Selasa, 13 Agustus 2024

Ocehan Seruni (42)

"Di istana megah Lojitengara yang belum rampung, rapat kabinet pertama sedang berlangsung. Prabu Kanthong Bolong, dengan wajah serius, mengumumkan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) telah anjlok di bawah 50. Para pengamat menyalahkan hal-hal mulai dari kendala rantai pasokan hingga masalah ketenagakerjaan dan tekanan biaya. Namun, siapa yang peduli tentang hal itu manakala ada juicer gossip?
Muncullah Menteri Bagaspati, sang bintang pertunjukan. Saat di fetakompli dihadapan sang Prabu akankah ia meneruskan pembangunan istana, ia berpikir dan dengan hati-hati menyatakan, 'Wah, tentu saja! Pasti bagus dalam 5-6 tahun ke depan. Saya kan investor di sini. Business is business!' Alis sang prabu melengkung hingga bisa menyaingi drama sinetron apa pun, walakin tampak puas.
Tapi tunggu dulu, masih ada lagi! Menteri Bagaspati akhir-akhir ini jadi media's darling, bukan karena ketajaman politiknya, tapi oleh pertemuan rahasianya dengan seorang anggota keluarga Eropa yang berpengaruh. Awak media tentu saja gak diundang, karena siapa yang butuh transparansi?
Jadi, seorang ahli strategikah Menteri Bagaspati atau hanyalah orang yang seperti sebelum-sebelumnyanya? Para wasit masih belum memutuskan, tapi satu hal yang pasti—kerajaan Lojitengara gak pernah kehabisan entertainment!"
[Disclaimer: Narasi ini karya satire. Segala kemiripan dengan kejadian sebenarnya atau dari orang sungguhan, murni kebetulan]

"Perpajakan merupakan sumber pendapatan utama pemerintah. Pendapatan ini digunakan membiayai layanan publik, infrastruktur, pertahanan, dan program sosial yang sangat penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah yang kuat dan punya dana yang cukup, dapat berpengaruh di dalam negeri, sehingga menjamin stabilitas dan pembangunan ekonomi," kata Seruni sembari memperhatikan sebungkus garam yang disebut-sebut berpotensi dikenakan pajak.

"Kebijakan perpajakan dapat digunakan mengarahkan sumber daya ke sektor-sektor strategis, semisal teknologi, pendidikan, dan infrastruktur, yang meningkatkan daya saing ekonomi negara. Dengan mendorong inovasi dan produktivitas melalui kebijakan pajak yang menguntungkan, negara dapat meningkatkan pengaruh ekonomi globalnya dengan menjadi pemimpin dalam industri-industri utama. Insentif pajak, semisal tarif pajak perusahaan yang lebih rendah, dapat menarik investasi asing, yang selanjutnya memperkuat ekonomi negara dan meningkatkan pengaruhnya. Negara-negara dengan lingkungan pajak yang menguntungkan kerap menjadi pusat bagi perusahaan-perusahaan multinasional, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengaruh global.

Kebijakan Perpajakan dan Kebijakan Fiskal merupakan konsep yang saling terkait tapi beda. Kebijakan Perpajakan secara khusus mengacu pada pendekatan pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan melalui pajak. Kebijakan ini mencakup keputusan tentang tarif pajak, basis pajak, dan jenis pajak yang dikenakan (misalnya, pajak penghasilan, pajak perusahaan, pajak penjualan). Tujuan utamanya menghasilkan pendapatan bagi pengeluaran pemerintah. Kebijakan Fiskal merupakan terma yang lebih luas, yang mencakup seluruh tindakan pemerintah yang terkait dengan pengeluaran dan perpajakan. Kebijakan fiskal bertujuan mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan dengan menyesuaikan tingkat pengeluaran pemerintah dan tarif pajak untuk mengelola pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi, dan mengurangi pengangguran. Sementara kebijakan perpajakan merupakan komponen kebijakan fiskal, kebijakan fiskal mencakup keputusan perpajakan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan melalui berbagai mekanisme. Ketika pemerintah meningkatkan pengeluaran infrastruktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan, dapat menstimulir aktivitas ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan permintaan barang dan jasa. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, terutama selama periode penurunan ekonomi.
Perubahan tarif pajak dapat mempengaruhi pendapatan dan konsumsi yang dapat dibelanjakan. Misalnya, menurunkan pajak penghasilan dapat meningkatkan pengeluaran rumah tangga, sementara pajak perusahaan yang lebih tinggi dapat mengurangi investasi bisnis. Keseimbangan antara efek-efek ini dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Menjalankan defisit anggaran (pengeluaran lebih banyak daripada pendapatan) dapat merangsang ekonomi dalam jangka pendek dengan menyuntikkan lebih banyak uang ke dalam ekonomi. Namun, defisit jangka panjang dapat menyebabkan tingkat utang yang lebih tinggi, yang dapat menyingkirkan investasi swasta dan memperlambat pertumbuhan. Sebaliknya, surplus anggaran dapat mengurangi utang tetapi juga dapat memperlambat aktivitas ekonomi jika hal itu disebabkan oleh pengurangan pengeluaran atau pajak yang lebih tinggi.
Penstabil Otomatis merupakan mekanisme fiskal yang secara otomatis menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi tanpa intervensi tambahan pemerintah. Contohnya termasuk tunjangan pengangguran dan sistem pajak progresif. Selama resesi, tunjangan pengangguran meningkat, menyediakan jaring pengaman dan mempertahankan pengeluaran konsumen, yang membantu menstabilkan ekonomi.
Investasi dalam barang publik, semisal jaringan transportasi, sistem pendidikan, dan teknologi, dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatkan efisiensi dan kapasitas ekonomi.
Kebijakan fiskal juga dapat mempengaruhi kepercayaan bisnis dan konsumen. Kebijakan fiskal yang jelas dan konsisten dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang stabil, mendorong investasi dan pengeluaran. Sebaliknya, ketidakpastian tentang kebijakan fiskal dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui dampaknya terhadap permintaan agregat, investasi, dan produktivitas. Efektivitas kebijakan fiskal bergantung pada waktu, besaran, dan struktur langkah-langkah yang diterapkan.

Ada kebijakan lain yang disebut kebijakan moneter, yang utamanya dikelola oleh bank sentral, yang mempengaruhi inflasi melalui beberapa mekanisme utama. Bank sentral dapat menaikkan atau menurunkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Ketika inflasi tinggi, bank sentral dapat menaikkan suku bunga agar membuat pinjaman lebih mahal. Hal ini mengurangi pengeluaran konsumen dan investasi bisnis, yang dapat membantu mendinginkan ekonomi dan mengurangi inflasi. Sebaliknya, jika inflasi rendah atau ekonomi lesu, bank sentral dapat menurunkan suku bunga guna mendorong pinjaman dan pengeluaran, yang dapat merangsang aktivitas ekonomi dan berpotensi meningkatkan inflasi.
Bank sentral membeli atau menjual surat berharga pemerintah untuk mempengaruhi pasokan uang. Ketika bank sentral membeli surat berharga, ia menyuntikkan uang ke dalam perekonomian, meningkatkan pasokan uang dan berpotensi menyebabkan inflasi yang lebih tinggi. Menjual surat berharga menarik uang dari perekonomian, mengurangi pasokan uang dan membantu mengendalikan inflasi.
Bank sentral dapat mengubah persyaratan cadangan (reserve requirements) bagi bank komersial. Meningkatkan reserve requirements berarti bank harus menyimpan lebih banyak uang sebagai cadangan dan lebih sedikit yang dipinjamkan, yang dapat mengurangi pasokan uang dan membantu mengendalikan inflasi. Penurunan reserve requirements memungkinkan bank meminjamkan lebih banyak uang, meningkatkan jumlah uang beredar dan berpotensi meningkatkan inflasi.
Bank sentral menggunakan strategi komunikasi untuk mempengaruhi ekspektasi tentang kebijakan moneter di masa mendatang. Dengan mengisyaratkan tindakan kebijakan di masa mendatang, bank sentral dapat membentuk ekspektasi dan perilaku ekonomi, yang dapat mempengaruhi inflasi. Misalnya, jika bank sentral mengisyaratkan akan mempertahankan suku bunga rendah untuk jangka waktu yang lama, hal itu dapat mendorong pengeluaran dan investasi, yang berpotensi meningkatkan inflasi.
Pelonggaran Kuantitatif (Quantitative Easing, QE) melibatkan bank sentral yang membeli sekuritas jangka panjang untuk meningkatkan jumlah uang beredar dan menurunkan suku bunga. QE biasanya digunakan ketika alat kebijakan moneter tradisional (semisal menyesuaikan suku bunga jangka pendek) tak mencukupi. Dengan meningkatkan jumlah uang beredar, QE dapat membantu menaikkan inflasi ke target level tertentu.

Sistem perpajakan progresif yang mendistribusikan kembali kekayaan dapat mengurangi ketimpangan ekonomi, yang mengarah pada stabilitas sosial yang lebih besar. Masyarakat yang stabil dengan ketimpangan yang berkurang berposisi yang lebih baik untuk memproyeksikan kekuatan dan pengaruh baik secara domestik maupun internasional. Stabilitas sosial merupakan faktor penting dalam mempertahankan pertumbuhan dan pengaruh ekonomi. Perpajakan yang efektif dan adil meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, agar dapat menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Stabilitas ini, pada gilirannya, memperkuat pengaruh ekonomi suatu negara karena menjadi mitra yang lebih dapat diandalkan dan menarik dalam hubungan internasional.
Perpajakan atas pendapatan, konsumsi, dan modal dapat mempengaruhi perilaku konsumen. Pajak yang tinggi atas konsumsi dapat mengurangi pengeluaran domestik, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pajak yang lebih rendah dapat meningkatkan konsumsi dan merangsang ekonomi, sehingga meningkatkan pengaruh ekonomi negara. Perpajakan atas tabungan dan investasi, semisal pajak keuntungan modal, dapat mempengaruhi tingkat investasi swasta. Pajak yang lebih rendah atas investasi dapat mendorong tabungan dan akumulasi modal, yang mengarah ke tingkat investasi yang lebih tinggi dalam perekonomian. Peningkatan investasi ini dapat meningkatkan pengaruh ekonomi negara dengan meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonominya.
Pajak dalam bentuk tarif dan bea secara langsung mempengaruhi perdagangan internasional. Negara-negara menggunakan tarif untuk melindungi industri dalam negeri, tetapi mereka juga dapat menggunakannya agar mempengaruhi mitra dagang. Dengan menyesuaikan tarif, negara dapat mendorong atau menghambat perdagangan dengan negara-negara tertentu, sehingga mempengaruhi pola dan hubungan perdagangan global. Kebijakan pajak seringkali menjadi pusat negosiasi perdagangan. Ketentuan pajak yang menguntungkan dalam perjanjian perdagangan dapat membuka pasar dan memperkuat hubungan ekonomi, sehingga meningkatkan pengaruh negara dalam jaringan perdagangan global.

Sejarah perpajakan merupakan perjalanan menarik yang mencerminkan perkembangan masyarakat, pemerintahan, dan ekonomi selama ribuan tahun. Salah satu catatan perpajakan terawal berasal dari Mesopotamia, tempat pajak dikumpulkan dalam bentuk barang-barang semisal ternak dan gandum. Kode Hammurabi (sekitar tahun 1754 SM) mencakup peraturan pajak. Firaun memungut pajak atas berbagai kegiatan, termasuk pertanian, untuk mendanai proyek pembangunan besar-besaran dan mendukung kelas penguasa. Yunani dan Romawi kuno mengembangkan sistem pajak yang canggih. Di Roma, pajak awalnya rendah tetapi meningkat seiring dengan perluasan kekaisaran, yang membutuhkan lebih banyak pendapatan untuk militer dan layanan publik.
Di Eropa abad pertengahan, sistem feodal mengatur perpajakan, dengan para petani membayar pajak kepada tuan tanah mereka, yang pada gilirannya berutang pajak kepada raja. Pajak-pajak ini acapkali berupa barang, semisal hasil bumi atau tenaga kerja. Gereja Katolik memberlakukan persepuluhan, suatu bentuk perpajakan yang mengharuskan orang memberikan sebagian dari penghasilan atau hasil bumi mereka untuk mendukung Gereja.
Seiring terbentuknya negara-negara nasional, sistem pajak terpusat menjadi lebih umum. Misalnya, di Prancis abad ke-17, taille (pajak tanah langsung) merupakan sumber pendapatan yang signifikan bagi kerajaan. Di Inggris, bea cukai dan pajak cukai meningkat. Pemberlakuan poll tax pada abad ke-14 menyebabkan Pemberontakan Petani pada tahun 1381.
Negara-negara kolonial Eropa mengenakan pajak pada koloni mereka, yang kerap menimbulkan perlawanan. Inggris mengenakan berbagai pajak pada koloni-koloni Amerika, seperti Undang-Undang Perangko (1765), yang berkontribusi pada Revolusi Amerika. Kebijakan merkantilis pada saat itu, menyebabkan pajak yang tinggi pada impor dan ekspor untuk mengendalikan perdagangan dan mengumpulkan kekayaan bagi negara induk.
Revolusi Industri membawa perubahan ekonomi penting, yang mengarah pada bentuk perpajakan baru. Pajak penghasilan diperkenalkan di Inggris pada tahun 1799 untuk mendanai Perang Napoleon, dan menjadi bagian tetap pada pertengahan abad ke-19. Amerika Serikat memperkenalkan pajak penghasilan pertamanya selama Perang Saudara pada tahun 1861, tetapi baru pada Amandemen ke-16 pada tahun 1913 pajak penghasilan menjadi bagian permanen dari sistem pajak AS.
Abad ke-20 menyaksikan munculnya pajak progresif, dimana tarif pajak meningkat seiring dengan tingkat pendapatan. Hal ini sebagian didorong oleh kebutuhan untuk membiayai perang dunia dan program kesejahteraan sosial. Seiring dengan kemajuan globalisasi, undang-undang dan perjanjian pajak internasional, semisal perjanjian pajak berganda, menjadi lebih umum untuk mengatur perdagangan dan investasi lintas batas.
Meningkatnya ekonomi digital telah menimbulkan tantangan baru bagi perpajakan, yang mengarah pada pembicaraan tentang cara mengenakan pajak pada perusahaan multinasional dan layanan digital. Ada peningkatan fokus pada perpajakan lingkungan, seperti pajak karbon, yang ditujukan untuk mengurangi polusi dan memerangi perubahan iklim. Perpajakan terus berkembang, mencerminkan perubahan dalam masyarakat, teknologi, dan interkoneksi global. Setiap tahap perkembangannya menawarkan wawasan tentang prioritas dan tantangan saat ini.

Pajak penghasilan telah berkembang dari tindakan sementara di masa perang menjadi komponen mendasar dari kebijakan fiskal modern, yang memainkan peran penting dalam mendanai operasi pemerintah dan layanan publik. Konsep pajak penghasilan dapat ditelusuri kembali ke peradaban kuno, meskipun belum diformalkan seperti saat ini. Misalnya, di Mesir kuno, pajak dikumpulkan dari berbagai bentuk pendapatan, termasuk hasil pertanian. Pajak penghasilan modern pertama kali diperkenalkan di Inggris pada tahun 1799 oleh Perdana Menteri William Pitt the Younger untuk mendanai Perang Napoleon. Tindakan ini untuk sementara tetapi menjadi preseden perpajakan di masa mendatang. Pajak penghasilan federal pertama di AS diperkenalkan pada tahun 1861 untuk membantu mendanai Perang Saudara. Pajaknya tetap sebesar 3% atas pendapatan di atas $800. Pajak ini dicabut pada tahun 1872 tetapi menjadi dasar pajak penghasilan di masa mendatang.
Pada tahun 1913, AS meratifikasi Amandemen ke-16, yang memungkinkan pemerintah federal memungut pajak penghasilan tanpa membaginya di antara negara bagian atau mendasarkannya pada Sensus AS. Hal ini mengarah pada pembentukan sistem pajak penghasilan federal modern. Baik Perang Dunia I maupun Perang Dunia II mengalami peningkatan signifikan dalam tarif pajak penghasilan dan jumlah orang yang dikenai pajak. Perang ini membutuhkan dana besar, dan pajak penghasilan menjadi sumber pendapatan yang penting.
Seiring berjalannya waktu, banyak negara mengadopsi sistem pajak penghasilan progresif, dimana tarif pajak meningkat seiring dengan tingkat pendapatan. Pendekatan ini bertujuan memastikan bahwa mereka yang berpenghasilan lebih tinggi memberikan kontribusi yang lebih besar dari pendapatan mereka bagi keuangan publik. Saat ini, pajak penghasilan merupakan fitur standar sistem pajak di seluruh dunia, dengan variasi tarif, kelompok pajak, dan pengecualian yang mencerminkan kebijakan ekonomi dan prioritas sosial masing-masing negara.
Pemberlakuan pajak penghasilan pertama di berbagai negara sering menuai reaksi beragam, mulai dari penerimaan hingga penentangan keras. Pada tahun 1799, reaksi awal berupa keengganan dan perlawanan. Banyak orang tak senang dengan pajak baru tersebut, menganggapnya sebagai pelanggaran privasi dan beban yang tak adil. Terjadi perdebatan politik yang serius, dengan beberapa politisi berpendapat bahwa pajak tersebut diperlukan untuk mendanai perang melawan Napoleon, sementara yang lain menganggapnya sebagai pelanggaran kekuasaan pemerintah. Pada tahun 1861, pajak penghasilan federal pertama di AS diberlakukan selama Perang Saudara, dan banyak orang menerimanya sebagai tindakan yang diperlukan untuk mendukung upaya perang. Meskipun ada beberapa penerimaan, ada juga penentangan, terutama dari mereka yang merasa pajak tersebut tak adil atau tak konstitusional. Pajak tersebut dicabut pada tahun 1872, yang mencerminkan perlawanan yang terus berlanjut.
Satu tema umum dalam reaksi terhadap pajak penghasilan adalah kekhawatiran atas privasi, karena orang-orang diharuskan mengungkapkan pendapatan mereka kepada pemerintah. Ada juga kekhawatiran tentang dampak ekonomi, dengan beberapa orang khawatir bahwa pajak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Secara keseluruhan, pemberlakuan pajak penghasilan kerap menimbulkan kontroversi, mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang kekuasaan pemerintah, keadilan ekonomi, dan hak-hak individu.

Ada beberapa pajak yang tak biasa sepanjang sejarah. Reaksi terhadap pajak yang tak biasa sangat bervariasi, acapkali mencerminkan konteks sosial dan ekonomi saat itu. Pada tahun 1698, Tsar Rusia Peter yang Agung mengenakan pajak jenggot untuk mendorong Westernisasi. Kaum lelaki yang ingin mempertahankan jenggot mereka harus membayar token untuk membuktikan bahwa mereka telah membayar pajak. Pajak jenggot Tsar Peter yang Agung mendapat perlawanan, terutama dari Gereja Ortodoks dan kaum tradisionalis yang melihat jenggot sebagai simbol iman dan identitas mereka. Banyak yang dengan berat hati membayar pajak, sementara yang lain memilih mencukur jenggot untuk menghindarinya.
Pajak Jendela diperkenalkan di Inggris pada tahun 1696, pajak ini didasarkan pada jumlah jendela di sebuah rumah. Hal ini menyebabkan banyak jendela ditutup dengan batu bata untuk menghindari pajak, itulah sebabnya beberapa bangunan tua di Inggris berjendela yang ditutup dengan batu bata. Orang-orang menutup jendela mereka dengan batu bata guna menghindari pajak, yang mengakibatkan rumah-rumah menjadi lebih gelap dan kurang berventilasi. Pajak ini sering dikritik karena dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan kondisi kehidupan.
Pada tahun 1784, Inggris memberlakukan pajak atas topi pria. Penjual topi harus membeli lisensi, dan setiap topi harus berstempel pendapatan. Pajak ini ditujukan kepada orang kaya, karena topi merupakan simbol status. Pajak topi tak populer, terutama di kalangan orang kaya yang menjadi target utamanya. Pajak ini menyebabkan berbagai bentuk penghindaran pajak, semisal penggunaan kembali stempel pendapatan lama atau membuat topi di rumah. Pajak tersebut dianggap sebagai beban bagi ekspresi dan mode pribadi.
Dari tahun 1712 hingga 1853, Inggris mengenakan pajak sabun, menjadikannya barang mewah. Pajak ini akhirnya dicabut karena dampak negatifnya terhadap kesehatan masyarakat. Pajak sabun sangat tidak populer karena dampaknya terhadap kebersihan dan kesehatan masyarakat. Menjadikan sabun sebagai barang mewah, menyebabkan kondisi sanitasi yang lebih buruk. Para pendukung kesehatan masyarakat akhirnya berhasil mencabut pajak tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara telah mempertimbangkan atau menerapkan pajak atas emisi ternak untuk memerangi perubahan iklim. Misalnya, Selandia Baru mengusulkan pajak atas emisi metana dari sapi dan domba. Usulan pajak atas emisi ternak telah menjadi kontroversi. Petani dan kelompok pertanian sering menentang pajak ini, dengan alasan bahwa pajak tersebut secara tidak fair menargetkan industri mereka dan dapat menyebabkan harga pangan yang lebih tinggi. Di sisi lain, para pemerhati lingkungan mendukung tindakan tersebut sebagaimana diperlukan untuk memerangi perubahan iklim.
Di beberapa negara bagian AS, ada pajak permen tetapi tidak untuk jenis makanan lainnya. Penetapan 'permen' bisa sangat spesifik, yang menyebabkan beberapa perbedaan yang aneh. Misalnya, di Illinois, Kit Kat tak dikenakan pajak sebagai permen karena mengandung tepung, tetapi Snickers dikenakan pajak. Reaksi terhadap pajak permen beragam. Beberapa konsumen dan bisnis menganggapnya sewenang-wenang dan membingungkan, terutama ketika penentuan 'permen' bervariasi. Yang lain mendukung pajak ini sebagai cara mempromosikan kebiasaan makan yang lebih sehat.
Pajak yang tidak biasa ini, kerap mencerminkan prioritas sosial, ekonomi, dan politik pada masanya. Protes dan gerakan tersebut menyoroti bagaimana perpajakan, terutama jika dianggap tidak fair atau memberatkan, dapat menyebabkan perlawanan publik yang signifikan dan seruan bagi perubahan.

Perpajakan seringkali menjadi katalisator keresahan sosial sepanjang sejarah. Salah satu contoh paling populer tentang perpajakan, yang menyebabkan keresahan sosial ialah Revolusi Amerika (1775-1783). Pemberlakuan pajak oleh pemerintah Inggris seperti Stamp Act dan Tea Act tanpa perwakilan menyebabkan protes yang meluas dan akhirnya perjuangan untuk kemerdekaan. Pajak yang tinggi pada rakyat jelata, dikombinasikan dengan kesulitan ekonomi dan ketidaksetaraan, berkontribusi pada Revolusi Prancis (1789-1799). Beban pajak pada Estate Ketiga (rakyat jelata) sementara kaum bangsawan dan pendeta sebagian besar dikecualikan memicu kemarahan dan tuntutan untuk perubahan. Di Inggris, pemberlakuan poll tax menyebabkan Pemberontakan Petani (1381). Pajak tersebut dianggap tidak fair dan menindas, yang menyebabkan pemberontakan meluas terhadap kelas penguasa.
Di Prancis, gerakan Rompi Kuning (2018-sekarang) dimulai sebagai protes terhadap pajak bahan bakar, tetapi dengan cepat melebar hingga mencakup isu-isu yang lebih luas tentang ketimpangan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Gerakan ini menyoroti dampak perpajakan terhadap biaya hidup dan ketidakpuasan sosial. Usulan kenaikan tarif kereta bawah tanah di Santiago, Chili, memicu protes yang meluas (Protes Chili 2019) yang dengan cepat berkembang mengatasi isu-isu yang lebih luas tentang ketimpangan dan biaya hidup. Protes tersebut menyebabkan perubahan politik dan sosial yang signifikan, termasuk proses menulis ulang konstitusi negara tersebut. IMF telah mencatat peningkatan keresahan sosial secara global, yang didorong oleh faktor-faktor seperti ketimpangan ekonomi, kenaikan harga pangan dan bahan bakar, serta ketidakstabilan politik. Pandemi COVID-19 juga berperan, dengan gangguan ekonomi dan tanggapan pemerintah yang menyebabkan protes di berbagai negara.
Perpajakan alat yang ampuh, yang dapat mendukung stabilitas sosial atau berkontribusi terhadap keresahan, tergantung pada bagaimana hal itu diterapkan dan dipersepsikan. Tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi, yang sering diperburuk oleh kebijakan pajak yang regresif, dapat menyebabkan keresahan sosial. Bila masyarakat merasa sistem pajak tidak fair dan menguntungkan orang kaya dengan mengorbankan mereka, dapat memicu ketidakpuasan dan protes. Kebijakan pajak yang efektif dan adil dapat meningkatkan legitimasi pemerintah dengan mendanai layanan publik dan infrastruktur. Sebaliknya, persepsi ketidakadilan atau korupsi dalam pemungutan pajak dapat merusak kepercayaan pada pemerintah dan menyebabkan kerusuhan.

Meskipun perpajakan dapat menjadi alat yang ampuh meningkatkan pengaruh ekonomi, perpajakan juga berpotensi kerugian yang dapat merusak stabilitas dan pengaruh ekonomi domestik dan internasional. Pajak yang tinggi atas pendapatan, keuntungan modal, dan laba perusahaan dapat menghambat investasi dan kewirausahaan. Ketika bisnis dan individu menghadapi beban pajak yang berat, mereka akan cenderung berinvestasi dalam usaha baru, berinovasi, atau memperluas operasi, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi daya saing negara secara global. Perpajakan yang berlebihan dapat menyebabkan pelarian modal, dimana investor dan bisnis memindahkan aset atau operasi mereka ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini dapat mengikis basis pajak, mengurangi investasi domestik, dan melemahkan pengaruh ekonomi negara.
Beberapa kebijakan pajak dapat berbenturan secara tak proporsional pada populasi berpendapatan rendah, sehingga memperburuk ketimpangan ekonomi. Pajak regresif, semisal pajak konsumsi atau pajak tetap, dapat memberikan beban yang lebih berat pada orang miskin dibandin orang kaya, yang menyebabkan keresahan sosial dan menurunnya stabilitas dalam negeri, yang pada gilirannya dapat melemahkan pengaruh ekonomi. Perpajakan yang tak memadai atau tak terstruktur dengan baik dapat menyebabkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang, yang merusak kohesi sosial dan stabilitas ekonomi jangka panjang. Hal ini dapat mengurangi pengaruh ekonomi negara secara keseluruhan dengan membuat perpecahan dan mengurangi kemampuan pemerintah bertindak secara efektif.
Sistem pajak yang kompleks memerlukan sumber daya administratif dalam menegakkannya. Biaya pengumpulan, penegakan, dan kepatuhan pajak dapat menjadi besar, sehingga mengalihkan sumber daya dari penggunaan produktif lainnya. Ketidakefisienan ini dapat mengurangi efektivitas perpajakan secara keseluruhan sebagai alat meningkatkan pengaruh ekonomi. Peraturan pajak yang kompleks dan memberatkan dapat membebankan biaya yang signifikan pada bisnis dan individu, yang menyebabkan ketidakefisienan dan mengurangi produktivitas ekonomi. Beban kepatuhan yang berat dapat menghambat aktivitas ekonomi, memperlambat pertumbuhan, dan mengurangi pengaruh negara di pasar global.
Pajak yang tinggi atas pendapatan atau konsumsi dapat mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan, yang menyebabkan berkurangnya belanja konsumen. Penurunan permintaan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, berdampak negatif pada ekonomi yang lebih luas, dan mengurangi kemampuan negara memproyeksikan pengaruh ekonomi. Jika perpajakan terlalu tinggi, hal itu dapat menyebabkan perlambatan ekonomi karena bisnis dan konsumen mengurangi pengeluaran dan investasi. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, berkurangnya pendapatan pajak, dan berkurangnya kapasitas memberikan pengaruh secara internasional.
Penggunaan tarif dan pajak terkait perdagangan lainnya, dapat memicu tindakan balasan dari mitra dagang, yang berujung pada perang dagang. Konflik ini dapat merusak hubungan perdagangan internasional, mengurangi akses pasar, dan berdampak negatif pada rantai pasokan global, sehingga melemahkan pengaruh ekonomi negara. Kebijakan pajak yang agresif, khususnya dalam bentuk tarif proteksionis, dapat merusak reputasi negara sebagai mitra dagang yang fair dan dapat diandalkan. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan diplomatik dan mengurangi pengaruhnya dalam negosiasi dan organisasi perdagangan internasional.
Pajak yang tinggi atau tidak fair dapat menyebabkan ketidakpuasan publik, protes, dan bahkan keresahan sosial. Ketika warga negara menganggap sistem pajak tidak fair atau terlalu membebani, dapat merusak kepercayaan pada pemerintah dan menyebabkan ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan ini dapat melemahkan pengaruh ekonomi negara, baik secara domestik maupun internasional. Kebijakan pajak yang memicu reaksi sosial atau politik dapat dibatalkan atau dikurangi, yang menyebabkan ketidakpastian dan ketidakprediksian lingkungan bisnis. Hal ini dapat menghalangi investasi dan mengurangi pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya mengurangi pengaruh ekonomi negara.
Para filsuf sering menggunakan satire untuk menyoroti absurditas dan ketidakadilan yang dirasakan dalam perpajakan. Misalnya, Robert Nozick dikenal membandingkan perpajakan dengan kerja paksa, yang menyatakan bahwa mengambil penghasilan dari kerjasama dengan membuat seseorang bekerja untuk negara tanpa kompensasi. Perbandingan yang mencolok ini dimaksudkan memancing pemikiran tentang hakikat perpajakan dan hak-hak individu.
Contoh lain penggambaran satire tentang pajak sebagai bentuk pencurian yang dilegalkan. Perspektif ini sering digunakan mengkritik peran pemerintah dalam mendistribusikan kembali kekayaan, yang menyatakan bahwa pemerintah mengambil uang dari beberapa individu untuk diberikan kepada orang lain tanpa persetujuan mereka.
Pandangan satire ini bukan hanya untuk humor; pandangan ini bertujuan menantang dan memancing pemikiran yang lebih dalam tentang landasan etika dan filosofis perpajakan.
Ekonom sering menggunakan satire untuk menyoroti kompleksitas dan absurditas yang dirasakan dalam perpajakan. Salah satu contohnya Frédéric Bastiat, yang menggunakan satire mengkritik kebijakan proteksionis. Ia dengan nada bercanda menyarankan bahwa jika tarif dimaksudkan melindungi industri dalam negeri, maka pemerintah juga harus menghalangi matahari melindungi industri pembuatan lilin. Analogi yang diagregasi ini, dimaksudkan menunjukkan kekonyolan kebijakan ekonomi tertentu.
Penggambaran satire lainnya berasal dari gagasan bahwa pajak bagaikan 'necessary evil'. Para ekonom terkadang bercanda bahwa pajak adalah harga yang kita bayar untuk masyarakat yang beradab, tetapi dengan tambahan bahwa pajak juga merupakan harga yang kita bayar untuk ketidakefisienan dan pemborosan pemerintah.
Satire ini bertujuan memancing pemikiran dan diskusi tentang peran dan dampak pajak dalam masyarakat.
Kendati tiada masyarakat modern yang menghapuskan seluruh bentuk perpajakan, ada beberapa contoh penting negara dan kawasan yang secara signifikan telah mengurangi atau menghilangkan jenis pajak tertentu. Monako tak memungut pajak penghasilan pribadi dari penduduknya. Kerajaan tersebut bergantung pada sumber pendapatan lain, semisal pariwisata dan perbankan. Uni Emirat Arab tak mengenakan pajak penghasilan pada individu. Sebaliknya, negara tersebut memperoleh pendapatan dari ekspor minyak, pariwisata, dan industri lainnya. Bahama tak mengenakan pajak penghasilan. Pemerintah bergantung pada pariwisata, layanan keuangan, dan pajak tak langsung lainnya untuk mendanai operasinya. Hong Kong memiliki rezim pajak yang relatif rendah, tanpa pajak penjualan atau PPN dan tarif pajak penghasilan pribadi dan perusahaan yang rendah. Hal ini menjadikannya tujuan yang menarik bagi bisnis dan ekspatriat.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa beberapa negara telah secara signifikan mengurangi atau menghilangkan pajak tertentu, tetapi menghapuskan semua bentuk perpajakan secara total jarang terjadi. Pemerintah biasanya membutuhkan beberapa bentuk pendapatan untuk mendanai layanan publik dan infrastruktur.

Perbicangan masih akan kita teruskan dengan Keberlangsungan Lingkungan sebagai topik terakhir ciri-ciri utama sebuah bangsa yang tangguh, biidznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Emmanuel Saez & Gabriel Zucman, The Triumph of Injustice: How the Rich Dodge Taxes and How to Make Them Pay, 2019, W. W. Norton
- Katherine S. Newman & Rourke L. O'Brien, Taxing the Poor: Doing Damage to the Truly Disadvantaged, 2011, University of California Press
- Gabriel Zucman, The Hidden Wealth of Nations: The Scourge of Tax Havens, 2015, The University of Chicago Press
- Liam Murphy & Thomas Nagel, The Myth of Ownership: Taxes and Justice, 2002, Oxford University Press