Sabtu, 03 Agustus 2024

Ocehan Seruni (34)

“Berbeda dengan cara bertutur Batara Kuwera yang samar-samar, Batara Ismaya lebih candit ​​dalam percakapannya. Doi blokosuto ngomong gini: 'Pada tahun 2045, dunia diramaikan dengan spekulasi tentang negara mana yang bakalan jadi supremasi penuh. Banyak mata tertuju pada China, dengan gedung pencakar langit menjulang, kereta api yang sat-set dan wus-wuss-wusss, serta robot yang dengan sempurna menggodok bebek peking. Akan tetapi, seketika dunia terinsafkan, menjadi negara terbagas tak semata tentang teknologi dan kekuatan ekonomi.
China telah berinvestasi besar dalam program 'Diplomasi Panda', dengan mengirimkan panda yang menggemaskan ke kebun binatang di seluruh dunia guna memenangkan hati dan persepsi. Namun, panda, ya panda, lebih tertarik makan bambu dan tidur di siang bolong ketimbang geopolitik. Suatu hari, seekor panda bernama Bao Bao, yang diutus ke Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai duta besar, tertidur selama pertemuan penting. Para pemimpin dunia tak dapat menahan tawa, tersadar bahwa bahkan negara yang paling kuat pun, tak dapat mengendalikan keinginan panda yang suka molor.
Tembok 'Api' Besar China, yang dirancang mengendalikan internet di perbatasannya, menjadi sumber kebanggaan nasional. Namun pada tahun 2045, firewall tersebut menghadapi tantangan yang tak terkira: sekelompok remaja Denmark yang paham teknologi berhasil meretas tembok api tersebut hanya dengan menggunakan Game Boy jadul dan permainan rubber chicken. Pemerintah China dibuat mewek karena meme tentang insidennya menyebar lebih cepet dari apa yang dapat diumpet.
Dalam upaya memamerkan warisan budayanya, China menyelenggarakan World Hotpot Championship. Para koki seluruh dunia berkumpul, berkompetisi dalam membuat hotpot terbaik. Namun, keadaan berubah disaat seorang koki Italia secara tak sengaja menambahkan terlalu banyak cabe, yang bikin para juri nyemburin api laksana naga. Acara tersebut dijuluki 'The Great Hotpot Incident', dan meski gak bener-bener ngedongkrak reputasi China di dunia, acara tersebut berhasil menjadi headline yang pedes.
China punya rencana ambisius menjajah Mars, tapi mereka menghadapi persaingan ketat dari pesaing yang mengejutkan: Selandia Baru. Para Kiwiers, yang dikenal oleh kecerdikannya, telah mengembangkan armada roket bertenaga domba. Sementara pesawat ruang angkasa berteknologi tinggi China berjuang memperbaiki gangguan teknis, astronot berbulu Selandia Baru sudah menancapkan bendera dan mendirikan peternakan domba di Planet Merah. Dunia tergelak dikala lomba luar angkasa berubah jadi masalah perbuluan.
Dalam upaya menarik perhatian pemuda dunia, China menyelenggarakan World Karaoke Championship. Acara tersebut sangat populer, dengan para kontestan dari seluruh penjuru dunia melantunkan tembang favoritnya. Namun, kompetisi tersebut berubah secara tak tersangka dikala seorang kontestan dari Finlandia membawakan lagu 'Twinkle, Twinkle, Little Star' versi heavy metal, lengkap dengan kembang apinya. Para juri amat terkesan sehingga mereka nyatain Finlandia sebagai pemenang, China pun kudu merenungkan sifat pengaruh global yang tak mudah terpastikan. Lagian, Amerika dan para sekutunya, apa mau ngebiarin Beijing berlagak, gak juga keles?
Dan begitulah, sementara China masih menjadi pemain utama hanya di balkon mayapada, jelas bahwa dominasi global yang sesungguhnya, tak semata tentang kekuatan ekonomi dan militer. Ia tentang memenangkan dan merangkul hal-hal yang tak terselami dan tak terduga, serta kadangkala, sekadar buat ngguyu-ngakak,' imbuh Batara Ismaya mengikhtisarkan babadnya."

"Sekarang kita akan memainkan orkestra besar, dimana setiap bangsa adalah instrumennya. Beberapa instrumen dimainkan lebih cadas dan lebih menonjol, sementara yang lain menyajikan esensi harmoni yang lebih lembut. Dirigennya, merepresentasikan pengaruh internasional, memandu orkestra, memastikan bahwa setiap instrumen berkontribusi pada simfoni yang selaras dan bertenaga. Negara dengan pengaruh internasional yang kuat laksana instrumen utama dalam orkestra ini. Negara tersebut menentukan nada, ritme, dan kecepatan, serta menginspirasi negara lain mengikuti jejaknya. Pengaruh ini, memungkinkan negara tersebut membentuk kebijakan global, membina aliansi, dan mendorong kemajuan kolektif. Tanpa pengaruh tersebut, sebuah negara masih bisa memainkan perannya, tapi impresinya terhadap simfoni secara keseluruhan, akan kurang terejakan.
Dalam orkestra ini, pengaruh internasional merupakan tongkat dirigen, yang memungkinkan sebuah negara mengorkestrasi visinya di panggung dunia, memastikan suaranya didengar dan kehadirannya terasa. Itulah sebabnya mengapa pengaruh internasional merupakan komponen utama dari sebuah negara yang unggul—mengamplifikasi perannya dalam simfoni global, sehingga kontribusinya berkumandang jauh dan luas," Seruni menyajikan ungkapan buat nambahin apa yang kita perbincangkan sebagai bangsa yang tangguh.

"Pengaruh internasional merujuk pada kapasitas sebuah negara atau entitas, mempengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, dan tindakan negara atau entitas lain di panggung global. Pengaruh ini dapat dilakukan melalui beragam cara, termasuk saluran politik, ekonomi, militer, budaya, dan diplomatik. Pengaruh ini mencakup cara langsung dan tak langsung dimana sebuah negara dapat membentuk international affairs, mempromosikan kepentingannya, dan berkontribusi pada tatanan global.
Kemampuan sebuah negara mewujudkan kebijakan internasional, menegosiasikan perjanjian, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan global merupakan jaminan mutu dari kekuatannya. Negara-negara yang tangkas berjaringan diplomatik yang tajam dan dapat mempengaruhi organisasi internasional semisal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Pengaruh ini memungkinkan mereka membentuk norma-norma, nilai-nilai, dan standar-standar global, yang mendorong stabilitas dan memajukan kepentingan nasionalnya.
Alasan lain mengapa pengaruh internasional dipandang sebagai ciri utama negara yang ulung ialah pengaruh ekonomi. Kekuatan ekonomi terwujudkan dalam bentuk pengaruh internasional melalui perdagangan, investasi, dan 'bantuan' ekonomi. Negara yang unggul dengan perekonomian yang besar, dapat mempengaruhi pasar global, menata tren ekonomi, dan menawarkan bantuan keuangan kepada negara lain. Pengaruh ekonomi ini dapat digunakan membangun aliansi, mengamankan perjanjian perdagangan yang menguntungkan, dan memberi tekanan pada negara lain agar sejalan dengan kebijakannya.
Kekuatan militer juga merupakan salah satu dari sekian faktor. Kemampuan militer yang bagas memungkinkan sebuah negara memproyeksikan kekuatan di luar batas wilayahnya, melindungi kepentingannya, dan mencegah potensi ancaman. Kekuatan militer, termasuk kemampuan berpartisipasi dalam misi penjaga perdamaian atau memimpin koalisi, meningkatkan pengaruh sebuah negara dalam masalah keamanan internasional. Negara yang ulung dapat pula memberikan jaminan keamanan kepada para sekutunya, sehingga memperluas pengaruhnya melalui kemitraan militer.
Pengaruh kultural merupakan aspek lainnya. Kekuatan kultural, yang sering disebut 'soft-power (kekuatan lunak)', merupakan faset lain dari pengaruh internasional. Negara-negara kuat dengan industri budaya yang dinamis—semisal film, musik, sastra, dan olahraga—dapat membentuk tradisi global dan opini publik. Pengaruh kultural ini, membantu mambangun citra positif, menarik pariwisata, dan menyebarkan nilai-nilai serta ideologi.

Negara tangguh selalu berjejaring sekutu dan partner yang luas. Keterjalinan ini, penting dalam membangun koalisi dan aksi kolektif terkait isu-isu global, semisal keamanan, perdagangan, dan perlindungan lingkungan. Dengan memimpin aliansi dan partnerships, negara yang unggul dapat memperkuat pengaruhnya dan memastikan kepentingannya terwakili di forum internasional.
Menyediakan pertolongan kemanusiaan dan bantuan pembangunan merupakan alat yang ampuh terhadap pengaruh internasional. Dengan menyokong negara lain selama krisis atau mendukung proyek pembangunan jangka panjang, negara yang tangguh dapat membangun niat baik, menumbuhkan stabilitas, dan mempromosikan nilai-nilainya. Dukungan semacam ini, dapat pula membangun ketergantungan ekonomi dan politik yang meningkatkan pengaruh negara donor.
Negara-negara yang dominan selalu memimpin dalam menegakkan dan menggalakkan norma-norma dan gagasan global, semisal demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Lembaga pendidikan, lembaga pemikir, dan kaum intelektualnya, berkontribusi pada wacana global, membentuk cara orang berpikir tentang isu-isu kritis. Kepemimpinan intelektual ini, membantu menetapkan agenda dan prioritas dalam hubungan internasional.
Pengaruh internasional merefleksikan kemampuan sebuah negara membentuk global affair, melindungi kepentingannya, dan berkontribusi pada masyarakat internasional. Pengaruh ini, mencakup perpaduan 'hard-power' (kekuatan militer dan ekonomi) dan 'soft-power' (daya tarik kultural dan ideologi). Negara-negara dengan pengaruh internasional yang substantif dapat menavigasi jaringan politik, ekonomi, dan masyarakat global yang kompleks, sehingga mempertahankan dan meningkatkan kedudukannya di panggung dunia. Negara-negara dengan pengaruh internasional yang substansial dapat membentuk tatanan internasional, menetapkan aturan keterlibatan dalam urusan global, dan memastikan suara mereka didengar dalam keputusan internasional yang bersifat kritis. Pengaruh ini, berkontribusi pula terhadap prestise dan soft-power sebuah negara, meningkatkan kemampuannya menarik sekutu, menjalin partnerships, dan mempertahankan citra global yang lebih disukai.

Hal Brands dan Jeremi Suri mengeksplorasi peran istimewa pemahaman sejarah dalam membentuk statecraft dan kebijakan luar negeri kontemporer. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan sejarah sangat penting bagi para pembuat kebijakan dalam menghindari kekeliruan masa lalu, memahami tren jangka panjang, dan menyusun strategi yang efektif. Brands dan Suri membahas bagaimana para pemimpin kerap menggunakan analogi sejarah untuk memahami iklim internasional yang kompleks. Dengan membandingkan peristiwa terkini dengan pengalaman masa lalu, mereka dapat memperoleh pelajaran dan kerangka kerja yang membantu memandu keputusan kebijakan. Namun, mereka memperingatkan bahwa bila keliru dalam penerapan analogi ini, dapat mengarah pada kebijakan yang salah arah, sebab konteks sejarah yang berbeda, dapat menyajikan hasil yang berbeda.
Para pemimpin menggunakan analogi historis, kata Brands dan Suri, sebagai perangkat kognitif dalam menafsirkan dan menavigasi kealaman internasional yang kompleks. Dengan menarik kesamaan antara peristiwa terkini dan preseden historis, mereka berusaha memperoleh wawasan, mengidentifikasi hasil potensial, dan merumuskan kebijakan yang tepat. Urusan internasional kerap melibatkan banyak variabel dan ketidakpastian. Analogi historis membantu menyederhanakan kompleksitas ini, dengan menawarkan kerangka naratif yang familier. Para pemimpin dapat menggunakan analogi ini untuk menyaring perihal rumit menjadi cerita yang lebih mudah dipahami, sehingga lebih mudah mengomunikasikan isu dan keputusan kepada publik serta pemangku kepentingan lainnya.
Pemimpin menilik sejarah untuk mengidentifikasi pelajaran yang dapat menjadi dasar pengambilan keputusan mereka. Misalnya, seorang pemimpin akan mengingat konflik masa lalu dan strategi penyelesaiannya dalam memandu negosiasi saat ini. Mereka mempertimbangkan strategi, keberhasilan, dan kegagalan pelaku masa lalu dalam situasi serupa untuk menghindari kesalahan yang berulang dan meniru hasil yang sukses.
Analogi historis kerap dipakai untuk membenarkan pilihan kebijakan dengan mengacu pada peristiwa masa lalu yang menarik perhatian publik atau pembuat kebijakan. Misalnya, dengan mengacu pada analogi Perjanjian Munich tahun 1938, dimana upaya peredaan gagal mencegah Perang Dunia II, para pemimpin akan menentang konsesi terhadap negara-negara agresif. Analogi ini sering digunakan untuk membenarkan sikap tegas terhadap ancaman yang dipersepsikan.
Dengan membandingkan situasi terkini dengan peristiwa historis, para pemimpin berupaya memprediksi kemungkinan hasil. Contoh, seorang pemimpin dapat membandingkan kebangkitan negara otoriter kontemporer dengan kebijakan ekspansionis rezim masa lalu, memprediksi pola agresi yang serupa dan perlunya strategi pengendalian.
Analogi menyediakan cara membingkai isu-isu internasional dengan cara yang mudah dipahami dan meyakinkan. Analogi membantu menyusun narasi yang selaras dengan tujuan kebijakan pemimpin dan menarik perhatian khalayak domestik atau internasional. Misalnya, membingkai intervensi asing sebagai 'new Marshall Plan' dapat memunculkan konotasi positif rekonstruksi dan sokongan.
Dalam ihwal ketidakpastian tinggi, dimana informasinya tak lengkap atau ambigu, analogi historis menyediakan heuristik atau aturan praktis. Analogi historis menawarkan cara memahami lingkungan yang tak pasti dengan memanfaatkan pengalaman masa lalu yang nampak serupa, menyediakan dasar pengambilan keputusan ketika jawaban yang jelas tak tersedia.
Analogi historis dapat digunakan untuk membangun konsensus di antara para pembuat kebijakan, para sekutu, dan publik. Dengan merujuk pada peristiwa historis yang sama, para pemimpin dapat membuka pemahaman bersama tentang situasi dan respons yang tepat. Kerangka historis bersama ini, dapat memfasilitasi koordinasi dan kerjasama di antara para pemangku kepentingan.
Kendati analogi historis bisa dimanfaatkan, analogi tersebut juga mengandung risiko. Analogi dapat menyederhanakan situasi yang rumit secara berlebihan, mengabaikan perbedaan penting dalam konteks dan detailnya. Konteks historis yang berbeda dapat menghasilkan keluaran yang berbeda, dan sebuah analogi mungkin tak berlaku dalam iklim yang baru. Para pemimpin akan secara selektif menggunakan analogi historis yang mengkonfirmasi keyakinan mereka yang sudah ada sebelumnya, yang mengarah pada pengambilan keputusan bias. Analogi dapat membangkitkan emosi yang kuat, terkadang mengaburkan penilaian rasional dan mengarah pada respons yang tak proporsional.

Coba pertimbangkan ini: terma ‘Cold War Analogy’ sering digunakan untuk mengilustrasikan ketegangan geopolitik modern, semisal dinamika AS-China, dapat menggambarkan perang ideologis baru. Hubungan AS-China merupakan salah satu persaingan geopolitik penuh momen di dunia kontemporer, yang ditandai oleh interaksi kompleks antara kerjasama, persaingan, dan konflik di berbagai domain. Hubungan ini sering dibandingkan dengan persaingan geopolitik masa lalu, semisal Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, lantaran implikasi globalnya dan persaingan strategis mendapatkan pengaruh.
AS dan China merupakan dua perekonomian terbesar di dunia, dan persaingan ekonomi mereka meliputi perdagangan, teknologi, dan investasi. Hubungan perdagangan AS-China telah ditandai oleh ketidakseimbangan kritis, yang menyebabkan ketegangan perdagangan. AS telah menyuarakan kekhawatiran tentang praktik perdagangan China, termasuk pencurian kekayaan intelektual, transfer teknologi paksa, dan pembatasan akses pasar. Masalah-masalah ini telah menyebabkan tarif dan hambatan perdagangan lainnya, terutama selama perang dagang yang dimulai pada tahun 2018.
Perlombaan supremasi teknologi merupakan aspek kritis dari persaingan tersebut. AS dan China bersaing dalam teknologi baru semisal kecerdasan buatan (AI), telekomunikasi 5G, dan komputasi kuantum. AS telah mengambil langkah-langkah membatasi akses China ke teknologi canggih, dengan alasan masalah keamanan nasional, dan telah menekan sekutu mengecualikan perusahaan China semisal Huawei dari infrastruktur penting. Terdapat persaingan atas investasi global dan pengaruh ekonomi. Belt and Road Initiative (BRI) China bertujuan memperluas jangkauan ekonominya melalui proyek infrastruktur di seluruh Asia, Afrika, dan sekitarnya. AS telah menanggapinya dengan berbagai inisiatif menawarkan peluang investasi alternatif guna melawan pengaruh China.
Dimensi militer persaingan AS-China melibatkan persaingan mendominasi kawasan Asia-Pasifik dan sekitarnya. China telah memperluas kehadiran militernya di Laut Cina Selatan, membangun pulau-pulau buatan, dan menegaskan klaim teritorial. Hal ini telah menyebabkan ketegangan dengan negara-negara tetangga dan kekhawatiran dari AS tentang kebebasan navigasi dan stabilitas regional. China telah memodernisasi kemampuan militernya, termasuk mengembangkan sistem rudal canggih, kekuatan angkatan laut, dan kemampuan perang siber. AS telah melayaninya dengan memperkuat aliansi dan kemitraan di kawasan tersebut, semisal Quadrilateral Security Dialogue (Quad) dengan Jepang, India, dan Australia. Persaingan strategis juga mencakup senjata nuklir dan pertahanan rudal. AS telah menyatakan keprihatinannya tentang perluasan persenjataan nuklir China dan kurangnya transparansi dalam kebijakan nuklirnya.
AS dan China memiliki sistem politik dan model tatakelola yang berbeda, yang menyebabkan persaingan ideologis. AS menggalakkan demokrasi liberal dan hak asasi manusia, sementara China mendukung model pembangunan negara terpimpin dan tatakelola otoriter. Perpecahan ideologis ini, terlihat di forum internasional dan melalui hubungan diplomatik. Kedua negara berupaya membentuk lembaga tatakelola global untuk mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai mereka. AS sering menekankan tatanan internasional berbasis aturan, sementara China mempropagandakan prinsip-prinsip semisal 'non-interference in domestic affairs'.
AS dan China bersaing mendapatkan pengaruh dalam diplomasi internasional dan soft-power. Kedua negara terlibat dalam upaya diplomatik membangun aliansi dan kemitraan. AS punya jaringan aliansi yang telah lama ada, sementara China memperluas jejak diplomatiknya, terutama di belahan bumi Selatan. Pengaruh kultural dan diplomasi publik juga merupakan area persaingan. AS memanfaatkan ekspor budayanya, lembaga pendidikan, dan media global. China mengiklankan kulturnya melalui Institut Konfusius dan media pemerintah serta berupaya menyajikan narasi alternatif bagi media Barat.
Hubungan AS-China berdampak signifikan terhadap tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan keamanan internasional. Kedua negara memainkan peran penting dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Meskipun ada beberapa kerja sama, persaingan mereka dapat menghambat upaya multilateral. Pandemi COVID-19 menyoroti ketegangan, dengan perselisihan tentang asal-usul virus dan tanggapan terhadap krisis kesehatan global.
Hubungan AS-China berdampak besar pada tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan keamanan internasional. Kedua negara memainkan peran penting dalam upaya global memerangi perubahan iklim. Meskipun ada beberapa kerjasama, persaingan mereka dapat menghambat upaya multilateral. Pandemi COVID-19 menyoroti ketegangan, dengan perselisihan tentang asal-usul virus dan tanggapan terhadap krisis kesehatan global.

Kebangkitan China telah menyebabkan ketegangan dengan negara-negara besar lainnya, khususnya Amerika Serikat. Meningkatnya dominasi dapat memperburuk ketegangan ini, yang berpotensi menyebabkan konflik yang mengganggu stabilitas global dan pertumbuhan ekonomi. Ada kegalauan yang terus berlanjut tentang masalah hak asasi manusia di China, termasuk perlakuan terhadap etnis minoritas dan pembatasan kebebasan berbicara.
Deklarasi Beijing, yang ditandatangani pada 23 Juli 2024, merupakan perjanjian penting yang bertujuan mengakhiri perpecahan dan memperkuat persatuan nasional Palestina. Poin-poin utama deklarasi tersebut meliputi pembentukan pemerintahan rekonsiliasi nasional sementara untuk memerintah Gaza dan Tepi Barat; Komitmen terhadap persatuan Palestina dan pembentukan Negara Palestina yang merdeka berdasarkan resolusi PBB yang relevan; Fokus pada rekonstruksi pascakonflik Jalur Gaza. Perjanjian tersebut difasilitasi oleh China dan disaksikan oleh utusan dari beberapa negara, termasuk Mesir, Aljazair, Arab Saudi, Qatar, Yordania, Suriah, Lebanon, Rusia, dan Turki. Di antara para saksi penandatanganan Deklarasi Beijing, beberapa negara dianggap sebagai sekutu Amerika Serikat, meliputi Mesir, Arab Saudi, Qatar, Yordania, dan Turki. Negara-negara ini punya beraneka tingkat kemitraan strategis, ekonomi, dan militer dengan Amerika Serikat.
Keterlibatan negara-negara ini dalam menyaksikan Deklarasi Beijing cukup berarti oleh beberapa alasan. Negara-negara semisal Mesir, Arab Saudi, Qatar, Yordania, dan Turki, berpengaruh diplomatik substansial di Timur Tengah. Kehadiran mereka menggarisbawahi pentingnya perjanjian tersebut dan memberinya legitimasi yang lebih besar. Negara-negara ini memainkan peran penting dalam politik dan keamanan regional. Dukungan mereka terhadap deklarasi tersebut dapat membantu memastikan penerimaan dan implementasi yang lebih luas, yang berkontribusi pada stabilitas di kawasan tersebut. Banyak dari negara-negara ini memiliki sumber daya keuangan untuk membantu rekonstruksi Gaza dan mendukung ekonomi Palestina. Keterlibatan mereka menandakan potensi dukungan ekonomi bagi inisiatif yang diuraikan dalam deklarasi tersebut. Sebagai sekutu Amerika Serikat, partisipasi mereka menunjukkan konsensus internasional yang lebih luas dan dukungan bagi proses perdamaian. Hal-hal tersebut dapat membantu dalam mengumpulkan dukungan internasional lebih lanjut dan mungkin bantuan dari kekuatan global lainnya. Negara-negara ini secara historis telah memainkan peran dalam memediasi konflik di kawasan tersebut. Keterlibatan mereka menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam memfasilitasi dialog dan rekonsiliasi di antara faksi-faksi Palestina.

Keikutsertaan China dalam perundingan persatuan Palestina menantang monopoli tradisional AS atas diplomasi Timur Tengah. Pergeseran ini dapat mengurangi pengaruh AS di kawasan tersebut karena negara-negara akan semakin mengandalkan China untuk mediasi dan dukungan. Meningkatnya peran China dalam masalah Palestina dapat membebani hubungannya dengan Israel, sekutu utama AS. Hal ini dapat mempersulit upaya AS mempertahankan kemitraan strategisnya di kawasan tersebut. Dengan munculnya China sebagai mediator yang signifikan, para pelaku regional mungkin akan mengeksplorasi saluran diplomatik alternatif, yang berpotensi mengesampingkan inisiatif AS. Hal ini dapat mengarah pada lanskap diplomatik yang lebih multipolar di Timur Tengah.
Kebijakan AS terhadap konflik Israel-Palestina telah berkembang selama bertahun-tahun, yang mencerminkan perubahan dalam administrasi dan dinamika regional. AS telah lama terlibat dalam konflik Israel-Palestina, yang bertujuan menengahi penyelesaian secara damai. Konflik itu sendiri berakar pada klaim yang bersaing atas Holy Land, dengan perselisihan mengenai perbatasan, Yerusalem, keamanan, dan pengungsi Palestina. Landasan kebijakan AS secara tradisional adalah dukungan bagi solusi dua negara, yang membayangkan Negara Palestina yang merdeka berdampingan dengan Negara Israel. Para kritikus berpendapat bahwa kebijakan AS sangat condong ke arah Israel, yang melemahkan perannya sebagai mediator yang tak memihak. Ada kekhawatiran yang terus berlanjut tentang pelanggaran hak asasi manusia. AS sering dikritik karena tak berbuat cukup banyak mengatasi masalah ini, khususnya dalam konteks permukiman Israel dan tindakan militer di wilayah Palestina.

Perekonomian China telah tumbuh pesat selama beberapa dekade terakhir, menjadikannya perekonomian terbesar kedua di dunia. Namun, pertumbuhan ekonomi China yang pesat, menunjukkan tanda-tanda melambat, dengan tantangan seperti utang dan populasi yang 'ageing'. Kebijakan satu anak telah menyebabkan ketidakseimbangan demografis, dengan tenaga kerja yang menyusut dan penduduk yang menua. Sistem politik otoriter China akan menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas dan kemampuan beradaptasi jangka panjang. Masalah semisal ketimpangan pendapatan dan kurangnya kebebasan politik dapat menyebabkan social unrest. Secara historis, China selalu mengadopsi kebijakan isolasi yang dipaksakan sendiri, dengan fokus pada stabilitas internal dan menghindari hubungan luar negeri yang ekstensif. Hal ini terbukti selama dinasti Ming dan Qing, dimana Tiongkok membatasi interaksinya dengan dunia luar. Hubungan luar negeri Tiongkok terutama dilakukan melalui sistem upeti, dimana negara-negara tetangga mengakui supremasi Tiongkok dengan imbalan perdagangan dan perlindungan. Sistem ini lebih tentang dominasi regional daripada pengaruh global.
Kaisar Tiongkok secara historis memprioritaskan urusan dalam negeri, semisal menjaga ketertiban sosial dan mempertahankan diri dari invasi nomaden, daripada memperluas pengaruh mereka secara global. Meskipun Tiongkok turut dalam eksplorasi maritim pada awal Dinasti Ming, seperti pelayaran Laksamana Zheng He, upaya ini berumur pendek dan tak menghasilkan pengaruh global yang berkelanjutan.
Secara historis, pengaruh China sering terbatas pada wilayahnya sendiri, dan belum menunjukkan kemampuan berkelanjutan dalam memproyeksikan kekuatan secara global. Fokus historis masa Tiongkok pada isolasi budaya dan politik dapat membatasi kemampuannya beradaptasi dengan tuntutan kepemimpinan global. Amerika Serikat dan sekutunya terus menjadi kekuatan global yang signifikan, dan pengaruh gabungan mereka dapat mengimbangi kebangkitan China. Negara-negara lain juga maju dalam teknologi dan inovasi, membuka lingkungan yang kompetitif yang menantang dominasi China.

Peran serta China dalam memfasilitasi persatuan Palestina dapat mendorong evaluasi ulang strategi dan kebijakan AS di Timur Tengah. AS mungkin mengintensifkan upaya diplomatiknya menegaskan kembali pengaruhnya di kawasan tersebut. Ini dapat melibatkan mediasi yang lebih aktif dalam konflik Israel-Palestina dan diplomasi Timur Tengah yang lebih luas. AS akan berupaya memperkuat aliansinya dengan para pemain regional utama, semisal Israel, Arab Saudi, dan Mesir, untuk mengimbangi pengaruh China yang semakin besar. AS mungkin mengevaluasi ulang paket bantuan ekonomi dan militernya untuk Israel dan wilayah Palestina guna memastikan bahwa paket-paket tersebut selaras dengan kepentingan strategisnya dan meningkatkan stabilitas. Barangkali ada pergeseran ke arah bantuan yang lebih bersyarat, yang mengikat dukungan finansial pada tonggak-tonggak proses politik atau perdamaian tertentu.
AS akan sangat mungkin kembali menekankan solusi dua negara, mendorong langkah-langkah konkret menuju realisasinya guna mempertahankan perannya sebagai mediator utama. Akan ada fokus yang lebih kuat pada isu-isu hak asasi manusia, menangani masalah tentang permukiman Israel dan pemerintahan Palestina untuk membangun kredibilitas sebagai mediator yang tak memihak. AS hendak terlibat dengan mitra regional baru, termasuk mereka yang baru-baru ini menormalisasi hubungan dengan Israel, agar membangun koalisi yang lebih luas demi perdamaian dan stabilitas. Upaya melawan pengaruh China dapat melibatkan promosi inisiatif ekonomi yang dipimpin AS dan proyek infrastruktur di kawasan tersebut.
Sembari mempertahankan komitmennya di Timur Tengah, AS juga akan mengubah fokus strategisnya ke Asia, tempat pengaruh China yang juga tumbuh. AS dapat mengadopsi pendekatan yang lebih multilateral, bekerjasama dengan organisasi internasional dan kekuatan global lainnya dalam mengatasi masalah Timur Tengah secara kolektif. AS dapat meningkatkan upaya diplomasi publiknya untuk memperbaiki citranya dan melawan sentimen anti-Amerika di kawasan tersebut. Menggalakkan pertukaran budaya dan pendidikan dapat membantu membangun niat baik dan pengertian jangka panjang antara AS dan negara-negara Timur Tengah.

Giulio M. Gallarotti mengeksplorasi paradoks dan konsekuensi kekuasaan dalam hubungan internasional, dengan menyajikan analisis yang bernuansa tentang bagaimana kekuasaan dapat menjadi aset sekaligus kewajiban bagi negara. Ia berpendapat bahwa meskipun akumulasi kekuasaan selalu dilihat sebagai sarana meningkatkan keamanan dan pengaruh, secara paradoks, dapat menimbulkan ketidakamanan. Semakin kuat sebuah negara, semakin besar pula kemungkinan negara lain memancing kegegaran dan perlawanan, yang mengarah pada koalisi penyeimbang yang berupaya melawan pengaruhnya. Hal ini dapat mengakibatkan dilema keamanan, dimana upaya sebuah negara mencapai keamanan menyebabkan ketidakamanan yang lebih besar secara keseluruhan.
Dalam pembahasan kita berikutnya, secara singkat akan kita percakapkan bagaimana negara dapat terjerat dalam kekuasaannya sendiri, yang berujung pada tindakan melampaui batas, salah perhitungan, dan akhirnya, kehilangan pengaruh, sebagaimana yang digambarkan dalam kajian Gallarotti. Biidznillah."

Kemudian, di bawah gemerlap bintang malam, Seruni mulai membacakan syair,

Di balai-balai kekuasaan, suara mereka membahana,
Membentuk takdir, melintasi perantara.
Dengan bagas dan bijak, mereka memandu gaya,
Pengaruh mereka terasa, saat terang maupun senja.
Kutipan & Rujukan:
- Hal Brands & Jeremi Suri, The Power of the Past: History and Statecraft, 2016, Brooking Institution Press
- Jennifer Hubbert, China in the World: An Anthropology of Confucius Institutes, Soft Power, and Globalization, 2019, University of Hawai‘i Press
- Joseph S. Nye Jr., The Future of Power, 2011, PublicAffairs
- Giulio M. Gallarotti, The Power Curse: Influence and Illusion in World Politics, 2010, Lynne Rienner Publishers