Senin, 05 Agustus 2024

Ocehan Seruni (36)

"Di kerajaan Ngastinapura yang masyhur, terjadi perseteruan sengit memperebutkan warisan yang tak terduga—mobil Antelope yang mewah dan megah. Kerajaan itu terbagi menjadi dua faksi yang saling berseberangan, masing-masing berlomba merebut kendaraan dambaan ini.
Di pucuk spektrum, sekelompok orang yang menyatakan diri sebagai ahli waris yang sah menuntut pengembalian mobil tersebut. Argumen mereka bergema di aula istana: 'Mobil itu rusak! Mobilnya harus diperbaiki dan dikembalikan kepada kami. Kamilah penjaga yang sebenarnya. Bagaimanapun, warisan ini diatas segalanya—bahkan seluruh kerajaan!'
Di hulu spektrum, faksi yang berseberangan berjuang mati-matian mempertahankan kepemilikannya. Mereka berbesar hati menyatakan, 'Kami telah merawat mobil Antelope dengan tekun. Kami mengubahnya jadi kepak ajaib bertenaga turbo! Kalianlah yang mengubahnya jadi bangkai kapal. Dan jujur ​​saja, kami takkan bersikap defensif jika kalian menjaga sopan santun!'
Perseteruan makin berkecamuk, dengan kedua belah pihak saling melontarkan dampratan cerdas dan ledekan kreatif. Mobil Antelope tetap bertengger di atas tumpuannya, bannya gembos oleh beban asa. Pertengkaran masih memanas, dan dampaknya menyebar ke seluruh kerajaan—seumpama senggolan ringan di tengah macetnya lalulintas.
Saat matahari terbenam di atas Ngastinapura, lampu depan mobil berkedip-kedip, mungkin karena terhibur atau mangkel. Siapa yang tahu bahwa warisan dapat menyebabkan kegemparan yang menarik perhatian seperti itu? Dan dengan demikian, kisah mobil Antelope terungkap, membuktikan bahwa terkadang, harta yang paling berharga itu, harta yang bikin kita 'korsleting'."
[Disclaimer: Gak ada mobil Antelope yang benar-benar rusak dalam pembuatan kisah satire ini. Segala kemiripan dengan kerajaan atau penggemar mobil sungguhan, hanya kebetulan]

"Sekarang mari kita imajinasikan dunia sebagai permadani agung, yang dijalin bersama oleh benang-benang budaya yang tak terhitung jumlahnya. Setiap benang merepresentasikan tradisi, bahasa, kuliner, bentuk seni, atau sistem kepercayaan yang unik. Benang-benang budaya ini melintasi dunia, menghubungkan negeri-negeri yang jauh dan membentuk jalinan kehidupan bersama kita," lanjut Seruni.
"Sekarang, anggaplah 'pengaruh internasional' sebagai mosaik yang hidup. Mosaik ini tersusun dari berbagai ubin, yang masing-masing merepresentasikan sebuah negara, wilayah, atau komunitas. Ubin-ubin ini tak terisolasi; semuanya berinteraksi, tumpang tindih, dan saling meminjam. Dan apa yang mengikat mereka? Benang-benang pengaruh budaya. Dan bagaimana cara kerjanya?
Andaikan seorang penenun terampil duduk di alat tenun, dengan cermat membuat permadani. Penenun ini merepresentasikan upaya kolektif umat manusia—para seniman, pemikir, pelancong, dan pendongeng. Saat mereka menenun, mereka memperkenalkan pola, warna, dan tekstur baru. Penambahan ini beriak melintasi batas, melampaui batas geografis.
Sama seperti angin yang membawa benih melintasi benua, ide-ide kultural berjalan melalui waktu dan ruang. Sajak-sajak seorang penyair dari Persia kuno menginspirasi seorang penulis lagu di Brasil. Teknik kuliner dari Thailand menemukan jalannya ke dapur Paris. Pertukaran ini membuka aliran yang dinamis—tarian rasa, melodi, dan filosofi.
Andaikan pula sebuah pasar yang ramai tempat para pedagang dari berbagai budaya berkumpul. Mereka memamerkan barang dagangannya—sutra dari Tiongkok, rempah-rempah dari India, tembikar dari Yunani. Pengunjung terkagum-kagum dengan kekayaan dan keragamannya. Demikian pula, pertukaran budaya terjadi dalam skala global. Sastra, musik, mode, dan teknologi beredar bebas, memperkaya masyarakat.
Dalam kisah Bible, Menara Babel melambangkan kebersatuan dan keberagaman. Saat orang-orang berkolaborasi, mereka membangun sesuatu yang monumental—pemahaman bersama. Namun, keberagaman bahasa muncul, yang mengarah pada penyebaran. Pengaruh kultural beroperasi dengan cara yang sama. Saat negara-negara berkolaborasi, mereka membangun jembatan. Namun bahasa, adat istiadat, dan nilai-nilai tetap berbeda, membentuk identitas uniknya.
Umajinasikan pula rasi bintang di langit malam. Setiap bintang merepresenrasikan seorang seniman, pemikir, atau penemu. Karya-karya mereka—lukisan, penemuan, teori—membentuk rasi bintang kreativitas. Konstelasi ini membimbing para pelancong atau musafir, menginspirasi para pemimpi, dan mengingatkan kita bahwa pengaruh kultural tidaklah linier; ia merupakan jaringan surgawi.
Singkatnya, pengaruh kultural terjalin melalui jalinan hubungan internasional. Inilah kekuatan tak kasat mata yang mengikat kita, menjadikan dunia kita sebagai mahakarya yang gani dan saling terhubung. Maka, bila kita berbicara tentang 'pengaruh internasional,' kita mengakui adanya interaksi budaya yang rumit—sebuah simfoni dimana setiap titinada penting, dan setiap sapuan kuas meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Seperti halnya sehelai benang dapat mengubah seluruh permadani, setiap pertukaran budaya membentuk narasi global kita.

Cultural power (kekuatan kultural), yang juga dikenal sebagai 'soft-power (kekuatan lunak)', merujuk pada kemampuan sebuah negara mempengaruhi negara lain melalui daya-pikat dan daya-tariknya, bukan melalui paksaan atau kekerasan. Aspek inilah aspek lain dari pengaruh internasional lantaran membentuk preferensi dan perilaku negara dan masyarakat lain, kerap dengan cara-cara yang lembut tapi amat berarti.
Negara-negara sering mempromosikan budaya mereka di luar negeri untuk membangun hubungan yang positif dan meningkatkan citra mereka. Ini dapat mencakup promosi bahasa, seni, kuliner, dan tradisi. Misalnya, pertukaran budaya, festival film, dan pameran dapat menumbuhkan niat baik dan saling pengertian. Penyebaran global musik, film, mode, dan media sebuah negara, dapat membangun persepsi dan kekaguman yang positif terhadap negara tersebut. Misalnya, film-film Hollywood dan musik Amerika telah membantu mempromosikan budaya AS di seluruh dunia, yang acapkali membuat nilai-nilai dan gaya hidup Amerika menarik.
Gengsi lembaga pendidikan sebuah negara dan kontribusinya terhadap sains, teknologi, dan seni, juga dapat menjadi bentuk kekuatan budaya. Siswa yang belajar di luar negeri kerap membawa pulang pengalaman positif dan mempengaruhi perspektif negara asal mereka terhadap negara tuan rumah. Mempromosikan cita-cita semisal demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan, dapat membentuk norma dan nilai internasional. Sebuah negara yang dipandang sebagai model bagi cita-cita ini, dapat menginspirasi negara lain dan menunjukkan otoritas moralnya.
Negara yang menarik wisatawan tak semata diuntungkan secara ekonomi, melainkan pula berkesempatan memamerkan budaya, keramahtamahan, dan cara hidupnya, yang berpotensi membawa kesan abadi pada pengunjung. Perusahaan multinasional dan jaringan media dapat membawa pengaruh budaya lintas batas. Kehadiran merek global dapat mempromosikan gaya hidup dan preferensi tertentu, yang secara lembut mempengaruhi budaya global. Menjadi tuan rumah acara olahraga internasional atau punya atlet-atlet yang diakui secara global, dapat meningkatkan kekuatan budaya sebuah negara. Acara-acara ini menawarkan panggung ekspresi budaya dan dapat meningkatkan kebanggaan dan visibilitas nasional.
Kekuatan budaya merupakan komponen penting pengaruh sebuah negara secara keseluruhan, sebab kekuatan ini, mampu membentuk opini publik global, membangun aliansi, dan membuka lingkungan yang mendukung keterlibatan diplomatik dan ekonomi. Tak seperti hard power (kekuatan keras), yang mengandalkan kekuatan militer dan ekonomi, kekuatan budaya lebih banyak bekerja melalui daya tarik dan persuasi.

Joseph S. Nye Jr. meneliti dinamika kekuatan yang terus berubah pada abad ke-21, terutama dalam konteks globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan lanskap geopolitik. Nye, seorang pakar terkemuka dalam hubungan internasional, dikenal dikenal oleh konsepnya 'soft-power' dan 'smart-power'. Nye membedakan antara berbagai jenis kekuatan: Hard power, melibatkan cara-cara koersif, semisal kekuatan militer dan sanksi ekonomi, untuk mempengaruhi negara lain; Soft power, kemampuan membentuk preferensi orang lain melalui daya-pikat dan daya-tarik, menggunakan pengaruh budaya, nilai-nilai, dan diplomasi; Smart power, kombinasi strategis dari hard power dan soft power, yang memanfaatkan kekuatan keduanya guna mencapai tujuan kebijakan luar negeri.
Nye menekankan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi yang semakin meningkat. Revolusi digital telah memunculkan bentuk-bentuk kekuatan baru, semisal kekuatan siber, yang dapat mempengaruhi aktor negara dan non-negara. Kemampuan mengendalikan dan memanipulasi informasi telah menjadi komponen penting dari keamanan nasional dan pengaruh internasional.
Globalisasi telah menghubungkan ekonomi dan masyarakat, memunculkan saling ketergantungan yang kompleks. Keterkaitan ini dapat memberdayakan dan membatasi negara, sebab mereka harus menghadapi tantangan global semisal perubahan iklim, krisis keuangan, dan pandemi. Nye berpendapat bahwa dalam dunia yang mengglobal, kekuatan bukanlah zero-sum (sebuah keadaan, yang sering dikutip dalam game theory, dimana keuntungan satu orang setara dengan kerugian orang lain, sehingga perubahan bersih dalam manfaatnya adalah nol); negara-negara dapat memperoleh manfaat dari pendekatan kooperatif untuk mengatasi masalah bersama.

Nye mengeksplorasi bagaimana metrik kekuatan tradisional, seperti kemampuan militer dan ekonomi, tak dapat memahami dinamika kekuatan kontemporer. Ia berpendapat bahwa dalam dunia komunikasi instan dan opini publik global, legitimasi dan kredibilitas semakin penting dalam mempertahankan pengaruh. Kemampuan memenangkan hati dan persepsi, sama pentingnya dengan kekuatan militer tradisional.
Seraya mengakui kebangkitan kekuatan global lainnya, Nye berpendapat bahwa Amerika Serikat akan terus memegang posisi penting dalam tatanan global. Namun, ia menyarankan bahwa AS harus beradaptasi dengan mengintegrasikan strategi kekuatan lunak dan cerdas, membangun aliansi, dan terlibat dalam kerja sama multilateral dalam mengatasi tantangan global.

Nye juga membahas dimensi etika kekuasaan. Nye menekankan bahwa agar kekuasaan efektif, kekuasaan tersebut harus terlegitimasi. Legitimasi berasal dari pembenaran moral dan hukum atas tindakan sebuah negara. Ia berpendapat bahwa penggunaan kekuasaan secara beretika meningkatkan kredibilitas, yang sangat penting dalam membangun kepercayaan dan kerja sama dengan negara lain dan aktor non-negara. Manakala sebuah negara bertindak dengan cara yang dianggap fair dan adil, negara tersebut memperoleh otoritas moral yang dapat memperkuat kekuatan lunaknya.
Nye berpendapat bahwa negara-negara yang kuat bertanggungjawab moral menggunakan kekuasaan mereka tak hanya bagi kepentingan pribadi, tapi juga untuk kebaikan global. Ini termasuk menggalakkan perdamaian, melindungi hak asasi manusia, dan mengatasi tantangan global semisal kemiskinan, perubahan iklim, dan pandemi. Ia menyarankan bahwa kepemimpinan yang etis memerlukan penyeimbangan kepentingan nasional dengan tanggungjawab global.
Dimensi etika yang penting menyangkut cara yang digunakan untuk mencapai tujuan politik. Nye memperingatkan terhadap penggunaan taktik yang tak beretika atau memaksa, semisal penipuan, manipulasi, atau kekuatan militer yang tak perlu. Ia menganjurkan penggunaan soft power dan keterlibatan diplomatik bila memungkinkan, dengan menyatakan bahwa cara yang digunakan hendaklah sama bermoralnya dengan tujuan yang ingin dicapai.
Nye berpendapat bahwa kekuatan etika memerlukan kepatuhan terhadap norma dan hukum internasional. Penghormatan terhadap aturan hukum ini, penting untuk menjaga tatanan internasional yang didasarkan pada prinsip dan bukan semata pada kekuasaan. Negara-negara yang mematuhi perjanjian internasional dan mendukung lembaga multilateral berkontribusi pada sistem global yang lebih stabil dan adil.
Dengan munculnya teknologi informasi dan kemampuan siber, Nye menggarisbawahi implikasi etika dari cara penggunaan alat-alat ini. Ia memperingatkan agar tak menyalahgunakan kekuatan siber untuk tujuan seperti pengawasan, misinformasi, atau serangan siber, yang dapat mengikis kepercayaan dan mengganggu hubungan internasional. Pertimbangan etika hendaklah menjadi panduan dalam pengembangan dan penerapan teknologi baru.
Nye berpendapat bahwa negara-negara yang kuat semestinya berkontribusi pada penyediaan barang publik global, semisal perlindungan lingkungan, pencegahan penyakit, dan pemeliharaan sistem perdagangan yang terbuka dan adil. Hal ini tak hanya menguntungkan masyarakat global, melainkan pula menumbuhkan niat baik dan memperkuat kedudukan etika negara yang berkontribusi.

Memperkenalkan soft power, yang mencakup diplomasi kultural, pertukaran pendidikan, dan bantuan internasional, dipandang sebagai keharusan etika. Nye berpendapat bahwa menyebarkan nilai-nilai positif dan menumbuhkan saling pengertian dapat mambangun lingkungan internasional yang lebih damai dan kooperatif. Pendekatan ini, berbeda dengan penggunaan hard power, yang selalu mengandalkan paksaan dan dapat menimbulkan konflik dan kebencian.
Nye mendefinisikan soft power sebagai kemampuan membentuk preferensi negara lain melalui daya-pikat dan daya-tarik. Tak seperti hard power, yang menggunakan cara militer atau ekonomi untuk mempengaruhi hasil, soft power didasarkan pada sumber daya tak berwujud semisal budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri yang berlegitimasi atau berotoritas moral.
Nye mengidentifikasi tiga sumber utama soft power. Budaya, yang meliputi hasil budaya sebuah negara, semisal seni, sastra, musik, film, dan media. Ketika elemen-elemen ini menarik dan beresonansi dengan masyarakat lain, semuanya dapat meningkatkan pengaruh sebuah negara; Nilai-nilai politik, yakni kebijakan dalam negeri sebuah negara, termasuk komitmennya terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum, dapat menarik bagi bangsa lain. Ketika nilai-nilai ini dipraktikkan secara konsisten, semuanya dapat menghasilkan rasa hormat dan kekaguman; serta kebijakan luar negeri sebuah negara, dapat berkontribusi pada soft power-nya ketika dianggap terletimigasi dan berlandaskan moral. Kebijakan yang mempromosikan barang publik global, semisal pemeliharaan perdamaian, bantuan pembangunan, dan perlindungan lingkungan, dapat memperkuat soft power sebuah negara.

Nye menjelaskan bagaimana soft power bekerja melalui daya tarik, bukan paksaan atau pembayaran. Soft power beroperasi melalui tiga mekanisme, yaitu Agenda Setting (kemampuan membentuk apa yang diinginkan negara lain dengan menetapkan agenda dalam lembaga dan norma global), Co-optive Power (kemampuan menarik negara lain agar menginginkan apa yang engkau inginkan, seringkali dengan memberi contoh atau menjadi panutan), dan Framing (kekuatan membingkai dan membentuk bagaimana isu dipersepsikan dan didiskusikan di arena internasional).
Nye membedakan soft power dengan hard power, yang mengandalkan kekuatan militer dan insentif atau sanksi ekonomi. Ia berpendapat bahwa meskipun hard power penting dalam keadaan tertentu, soft power semakin penting dalam dunia globalisasi dimana opini publik dan legitimasi memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Ia memperkenalkan konsep 'smart power', yang merupakan kombinasi strategis dari sumber daya hard power dan soft power.
Nye mengakui bahwa soft power punya keterbatasan. Soft power tak selalu berada di bawah kendali pemerintah, karena sebagian besarnya berasal dari masyarakat sipil, sektor swasta, dan organisasi nonpemerintah. Selain itu, soft power lebih menyebar dan tak berwujud, sehingga lebih sulit digunakan secara langsung. Soft power juga membutuhkan kredibilitas dan konsistensi; tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dinyatakan, dapat merusak soft power sebuah negara.

Nye memberikan saran praktis bagi para pembuat kebijakan tentang cara meningkatkan soft power negara mereka. Ini termasuk menggalakkan pertukaran budaya, mendukung lembaga internasional, mempraktikkan apa yang mereka sarankan, dan memperhatikan persepsi global. Ia menekankan pentingnya memahami konteks budaya negara lain dan menghormati perspektif mereka.
Diplomasi publik merupakan alat utama meningkatkan soft power. Ini melibatkan keterlibatan dengan publik asing, bukan hanya pemerintah, untuk mempromosikan budaya, nilai, dan kebijakan sebuah negara. Nye menyoroti pentingnya komunikasi, program pertukaran, dan diplomasi budaya dalam membangun hubungan dan pemahaman jangka panjang.

Naren Chitty, Lilian Ji, dan Gary D. Rawnsley (et alia) menyajikan eksplorasi mendalam tentang dampak media dan teknologi digital terhadap soft power. Media dan teknologi digital telah memperluas jangkauan dan dampak sumber daya soft power semisal budaya, nilai, dan kebijakan. Internet, media sosial, dan platform digital memungkinkan negara-negara menyebarluaskan produk budaya, pesan politik, dan narasi nasional mereka secara lebih luas dan efisien dibanding sebelumnya. Amplifikasi ini memungkinkan negara-negara turut dengan khalayak global dan menumbuhkan citra positif di berbagai wilayah. Teknologi digital telah mengubah praktik diplomasi publik dengan menyediakan alat baru begi keperansertaan. Pemerintah dan diplomat sekarang dapat menggunakan platform media sosial, situs web, dan kampanye digital untuk berkomunikasi langsung dengan publik asing. Komunikasi langsung ini, melewati saluran media tradisional dan memungkinkan pertukaran yang lebih personal dan interaktif, yang dapat meningkatkan soft power sebuah negara dengan mendorong dialog dan pemahaman.
Kendati media digital dapat meningkatkan soft power, media digital juga menimbulkan tantangan, semisal kelebihan informasi dan penyebaran misinformasi. Banyaknya konten yang tersedia secara online dapat sulit mencuatkan pesan resmi, dan maraknya misinformasi dapat mendistorsi persepsi dan melemahkan upaya soft power sebuah negara. Mengelola komunikasi digital secara efektif memerlukan strategi dan kredibilitas yang cermat. Media dan teknologi digital telah memberdayakan aktor non-negara, semisal influencer, selebritas, LSM, dan perusahaan multinasional, untuk memainkan peran penting dalam membentuk soft power. Aktor-aktor ini dapat mendukung atau menentang narasi negara, yang berkontribusi pada lanskap soft power yang lebih kompleks dan berlapis-lapis. Pengaruh aktor-aktor ini terkadang dapat menyaingi inisiatif yang disponsori negara, karena mereka selalu memiliki audiens yang besar dan turut berperan.

Konsepsi diplomasi digital, atau e-diplomasi, merupakan aspek penting dari strategi soft power modern. Diplomasi digital melibatkan penggunaan perangkat digital untuk mengelola hubungan internasional, melibatkan publik asing, dan mempromosikan kepentingan dan nilai-nilai sebuah negara. Ini mencakup berbagai aktivitas semisal keterlibatan media sosial, pertukaran budaya virtual, dan dialog online dengan khalayak internasional. Konektivitas global yang dimungkinkan oleh media digital memungkinkan konten budaya menjadi viral, menyebar dengan cepat lintas batas, dan mempengaruhi khalayak global. Viralitas ini, dapat secara berarti meningkatkan soft power sebuah negara dengan membuat budaya dan nilai-nilainya dapat diakses dan menarik secara luas. Jangkauan global platform digital bermakna bahwa upaya diplomasi budaya sebuah negara dapat berdampak yang lebih luas dan lebih langsung.
Penggunaan media digital dalam soft power juga menimbulkan pertimbangan etika. Praktik etika dalam diplomasi digital, semisal menghormati privasi, menghindari manipulasi, dan mempromosikan transparansi amatlah penting. Keterlibatan digital yang beretika sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan, yang merupakan komponen penting dari soft power.

Beberapa negara dikenal luas karena kekuatan budayanya yang berpengaruh. Italia dikenal dengan kota-kota bersejarahnya, kulinernya yang masyhur di dunia, dan keindahan geografisnya, Italia berjejak budaya yang berarti. Negara ini merupakan tempat tinggal Gunung Etna, gunung berapi tertinggi dan teraktif di Eropa, dan menjadi rumah bagi dua negara independen di dalam perbatasannya – Vatikan dan San Marino. Italia dikenal dengan makanannya yang lezat, termasuk pasta, pizza, gelato, dan espresso. Masakan Italia telah mempengaruhi tradisi kuliner di seluruh dunia. Periode Renaisans menghasilkan seniman ikonik semisal Leonardo da Vinci, Michelangelo, dan Raphael. Arsitektur Italia, dengan bangunan bersejarah semisal Colosseum dan Menara Miring Pisa, terus menginspirasi. Rumah mode Italia seperti Gucci, Prada, dan Versace menjadi tren global.
Dengan sejarah panjang yang mencakup sains, politik, ekonomi, dan budaya, Prancis telah memainkan peran penting secara global. Prancis merupakan salah satu negara pertama yang memperjuangkan hak-hak individu dan terus membentuk dunia melalui kontribusi budayanya. Sastra Prancis membanggakan penulis-penulis berpengaruh seperti Victor Hugo, Marcel Proust, dan Albert Camus. Sinema Prancis telah menghasilkan sineas-sineas legendaris semacam François Truffaut, Jean-Luc Godard, dan Agnès Varda. Paris ibu kota mode, rumah bagi merek-merek haute couture dan mewah.
Sebagai kekuatan ekonomi dan militer paling dominan di dunia, AS berjejak budaya yang substansial. Budaya populernya, yang diekspresikan melalui musik, film, dan televisi, bergema di seluruh dunia. AS melahirkan musik jazz, rock ‘n’ roll, hip-hop, dan pop. Ikon seumpama Elvis Presley, Michael Jackson, dan Beyoncé telah meninggalkan pengaruh yang bertahan lama. Film-film Amerika mendominasi hiburan global. Film-film Hollywood mempengaruhi penceritaan dan pembuatan film. Silicon Valley mendorong inovasi dalam teknologi, membentuk kehidupan digital kita.
Kerajaan Spanyol, dengan keragaman budayanya, masih mempengaruhi dunia modern. Kerajaan ini meliputi Kepulauan Balearic, Kepulauan Canary, dan dua daerah kantong di Afrika Utara. Pelukis Spanyol semisal Pablo Picasso, Salvador Dalí, dan Francisco Goya telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah seni. Flamenco, bentuk tarian yang penuh semangat dan ekspresif, berasal dari Spanyol. Sastra Spanyol mencakup karya klasik seperti 'Don Quixote' karya Miguel de Cervantes.
Sebagai negara yang sangat terpelajar dan maju secara teknologi, Jepang memadukan tradisi kuno dengan aspek-aspek kehidupan Barat. Pengaruh budayanya melampaui batas negaranya. Animasi dan buku komik Jepang berbasis penggemar global. Perusahaan-perusahaan Jepang memimpin dalam bidang elektronik, permainan, dan robotika. Ikebana (merangkai bunga), upacara minum teh, dan origami merupakan bagian dari pusaka peninggalan budaya Jepang.
Dengan pengaruh ekonomi, politik, sains, dan budaya internasional yang menonjol, Inggris tetap menjadi pemain terkemuka di panggung global. Penulis Inggris semisal William Shakespeare, Jane Austen, dan Charles Dickens telah membentuk dunia sastra. The Beatles, Queen, dan Adele adalah legenda musik Inggris. Kerajaan, Istana Buckingham, dan pernikahan kerajaan memikat dunia.

Sementara Amerika Serikat, China, dan Rusia sering dipandang sebagai negara terkuat di dunia berdasarkan faktor-faktor seperti ekonomi, pengaruh politik, dan kekuatan militer, dalam hal pengaruh budaya, beberapa negara menghadapi tantangan. Meskipun ada gelombang imigrasi historis (termasuk Jerman dan Italia), keragaman budaya Argentina relatif rendah. Bahasa Spanyol hampir digunakan secara universal, dan mayoritas penduduknya berkulit putih dan secara nominal beragama Katolik Roma. Kepulauan Komoro yang terisolasi di lepas pantai tenggara Afrika berkeragaman budaya yang terbatas. Haiti juga termasuk di antara negara-negara dengan keragaman budaya yang paling rendah.
The Fragile States Index (sebelumnya the Failed States Index) menilai negara berdasarkan atribut seperti stabilitas politik, keamanan, dan indikator sosial. Beberapa negara yang menghadapi kerapuhan mungkin memiliki pengaruh budaya yang lebih lemah. Misalnya, Afghanistan berada di peringkat rendah karena ketidakstabilan baru-baru ini setelah pengambilalihan Taliban.
Ketidakpuasan terhadap demokrasi dapat mempengaruhi kedudukan budaya sebuah negara. Di beberapa negara, pandangan negatif terhadap demokrasi berlaku. Misalnya, Yunani, Tunisia, dan Brasil menyatakan ketidakpuasan dengan sistem demokrasi mereka. Beberapa negara dengan kemampuan militer yang lebih lemah mungkin juga kesulitan memproyeksikan pengaruh budaya yang berarti. Misalnya, Islandia, yang tak punya militer, tenaga kerja terbatas dan jumlah penduduk yang sedikit.

Korupsi politik dan skeptisisme terhadap pemilu dapat berdampak signifikan terhadap persepsi budaya sebuah negara seperti Indonesia. Isu-isu ini dapat mempengaruhi pandangan domestik dan internasional, mempengaruhi cara pandang terhadap sistem politik, tatakelola, dan masyarakat sebuah negara. Ketika korupsi dan kecurangan pemilu dianggap lazim, kepercayaan warga negara terhadap pemerintah dan lembaga publik dapat menurun. Ketidakpercayaan ini, dapat menyebabkan kekecewaan terhadap proses politik dan keyakinan bahwa mekanisme demokrasi tak efektif atau curang. Di mata internasional, reputasi sebuah negara dapat tercoreng jika dipandang korup atau jika pemilunya dianggap kurang transparan dan fair. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan diplomatik, investasi asing, dan pariwisata, karena negara lain dan organisasi internasional akan waspada terlibat dengan negara yang dianggap tak stabil atau tak dapat dipercaya. Isu-isu ini sering menjadi tema dalam media, sastra, dan seni, yang mencerminkan keprihatinan dan kritik masyarakat. Ekspresi budaya dapat menyoroti dan menantang status quo, yang berkontribusi pada dialog yang lebih luas tentang reformasi dan akuntabilitas politik.
Kekuatan budaya Indonesia merupakan perpaduan menarik antara adat istiadat setempat, pengaruh asing yang beragam, dan warisan yang kaya. Musik gamelan, candi kuno, seni visual dan seni pertunjukan, budaya dan agama perkotaan, kelompok etnis semisal Batak, Nias, Mentawai, dan Dayak melanjutkan ritual, adat istiadat, dan pakaian tradisional mereka, semuanya memiliki pusaka peninggalan budaya yang kaya.
Menurut Soft Power Index di Asia, Indonesia berada di peringkat kesembilan, yang menunjukkan potensinya sebagai sekutu yang menarik bagi banyak negara. Namun, Indonesia belum sepenuhnya membuka kapasitas soft power-nya. Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi dalam infrastruktur budaya, termasuk museum, teater, dan galeri. Ruang-ruang ini dapat memamerkan kekayaan seni dan sejarahnya. Pendanaan yang tak memadai untuk promosi dan pelestarian budaya membatasi kemampuan Indonesia bersaing secara global. Sistem pendidikan seyogyanya menekankan literasi budaya, sejarah, dan seni. Rakyat yang terinformasi dengan baik dapat secara aktif berkontribusi pada diplomasi budaya. Meningkatkan kesadaran tentang kekayaan budaya Indonesia di luar pariwisata tradisional sangatlah penting. Banyak orang masih mengasosiasikan Indonesia terutama dengan Bali, mengabaikan permata budaya lainnya.
Indonesia punya seniman kontemporer yang berbakat, visibilitas mereka di kancah seni global dapat ditingkatkan. Mendukung seniman (termasuk artis, komedian, penari, pelawak dll) yang sedang naik daun dan mempromosikan karya mereka secara internasional amatlah berarti. Mengintegrasikan teknologi dan inovasi ke dalam ekspresi budaya dapat membuat Indonesia lebih relevan di era digital. Pengaruh budaya Indonesia dapat tumbuh dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, memupuk persatuan, dan memanfaatkan pusaka  peninggalan budayanya yang unik.

Kita akan lanjutkan perbincangan tentang kepemimpinan intelektual dan normatif, biidznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Joseph S. Nye Jr., Soft Power: The Means to Success in World Politics, 2004, PublicAffairs
- Naren Chitty, Lilian Ji & Gary D. Rawnsley (Eds.), The Routledge Handbook of Soft Power, 2024, Routledge
[Episode 37]