Rabu, 28 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (13)

"Pendekar Mabuk, terhuyung laksana nyiur melambai di tengah badai, menghibur kita dengan sebuah fiksi. Saat ia mengawang di atas jabal tertutup kabut, kata-katanya berpusar antara kepelikan dan keganjilan, bagai balerina yang berusaha nyari jalan sempalan. So, ceritanya kayak gini,
Di sudut hangat bufet minuman tua, tiga sahabat absurd tengah asyik ngobrol. Pertama, ada botol wiski elegan, beling berhiaskan cerita tentang negeri jauh dan malam-malam terlupakan. Di sebelahnya duduk kacang asin—yang aslinya sepolong sofis, meski tetap renyah. Dan terakhir, botol air mineral bersih berdiri, labelnya tak tercoret dan tujuannya jelas: buat ditelan.
Botol wiski, dengan banyolan jangarnya, bersender pada rak berdebu. 'Dengerin, guys,' katanya, 'Gua nih, lebih dari sekadar wadah buat cairan api. Gua menyimpan kenangan—tentang penyair, pelaut, dan ikrar-ikrar yang dibangai.'
Kacang asin, yang duduk di dekatnya, mengangguk bestari, 'Hidup ini, bagaikan kacang,' gumamnya. 'Kadang asin, kadang retak, tapi selalu layak dibaham.'
Botol air mineral menyela, suaranya tegas. 'Bisa enggak sih, kita fokus pada hal yang praktis-praktis ajah? Semisal menjaga keseimbangan pH.'

Petualangan mereka dimulai kala senja bulan purnama. Mereka terguling dari rak, labelnya kusam namun semangat tetap murup. Botol wiski memimpin, bergelebar laksana penari balet kubam. Kacang mengikutinya, berteorikan tupai dan merpati. Dan botol air mineral? Ia tetap acuh, menghitung partikel ion semua orang.
Petualangan membawa mereka ke luar dapur. Botol wiski jadi seorang pujangga, mengucapkan syair pada gelas-gelas berkilau cahaya rembulan. Kacang menulis buku terlaris bertajuk “Mengunyah Lewat Peradaban.' Dan botol air mineral? Ia setia menyiram tanaman hias, pandangannya tajam pada kadar klorofil.
Mereka berjalan-jalan di atas meja dapur, mengejutkan kucing yang menjatuhkan toples bumbu. Botol wiski tergelak, 'Sayaang, kami ini barang antik! Kami dipajang, kagak didaur ulang.'
'Maka, sobatku yang budiman, kelak dikala dirimu menenggak wiski, memamah kacang, atau meminum air mineral, ingatlah tiga sohib tipsy ini—tawanya, keanehannya, dan warisan bergairahnya. Hidup, seperti petualangan mereka, paling nikmat dengan sentuhan whiskycal,' pendekar kita mengakhiri dongengannya."
[Disclaimer: Tiada botol, kacang, atau air mineral yang terluka dalam pembuatan dongeng ini. Minumlah dengan bijak, dan semoga petualanganmu, sebahadur mereka!]

"Penyebaran pengaruh kultural atau ideologi asing terkadang dapat menimbulkan perpecahan internal, mengikis nilai-nilai tradisional, atau menantang tatanan politik dan sosial yang ada. Hal ini dapat melemahkan identitas nasional dan membangunkan konflik internal," berkata Cattleya, menindaklanjuti perbincangan sebelumnya.
"Pengaruh kultur dan ideologi eksternal, dapat menantang tatanan sosial dan politik yang ada di sebuah negara. Masuknya norma, nilai, dan gaya hidup budaya asing dapat mengikis praktik dan kepercayaan tradisional. Hal ini dapat memunculkan kesenjangan antargenerasi atau menyebabkan homogenisasi budaya, dimana tersirnanya identitas budaya yang unik.
Ideologi yang bersaing, terutama jika diperkenalkan oleh entitas asing, dapat memperburuk perpecahan sosial yang ada. Misalnya, penyebaran ideologi radikal atau model politik asing dapat menyebabkan polarisasi, kerusuhan sipil, atau bahkan munculnya kelompok ekstremis.
Manakala ideologi atau nilai budaya asing menantang legitimasi pemerintah yang berkuasa atau tatanan sosial yang ada, dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Hal ini dapat melemahkan kemampuan pemerintah dalam memerintah secara efektif dan menjaga kohesi sosial.
Selama Perang Dingin, banyak negara Amerika Latin mengalami konflik internal yang dipicu oleh pengaruh ideologi eksternal dari Amerika Serikat dan Uni Soviet. Contohnya, di Chili, AS mendukung kudeta yang menggulingkan presiden sosialis yang terpilih secara demokratis, Salvador Allende, pada tahun 1973. Intervensi ini menyebabkan puluhan tahun kediktatoran di bawah Augusto Pinochet, yang ditandai oleh pelanggaran hak asasi manusia dan perpecahan masyarakat yang mendalam.

Samuel P. Huntington membahas bagaimana penyebaran nilai-nilai dan ideologi Barat dapat menyebabkan perlawanan dan perpecahan masyarakat non-Barat, yang berkontribusi pada konflik internal dan erosi identitas tradisional. Huntington berpendapat bahwa modernisasi tak selalu berarti Westernisasi. Ia juga menyatakan bahwa penyebaran nilai-nilai dan institusi Barat dapat menjadi tantangan bagi masyarakat non-Barat karena ketidakbersesuaian budaya. Misalnya, ia mencatat bahwa institusi-institusi demokrasi Barat menghadapi kesulitan untuk berakar dalam budaya non-Barat, semisal budaya Konfusianisme Tiongkok, karena perbedaan mendasar dalam nilai-nilai dan tradisi.
Penyebaran nilai-nilai Barat dapat menyebabkan erosi identitas tradisional dalam masyarakat non-Barat. Huntington berpendapat bahwa erosi ini merupakan tantangan internal yang penting bagi peradaban Barat itu sendiri, karena merusak kohesi budaya yang diperlukan mempertahankan kekuasaan dan pengaruh di arena global. Huntington mencatat bahwa komunikasi global yang didominasi oleh Barat merupakan sumber utama kebencian dan permusuhan di antara masyarakat non-Barat. Dominasi yang dirasakan ini, dapat memperburuk perbedaan budaya dan ideologis, yang berkontribusi pada konflik internal dan perpecahan dalam masyarakat non-Barat.
Huntington berpendapat bahwa Amerika didirikan oleh para pemukim Inggris yang membawa serta budaya yang khas, termasuk bahasa Inggris, nilai-nilai Protestan, individualisme, komitmen agama, dan rasa hormat terhadap hukum. Ia membahas bagaimana gelombang imigran secara bertahap menerima nilai-nilai ini dan berasimilasi ke dalam budaya Anglo-Protestan Amerika. Namun, imigrasi yang lebih baru, khususnya dari negara-negara Hispanik, telah menimbulkan tantangan semisal bilingualisme, multikulturalisme, devaluasi kewarganegaraan, dan 'denasionalisasi' kaum elit Amerika. Huntington berpendapat bahwa asimilasi sejumlah besar imigran Hispanik telah mengikis identitas nasional Amerika. Ia berpendapat bahwa erosi ini diperburuk oleh isu-isu semisal bilingualisme dan multikulturalisme. Huntington mengkritik kaum elit liberal karena tak berhubungan dengan populasi Amerika yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa kaum elit ini seringkali mengedepankan multikulturalisme dan bilingualisme, yang menurutnya merusak nilai-nilai tradisional Amerika. Beberapa pengulas telah mencatat bahwa ide-ide Huntington mengantisipasi banyak pertarungan politik dan intelektual Amerika kontemporer, tetapi yang lain mengkritik pandangannya yang sempit tentang keunikan Amerika dan peringatannya terhadap multikulturalisme dan imigrasi.

Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington menampilkan sekelompok akademisi, jurnalis, dan beragam praktisi, termasuk tokoh-tokoh terkemuka semisal Francis Fukuyama, Nathan Glazer, Ronald Inglehart, Seymour Martin Lipset, Orlando Patterson, Michael Porter, Jeffrey Sachs, Richard Shweder, mengeksplorasi pertanyaan mengapa beberapa negara dan kelompok etnis lebih baik dibanding yang lain, dengan fokus pada peran nilai-nilai budaya dalam mendorong pembangunan politik, ekonomi, dan sosial. Mereka berpendapat bahwa nilai-nilai budaya memainkan peran penting dalam membentuk kemajuan manusia, termasuk pembangunan politik, ekonomi, dan sosial. Mereka menyatakan bahwa nilai-nilai budaya merupakan faktor yang kuat dalam menggalakkan pembangunan dan bahwa perubahan nilai sangat diperlukan bagi kemajuan masa depan di negara-negara terbelakang. berpendapat bahwa ada hubungan yang kuat antara nilai-nilai budaya dan kemajuan manusia. Nilai-nilai budaya mempengaruhi bagaimana individu memandang risiko, imbalan, dan peluang, yang pada gilirannya mempengaruhi hasil ekonomi dan sosial.
Mereka mengkritik penjelasan universal bagi perilaku sosial, politik, dan ekonomi, semisal kepentingan pribadi material di antara para ekonom atau pilihan rasional di antara para ilmuwan politik. Sebaliknya, mereka menekankan pentingnya faktor budaya dalam membentuk hasil masyarakat. 'Budaya itu ibu; institusi itu anak-anaknya,' yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya membentuk perkembangan institusi, yang kemudian mempengaruhi perilaku masyarakat. Keberhasilan kelompok etnis tertentu di berbagai negara kendati punya kebijakan ekonomi yang serupa, menggarisbawahi peran faktor budaya dalam pencapaiannya. Kebijakan ekonomi yang tepat dan diterapkan secara efektif akan menghasilkan hasil yang sama tanpa mengacu pada budaya. Perbedaan budaya dapat menyebabkan respons yang berbeda-beda terhadap kebijakan ekonomi, yang mempengaruhi keberhasilannya.
Mereka mendefinisikan kultur dengan berbagai cara, yang mencerminkan kompleksitas dan sifat multifaset konsep ini. Salah satunya mendefinisikan budaya dalam hal nilai-nilai yang berdasarkan sejarah yang berbeda di antara kelompok-kelompok dan yang menjadi identitas masyarakat. Definisi lain mendeskripsikan budaya sebagai simpanan kumulatif pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hierarki, agama, gagasan tentang waktu, peran, hubungan spasial, konsep alam semesta, dan benda-benda material serta harta benda yang diperoleh oleh sekelompok orang selama beberapa generasi melalui usaha individu dan kelompok. Mereka juga menggambarkan budaya sebagai komunikasi simbolik, termasuk simbol-simbol semisal keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan motif suatu kelompok. Makna dari simbol-simbol ini, dipelajari dan sengaja diabadikan dalam masyarakat melalui institusi-institusinya. Definisi yang lebih sederhana namun komprehensif memandang budaya sebagai 'cara hidup sekelompok orang—perilaku, kepercayaan, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima, umumnya tanpa memikirkannya, dan yang diwariskan melalui komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi berikutnya'. Perspektif yang lebih bernuansa, melihat budaya sebagai keterikatan makna, materialitas, dan praktik sosial. Definisi ini menekankan bahwa budaya melibatkan produksi dan konsumsi, dan bahwa maknanya bervariasi dan sering diperdebatkan.
Nilai-nilai budaya memainkan peran penting dalam membentuk pembangunan ekonomi. Nilai-nilai budaya mempengaruhi perilaku dan pembangunan ekonomi dengan membentuk sikap, nilai-nilai, dan keyakinan, yang memandu tindakan individu dan kolektif. Misalnya, norma-norma kultur yang terkait dengan kepercayaan, rasa hormat, dan penentuan nasib sendiri individu dapat merangsang interaksi sosial dan ekonomi, sementara kepatuhan dapat membatasi interaksi dan pembangunan ekonomi dengan mengurangi pengambilan risiko dan kewirausahaan. Nilai-nilai kultur dipandang sebagai landasan bagi pembangunan kelembagaan. Institusi itu anak-anak budaya, bermakna bahwa nilai-nilai budaya membentuk pembangunan lembaga, yang kemudian mempengaruhi perilaku masyarakat dan hasil ekonomi. Studi empiris, semisal yang menggunakan kumpulan data dari European Social Survey, telah menunjukkan bahwa dimensi budaya seperti hierarki, otonomi afektif, dan penguasaan dapat menghambat inovasi dan pembangunan ekonomi, sementara keterikatan, egalitarianisme, dan harmoni dapat mendorongnya.
Nilai-nilai kultural berpengaruh pada hasil ekonomi secara langsung dan tak langsung. Misalnya, kepercayaan dapat mengurangi biaya transaksi, sementara rasa hormat terhadap otoritas dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan ekonomi. Perubahan kultural sangat diperlukan bagi kemajuan masa depan di negara-negara terbelakang. Perubahan nilai dapat memfasilitasi penerapan praktik dan lembaga ekonomi baru, sehingga mendorong pembangunan ekonomi. Budaya berinteraksi dengan sistem ekonomi dengan cara yang kompleks. Budaya mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan, yang pada gilirannya memengaruhi hasil ekonomi. Selain itu, latar belakang kultural dapat mempengaruhi persetujuan dan efektivitas kebijakan ekonomi.

Serangan siber eksternal dapat mengganggu infrastruktur penting, membahayakan keamanan nasional, dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga. Perang informasi, semisal penyebaran disinformasi, dapat memunculkan kebingungan, memanipulasi opini publik, dan memperburuk perpecahan sosial.
Di era digital, serangan siber dan perang informasi merupakan alat ampuh, yang dapat digunakan aktor eksternal mengacaukan sebuah negara. Serangan siber dapat menargetkan infrastruktur vital semisal jaringan listrik, sistem keuangan, jaringan komunikasi, dan sistem transportasi. Gangguan di area ini, dapat menyebabkan kekacauan yang meluas, kerugian ekonomi, dan merusak kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah menyediakan layanan penting. Serangan siber dapat membahayakan data militer atau pemerintah yang sensitif, yang berpotensi mengungkap kerentanan dan memungkinkan musuh asing mengeksploitasinya. Hal ini dapat melemahkan kemampuan pertahanan nasional dan membuat negara menghadapi risiko yang lebih besar. Perang informasi melibatkan penyebaran disinformasi, propaganda, atau narasi yang menyesatkan secara sengaja mempengaruhi opini publik, menabur perselisihan, atau memanipulasi hasil politik. Dengan mempolarisasi wacana publik atau mendiskreditkan pemimpin politik, aktor eksternal dapat melemahkan kohesi sosial dan mengacaukan lingkungan politik.
Pada tahun 2016, pelaku Rusia melakukan serangan siber dan perang informasi yang bertujuan mempengaruhi pemilihan presiden AS. Mereka meretas email partai politik, menyebarkan disinformasi melalui media sosial, dan berupaya merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Upaya ini berkontribusi pada polarisasi politik, mengikis kepercayaan terhadap lembaga demokrasi, dan mengungkap kerentanan dalam sistem pemilu AS.

Ben Buchanan berpendapat bahwa serangan siber telah menjadi bagian normal dari geopolitik, menggunakan konsep semisal pensinyalan dan pembentukan guna menjelaskan bagaimana negara menggunakan serangan siber dalam menyampaikan maksud dan mempengaruhi hasil global. Buchanan berpendapat bahwa serangan siber tidak terutama digunakan untuk pensinyalan, yang melibatkan tindakan atau sinyal yang disengaja yang diambil oleh negara dalam mengkomunikasikan maksud atau kapasitasnya, mempengaruhi persepsi dan membentuk ekspektasi. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa kemampuan siber pada dasarnya tak sesuai bagi pensinyalan lantaran ketidakjelasannya dan kesulitan menghubungkan serangan dengan aktor tertentu. Ia menganjurkan kerangka konseptual yang didasarkan pada pembentukan, yang melibatkan upaya yang disengaja mengubah dinamika, norma, atau struktur sistem internasional menghasilkan hasil yang mendukung tujuan atau kepentingan strategis seseorang. Operasi siber dipandang sebagai alat membentuk geopolitik dengan mempengaruhi hasil global melalui spionase, serangan, dan destabilisasi.
Buchanan berpendapat bahwa serangan siber telah menjadi alat bagi para pembuat kebijakan memberi isyarat dan membentuk operasi. Serangan siber telah mengubah taktik mata-mata dan statecraft, menjadikannya bagian integral dari geopolitik modern. Serangan-serangan ini tak serusak yang diantisipasi tetapi lebih meluas dan lebih sulit dicegah, yang berdampak pada berbagai aspek masyarakat modern, termasuk perbankan, sistem teknologi dan kesehatan, serta demokrasi. Serangan siber merupakan bentuk baru persaingan geopolitik yang sesungguhnya, dimana negara yang paling jago meretas akan menang. Perspektif ini mengalihkan fokus dari peperangan tradisional ke logika strategis di balik operasi siber, yang menekankan peran mereka dalam membentuk dinamika global.

Richard A. Clarke dan Robert K. Knake menekankan bahwa dunia maya bukan sekadar media, melainkan domain yang perlu dipertahankan dan dikelola seperti domain lainnya. Ini termasuk memahami karakteristik uniknya dan ancaman yang ditimbulkannya. Istilah 'fifth domain' digunakan dalam menyoroti pentingnya dunia maya dalam peperangan modern dan keamanan nasional. Istilah ini menggarisbawahi perlunya pendekatan komprehensif untuk mempertahankan diri dari ancaman dunia maya, yang dapat menimbulkan konsekuensi signifikan di dunia nyata. Clarke dan Knake menganjurkan pendekatan pertahanan strategis yang berfokus pada ketahanan dan pencegahan. Hal ini melibatkan pembangunan sistem yang dapat menahan sebagian besar serangan dan meningkatkan biaya bagi penjahat dunia maya dan pelaku negara.
Clarke dan Knake merekomendasikan beberapa strategi keterlibatan diplomatik guna mengurangi ketegangan siber. Mereka menganjurkan membangun kemitraan dengan negara lain dalam mengatasi ancaman siber global secara kolektif. Pendekatan ini bertujuan membangun lingkungan kolaboratif tempat negara-negara bekerjasama meningkatkan keamanan siber dan mengurangi kemungkinan konflik siber. Clarke dan Knake menyarankan penggunaan saluran diplomatik dalam menyuarakan keprihatinan tentang aktivitas siber yang jahat kepada pemerintah asing. Jika pemerintah ini tak mau terbuka, tindakan diplomatik yang lebih koersif dapat digunakan membendung aktivitas siber jahat. Mereka menekankan pentingnya kemitraan internasional, khususnya dalam berbagi informasi teknis tentang serangan siber. Ini termasuk membangun kemitraan dengan militer asing dan terlibat dalam hubungan militer-ke-militer untuk meningkatkan kerjasama siber.
Clarke dan Knake menekankan bahwa ancaman serangan siber itu nyata dan akan segera terjadi, dengan konsekuensi yang signifikan bagi keamanan nasional, stabilitas ekonomi, dan keselamatan individu. Mereka menyoroti berbagai serangan siber ternama, semisal Stuxnet dan WannaCry, yang telah menunjukkan potensi ancaman siber untuk mengganggu infrastruktur penting dan menyebabkan kerusakan meluas. Mereka menekankan bahwa mengamankan dunia maya bukanlah hal yang mustahil, tetapi memerlukan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan. Mereka berpendapat bahwa yang hilang adalah konsensus nasional, kemauan, dan penetapan prioritas. Ini berarti bahwa para pembuat kebijakan harus bekerjasama lintas partai dan memprioritaskan keamanan siber sebagai isu kepentingan keamanan nasional.

Selanjutnya kita akan menjelajahi bentangan rumit ketergantungan ekonomi dan tekanan lingkungan, dimana pengejaran pertumbuhan yang tak kenal lelah seringkali mengorbankan peningkatan ekstraksi dan konsumsi sumber daya, yang memperburuk degradasi lingkungan. Biidznillah."
Di tengah latar belakang yang rumit ini, Cattleya lalu membacakan sebuah puisi sebagai pengingat pengalaman manusia,

Suara terluar berbisik, menggugat jalan,
Ideologi bertabrakan, struktur sosial terjatuh lunglai.
Dalam era digital, bayangan cyber mengintai,
Perang informasi, mengguncang kestabilan.
Kutipan & Rujukan:
- Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991, University of Oklahoma Press
- Samuel P. Huntington, Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, 2005, Simon & Schuster
- Lawrence E. Harrison & Samuel P. Huntington (Eds.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress, 2000, Basic Books
- Ben Buchanan, The Hacker and the State: Cyber Attacks and the New Normal of Geopolitics, 2020, Harvard University Press
- Richard A. Clarke & Robert K. Knake, The Fifth Domain: Defending Our Country, Our Companies, and Ourselves in the Age of Cyber Threats, 2019, Penguin Press
[Sesi 14]