"Ternyata guys, pohon beringinnya udah dihinggapi parasit dan rayap, gampang banget ditebang. Sejak tumbuh pada tahun 1971, pohon beringin itu, di sebagian besar waktu berpihak pada status quo, namun udah banyak melakukan pembenahan intern. Seorang utusan kerajaan—bukan utusan Aji Saka dalam kisah Hanacaraka—telah bersumpah setia pada 'Raja Jawa'. Utusan ini, yang datang dengan sepeda mini berhiaskan daun pisang, menyatakan kesetiaannya sembari main juggling buah nanas.Sementara itu, sang 'Raja Jawa'—yang gak Jowo—terlihat menyeruput air kelapa dari trofi emas, memikirkan haruskah dirinya memerintah di atas pohon beringin atau pindah ke tempat yang lebih tahan rayap. Paduan suara tokek bernyanyi disertai lagu nina bobo mengiringi perenungannya, sementara sekelompok kethek berdansa berakrobat di sekitar pohon.Absurditas semakin bertambah, seekor ayam jago yang bisa ngomong, mengklaim sebagai reinkarnasi seorang pejuang legendaris, ngasih nasihat strategis buat sang 'Raja Jawa.' Ayam jago nyaranin ngebangun istana terapung dari bambu dan daun pisang, lengkap dengan parit yang diisi susu kelapa.Saat rakyat jelata menyaksikan tontonan ini, mereka tak bisa menahan tawa dan sorak-sorai. 'Raja Jawa' yang terhibur oleh ide ayam jago, bertitah akan mengadakan pesta besar-besaran dengan nasi goreng dan sate yang bakal terus terhidang. Pestanya dihadiri oleh seluruh satwa di hutan, yang ikut merayakan, masing-masing berbekal bakat unik mereka ke pesta.Perayaan jadi semakin absurd ketika sekelompok tupai yang mampu menyemburkan api tiba, menampilkan tarian sambil berdiri di atas sepeda sirkus beroda satu. Gak mau kalah, seekor kura-kura tua bijak, mengklaim melihat pohon beringin tertanam, membacakan puisi-puisi punyangga lama seraya menyeimbangkan tumpukan buku di punggungnya.Di tengah hiruk-pikuk ini, sekelompok kelinci badung membuka lapak dadakan, menjual segala macam dagangan mulai dari wortel ajaib hingga kain batik mempesona. Raja Jawa' yang amat senang, memutuskan mengadakan kontes, adakah yang mampu menyajikan gagasan teraneh bagi masa depan pohon beringin.Usulan-usulan berkisar dari mengubah pohon beringin jadi ayunan raksasa bagi para gajah hingga menjadikannya roket challenger penjelajah bintang-bintang. Ide yang menang, berasal dari seekor rubah cerdik, yang menyarankan pohon beringin dijadiin taman hiburan, lengkap dengan roller coaster dari tumbuhan rambat dan Haunted House yang dihuni hantu unyu-unyu.Saat matahari terbenam di hari yang penuh keanehan ini, 'Raja Jawa' menyatakan bahwa pohon beringin akan menjadi taman hiburan, memastikan bahwa legacynya bakal terus hidup dengan cara fantastis. Penduduk desa, marga-satwa, dan bahkan rayap-rayap pun bersorak, mengetahui bahwa semangat pohon beringin akan terus membawa gelak dan tawa bagi generasi mendatang.Dalam momen-momen khayali ini, 'Raja Jawa' mulai ngelantur, membayangkan dirinya sebagai Gambit dari Marvel Comics, memanipulasi energi dan melempar kartu-kartu sakti dengan sekali kibasan. Doi ngebayangin menggunakan kekuatan barunya menerangi langit malam dengan pertunjukan energi memukau, membuka suasana magis bagi taman hiburannya. Dengan senyum kancilnya, doi ngebayangin dirinya berjingkrak di udara, melempar kartu-kartu bercahaya mengusir rayap-rayap yang masih berani kembali.Akankah 'Raja Jawa' memerintah di atas pohon beringin, atau, akankah pohon beringin siuman dan bangkit melawan? Hanya waktulah yang menjawab kisah penuh mistis pohon beringin bersejarah ini."Lalu Cattleya berkata, "Kemerosotan ekonomi merupakan faktor penting yang dapat melemahkan negara. Kemerosotan ekonomi melemahkan negara dengan cara menggerogoti sumber daya keuangannya, mengikis kepercayaan publik, meningkatkan ketegangan sosial, dan mengurangi pengaruh globalnya. Faktor-faktor ini memunculkan siklus ketidakstabilan yang sulit dipatahkan, yang berujung pada tantangan jangka panjang bagi tatakelola, keamanan, dan pembangunan. Negara yang menghadapi kemerosotan ekonomi harus mengelola sumber dayanya dengan cermat dan menerapkan strategi mengurangi dampaknya guna menghindari pelemahan lebih lanjut. Kemerosotan ekonomi melemahkan stabilitas, keamanan, dan pengaruh global negara dengan mengikis sumber daya dan kepercayaan yang diperlukan dalam mempertahankan masyarakat yang kuat dan tangguh.Kemerosotan ekonomi biasanya menyebabkan pendapatan pajak yang lebih rendah, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah mendanai layanan penting. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup dan meningkatkan ketidakpuasan publik. Dikala perekonomian melambat, bisnis memperoleh lebih sedikit keuntungan, dan individu mendapatkan lebih sedikit penghasilan, yang menyebabkan penurunan penerimaan pajak (misalnya, pajak perusahaan, pajak penghasilan, dan pajak penjualan). Penurunan pendapatan pemerintah ini, berarti lebih sedikit uang dibelanjakan pada barang dan layanan publik, yang sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mengelola kekurangan pendapatan, pemerintah perlu memangkas anggaran layanan penting semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan program kesejahteraan sosial. Hal ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan mengurangi kualitas hidup, yang menyebabkan peningkatan ketidakpuasan di antara masyarakat. Selama krisis Zona Euro tahun 2010-an, ekonomi Yunani mengalami kontraksi yang parah, menyebabkan penurunan tajam dalam pendapatan pajak. Pemerintah terpaksa menerapkan langkah-langkah penghematan, termasuk pemotongan layanan publik seperti perawatan kesehatan dan pendidikan, mengakibatkan ketidakpuasan publik yang meluas dan keresahan sosial.Manakala perekonomian berkontraksi, bisnis dapat tutup atau merampingkan bidang usahanya, menyebabkan hilangnya pekerjaan. Pengangguran yang tinggi dapat memunculkan keresahan sosial, menambah tingkat kemiskinan, dan mengurangi pengeluaran konsumen, selanjutnya memperburuk kemerosotan ekonomi. Kemerosotan ekonomi kerap menyebabkan kontraksi dalam kegiatan bisnis, memaksa perusahaan memberhentikan pekerja atau tutup sepenuhnya. Akibatnya, tingkat pengangguran lebih tinggi, yang dapat berefek jenjang pada perekonomian sebab individu yang menganggur mengurangi pengeluarannya, yang selanjutnya memperlambat aktivitas perekonomian. Pengangguran yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan kemiskinan, tunawisma, dan kejahatan. Kurangnya pekerjaan juga dapat menimbulka keputusasaan dan frustrasi di antara warga negara, sehingga berpotensi memicu kerusuhan sipil. Depresi Besar tahun 1930-an di Amerika Serikat, menyebabkan kegagalan bisnis yang meluas, mengakibatkan hilangnya pekerjaan besar-besaran. Tingkat pengangguran melonjak hingga sekitar 25%, memunculkan kemiskinan dan kesulitan ekstrem bagi jutaan orang Amerika. Keputusasaan ekonomi yang dihasilkannya, berkontribusi pada keresahan sosial dan perubahan dalam kebijakan pemerintah.Perekonomian yang melemah dapat mengakibatkan berkurangnya pendanaan bagi pertahanan dan keamanan. Hal ini dapat menjadikan negara lebih rentan terhadap ancaman eksternal dan kurang mampu menanggapi tantangan keamanan internal secara efektif. Kemerosotan ekonomi sering memaksa pemerintah mengurangi anggaran pertahanan dan keamanan nasional. Hal ini dapat melemahkan kemampuan militer, membuat negara lebih rentan terhadap ancaman eksternal dan tantangan keamanan internal, semisal terorisme atau pemberontakan. Kemerosotan ekonomi dapat pula menyebabkan kontrol dan infrastruktur perbatasan yang kurang didanai, sehingga memudahkan organisasi kriminal, penyelundup, atau aktor jahat lainnya, mengeksploitasi kerentanan negara. Kemerosotan ekonomi Uni Soviet (akhir 1980-an – awal 1990-an), diperburuk oleh biaya perlombaan senjata dan inefisiensi dalam ekonomi yang direncanakan secara terpusat, menyebabkan berkurangnya pengeluaran militer. Melemahnya keamanan nasional ini, menyebabkan ketidakmampuan Uni Soviet mempertahankan kendali atas wilayahnya, yang pada akhirnya negara ini bubar.Kemunduran ekonomi dapat mendorong pekerja terampil dan profesional mencari peluang yang lebih baik di luar negeri, mengakibatkan hilangnya bakat dan semakin melemahkan kemampuan negara pulih dan berinovasi. Kemunduran ekonomi dapat menyebabkan 'brain drain', dimana individu yang terdidik dan terampil meninggalkan negaranya mencari peluang yang lebih baik di luar negeri. Hilangnya bakat ini dapat berefek negatif jangka panjang pada kemampuan negara berinovasi, mengembangkan ekonominya, dan bersaing secara global. Dikala pekerja terampil pergi, kapasitas negara bagi inovasi dan pengembangan, melemah. Hal ini dapat menyebabkan stagnasi dalam industri utama dan mempersulit ekonomi agar pulih atau beralih ke area pertumbuhan baru. Pada tahun 1980-an, Irlandia menghadapi kesulitan ekonomi, termasuk pengangguran dan inflasi yang tinggi. Hal ini menyebabkan brain drain yang signifikan, dengan banyak pekerja terampil dan profesional muda beremigrasi ke negara lain, khususnya AS dan Inggris, mencari peluang yang lebih baik. Hilangnya bakat menghambat pemulihan ekonomi Irlandia sampai reformasi dilaksanakan pada tahun 1990-an.Kekuatan ekonomi terkait erat dengan pengaruh sebuah negara di panggung global. Kemunduran ekonomi dapat mengurangi kemampuan negara memproyeksikan kekuatan, mempengaruhi urusan internasional, dan menarik investasi, yang menyebabkan hilangnya kedudukan global. Ekonomi yang kuat kerap menjadi landasan pengaruh global sebuah negara. Penurunan ekonomi dapat mengurangi kemampuan negara berperan dalam inisiatif diplomatik, memberikan bantuan asing, atau berpartisipasi dalam organisasi internasional. Hilangnya pengaruh ini, dapat menyebabkan berkurangnya pengaruh dalam urusan global dan berkurangnya kemampuan membentuk norma dan kebijakan internasional. Investor cenderung tak berinvestasi di negara yang mengalami penurunan ekonomi, yang menyebabkan pelarian modal dan berkurangnya investasi langsung asing (Foreign Direct Investment, FDI). Hal ini dapat semakin memperburuk kemerosotan ekonomi, memunculkan lingkaran setan penurunan dan hilangnya kedudukan global. Usai Perang Dunia II, Inggris menghadapi tantangan ekonomi yang berat, termasuk utang dan melemahnya basis industri. Penurunan ekonomi ini berkontribusi pada hilangnya kekuasaannya dan penurunan signifikan dalam pengaruh globalnya, menyebabkan berakhirnya Kekaisaran Inggris dan munculnya AS dan Uni Soviet sebagai negara adidaya.Selama masa penurunan ekonomi, negara-negara kerap menambah utang sebagai upaya merangsang ekonomi atau mempertahankan layanan dasar. Namun, tingkat utang yang tinggi dapat berakibat unsustainable, menyebabkan krisis utang yang semakin melemahkan ekonomi dan negara secara keseluruhan. Sebagai respons terhadap penurunan ekonomi, pemerintah acapkali menggunakan pinjaman untuk membiayai defisit dan merangsang ekonomi. Namun, pinjaman yang berlebihan dapat menyebabkan beban utang yang tinggi, yang menjadi sulit dikelola jika ekonomi tak pulih dengan cepat.Jika utang menjadi unsustainable, negara tersebut akan menghadapi krisis utang, dimana negara tersebut berupaya melakukan pembayaran atas kewajibannya. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan di kalangan investor, suku bunga yang lebih tinggi, dan penerapan langkah-langkah penghematan, yang semakin memperdalam penurunan ekonomi. Beban utang yang tinggi dapat membatasi kemampuan pemerintah berinvestasi dalam peluang pertumbuhan di masa depan, menyebabkan stagnasi ekonomi berkepanjangan dan membuat pemulihan menjadi lebih sulit. Argentina telah mengalami beberapa krisis utang, yang terakhir terjadi pada tahun 2020. Negara tersebut meminjam banyak uang untuk pembiayaan defisit, tapi karena ekonominya susah tumbuh, semakin sulit membayar utangnya. Hal ini menyebabkan gagal bayar dan restrukturisasi, yang selanjutnya melemahkan perekonomian dan membatasi kemampuan pemerintah berinvestasi dalam upaya pemulihan.Beban utang yang berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi yang luas dan parah bagi negara. Jika negara tak dapat mengelola utangnya, negara tersebut berisiko gagal bayar, artinya negara tersebut tak dapat memenuhi kewajiban utangnya. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya akses ke pasar keuangan internasional, penurunan peringkat kredit, dan krisis ekonomi yang parah. Guna menghindari gagal bayar, negara perlu merestrukturisasi utangnya, memerlukan negosiasi dengan kreditor agar memperpanjang jangka waktu pembayaran atau mengurangi jumlah utang. Namun, hal ini dapat merusak reputasi negara tersebut dan meningkatkan biaya pinjaman di masa mendatang. Krisis utang Yunani pada tahun 2010 adalah contoh utama negara yang berada di ambang gagal bayar. Dengan utangnya yang mencapai tingkat yang unsustainable, Yunani harus mencari dana talangan dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF). Sebagai gantinya, negara itu harus menerapkan langkah-langkah penghematan yang ketat dan merestrukturisasi utangnya, yang menyebabkan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan dan keresahan sosial.Ketika utang mencapai 'unsustainable levels', artinya utang negara telah tumbuh hingga ke titik yang tak dapat dikelola lagi dalam kondisi saat ini, maka negara tersebut akan menghadapi kesulitan ekonomi dan keuangan yang berat. Negara tersebut berusaha-keras membayar bunga dan mencicil jumlah pokok tanpa harus meminjam secara berlebihan. Biaya pembayaran utang menghabiskan sebagian besar anggaran nasional, sehingga menghambat pengeluaran publik yang primer. Risiko gagal bayar meningkat karena negara tersebut tak dapat menghasilkan pendapatan yang cukup menutupi kewajiban utangnya, menyebabkan potensi pembayaran terlewatkan atau negosiasi restrukturisasi.Dengan tingkat utang yang tinggi, pemerintah berkemampuan terbatas menggunakan kebijakan fiskal guna menanggapi kemerosotan atau krisis ekonomi. Hal ini membatasi kemampuannya meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pajak bila diperlukan. Kala tingkat utang meningkat, pemberi pinjaman akan memasang suku bunga yang lebih tinggi guna mengimbangi peningkatan risiko, sehingga pinjaman baru menjadi lebih mahal dan memperburuk masalah utang. Tingkat utang yang tinggi dapat menyebabkan berkurangnya investasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan bidang-bidang lain yang mendorong pertumbuhan karena lebih banyak sumber daya diarahkan membayar utang. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Utang yang berlebihan dapat merusak kepercayaan investor, menyebabkan berkurangnya investasi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.Jika negara terpaksa mencetak uang untuk membiayai utangnya, dapat menyebabkan inflasi atau bahkan hiperinflasi, yang mengikis daya beli dan mengganggu stabilitas ekonomi. Tingkat utang yang tinggi, terutama jika dalam mata uang asing, dapat menekan mata uang nasional, menyebabkan devaluasi dan peningkatan biaya impor. Untuk mengelola utang yang unsustainable, pemerintah bisa menerapkan langkah-langkah penghematan, termasuk pemotongan program sosial dan layanan publik, yang dapat menyebabkan keresahan sosial dan ketidakstabilan politik.Kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh strategi pengelolaan utang, menimbulkan ketidakpuasan publik, protes, dan ketidakstabilan politik yang meluas. Negara-negara dengan utang unsustainable harus mencari bantuan dari organisasi internasional seperti IMF, yang dapat memberlakukan persyaratan pada kebijakan ekonomi, membatasi kedaulatan ekonomi dan fleksibilitas kebijakan negara tersebut.Utang yang mencapai tingkat unsustainable bermakna bahwa utang negara tersebut telah melampaui ambang batas yang dapat dikelola secara efektif tanpa menyebabkan konsekuensi ekonomi, keuangan, dan sosial yang parah. Hal ini menunjukkan situasi dimana beban utang saat ini mengancam stabilitas ekonomi, prospek pertumbuhan, dan kesehatan keuangan negara secara keseluruhan.Seiring dengan meningkatnya utang, pembayaran bunga juga meningkat, yang dapat menghabiskan sebagian besar anggaran nasional. Hal ini mengurangi dana yang tersedia bagi layanan penting semisal perawatan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, menyebabkan penurunan layanan publik dan standar hidup. Pemberi pinjaman akan meminta suku bunga yang lebih tinggi bagi pinjaman baru karena meningkatnya risiko, sehingga lebih mahal dalam meminjam dan memperburuk situasi utang. Pada tahun 2020-an, Italia, salah satu negara berperingkat utang publik tertinggi di Uni Eropa, menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk pembayaran bunga. Hal ini membatasi kemampuannya berinvestasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan layanan sosial. Beban utang yang tinggi juga menyebabkan biaya pinjaman yang lebih tinggi, sehingga sulit bagi negara tersebut membiayai defisitnya tanpa memperburuk masalah utang.Pemerintah dapat menerapkan langkah-langkah penghematan dalam mengelola utang yang berlebihan, termasuk pemotongan belanja publik, pengurangan upah sektor publik, dan peningkatan pajak. Langkah-langkah ini dapat menyebabkan kontraksi ekonomi, pengangguran yang lebih tinggi, dan keresahan sosial. Penghematan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena pengurangan belanja pemerintah menurunkan permintaan secara keseluruhan, yang mengarah pada potensi resesi atau stagnasi ekonomi yang berkepanjangan. Setelah krisis keuangan 2008, Spanyol menerapkan langkah-langkah penghematan untuk mengurangi utang publiknya. Ini termasuk pemotongan upah sektor publik, pengurangan tunjangan sosial, dan peningkatan pajak. Langkah-langkah penghematan menyebabkan protes meluas, pengangguran yang tinggi, dan resesi berkepanjangan, dengan konsekuensi sosial dan ekonomi yang signifikan.Tingkat utang yang tinggi dapat menekan mata uang sebuah negara, yang berujung pada devaluasi. Mata uang yang lebih lemah meningkatkan biaya impor, menyebabkan inflasi dan mengurangi daya beli konsumen. Dalam kasus ekstrem, utang yang berlebihan dapat menyebabkan hiperinflasi, dimana harga naik dengan cepat dan tak terkendali, yang merontokkan perekonomian. Utang yang berlebihan di Zimbabwe dan manajemen ekonomi yang buruk, menyebabkan hiperinflasi pada akhir tahun 2000-an. Dolar Zimbabwe menjadi hampir tak berharga, dan harga meroket, dengan tingkat inflasi mencapai lebih dari 79,6 miliar persen bulan ke bulan pada puncaknya pada bulan November 2008. Keruntuhan ekonomi menyebabkan kekurangan barang-barang pokok yang parah dan penurunan besar-besaran dalam standar hidup.Negara-negara dengan utang yang berlebihan dapat meminta bantuan lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF). Namun, hal ini kerap disertai dengan persyaratan yang mengharuskan negara tersebut menerapkan kebijakan ekonomi tertentu, yang mengurangi kendalinya atas keputusan ekonomi domestik. Dalam beberapa kasus, kreditor dapat berpengaruh signifikan terhadap kebijakan ekonomi negara, yang secara efektif mengurangi kedaulatannya dan menyebabkan kemarahan publik. Pada tahun 2018, Argentina mengajukan pinjaman sebesar $57 miliar dari IMF guna menstabilkan ekonominya di tengah krisis utang. Pinjaman tersebut disertai persyaratan yang ketat, termasuk pemotongan anggaran dan reformasi ekonomi, yang membatasi kemampuan Argentina mengendalikan kebijakan ekonominya sendiri. Pengaruh IMF terhadap ekonomi Argentina menyebabkan kritik yang meluas dan ketegangan politik di dalam negeri.Utang yang tinggi dapat menghambat investasi, baik domestik maupun asing, karena ketidakpastian ekonomi dan potensi pajak yang lebih tinggi di masa mendatang. Kurangnya investasi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Negara yang terlilit utang besar berkemampuan terbatas menanggapi kemerosotan ekonomi atau keadaan darurat dengan stimulus fiskal, sebab peningkatan pengeluaran atau pemotongan pajak akan memperburuk situasi utang. Utang publik Jepang yang tinggi, yang telah mencapai lebih dari 200% dari PDB selama bertahun-tahun, merupakan faktor signifikan dalam stagnasi ekonominya, yang sering disebut sebagai 'Dekade yang Hilang' (1990-an hingga 2010-an). Meskipun bersuku bunga rendah, utang Jepang yang tinggi telah membatasi fleksibilitas fiskalnya dan menghambat investasi, menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tekanan deflasi.Kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh utang yang tinggi, semisal pengangguran, berkurangnya layanan publik, dan langkah-langkah penghematan, dapat menyebabkan ketidakpuasan publik yang meluas, protes, dan pemogokan. Ketika pemerintah berjuang mengelola krisis utang, kepercayaan publik terhadap kemampuannya memerintah secara efektif, dapat terkikis, yang mengarah pada potensi krisis legitimasi dan menjadikan pemerintahan mengalami tantangan. Utang Venezuela yang berlebihan, ditambah dengan salah urus perekonomian dan penurunan harga minyak, menyebabkan krisis ekonomi yang parah pada tahun 2010-an. Krisis tersebut menyebabkan hiperinflasi, kekurangan barang-barang pokok, dan kemiskinan yang meluas. Rontoknya perekonomian, memicu keresahan sosial besar-besaran, protes, dan ketidakstabilan politik, dengan jutaan orang Venezuela meninggalkan negara tersebut.Utang yang berlebihan kerap diwariskan kepada generasi mendatang, yang harus menghadapi konsekuensinya. Hal ini dapat membatasi peluang ekonomi di masa mendatang, membatasi belanja publik, dan memunculkan tantangan jangka panjang bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Utang nasional Amerika Serikat telah meningkat secara signifikan, terutama setelah krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19. Utang yang terus meningkat ini, diperkirakan akan menjadi beban bagi generasi mendatang, yang akan menghadapi pajak yang lebih tinggi, layanan publik yang berkurang, dan peluang ekonomi yang terbatas saat mereka berupaya mengelola dan melunasi utang. Hal ini juga dapat membatasi kemampuan pemerintah menanggapi krisis ekonomi di masa mendatang.Contoh-contoh ini menggambarkan dampak mendalam dan beragam, yang dapat ditimbulkan oleh beban utang berlebihan terhadap sebuah negara. Dari kemerosotan ekonomi dan keresahan sosial hingga hilangnya kedaulatan dan beban jangka panjang pada generasi mendatang, konsekuensi dari utang yang berlebihan sangat luas dan seringkali sulit diatasi.Sampai sejauh mana sih sebuah negara boleh ngutang? Bergantung pada berbagai faktor, termasuk kekuatan ekonominya, struktur utangnya, kemampuannya membayar utang, dan kepercayaan kreditornya. Metrik yang umum digunakan ialah rasio utang terhadap PDB, yang membandingkan total utang negara dengan produk domestik bruto (PDB). Tiada ambang batas universal, akan tetapi, negara-negara maju biasanya dapat mempertahankan rasio utang terhadap PDB yang lebih tinggi (misalnya, rasio Jepang lebih dari 200%) karena ekonomi mereka yang stabil dan lembaga yang kuat. Di negara-negara berkembang, rasio yang jauh lebih rendah (misalnya, 40-60%) dapat dianggap sustainable. Negara dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat mampu menanggung lebih banyak utang karena ekonominya yang tumbuh dapat menghasilkan pendapatan yang dibutuhkan membayar utang. Sebaliknya, ekonomi yang tumbuh lambat atau menyusut lebih terbatas dalam jumlah utang yang dapat mereka kumpulkan dengan aman.Utang dari kreditur domestik dalam mata uang nasional sering lebih mudah dikelola daripada utang luar negeri dari kreditur asing, sebab pemerintah dapat mempengaruhi suku bunga domestik dan mencetak lebih banyak mata uangnya bila diperlukan. Utang luar negeri, terutama dalam mata uang asing, lebih berisiko lantaran bergantung pada kemampuan negara memperoleh devisa dan tunduk pada risiko nilai tukar. Negara-negara dengan proporsi utang jangka panjang yang lebih tinggi, dapat mengelola tingkat utang keseluruhan yang lebih tinggi karena mereka punya lebih banyak waktu untuk membayar. Utang jangka pendek dapat lebih berisiko karena perlu digulirkan secara berkala, yang membuat negara tersebut menghadapi risiko pembiayaan kembali jika kondisi pasar memburuk.Faktor kritisnya ialah kemampuan negara membayar utangnya, termasuk membayar bunga. Jika pembayaran bunga menghabiskan sebagian besar pendapatan pemerintah, dapat menyebabkan tekanan fiskal, kendati tingkat utang secara keseluruhan tak terlalu tinggi. Jika negara dapat menghasilkan surplus primer (pendapatan pemerintah melebihi pengeluaran tidak termasuk pembayaran bunga), negara tersebut berada dalam posisi yang lebih baik dalam membayar utangnya dan mampu menanggung lebih banyak utang jika diperlukan.Sejauh mana negara dapat meminjam juga ditentukan oleh kepercayaan kreditornya. Negara-negara dengan sejarah tatakelola yang stabil, lembaga yang kuat, dan kebijakan fiskal yang bertanggungjawab, lebih mungkin berakses ke pasar kredit, bahkan pada tingkat utang yang lebih tinggi. Jika kreditor kehilangan kepercayaan, biaya pinjaman dapat meroket, dan akses ke kredit dapat sangat dibatasi. Negara-negara dengan bank sentral yang independen dan kebijakan moneter yang kredibel, seringkali lebih mampu mengelola tingkat utang yang lebih tinggi, sebab mereka dapat mempertahankan inflasi yang rendah dan suku bunga yang stabil, yang sangat penting dalam mengelola utang.Negara-negara dengan aliansi internasional yang kuat atau kepentingan strategis, akan dapat mempertahankan tingkat utang yang lebih tinggi karena tersedianya bantuan internasional dari organisasi-organisasi seperti IMF atau pemerintah yang bersahabat. Namun, ketergantungan pada bantuan tersebut, dapat menimbulkan biaya politik dan ekonomi yang signifikan. Negara-negara dengan lingkungan geopolitik yang stabil, umumnya dipandang sebagai taruhan yang lebih aman oleh para investor, yang memungkinkan mereka meminjam lebih banyak. Sebaliknya, negara-negara yang secara politik tidak stabil, akan merasa lebih sulit mengakses kredit, bahkan pada tingkat utang yang lebih rendah.Negara-negara yang mengikuti aturan fiskal ketat, seperti persyaratan anggaran berimbang atau pagu utang, biasanya bertingkat utang yang lebih rendah. Namun, fleksibilitas dalam kebijakan fiskal dapat memungkinkan utang yang lebih tinggi selama krisis (misalnya, selama resesi atau pandemi) selama ada rencana yang kredibel untuk kembali ke 'sustainable levels' dari waktu ke waktu. Jika negara dapat mempertahankan inflasi yang rendah, negara tersebut mampu menanggung lebih banyak utang. Inflasi yang tinggi mengikis nilai riil utang tetapi juga dapat menyebabkan suku bunga yang lebih tinggi dan hilangnya kepercayaan kreditur.Beberapa negara yang tingkat utangnya belakangan ini mencapai unsustainable levels, yang menyebabkan tantangan ekonomi dan keuangan yang signifikan. Sri Lanka menghadapi krisis utang yang parah pada tahun 2022, dengan rasio utang terhadap PDB melebihi 100%. Negara tersebut berjuang dengan krisis neraca pembayaran, inflasi tinggi, dan kekurangan barang-barang primer. Sri Lanka gagal membayar utangnya pada bulan April 2022, yang menyebabkan negosiasi dengan kreditor dan mencari bantuan dari organisasi internasional seperti IMF. Krisis tersebut mengakibatkan kesulitan ekonomi yang meluas dan ketidakstabilan politik.Utang Lebanon mencapai unsustainable selama beberapa tahun, dengan rasio utang terhadap PDB melampaui 150%. Negara tersebut telah menghadapi salah urus ekonomi kronis dan korupsi. Lebanon tak mampu membayar utangnya pada tahun 2020, yang menyebabkan krisis keuangan yang parah, hiperinflasi, dan runtuhnya layanan publik. Kemerosotan ekonomi tersebut diperburuk oleh ketidakstabilan politik dan pandemi COVID-19.Argentina punya sejarah panjang soal utang, dan tingkat utangnya unsustainable di beragam waktu. Dalam beberapa tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB negara tersebut tidak stabil, dengan restrukturisasi utang yang signifikan. Argentina menghadapi krisis utang pada tahun 2020, yang mengakibatkan perjanjian restrukturisasi dengan kreditor dan mencari dukungan IMF. Negara tersebut telah berjuang melawan inflasi yang tinggi, stagnasi ekonomi, dan keresahan sosial.Krisis utang Yunani dimulai pada tahun 2009, dan pada tahun 2010, rasio utang terhadap PDB telah melampaui 150%. Krisis ini diperburuk oleh kemerosotan keuangan global dan kelemahan struktural dalam ekonomi Yunani. Yunani membutuhkan banyak paket talangan dari UE dan IMF, yang menyebabkan langkah-langkah penghematan yang berat dan kontraksi ekonomi. Krisis ini berdampak panjang pada masyarakat dan ekonomi Yunani, meskipun upaya pemulihan terus berlangsung.Utang Venezuela unsustainvable karena kombinasi dari salah urus ekonomi, jatuhnya harga minyak, dan kekacauan politik. Rasio utang terhadap PDB negara tersebut sangat tinggi. Venezuela telah mengalami keruntuhan ekonomi yang parah, hiperinflasi, dan krisis kemanusiaan. Pemerintah telah berjuang membayar utangnya, menyebabkan kekurangan barang secara meluas dan krisis migrasi berskala besar.Meskipun utang nasional Indonesia dipandang belum mencapai unsustainable levels, para kritikus menyampaikan keprihatinan tentang utang nasional Indonesia. Ada kekhawatiran tentang menjaga disiplin fiskal, terutama dengan rencana meningkatkan belanja publik. Para kritikus berpendapat bahwa meskipun Indonesia punya ruang fiskal untuk menambah utangnya, semestinya dilakukan dengan hati-hati guna menghindari dampak negatif pada perekonomian. Beberapa pakar khawatir bahwa peningkatan pembiayaan defisit, terutama melalui pembiayaan moneter langsung, dapat melemahkan stabilitas ekonomi makro dari waktu ke waktu. Ini termasuk potensi risiko terhadap kepercayaan investor dan pengendalian inflasi. Lambatnya kemajuan reformasi keuangan dan tantangan transisi politik juga telah disorot. Para kritikus menunjukkan bahwa faktor-faktor ini dapat mempersulit upaya mengelola dan mereformasi utang nasional secara efektif.Sama seperti ketidakstabilan politik, kemerosotan ekonomi menyebabkan keresahan sosial dan hilangnya kepercayaan publik. Kesulitan ekonomi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada pemerintah dan lembaga jika mereka dianggap tak mampu atau tak mau mengelola perekonomian secara efektif. Hal ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah dan menimbulkan ketidakstabilan. Pada masa kemerosotan ekonomi, publik dapat kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemerintah mengelola perekonomian secara efektif. Jika pemerintah dipandang tak kompeten, korup, atau acuh tak acuh, hilangnya kepercayaan ini dapat menyebabkan ketidakpuasan yang meluas dan bahkan ketidakstabilan politik. Tak hanya kepercayaan pada pemerintah yang terkikis, melainkan pula kepercayaan pada lembaga lain, semisal peradilan, sistem keuangan, dan badan pengatur. Hal ini dapat melemahkan supremasi hukum dan merusak stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Venezuela mengalami kemerosotan ekonomi yang parah akibat jatuhnya harga minyak, hiperinflasi, dan salah urus. Ketika krisis semakin dalam, kepercayaan publik terhadap pemerintah terkikis secara signifikan. Ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan dasar seperti makanan dan obat-obatan menyebabkan protes yang meluas dan hilangnya legitimasi.Kemunduran ekonomi kerap mengakibatkan meningkatnya ketimpangan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Disaat kebutuhan dasar rakyat tak terpenuhi, atau ketika kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar, dapat menyebabkan protes, pemogokan, dan bahkan kekerasan, yang mengganggu stabilitas negara. Kemunduran ekonomi sering memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Ketika kemiskinan meningkat dan kekayaan menjadi lebih terkonsentrasi di kalangan elit kecil, ketegangan sosial dapat meningkat. Masyarakat akan merasa bahwa sistem tidak adil atau curang terhadap mereka, yang menyebabkan protes, pemogokan, atau bahkan kerusuhan. Dalam kasus ekstrem, keresahan sosial dapat meningkat menjadi kekerasan, memunculkan siklus ketidakstabilan yang semakin melemahkan negara. Pemerintah akan terbebani menjaga ketertiban, dan rasa aman dan stabilitas secara keseluruhan dalam masyarakat dapat berkurang. Runtuhnya perekonomian Argentina pada tahun 2001, yang didorong oleh gagal bayar utang dan devaluasi mata uang, menyebabkan pengangguran dan kemiskinan besar-besaran. Kerusuhan sosial yang diakibatkannya termasuk protes yang meluas, penjarahan, dan bentrokan dengan polisi. Krisis tersebut menyebabkan pengunduran diri beberapa presiden secara berurutan.Kita telah menelaah kemerosotan ekonomi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap melemahnya sebuah bangsa. Dalam sesi mendatang, kita akan membahas tantangan demografi sebagai faktor penting lainnya. Biidznillah."Setelah itu, Cattleya mempersembahkan sebuah puisi,Dalam gelap, pasar jatuh,Jalan ramai kini sunyi, sepi.Kekuatan bangsa mulai runtuh,Mimpi hilang, tak terperi.
Kutipan & Rujukan
- Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited: Anti-Globalization in the Era of Trump, 2018, W. W. Norton
- Carmen M. Renhart & KennehS. Rogoff, This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly, 2009, Princeton University Press
- Caroline de la Porte & Elke Heins, The Sovereign Debt Crisis, the EU and Welfare State Reform, 2016, Palgrave
- Robert S. McElvaine, The Great Depression: America 1929-1941, 2009, Three Rivers Press
- Captivating History, The Great Depression, 2018, Captivating History
- Alan Greenspan, The Age of Turbulence: Adventures in a New World, 2007, Penguin Press
- Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, 1996, Sage Publications