Minggu, 04 Agustus 2024

Ocehan Seruni (35)

"Dalam sebuah rapat alam pewayangan yang megah, para pemimpin duduk mengelilingi sebuah meja besar penuh hiasan. Di antara mereka terdapat para pemimpin yang dikenal sakti mandraguna, Prabu Palgunadi dari Paranggelung, Prabu Matswapati dari Wirata, dan Prabu Jangkung Mardeya dari Paranggubarja. Dan selamat datang di Sirkus Diplomatik, tempat para pemimpin paling berkuasa di dunia pewayangan berkumpul memecahkan masalah ... atau setidaknya, boong-boongan.
Prabu Palgunadi: (menggebrak meja) Kita kudu segera mengatasi perubahan iklim! Planet kita sedang terbakar oleh blok-blok tambang, terutama yang namanya blok tambang 404!
Prabu Matswati: (mengangguk) Setujuh, tapi pertama-tama, kita bahas dulu tarif perdagangan. Kerajaan gua lagi butuh lebih banyak impor beras.
Prabu Palgunadi: Beras? Kita ini lagi ngomongin masa depan planet kita!
Prabu Matswati: (ngangkat bahu) Nah entu dia, para pemilih gua, sukanya beras. No beras, no votes.
Prabu Jangkung Mardeya: (menyela) Bicara soal voting, kita perlu ngomong tentang cawe-cawe pemilu. Lawan politik gua, nuduh gua curangin pemilu.
Prabu Palgunadi: (menyeringai) Apa iya?
Prabu Jangkung Mardeya: (menyeringai juga) Yaa enggak doong! Gua kaan cuma mastiin kalo yang ngitung suara itu, orang-orang yang tepat.
Maka, para pemimpin melanjutkan sirkusnya, memainkan isu-isu bak punakawan yang main bola, masing-masing berusaha menjaga iklim kepentingannya sendiri.
Prabu Palgunadi: (menghela napas) Okelah, mari kita ngomongin soal perubahan iklim. Tapi kita kudu sepakat dulu soal tarif beras.
Prabu Matswati: Okeh. Sekarang, soal hasil pemilunya...
Prabu Jangkung Mardeya: (tertawa) Ah, politik. Itu semua kaan cuma tontonan?
Lalu, dunia pun terus berputar, para pemimpin terus main bola putar, dan sirkus terus digelar."

"Kekuatan politik ibarat mesin kapal yang mengarungi samudra luas hubungan internasional, menyediakan kekuatan dan arah yang diperlukan agar bergerak maju. Kekuatan politik melambangkan kemampuan negara mengambil keputusan, menegakkan hukum, dan memproyeksikan kekuatan, baik di dalam negeri maupun internasional.
Di sisi lain, diplomasi bagaikan kemudi dan layar kapal. Ia memungkinkan kapal mengarungi perairan dengan lancar, menghindari rintangan, dan membuat penyesuaian strategis terhadap jalurnya. Diplomasi membantu negara membangun aliansi, merundingkan perjanjian, dan menyelesaikan konflik tanpa menggunakan kekerasan.
Bersama-sama, kekuatan politik dan diplomasi memastikan bahwa kapal tak semata bergerak maju tapi melakukannya dengan cara menjaga keseimbangan, menghindari konfrontasi yang tak perlu, dan mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif," Seruni mengarungi tarian rumit kekuasaan politik dan diplomasi.

"Kekuatan politik (political power) merujuk pada kemampuan sebuah negara mempengaruhi perilaku negara atau aktor lain di panggung internasional. Kekuatan ini mencakup berbagai bentuk, termasuk kekuatan militer, kemampuan ekonomi, pengaruh budaya, dan kemampuan memproyeksikan soft-power.
Kemampuan militer negara dapat mencegah agresi, memproyeksikan kekuatan, dan memberikan jaminan keamanan kepada sekutu. Negara-negara dengan kekuatan militer yang signifikan, semisal Amerika Serikat, China, dan Rusia, berpengaruh substansial sebab dapat menegakkan kepentingan mereka atau melindungi sekutunya.
Kekuatan ekonomi memungkinkan sebuah negara menggunakan pengaruh melalui perdagangan, investasi, dan bantuan keuangan. Negara-negara yang kuat secara ekonomi, dapat menetapkan standar global, mempengaruhi kebijakan ekonomi internasional, dan menyediakan atau menahan sumber daya ekonomi dalam mencapai tujuan kebijakan luar negerinya.
Cultural soft-power, semisal media, hiburan, dan pendidikan, dapat membentuk persepsi dan nilai-nilai global. Negara-negara dengan kehadiran budaya yang kuat, dapat mempengaruhi opini publik global dan mempublikasikan nilai-nilai dan kebijakan mereka.
Negara yang stabil dan dikelola dengan baik, dapat menjadi model bagi negara lain, menarik investasi, dan membina aliansi. Stabilitas politik juga memungkinkan sebuah negara berperan secara konsisten dalam urusan internasional.
Beberapa negara dikenal memiliki kekuatan politik terkuat. Amerika Serikat dikenal karena pengaruh dahsyatnya terhadap politik, ekonomi, dan kekuatan militer global. China merupakan pemain global utama dengan pertumbuhan ekonomi dan pengaruh politik yang substansial. Rusia ternama oleh kemampuan militer dan pengaruh geopolitiknya yang strategis. Jerman merupakan pemain kunci di Uni Eropa dengan pengaruh ekonomi dan politik yang kuat. Inggris mempertahankan pengaruh internasional yang cukup besar melalui hubungan historisnya dan kekuatan politik serta ekonominya saat ini. Prancis dikenal lantaran peran aktifnya dalam diplomasi internasional dan kekuatan militernya. Jepang masih merupakan kekuatan ekonomi utama dengan pengaruh politik yang penting di Asia.

Beberapa negara sering dipandang berpengaruh politik yang lebih lemah di panggung global karena berbagai faktor seperti tantangan ekonomi, ketidakstabilan politik, atau jangkauan diplomatik yang terbatas. Somalia berjuang dengan konflik yang sedang berlangsung, ketidakstabilan politik, dan pemerintahan yang lemah, yang secara signifikan membatasi pengaruh internasionalnya. Perang saudara yang berkepanjangan dan sanksi internasional telah sangat melemahkan pengaruh politik Suriah. Sudan Selatan menghadapi tantangan serius karena konflik internal, ketidakstabilan ekonomi, dan fragmentasi politik. Konflik yang sedang berlangsung dan krisis kemanusiaan telah sangat mengurangi kekuatan dan pengaruh politik Yaman. Ketidakstabilan politik, tantangan ekonomi, dan bencana alam telah menghambat kemampuan Haiti menghadirkan pengaruh secara internasional. Konflik yang terus-menerus dan pemerintahan yang lemah telah membatasi pengaruh politik Republik Afrika Tengah. Negara-negara ini sering menghadapi tantangan internal yang mempengaruhi kemampuan mereka berperan secara efektif di panggung global.

Diplomasi merupakan praktik mengelola hubungan internasional dan bernegosiasi atas nama sebuah negara. Diplomasi melibatkan dialog, negosiasi, dan penyelesaian konflik secara damai. Melalui diplomasi, negara-negara membangun dan memelihara hubungan dengan negara lain. Keterlibatan diplomatik dapat bersifat bilateral (antara dua negara) atau multilateral (melibatkan banyak negara, kerap melalui organisasi internasional semisal Perserikatan Bangsa-Bangsa). Diplomasi yang efektif membantu mengamankan aliansi, perjanjian perdagangan, dan dukungan internasional.
Diplomasi sangat penting mencegah dan menyelesaikan konflik. Negosiasi diplomatik dapat menghasilkan perjanjian, kesepakatan damai, dan kerjasama internasional. Diplomasi yang berhasil meningkatkan reputasi sebuah negara sebagai pembangun perdamaian dan mediator. Partisipasi dalam organisasi internasional memungkinkan negara-negara membentuk norma dan aturan global. Diplomat menegosiasikan perjanjian, konvensi, dan peraturan yang mengatur perilaku internasional, semisal perjanjian perdagangan, protokol lingkungan, dan konvensi hak asasi manusia.
Soft-power, kemampuan menarik dan mengkooptasi ketimbang memaksa, merupakan komponen utama diplomasi. Diplomasi publik melibatkan promosi citra dan nilai-nilai sebuah negara di luar negeri, membina niat baik, dan membangun jaringan pengaruhnya.
Menurut Indeks Diplomasi Global terbaru, beberapa negara dengan jaringan diplomatik terkuat adalah China, yang memimpin di Afrika, Asia Timur, dan Pasifik dengan jumlah jabatan diplomatik terbesar di seluruh dunia; Amerika Serikat, yang mendominasi di benua Amerika, Eropa, dan Asia Selatan, dengan jaringan kedutaan dan konsulat yang luas; Turki telah dengan cepat memperluas kehadiran diplomatiknya, yang mencerminkan pengaruhnya yang semakin besar; Jepang adalah pemain diplomatik yang signifikan, terutama di Asia; Prancis dikenal karena jangkauan diplomatiknya yang luas dan peran aktifnya dalam urusan internasional; Rusia mempertahankan jaringan diplomatik yang kuat meskipun ada tantangan geopolitik baru-baru ini; Inggris terus menghadirkan diplomatik yang kuat secara global; Jerman adalah pemain kunci dalam diplomasi Eropa dan global. Negara-negara ini berinvestasi besar dalam diplomasi untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh mereka di panggung global.

Kekuatan politik Indonesia di panggung global ditandai oleh diplomasi strategis dan pengaruh regionalnya. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memainkan peran penting dalam the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Indonesia menggunakan platform ini untuk mempromosikan kerjasama, pembangunan, demokrasi, keamanan, perdamaian, dan stabilitas di kawasan tersebut. Namun, pengaruh Indonesia dibatasi oleh tantangan domestiknya dan perlunya kepemimpinan yang lebih kuat dalam ASEAN.
Secara historis, Indonesia telah menganut kebijakan luar negeri yang 'bebas dan aktif', menghindari keberpihakan dengan negara-negara besar dan sebaliknya berfokus pada perdamaian regional dan global. Dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi yang terus berkembang, Indonesia berfokus pada diplomasi ekonomi untuk menarik investasi asing, menggalakkan hubungan perdagangan, dan memperkuat ikatan ekonomi. Sementara diplomasi ekonomi Indonesia disanjung karena menarik investasi asing dan memperkuat hubungan perdagangan, namun korupsi dan inefisiensi birokrasi dapat menghambat efektivitasnya.
Indonesia telah memainkan peran dalam memediasi konflik regional, semisal konflik Kamboja-Thailand atas kuil Preah Vihear, dan mendorong reformasi politik di Myanmar. Para cendekiawan sering menggolongkan Indonesia sebagai kekuatan menengah di kawasan Asia-Pasifik karena ukuran geografis dan demografisnya, kemampuan yang meningkat, dan inisiatif diplomatiknya. Akan tetapi, kebijakan luar negerinya terkadang kurang koheren dan tegas, khususnya dalam menangani isu-isu global di luar kawasan. Survei pada tahun 2021 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin tidak percaya pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Sentimen ini dapat mempengaruhi keputusan kebijakan luar negeri Indonesia dan interaksinya dengan negara-negara tersebut. Indonesia sering pula dihargai oleh stabilitas politiknya, terutama mengingat populasinya yang beragam dan sejarah konfliknya. Namun, isu-isu semisal politik uang, pembelian suara, dan korupsi, merusak tatakelola pemerintahan yang baik dan konsolidasi demokrasi.

Kekuatan politik dan diplomasi saling terkait dan saling memperkuat. Kekuatan politik sebuah negara meningkatkan pengaruh diplomatiknya, sementara diplomasi yang efektif dapat meningkatkan atau mempertahankan kekuatan politik. Bersama-sama, keduanya memungkinkan negara dalam mengejar kepentingannya, mempengaruhi peristiwa global, dan berkontribusi dalam membentuk tatanan internasional. Kekuatan politik dan diplomasi sangat penting bagi pengaruh internasional karena keduanya menentukan kemampuan sebuah negara membentuk urusan global, melindungi kepentingannya, dan berkontribusi pada tatakelola global.

Jeremy Black, seorang sejarawan yang dikenal oleh karyanya yang luas tentang hubungan internasional dan sejarah militer, mengeksplorasi perkembangan historis dan konsep-konsep utama geopolitik, meneliti bagaimana negara dan para pemimpin menggunakan kekuatan dan strategi untuk mencapai dominasi. Geopolitik secara umum dipahami sebagai studi tentang impak geografi (manusia dan fisik) pada politik internasional dan hubungan internasional. Geopolitik mencakup analisis faktor-faktor strategis seperti lokasi, sumber daya, dan medan fisik, di samping pertimbangan budaya, ekonomi, dan demografi. Geopolitik berusaha memahami bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi kekuatan dan perilaku negara, persaingan mendapatkan wilayah, dan sistem internasional yang lebih luas.
Black membahas geopolitik dengan meneliti pentingnya fitur geografis, semisal gunung, sungai, dan laut, dalam membentuk pertimbangan strategis negara (geografi strategis); bagaimana negara menggunakan posisi geografis dan sumber dayanya, mempengaruhi dan mengendalikan wilayah (kekuasaan dan kendali); evolusi historis pemikiran dan praktik geopolitik, termasuk karya para pemikir utama dan penerapan ide-ide mereka; dan tantangan serta strategi geopolitik modern, termasuk peran teknologi, perdagangan global, dan masalah lingkungan (isu-isu kontemporer).

Black mengeksplorasi bagaimana peradaban kuno, semisal Mesir, Mesopotamia, dan Tiongkok, memahami dan memanfaatkan fitur geografis untuk pertahanan dan ekspansi. Pentingnya sungai, gunung, dan gurun secara strategis membentuk ambisi teritorial dan strategi pertahanan mereka. Bangsa Yunani dan Romawi memberikan kontribusi yang berarti terhadap pemikiran geopolitik awal. Analisis Thucydides tentang Perang Peloponnesia dan penggunaan strategis Kekaisaran Romawi atas jaringan jalan dan batas alamnya yang luas merupakan pertimbangan geopolitik awal.
Selama Abad Pertengahan, pemikiran geopolitik dipengaruhi oleh sistem feodal, otoritas keagamaan, dan fragmentasi kekuasaan. Perang Salib dan Reconquista adalah contoh bagaimana geografi dan motivasi keagamaan saling terkait dalam tindakan geopolitik. Renaisans membawa minat baru pada pengetahuan klasik dan perluasan kekuatan Eropa. Pemikir seperti Niccolò Machiavelli menekankan penggunaan kekuasaan secara pragmatis dan pentingnya kendali teritorial. Zaman Eksplorasi memperluas cakrawala geopolitik Eropa, yang mengarah pada kolonisasi Amerika, Afrika, dan Asia. Abad ke-19 menyaksikan kebangkitan imperialisme Eropa, yang didorong oleh kebutuhan akan sumber daya, pasar, dan keuntungan strategis. Periode ini menandai formalisasi pemikiran geopolitik, dengan para pemikir seperti Halford Mackinder dan Alfred Mahan mengembangkan teori-teori yang berpengaruh.
Periode antarperang dan Perang Dunia II pada abad ke-20 menyaksikan penerapan praktis teori geopolitik. Kebijakan ekspansionis Nazi Jerman, yang didasarkan pada gagasan seperti Lebensraum (ruang hidup), dan strategi geopolitik Sekutu dan kekuatan Poros sangatlah penting. Era Perang Dingin memperkenalkan tatanan dunia bipolar yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pemikiran geopolitik selama masa ini berfokus pada penahanan, pencegahan, dan pertikaian ideologis antara kapitalisme dan komunisme. Konsep lingkup pengaruh dan aliansi strategis, seperti NATO dan Pakta Warsawa, merupakan inti geopolitik Perang Dingin. Runtuhnya Uni Soviet dan munculnya dunia unipolar menyebabkan tantangan geopolitik baru. Black kemungkinan besar mengeksplorasi kebangkitan kekuatan regional, dampak globalisasi, dan munculnya kembali multipolaritas dengan kebangkitan China dan negara-negara lain. Pemikiran geopolitik kontemporer telah berkembang mencakup pertimbangan aktor non-negara, perang siber, perubahan iklim, dan keamanan energi. Pengaruh teknologi dan informasi dalam membentuk strategi geopolitik juga menjadi fokus utama.

Black juga mengeksplorasi konsep dominasi dalam konteks geopolitik. Dominasi secara umum mengacu pada kekuatan atau pengaruh yang dimiliki satu negara atau sekelompok negara terhadap negara lain. Dominasi melibatkan kemampuan sebuah negara memaksakan keinginannya kepada negara lain, membentuk sistem internasional sesuai dengan kepentingannya, dan mempertahankan posisi superior dalam hierarki global. Black membahas ketegangan antara realpolitik—pendekatan pragmatis terhadap politik yang berfokus pada kekuatan dan kepentingan nasional—dan pertimbangan moral. Realpolitik acapkali memprioritaskan tujuan strategis dan kekuasaan di atas masalah etika, yang mengarah pada tindakan yang mungkin dipertanyakan secara moral. Pencarian dominasi seringkali melibatkan pelemahan kedaulatan negara yang lebih kecil atau lebih lemah. Mengejar dominasi dapat menyebabkan penderitaan manusia yang serius, termasuk pengungsian, hilangnya nyawa, dan kehancuran masyarakat. Black mempertimbangkan tanggungjawab etis dari kekuatan dominan dalam mengurangi konsekuensi negatif ini dan menangani masalah kemanusiaan. Strategi geopolitik kerap melibatkan pilihan moral yang sulit, seperti memilih antara mengejar kepentingan strategis dan menegakkan hak asasi manusia.
Black meneliti bagaimana ideologi dan norma internasional mempengaruhi pengejaran dominasi global dan menekankan pentingnya pertimbangan etika dalam konteks ini. Ideologi, semisal nasionalisme, agama, atau filsafat politik, dapat membentuk pencarian dominasi sebuah negara. Negara seringkali mengejar kekuasaan dan pengaruh berdasarkan keyakinan ideologis yang membenarkan atau memotivasi tindakan mereka. Misalnya, selama Perang Dingin, persaingan ideologis antara kapitalisme dan komunisme mendorong strategi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Demikian pula, kekuatan kolonial kerap membenarkan kebijakan ekspansionis mereka dengan menggalakkan nilai-nilai budaya atau peradaban mereka sendiri sebagai yang unggul. Black mengeksplorasi bagaimana motivasi ideologis ini dapat menginspirasi dan mempersulit pengejaran dominasi, mempengaruhi tak hanya strategi yang digunakan, melanikan pula kerangka etika dimana strategi ini dikejar.
Norma internasional dan standar etika memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana negara mendekati pengejaran dominasi. Norma-norma ini, yang ditetapkan melalui perjanjian, konvensi, dan organisasi internasional, menetapkan batasan pada perilaku yang dapat diterima dan bertujuan mempropagandakan stabilitas global dan hak asasi manusia. Black menekankan perlunya negara mematuhi norma-norma ini dan menegakkan standar etika, bahkan saat mengejar tujuan strategis mereka. Misalnya, prinsip-prinsip yang diuraikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, semisal penghormatan terhadap kedaulatan dan non-intervensi, berfungsi sebagai pedoman tentang bagaimana negara harus menjalankan kebijakan luar negeri mereka. Black berpendapat bahwa menjaga akuntabilitas dan menghormati norma-norma internasional sangat penting memastikan bahwa pengejaran dominasi tak mengarah pada praktik yang tidak adil atau merusak tatanan global.
Secara keseluruhan, Black menggarisbawahi bahwa kendati pengejaran dominasi acapkali didorong oleh kepentingan strategis dan motivasi ideologis, seyogyanya diimbangi oleh komitmen terhadap prinsip-prinsip etika dan standar internasional untuk mencegah kerugian dan memastikan sistem internasional yang adil dan stabil.

Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah menyinggung konsekuensi kekuasaan dalam hubungan internasional menurut Giulio M. Gallarotti. Gallarotti berpendapat bahwa kendati akumulasi kekuasaan seringkali dipandang sebagai sarana meningkatkan keamanan dan pengaruh, secara paradoks hal itu dapat menyebabkan ketidakamanan. Semakin kuat sebuah negara, semakin besar kemungkinan ia memancing ketakutan dan perlawanan di antara negara-negara lain, yang mengarah pada koalisi penyeimbang yang berusaha melawan pengaruhnya. Hal ini dapat mengakibatkan dilema keamanan, dimana upaya pengejaran keamanan oleh satu negara menyebabkan ketidakamanan yang lebih besar secara keseluruhan.
Konsekuensi serius punya kekuasaan yang substansial adalah godaan atau tekanan melakukan ekspansi yang berlebihan. Negara-negara yang kuat dapat melakukan komitmen yang berlebihan terhadap intervensi internasional, keterlibatan militer, atau upaya diplomatik di luar kemampuan atau kepentingannya. Jangkauan yang berlebihan ini dapat menguras sumber daya, melemahkan fondasi domestik negara, dan menyebabkan kesalahan strategis.

Gallarotti membahas ilusi kendali yang sering menyertai kekuasaan. Negara-negara akan melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam mengendalikan hasil dalam urusan internasional, yang mengarah pada kesombongan dan salah perhitungan strategis. Ilusi ini dapat sangat berbahaya dalam sistem global yang kompleks dimana banyak variabel berada di luar kendali sebuah negara. Negara-negara yang kuat dapat terjerat dalam ketergantungan dan hubungan yang membatasi kebebasan bertindak mereka. Misalnya, aliansi dan kemitraan mungkin memerlukan komitmen yang mengikat pengambilan keputusan sebuah negara. Selain itu, mempertahankan berbagai macam kepentingan internasional dapat membuka kewajiban dan menjebak negara dalam konflik atau krisis yang ingin dihindarinya.
Kekuasaan dapat menimbulkan perlawanan dan reaksi keras, baik di dalam negeri maupun internasional. Di dalam negeri, pengejaran kekuasaan dapat menyebabkan pengabaian kesejahteraan publik, yang menyebabkan keresahan sosial. Di tingkat internasional, negara-negara lain atau aktor non-negara mungkin secara aktif menentang kebijakan negara yang kuat, yang menyebabkan konflik atau hubungan yang tegang. Perlawanan ini dapat merusak tujuan negara yang kuat dan mengurangi pengaruhnya.

Negara sering keliru menafsirkan tindakan dan niat negara lain, terutama jika negara tersebut berkuasa. Kesalahpahaman ini dapat menyebabkan reaksi berlebihan, semisal peningkatan kekuatan militer yang tak perlu atau serangan pendahuluan, yang dapat memperburuk ketegangan dan menyebabkan konflik. Gallarotti berpendapat bahwa ada 'diminishing returns to power' (keuntungan yang semakin berkurang dari kekuasaan). Disaat negara mengumpulkan lebih banyak kekuasaan, manfaat tambahan yang mereka peroleh dari peningkatan kekuasaan, lebih lanjut menjadi marjinal. Sebaliknya, biaya dan risiko terkait dengan mempertahankan atau memperluas kekuasaan dapat meningkat, membuat pihak yang tak berdaya menjadi lebih diuntungkan dan lebih terbebani.
Gallarotti menyoroti bahwa kekuasaan tanpa legitimasi dapat menjadi kontraproduktif. Negara yang menggunakan kekuasaan dengan cara yang dianggap tidak sah atau tidak adil dapat menghadapi perlawanan, baik dari negara lain maupun dari dalam populasi mereka sendiri. Legitimasi sangat penting dalam mempertahankan pengaruh dan mencapai tujuan jangka panjang.

Aharon Klieman menyajikan kontribusi dari berbagai spesialis regional dan pakar negara, yang membahas konflik kekuatan regional dan zona pertikaian geopolitik yang penting bagi stabilitas internasional di masa mendatang. Mereka membahas bagaimana negara-negara besar terlibat dalam tindakan penyeimbangan untuk melawan pengaruh satu sama lain. Hal ini melibatkan pembentukan aliansi, keterlibatan dalam kemitraan strategis, dan terkadang persaingan langsung dalam mempertahankan atau mengubah keseimbangan kekuatan. Negara-negara besar regional seringkali memproyeksikan pengaruh mereka melalui konflik regional. Sanksi ekonomi, perjanjian perdagangan, dan postur militer adalah alat umum yang digunakan oleh negara-negara besar demi menegaskan dominasi dan pengaruhnya.
Klieman menawarkan beberapa saran untuk memahami dan menavigasi dinamika kekuatan global yang terus berubah. Negara-negara hendaknya mengembangkan strategi fleksibel yang memperhitungkan munculnya banyak pemain global yang berarti. Ini melibatkan adaptasi terhadap dunia dimana kekuatan lebih terdistribusi dan dimana dominasi unipolar tradisional kurang layak.
Memperkuat upaya diplomatik dan membangun kemitraan multilateral sangat penting dalam mengelola persaingan dan konflik. Terlibat dalam dialog dan negosiasi dapat membantu mengurangi ketegangan dan mendorong kerjasama di antara negara-negara besar. Berkontribusi pada penguatan dan reformasi lembaga internasional dapat membantu mengelola tantangan dan konflik global. Lembaga yang efektif dapat menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama dan penyelesaian konflik.
Memahami kekhususan regional dan struktur kekuatan lokal sangat penting dalam menavigasi politik global. Negara-negara besar hendaklah memperhatikan tren dan konflik regional, karena ini sering mempengaruhi hubungan internasional yang lebih luas.
Memanfaatkan kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi dapat meningkatkan pengaruh global sebuah negara. Berinvestasi dalam inovasi dan mempertahankan daya saing ekonomi sangat penting untuk mempertahankan posisi yang kuat di dunia yang sedang menyeimbangkan kembali.
Negara-negara besar hendaklah bekerja sama mengatasi masalah transnasional semisal perubahan iklim, pandemi, dan terorisme. Pendekatan kolaboratif dapat menghasilkan solusi yang lebih efektif dan mengurangi potensi konflik. Penyeimbangan kembali kekuatan global menimbulkan ketidakpastian dan hal yang tak dapat diprediksi. Negara-negara seyogyanya siap menghadapi perubahan yang tak terduga dan tangkas dalam menanggapi perubahan keadaan. Saran-saran ini bertujuan memberikan panduan dalam menavigasi kompleksitas urusan internasional di dunia, tempat struktur kekuatan tradisional terus berkembang.

Kita telah membicarakan makna penting ‘kekuatan politik dan diplomasi’ sebagai ciri utama pengaruh internasional. Dalam pembahasan berikutnya, kita akan menyelami ‘pengaruh kultural’ terhadap impak internasional. Biidznillah.”
Kutipan & Rujukan:
- Jeremy Black, Geopolitics and the Quest for Dominance, 2016, Indiana University Press
- Aharon Klieman (Ed.), Great Powers and Geopolitics: International Affairs in a Rebalancing World, 2015, Springer