Kamis, 15 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (1)

"Di negeri eksotis Khatulistiwa, tempat jilbab sama lazimnya dengan hujan tropis, sebuah tontonan absurd terungkap. Bayangkan ini: di Sumatra dan Jawa, di bentangan Sulawesi, dan bahkan di pelosok Kalimantan, Kepulauan Maluku, dan Papua, jilbab merupakan bagian yang dicintai dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi tunggu dulu! Di negara yang hampir 80% penduduknya beragama Islam ini, sebuah penentuan nasib garib menanti. Pada hari kemerdekaan yang agung, para pembawa bendera, jiwa-jiwa mulia yang terpilih mengibarkan simbol kemerdekaan, secara paradoks terenggut kebebasannya mengenakan jilbab. Ya, dirimu tak salah dengar. Tepat pada hari ketika para insan Khatulistiwa merayakan kemerdekaanya, para pembawa bendera, ironisnya dibelenggu oleh dress code yang melarang jilbab.
Imajinasikan pemandangannya: matahari terbit dengan anggun di atas negeri Kepulauan, menyinari perayaan Hari Kemerdekaan dalam rona keemasan. Udara dipenuhi patriotisme, dan jalan-jalan diwarnai oleh merah-putih yang cerah. Namun, di tengah lautan keceriaan ini, kejengahan diam-diam mulai merebak. Berdiri tegak dan bangga, para pembawa bendera dipaksa menanggalkan jilbabnya, perlambang keimanan dan identitas mereka, dituntut menyesuaikan diri dengan pakaian seragam yang ditetapkan sekehendaknya.
Di negara yang membanggakan keberagaman dan toleransi beragama, tindakan pemaksaan bentuk penyeragaman ini, sungguh pertunjukan kocak. Hakikat kemerdekaan ialah kemerdekaan mengekspresikan diri, namun pada hari ini dan seterusnya, bagi mereka yang bertugas mengibarkan bendera, kemerdekaan itu dibatasi.
Maka, disaat rakyat Khatulistiwa bersuka ria merayakan kemerdekaannya, janganlah kita lupakan ironi yang membayangi perayaan ini. Bukankah kemerdekaan itu merdeka menjadi diri sendiri, mengenakan keyakinan seseorang dengan bangga, dan berdiri tegak dalam identitas seseorang? Di negeri Khatulistiwa, tampaknya, kemerdekaan datang bersama peringatan: kemerdekaan bagi semua, tapi tidak bagi mereka yang beriktikad mengenakan jilbab.
Nah, itulah guys: negara yang merdeka dalam sebutan, namun tidak dalam praktik. Kita akan teringat, di negeri Khatulistiwa, kemerdekaan itu ibarat buah-buahan tropis—teorinya serasa manis, namun terkadang, sulit dikupas. Merdeka!"

"Bangsa atau negara dapat menjadi lemah, bahkan lenyap, oleh kombinasi faktor internal dan eksternal," Cattleya memulai pembicaraan. Anggrek Cattleya, yang sering disebut sebagai 'ratu anggrek' atau 'anggrek korsase', dikenal dengan bunganya yang besar, menyolok, dan harum. Karena bunganya yang indah dan renyah, Cattleya sering dipandang sebagai simbol keindahan dan keanggunan. Secara historis, sebagai anggrek langka dan mahal, menjadikannya simbol kemewahan dan kekayaan. Anggrek ini kerap digunakan dalam korsase dan karangan bunga, yang melambangkan cinta, kasih sayang, dan ketakjuban. Penampilannya yang lembut dan mempesona, menjadikannya simbol kelembutan dan kematangan.

Cattleya melanjutkan, "Fragmentasi sosial dan budaya dapat menjadi faktor penentu yang melemahkan atau bahkan menyebabkan bubarnya sebuah bangsa atau negara karena merusak kohesi dan persatuan yang diperlukan bagi keberfungsian masyarakat. Fragmentasi sosial dan budaya dapat melemahkan sebuah bangsa atau negara dengan mengikis identitas nasional, menyebabkan ketidakstabilan politik, merusak lembaga, memperburuk ketimpangan ekonomi, dan meningkatkan potensi konflik. Tanpa tujuan dan persatuan bersama, sebuah bangsa akan sulit berfungsi secara efektif, yang mengarah pada pelemahan atau bahkan kemusnahannya. Oleh karenanya, memupuk kohesi sosial dan merangkul keragaman budaya dalam kerangka nilai-nilai bersama, sangat penting bagi stabilitas dan umur panjang bangsa mana pun.

Fragmentasi sosial dan fragmentasi budaya merupakan konsep yang saling terkait, namun keduanya berfokus pada aspek-aspek yang berbeda dalam pembelahan masyarakat. Fragmentasi sosial mengacu pada rungkadnya kohesi sosial dan pembelahan masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang terpisah dan seringkali terisolasi. Kelompok-kelompok ini, akan berbeda dalam hal kelas, status sosial ekonomi, etnis, agama, atau kategori sosial lainnya. Fragmentasi sosial terutama berkaitan dengan perpecahan struktural dalam masyarakat dan dampak pembelahan ini terhadap interaksi sosial, hubungan, dan fungsi keseluruhan tatanan sosial.
Fragmentasi sosial acapkali terwujud melalui ketimpangan ekonomi, dimana kelas atau kelompok yang berbeda, punya akses yang sangat berbeda terhadap sumber daya, peluang, dan kekuasaan. Hal ini dapat memunculkan kesenjangan yang signifikan antara orang kaya dan orang miskin, yang menyebabkan kurangnya mobilitas sosial dan meningkatnya kebencian. Dalam masyarakat yang terfragmentasi secara sosial, individu atau kelompok dapat menjadi saling mengisolasi, yang menyebabkan berkurangnya interaksi sosial dan melemahnya ikatan komunitas. Isolasi ini dapat mengakibatkan kurangnya pemahaman dan empati antara berbagai segmen masyarakat.
Fragmentasi sosial dapat melemahkan jaringan hubungan yang mengikat masyarakat, semisal keluarga, komunitas, dan kelompok sosial lainnya. Disintegrasi ini dapat menyebabkan rusaknya kepercayaan dan kerjasama, sehingga menyulitkan penanganan masalah sosial yang umum. Fragmentasi sosial dapat merusak efektivitas lembaga sosial semisal pendidikan, layanan kesehatan, dan penegakan hukum, karena lembaga-lembaga ini akan kesulitan melayani populasi yang terbagi dengan kebutuhan dan kepentingan yang berbeda.

Fragmentasi budaya merujuk pada pembagian masyarakat ke dalam kelompok-kelompok budaya yang berbeda yang mempertahankan identitas, keyakinan, praktik, dan nilai-nilai yang terpisah. Tak seperti fragmentasi sosial, yang berfokus pada pembelahan struktural, fragmentasi budaya terutama berkaitan dengan keragaman dan perbedaan ekspresi budaya dalam masyarakat. Fragmentasi ini dapat terjadi di sepanjang garis etnis, bahasa, agama, atau ideologis.
Fragmentasi budaya melibatkan keberadaan beberapa kelompok budaya dalam masyarakat, yang masing-masing memiliki identitasnya sendiri yang unik. Identitas ini dapat didasarkan pada etnis, bahasa, agama, atau faktor budaya lainnya. Dalam masyarakat yang terfragmentasi secara budaya, kelompok yang berbeda mempunyai nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan dunia yang saling bertentangan. Perbedaan ini dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketegangan, dan bahkan konflik, karena kelompok tersebut akan berjuang hidup berdampingan atau menemukan titik temu.
Fragmentasi budaya sering melibatkan pelestarian praktik dan tradisi budaya yang unik dalam kelompok tertentu. Meskipun hal ini dapat memperkaya budaya masyarakat secara keseluruhan, hal ini juga dapat menimbulkan tantangan dalam membangun identitas nasional yang bersatu atau narasi budaya bersama. Fragmentasi budaya dapat melemahkan rasa identitas nasional jika berbagai kelompok budaya dalam masyarakat tak merasakan hubungan dengan warisan budaya atau serangkaian nilai yang sama. Hal ini dapat mempersulit upaya dalam menumbuhkan rasa persatuan dan rasa memiliki di tingkat nasional.

Fragmentasi sosial berfokus pada pembelahan struktural (misalnya, kelas, dan status sosial ekonomi), sementara fragmentasi budaya berfokus pada keragaman dan perbedaan identitas, praktik, dan kepercayaan budaya. Fragmentasi sosial melibatkan pemisahan orang berdasarkan kategori sosial dan interaksinya dalam masyarakat, sedangkan fragmentasi budaya melibatkan pemisahan orang berdasarkan perbedaan budaya. Fragmentasi sosial dapat menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi, isolasi sosial, dan melemahnya lembaga, sementara fragmentasi budaya dapat menyebabkan nilai-nilai yang saling bertentangan, melemahnya identitas nasional, dan tantangan dalam membina kohesi sosial. Kedua bentuk fragmentasi dapat hidup berdampingan dan berinteraksi, saling memperburuk dan berkontribusi pada melemahnya persatuan dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan.

Kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin menyebabkan meningkatnya ketimpangan ekonomi, yang berkontribusi pada fragmentasi sosial. Ketimpangan ekonomi mengakibatkan kelas sosial yang berbeda menjalani kehidupan yang sangat berbeda, menyebabkan kurangnya pengalaman bersama dan melemahkan rasa masyarakat yang kohesif. Seiring dengan semakin beragamnya masyarakat, politik identitas menjadi lebih menonjol, dengan kelompok-kelompok yang mengorganisasi diri berdasarkan identitas tertentu semisal ras, jenis kelamin, agama, atau orientasi seksual. Meskipun hal ini dapat memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan, hal ini juga dapat menyebabkan perpecahan karena kelompok yang berbeda memprioritaskan kepentingannya, terkadang dengan mengorbankan persatuan sosial yang lebih luas.
Identitas politik dan politik identitas merupakan konsep yang saling terkait tetapi berbeda. Identitas politik merujuk pada keberpihakan seseorang dengan ideologi, keyakinan, atau partai politik tertentu. Identitas politik mencakup cara orang memandang diri mereka sendiri secara politis, yang dapat dibentuk oleh berbagai faktor semisal nilai-nilai pribadi, status sosial ekonomi, pendidikan, dan pengalaman hidup. Identitas politik lebih luas dan dapat mencakup afiliasi dengan partai politik (misalnya, Demokrat, Republik, Buruh, Konservatif) atau posisi ideologis (misalnya, liberal, konservatif, sosialis, libertarian).
Identitas politik itu sendiri pada dasarnya tidaklah buruk; identitas politik dapat menjadi aspek yang berharga tentang bagaimana individu menavigasi dan terlibat dengan sistem politik. Identitas politik membantu individu memahami nilai-nilai dan keyakinan mereka sendiri, yang memandu keputusan dan tindakan politik mereka. Identitas politik dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara orang-orang dengan pandangan atau pengalaman politik yang sama, yang memungkinkan tindakan dan dukungan kolektif. Identitas politik dapat mendorong upaya dalam mengatasi isu-isu yang relevan dengan kelompok-kelompok tertentu, yang mengarah pada representasi dan advokasi yang lebih inklusif bagi komunitas yang terpinggirkan atau kurang terwakili. Identitas politik memberikan kejelasan dan koherensi dalam pendirian politik seseorang, yang dapat meningkatkan keterlibatan dan aktivisme politik.

Identitas politik tak terbatas pada agama; ia mencakup berbagai bidang. Identitas politik dapat dibentuk oleh berbagai aspek identitas dan pengalaman seseorang. Individu dapat mengidentifikasi diri secara politik berdasarkan latarbelakang ras atau etnis mereka. Misalnya, gerakan yang mengadvokasi keadilan rasial, hak-hak adat, atau kebijakan yang menangani rasisme sistemik.
Identitas gender dan orientasi seksual dapat membentuk keyakinan dan afiliasi politik. Misalnya, gerakan feminis, advokasi hak-hak LGBTQ+, dan kampanye kesetaraan gender.
Latar belakang ekonomi dan kelas dapat mempengaruhi pandangan dan prioritas politik. Misalnya, advokasi hak-hak pekerja, kesetaraan pendapatan, atau jaring pengaman sosial.
Identitas nasional atau status imigran dapat mempengaruhi opini dan keterlibatan politik. Misalnya, gerakan nasionalis, kampanye hak-hak imigran, atau perdebatan tentang kebijakan imigrasi.
Keyakinan dan afiliasi agama dapat berperan dalam membentuk identitas politik. Misalnya, kelompok advokasi agama, perdebatan tentang kebebasan beragama, atau kebijakan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama.
Individu penyandang disabilitas akan memperhatikan dan memprioritaskan politik tertentu. Misalnya, kampanye aksesibilitas, undang-undang hak-hak disabilitas, atau representasi.
Pusaka peninggalan budaya atau afiliasi regional dapat membentuk perspektif politik. Misalnya, gerakan otonomi daerah, pelestarian budaya, atau tatakelola lokal.
Pengalaman usia dan generasi dapat mempengaruhi pandangan dan keterlibatan politik. Misalnya, aktivisme kaum muda, perbedaan generasi dalam preferensi kebijakan, atau isu yang mempengaruhi kelompok usia yang berbeda.
Tingkat pendidikan dan orientasi intelektual dapat mempengaruhi keyakinan dan keterlibatan politik. Misalnya, advokasi dalam reformasi pendidikan, perdebatan tentang penelitian ilmiah, atau kebijakan yang didorong oleh nilai-nilai pendidikan.

Identitas politik dapat menjadi berbahaya ketika mengarah pada hasil negatif yang merusak kohesi sosial, proses demokrasi, atau individual well-being. Tingkat bahayanya seringkali bergantung pada seberapa kuat ia ditekankan dan bagaimana ia berinteraksi dengan faktor sosial dan politik lainnya. Identitas politik yang kuat dapat berkontribusi pada meningkatnya polarisasi, dimana individu dan kelompok menjadi lebih mengakar dalam posisi mereka dan kurang bersedia terlibat atau memahami sudut pandang yang berlawanan. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat yang terpecah-pecah dengan dialog dan kompromi yang berkurang. Dalam kasus ekstrem, identitas politik dapat memicu konflik dan kekerasan, terutama ketika kelompok menganggap kepentingan berbasis identitas mereka terancam atau ketika identitas politik dimanipulasi agar memicu keresahan. Menekankan identitas politik tertentu dapat menyebabkan marginalisasi atau pengucilan mereka yang tak memiliki karakteristik identitas yang sama. Hal ini dapat melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial.
Identitas politik dapat berkontribusi pada ruang gema (echo chambers) dimana individu hanya terlibat dengan informasi dan opini yang memperkuat keyakinan mereka yang ada, membatasi paparan terhadap perspektif yang beragam dan mendorong misinformasi. Dalam beberapa kasus, pemimpin politik dapat mengeksploitasi politik identitas untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi. Dengan menarik kelompok identitas tertentu, mereka mungkin berusaha meminggirkan suara-suara yang berbeda pendapat dan memusatkan otoritas. Fokus yang berlebihan pada identitas politik dapat menyebabkan fragmentasi dalam masyarakat, dimana individu terbagi sepanjang garis identitas daripada disatukan oleh kepentingan atau tujuan bersama. Hal ini dapat mengikis kepercayaan dan kohesi sosial. Ketika identitas politik menjadi sangat terpolarisasi, dapat menyebabkan kebuntuan legislatif, dimana kompromi menjadi sulit, dan isu-isu kritis dibiarkan tak tertangani.

Identitas politik dapat menjadi kekuatan yang kokoh bagi perubahan positif jika digunakan secara konstruktif, tetapi memerlukan manajemen yang cermat guna menghindari risiko yang terkait dengan perpecahan dan konflik. Agar mengurangi bahaya yang terkait dengan identitas politik, penting mempromosikan percakapan yang saling menghormati dan konstruktif lintas identitas politik yang berbeda; memastikan bahwa gerakan dan kebijakan politik mempertimbangkan kepentingan kelompok yang beragam dan berupaya membangun titik temu; mendorong individu berperan dalam berbagai perspektif dan menantang asumsi mereka sendiri; mendukung proses dan lembaga demokrasi yang dapat mengatasi konflik dan mewakili berbagai kepentingan secara adil.

Di sisi yang lain, politik identitas merupakan pendekatan atau praktik politik khusus yang menekankan kepentingan, perspektif, dan perjuangan kelompok sosial tertentu, yang ditentukan oleh karakteristik semisal ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama, atau kebangsaan. Politik identitas melibatkan pengorganisasian dan advokasi kebijakan dan perubahan sosial berdasarkan identitas ini, acapkali dengan fokus pada penanganan ketidaksetaraan dan diskriminasi sistemik.
Identitas politik tentang konsep diri politik individu secara keseluruhan, yang dapat mencakup berbagai aspek keyakinan dan afiliasi mereka. Politik identitas lebih berfokus pada tindakan politik kolektif dan advokasi kelompok sosial tertentu, berdasarkan karakteristik identitas bersama. Identitas politik dapat mencakup berbagai keyakinan dan afiliasi politik, sementara politik identitas berpusat pada isu-isu yang terkait dengan identitas sosial tertentu dan dinamika kekuasaan yang terkait dengannya.
Identitas politik dapat mempengaruhi perilaku pemilih, afiliasi partai, atau kecenderungan ideologis. Politik identitas melibatkan gerakan politik aktif atau upaya advokasi yang berpusat pada hak dan representasi kelompok identitas tertentu. Hakikatnya, identitas politik adalah tentang 'siapa dirimu secara politik', sementara politik identitas adalah tentang 'bagaimana engkau mengorganisir dan mengadvokasi secara politik berdasarkan identitasmu.'

Politik identitas sering muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan serta ketidakadilan historis dan sistemik yang sudah berlangsung lama, yang dihadapi oleh kelompok sosial tertentu. Misalnya, gerakan keadilan rasial atau kesetaraan gender kerap muncul dari pengucilan dan diskriminasi historis.
Kelompok yang merasa terpinggirkan atau kurang terwakili dapat terlibat dalam politik identitas untuk menegaskan hak-hak mereka dan memperjuangkan kepentingan mereka. Misalnya, gerakan hak-hak LGBTQ+ muncul dari marginalisasi dan diskriminasi yang dihadapi oleh komunitas LGBTQ+.
Kelompok sosial yang berbeda memiliki pengalaman dan tantangan yang unik, yang dapat mengarah pada fokus pada isu-isu khusus identitas. Misalnya, masyarakat adat memperjuangkan hak atas tanah berdasarkan pengalaman budaya dan sejarah mereka yang berbeda.
Dengan berfokus pada kebutuhan dan pengalaman spesifik kelompok identitas tertentu, politik identitas terkadang dapat menekankan perbedaan antarkelompok daripada pengalaman atau tujuan bersama. Misalnya, politik identitas yang berpusat pada ras atau etnis dapat menyebabkan perpecahan jika memunculkan rasa persaingan atau pertentangan antarkelompok.
Politik identitas dapat berkontribusi pada polarisasi ketika mengarah pada menguatnya kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kepentingan atau perspektif yang bertentangan. Misalnya, perdebatan politik tentang tindakan afirmatif atau imigrasi dapat menjadi sangat terpolarisasi, memperkuat perpecahan antara kelompok-kelompok dengan pandangan yang berbeda.
Jika tak dikelola secara inklusif, politik identitas dapat mengarah pada praktik-praktik eksklusi dimana beberapa kelompok dianggap kurang valid atau penting. Misalnya, ketika advokasi berfokus secara eksklusif pada isu-isu satu kelompok, akan secara tak sengaja mengabaikan perhatian kelompok-kelompok lain, yang mengarah pada perasaan eksklusi atau kebencian.
Politik identitas yang efektif hendaknya bertujuan memenuhi kebutuhan kelompok tertentu sekaligus mencari titik temu dan menumbuhkan persatuan di antara kelompok yang beragam. Menggalakkan dialog yang terbuka dan saling menghargai antara kelompok identitas yang berbeda, dapat membantu menjembatani kesenjangan dan membangun pemahaman. Mengenali interseksionalitas berbagai identitas (misalnya, bagaimana ras, gender, dan status sosial ekonomi saling bersinggungan) dapat menghasilkan pendekatan yang lebih bernuansa dan inklusif. Sementara politik identitas dapat muncul dari kebutuhan dan keluhan yang tulus terkait dengan perpecahan, dampaknya terhadap kohesi sosial bergantung pada bagaimana ia dipraktikkan dan apakah ia menumbuhkan inklusivitas dan saling pengertian.

Globalisasi telah menyebabkan meningkatnya pertukaran budaya tapi juga terkikisnya struktur sosial tradisional. Masuknya pengaruh budaya yang berbeda dapat menyebabkan fragmentasi karena masyarakat berupaya mengintegrasikan berbagai elemen ini menjadi satu kesatuan yang kohesif.
Munculnya teknologi digital dan media sosial telah mengubah cara orang berinteraksi, yang kerapkali mengarah ke ruang gema dimana individu hanya terpapar pada sudut pandang yang memperkuat keyakinan mereka yang ada. Hal ini dapat memperburuk perpecahan dan berkontribusi pada lanskap sosial yang terfragmentasi dimana konsensus sulit dicapai. Lembaga tradisional semisal keluarga, agama, dan organisasi masyarakat, yang pernah memberikan rasa stabilitas dan nilai-nilai bersama, melemah di banyak bagian dunia. Penurunan ini berkontribusi pada fragmentasi sosial karena individu menjadi lebih terisolasi dan terputus dari norma-norma sosial kolektif. Banyak masyarakat kontemporer mengalami peningkatan polarisasi politik, dimana wacana politik menjadi lebih memecah-belah dan ekstrem. Polarisasi ini dapat semakin membelah masyarakat karena berbagai kelompok mengakar dalam posisi mereka, mengurangi peluang berkompromi dan bekerjasama.

Negara-negara dengan fragmentasi sosial yang tinggi sering mengalami perpecahan etnis, agama, atau budaya yang signifikan. Beberapa contohnya termasuk Nigeria, yang dikenal karena keberagaman etnisnya, Nigeria memiliki lebih dari 250 kelompok etnis, yang menyebabkan ketegangan etnis dan agama yang sering terjadi.
Dengan beragam bahasa, agama, dan budayanya, India menghadapi tantangan terkait kohesi sosial. Irak memiliki perpecahan yang signifikan di antara populasi Sunni, Syiah, dan Kurdi. Lebanon dikenal karena susunan agama dan etnisnya yang kompleks dan telah mengalami konflik sipil yang berkepanjangan. Konflik etnis Sudan Selatan telah menjadi masalah besar sejak kemerdekaannya.
Negara-negara ini kerap menghadapi tantangan dalam mencapai stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi karena struktur sosialnya yang terfragmentasi.
Meskipun menghadapi tantangan fragmentasi struktural, Indonesia telah melakukan upaya serius menggalakkan persatuan nasional dan kohesi sosial melalui kebijakan yang mendorong toleransi dan inklusivitas. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Indonesia merupakan tempat tinggal bagi lebih dari 300 kelompok etnis, dengan suku Jawa sebagai kelompok etnis terbesar. Keberagaman ini terkadang dapat menimbulkan ketegangan dan konflik etnis. Sifat kepulauan Indonesia yang luas berarti bahwa berbagai daerah dapat berbudaya dan berkondisi ekonomi yang sangat berbeda, yang menyebabkan kesenjangan regional. Terdapat kesenjangan ekonomi yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara berbagai daerah, yang dapat memperburuk fragmentasi sosial.

Identitas budaya mengacu pada rasa memiliki dan hubungan yang dirasakan individu terhadap budaya atau kelompok tertentu. Identitas budaya mencakup nilai, kepercayaan, praktik, tradisi, bahasa, dan simbol yang mendefinisikan suatu budaya dan membedakan satu kelompok budaya dari kelompok budaya lainnya. Identitas budaya memberi individu rasa kontinuitas dan koherensi, yang menghubungkan mereka dengan pusaka peninggalan dan komunitas mereka. Identitas budaya sering didasarkan pada nilai dan kepercayaan bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai ini membentuk cara individu memandang dunia dan peran mereka di dalamnya. Adat istiadat, ritual, dan praktik yang dijalankan suatu kelompok berkontribusi pada identitas budayanya. Tradisi ini dapat mencakup upacara keagamaan, festival, dan rutinitas harian yang memperkuat rasa memiliki.
Bahasa merupakan komponen penting identitas budaya. Bahasa berfungsi sebagai media komunikasi, ekspresi, dan transmisi pengetahuan budaya. Bahasa juga dapat mencerminkan pusaka peninggalan budaya dan mempengaruhi cara individu bekomunikasi dengan kelompok budayanya. Identitas budaya terkait erat dengan pusaka peninggaan dan sejarah suatu kelompok budaya. Ini mencakup peristiwa sejarah, kisah leluhur, dan pengalaman kolektif yang membentuk identitas kelompok. Rasa memiliki terhadap suatu komunitas budaya merupakan inti dari identitas budaya. Menjadi bagian dari suatu komunitas memberi individu dukungan sosial, tujuan bersama, dan hubungan dengan orang lain yang memiliki karakteristik budaya serupa.

Identitas budaya meliputi dimensi pribadi dan kolektif. Pada tingkat pribadi, individu dapat mengidentifikasi diri dengan pusaka peninggalan budaya mereka dan mengintegrasikannya ke dalam konsep diri. Pada tingkat kolektif, identitas budaya dibagikan di antara anggota kelompok budaya dan berkontribusi pada kohesi dan solidaritas kelompok. Identitas budaya menumbuhkan rasa memiliki dan hubungan dengan komunitas atau kelompok yang lebih besar. Identitas budaya membantu individu merasa berlandaskan dan didukung dalam konteks budaya mereka. Memahami identitas budaya seseorang berkontribusi pada kesadaran diri dan pengembangan pribadi. Identitas budaya membantu individu memahami pengalaman, nilai, dan pandangan dunia mereka.
Identitas budaya berperan dalam melestarikan serta mewariskan tradisi dan praktik budaya. Identitas budaya memastikan bahwa pusaka peninggalan budaya tetap terpelihara dan terus mempengaruhi generasi mendatang. Identitas budaya dapat memfasilitasi integrasi dan kohesi sosial dengan menyediakan kerangka kerja umum bagi interaksi dan komunikasi dalam suatu kelompok budaya. Identitas budaya yang kuat dapat memberikan ketahanan dan pemberdayaan dalam menghadapi tantangan, termasuk diskriminasi atau asimilasi budaya. Identitas budaya dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan dan kebanggaan.

Identitas budaya memainkan peran penting dalam membentuk cara individu berhubungan dengan pusaka peninggalan budayanya dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Konsep yang kompleks dan dinamis inilah yang mencerminkan interaksi antara pengalaman, nilai, dan tradisi individu dan kolektif. Identitas budaya dapat ditantang oleh berbagai faktor, semisal globalisasi, migrasi, dan asimilasi budaya. Tantangan-tantangan ini dapat menyebabkan fragmentasi budaya atau pencampuran berbagai elemen budaya, yang menghasilkan identitas yang berkembang dan hibrida. Identitas-identitas budaya semakin terfragmentasi oleh berbagai faktor, yang mengarah ke dunia dimana norma-norma tradisional dan nilai-nilai bersama kerap tertantang.
Globalisasi memfasilitasi pertukaran praktik, gagasan, dan nilai budaya lintas batas. Meskipun hal ini dapat memperkaya masyarakat, juga mengarah pada pengenalan dan terkadang dominasi norma budaya asing, yang dapat menantang dan melemahkan identitas budaya tradisional. Perpaduan berbagai elemen budaya dapat menghasilkan identitas hibrida yang menggabungkan aspek-aspek dari berbagai budaya. Hal ini dapat menyebabkan rasa fragmentasi saat individu menavigasi dan mengintegrasikan berbagai pengaruh budaya.
Meningkatnya penggunaan internet dan media sosial telah membuka platform tempat beragam ekspresi budaya dapat dibagikan dan diakses secara global. Paparan ini dapat menyebabkan fragmentasi norma budaya tradisional karena orang-orang dipengaruhi oleh berbagai macam ide dan praktik. Komunitas daring acapkali terbentuk di sekitar identitas budaya atau ideologi tertentu, memunculkan ruang gema tempat individu memperkuat pandangannya dan menjadi lebih mengakar dalam perspektif budaya tertentu.
Migrasi telah menyebabkan terbentuknya komunitas diaspora yang mempertahankan identitas budaya yang berbeda sekaligus beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini dapat mengakibatkan masyarakat multikultural dimana norma-norma budaya tradisional ditantang oleh adanya praktik budaya yang beragam. Imigran dan keturunan mereka seringkali menegosiasikan identitas budaya mereka, menyeimbangkan warisannya dengan harapan budaya negara barunya. Negosiasi ini dapat menyebabkan fragmentasi norma-norma budaya tradisional saat identitas hibrida baru muncul.
Gerakan sosial dan politik yang memperjuangkan hak dan pengakuan berbagai kelompok identitas (misalnya ras, gender, LGBTQ+) dapat menantang norma dan nilai budaya tradisional. Gerakan-gerakan ini seringkali berupaya mendefinisikan ulang apa yang dianggap normatif atau dapat diterima dalam masyarakat. Gerakan yang merebut kembali dan merayakan budaya yang terpinggirkan atau tertindas dapat mengarah pada pertanyaan serta penilaian ulang norma dan nilai budaya yang dominan, yang berkontribusi pada fragmentasi budaya.

Seiring dengan modernisasi sosial, praktik dan nilai budaya tradisional akan dianggap ketinggalan zaman atau tidak relevan. Ketegangan antara mempertahankan pusaka peninggalan budaya dan beradaptasi dengan cara hidup modern dapat menyebabkan fragmentasi norma-norma tradisional. Modernisasi acapkali memunculkan praktik dan nilai budaya baru yang dapat menantang dan menggantikan norma-norma tradisional, yang mengarah pada konfigurasi ulang identitas budaya.
Penekanan yang semakin besar pada pilihan individu dan ekspresi diri mendorong orang mendefinisikan identitasnya sendiri daripada menyesuaikan diri dengan norma-norma budaya tradisional. Pergeseran ke arah individualisme ini, dapat berkontribusi pada fragmentasi identitas budaya kolektif. Kemampuan mengatur dan menampilkan identitas seseorang dengan cara yang unik, terutama melalui platform digital, dapat menyebabkan penyebaran identitas budaya yang beragam dan kerap terfragmentasi.
Seiring identitas budaya menjadi lebih terfragmentasi, masyarakat akan berusaha mempertahankan serangkaian nilai dan norma bersama yang kohesif. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan dan kesulitan dalam mencapai konsensus tentang masalah sosial dan politik. Koeksistensi berbagai identitas budaya yang terkadang saling bertentangan dapat memunculkan ketegangan dan tantangan dalam membina harmoni dan integrasi sosial. Di sisi positif, fragmentasi budaya dapat menyebabkan keragaman budaya dan inovasi yang lebih besar, karena bentuk ekspresi dan praktik baru muncul dari interaksi pengaruh budaya yang berbeda.

Negara-negara dengan fragmentasi budaya yang tinggi, sering mempunyai keberagaman etnis, bahasa, dan agama. Papua Nugini dikenal karena keberagaman bahasanya yang ekstrem, dengan lebih dari 800 bahasa yang digunakan. Nigeria, merupakan tenpat tinggal bagi lebih dari 250 kelompok etnis, yang menghasilkan lanskap budaya yang kaya tetapi kompleks. India dengan banyaknya bahasa, agama, dan praktik budayanya, menjadikan India sangat beragam. Terdiri lebih dari 17.000 pulau dan banyak kelompok etnis, Indonesia memiliki keberagaman budaya yang menonjol. Republik Demokratik Kongo menampilkan beragam kelompok etnis dan bahasa.
Negara-negara ini kerap menghadapi tantangan unik dalam hal kohesi sosial dan tatakelola karena fragmentasi budayanya. Negara-negara dengan fragmentasi budaya yang tinggi, perlu menerapkan kebijakan yang menggalakkan inklusivitas dan toleransi. Tatakelola yang efektif, distribusi sumber daya yang setara, dan menumbuhkan rasa identitas nasional, sangat penting memanfaatkan kemaslahatan keberagaman sembari mengurangi tantangannya.

Kita telah membahas secara singkat tentang fragmentasi sosial dan budaya. Pada sesi berikutnya, kita akan berbincang tentang Erosi Identitas Nasional sebagai salah satu faktor kunci. Biidznillah."
Sebelum melanjutkan, Cattleya berbagi sebuah puisi untuk merenungkan perjalanan kita sejauh ini,

Di negeri-negeri tempat budaya saling terjalin dan terpisah,
Hati dan pikiran mulai terbentuk usai terpecah-belah,
Namun di celah-celahnya, muncul bunga-bunga,
Dunia mosaik di bawah langit kita.
Kutipan & Rujukan:
- Sebastian Junger, Tribe: On Homecoming and Belonging, 2016, Twelve
- Kevin Young, Cultural Politics in a Global Age: Uncertainty, Solidarity and Innovation,2007, One World
- Abe W. Ata (Ed.), Muslm Minorities and Social Cohesion: Cultural Fragmentation in the West, 2021, Routledge