menyalahkan pemerintah, yang menyebabkan keresahan.
Bila pemerintah tak mampu berkomunikasi secara efektif atau transparan dengan publik, hal itu dapat menyebabkan kesalahpahaman, misinformasi, dan semakin terkikisnya kepercayaan. Gerakan sosial, terutama yang terorganisasi dengan baik dan berpesan yang jelas, dapat membangkitkan sentimen publik dan mendorong tindakan pembangkangan terhadap apa yang dianggap sebagai pemerintah yang tidak adil.
Dalam masyarakat dengan sejarah otoritarianisme atau dimana terdapat budaya perlawanan yang kuat, pembangkangan sosial dapat lebih mungkin terjadi ketika kepercayaan publik terhadap pemerintah terkikis.
Pembangkangan sosial dapat bersifat damai dan tidak damai, dan hasilnya dapat bervariasi. Dalam beberapa kasus, dapat mengarah pada perubahan dan reformasi yang positif, sedangkan dalam kasus lain, dapat mengakibatkan meningkatnya penindasan atau ketidakstabilan.

Kita telah menyinggung tentang guncangan ketidakstabilan politik; selanjutnya, mari kita selami bayang-bayang kemerosotan ekonomi. Biidznillah."
Setelah itu, Cattleya menghiasi kita dengan pembacaan puisinya yang menyentuh hati,

Di jalanan suara menggema lantang,
Kepercayaan pada pemimpin hilang.
Janji yang dulu terang, kini jadi debu,
Hati bangsa, dikhianati janji palsu.
Kutipan & Rujukan:
- Aleksandar S. Jovanović, Ortwin Renn & Regina Schröter, Social Unrest, 2012, OECD
- Lorenzo Bosi, Marco Giugni & Katrin Uba (Eds.), The Consequences of Social Movements, 2016, Cambridge University Press
- David S. Meyer, Nancy Whittiern & Belinda Robnett, Social Movements: Identity, Culture, and the State, 2002, Oxford University Press
- James DeFronzo, Revolutions and Revolutionary Movements, 2015, Westview Press