Rabu, 21 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (6)

"Dalam sebuah putaran nasib yang hanya bisa digambarkan sebagai plot langsung sinetron, Lembusura, ksatria kita dengan kemampuan melompat laksana kanguru menelan steroid, menghadapi tembok setinggi 25 meter. Meskipun lompatan 14 meternya mengesankan, tembok ini bak gunung Everest. Masuklah ‘The Guardian of Kingdom,’ cameo yang amat tak terduga sehingga bisa menyaingi tamu dadakan di acara realitas TV. Dengan lambaian tangannya, tembok itu susut menjadi hanya 7,5 meter, menjadikannya lebih seperti gundukan polisi tidur ketimbang dinding barikade. Keadaan ini tak semata menguntungkan Lembusura; tapi juga manfaat besar bagi makhluk-makhluk lain yang terjebak di balik tembok menjulang tinggi itu, semisal Taksaka, Naga Basuki, dan Wilmuka. Siapa sangka hiruk-pikuk bisa menjadi inklusif?

Tapi, tahan dulu tepuk tangannya! Raja Penthung, yang selalu ngerusak pesta, gak bakalan ngebiarin Lembusura menikmati momen kejayaannya. Sang Raja, bertindak seraya berteriak ‘sabotase kuliner,’ maka terhidanglah sepanci sup ‘Rawon Buntut,’ sajian amat lezat yang mampu mengalihkan perhatian pelompat paling fokus sekalipun. Aromanya aja, udah cukup bikin perut Lembusura bergemuruh lebih kencang dari badai.
Dan kalau pun itu belum cukup, rumor beredar bahwa mesin rolet masyhur, yang mempecundangi kompetisi sebelumnya, bakalan didatangkan ulang. Mesin ini, peninggalan dari masa dikala keadilan cuma sebuah saran, berbakat mengubah peluang menguntungkan bagi siapa pun pemegang kendalinya. Raja Penthung, dengan senyum kancilnya, mengisyaratkan bahwa mesin itu amat mungkin masuk gelanggang.

Sementara itu, Lembusura, yang ahli strategi, merenungkan langkah berikutnya. Haruskah ia memanggil ‘sang Bintang,’ senjata rahasianya, melawan godaan nikmat ‘Rawon Buntut’? Sang bintang ini, kartu As Lembusura, dikabarkan punya kekuatan sinar yang sangat terang hingga bisa membutakan lawan.
Saat rakyat kerajaan berkumpul, memasang taruhan dan mengunyah popcorn, ketegangan terasa nyata. Udara berdesir dengan suka-ria dan sesekali aroma Rawon Buntut. Panggung telah disiapkan bagi pertarungan epik, yang akan diperbincangkan selama beberapa generasi.
Tapi tepat saat Lembusura akan beraksi, sosok misterius muncul di cakrawala. Mengenakan jubah berkilau seperti langit malam, identitas orang asing ini tak diketahui. Bisik-bisik menyebar di antara kerumunan—bolokah, atau rintangan lain? Sosok itu mengangkat tangan, dan bumi di bawah tembok mulai bergetar. Inikah putaran lain dalam cerita, atau potongan puzzel terakhir?

Dalam dunia politik dimana satu-satunya yang konstan hanyalah perubahan, siapa yang tahu pasti kejadian selanjutnya? Akankah Lembusura melompati tembok dan mengklaim kemenangannya, atau akankah ramuan kuliner dan trik rolet Raja Penthung menang? Dan siapa pendatang baru yang penuh tanda-tanya ini? Tetaplah disini dalam episode berikutnya, dimana drama, intrik, dan sedikit absurditas, selalu ada dalam menu."

"Ketidakstabilan politik merupakan faktor signifikan yang dapat melemahkan sebuah negara, ia memunculkan serangkaian efek negatif yang merusak fondasi kekuatan negara, termasuk ekonomi, tatanan sosial, lembaga, dan keamanannya. Ketidakstabilan politik kerap menyebabkan pemerintahan yang tak konsisten atau lemah. Seringnya pergantian kepemimpinan, kebijakan yang tidak jelas, dan penegakan hukum yang tak efektif merusak supremasi hukum, sehingga membuka lingkungan yang memungkinkan korupsi, kejahatan, dan kerusuhan sipil berkembang pesat," Cattleya meneruskan.

Ketidakstabilan politik merujuk pada keadaan dimana pemerintah, sistem politik, atau negara, tak mampu mempertahankan tatakelola yang konsisten dan efektif karena seringnya terjadi perubahan kepemimpinan, kerusuhan politik, konflik, atau tantangan signifikan terhadap kewenangannya. Kondisi ini sering melibatkan ketidakpastian, tak dapat diprediksi, dan kurangnya kesinambungan dalam kebijakan dan tatakelola, yang dapat menyebabkan berbagai bentuk kekacauan dan gangguan di dalam negara.

Pemerintah di lingkungan tak stabil secara politik sering kesulitan menegakkan hukum, penyajian layanan publik, atau menjaga ketertiban. Kelemahan ini dapat menyebabkan korupsi, inefisiensi, dan runtuhnya supremasi hukum. Ketidakstabilan politik dapat muncul ketika pemerintah atau otoritas yang berkuasa, kehilangan legitimasi di mata warga negaranya. Hilangnya legitimasi ini, disebabkan korupsi yang dirasakan, kecurangan pemilu, atau kegagalan mengatasi masalah sosial dan ekonomi yang mendesak. Dalam beberapa kasus, ketidakstabilan politik dapat diperburuk oleh aktor eksternal, semisal pemerintah asing, organisasi internasional, atau aktor non-negara yang berkepentingan dalam mempengaruhi hasil krisis politik.
Libya setelah pemberontakan Arab Spring 2011 dan penggulingan Muammar Gaddafi. Negara ini telah terbagi antara pemerintah dan milisi yang bersaing, yang menyebabkan konflik berkelanjutan dan kurangnya otoritas pusat. Zimbabwe di bawah tahun-tahun terakhir pemerintahan Robert Mugabe dan kekacauan politik yang menyusul penggulingannya pada tahun 2017. Negara ini telah menghadapi keruntuhan ekonomi, hiperinflasi, dan penindasan politik, yang menyebabkan ketidakstabilan. Myanmar sejak kudeta militer 2021, yang menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Kudeta tersebut telah menyebabkan protes yang meluas, perlawanan bersenjata, dan kecaman internasional, yang menimbulkan keadaan yang sangat tidak stabil.

Ketidakstabilan politik mulai terjadi dalam keadaan tertentu, yang mengganggu fungsi normal pemerintahan atau sistem politik. Tingkat ketidakstabilan ini dapat bervariasi, mulai dari ketidakpastian ringan hingga krisis yang parah. Ketidakstabilan politik dapat muncul ketika terjadi perubahan kepemimpinan pemerintahan yang sering terjadi, semisal melalui pemilihan umum, pengunduran diri, kudeta, atau pembunuhan. Pergantian yang terus-menerus ini dapat mencegah pemerintah menerapkan kebijakan jangka panjang dan memuculkan ketidakpastian tentang arah negara. Ketidakstabilan akan ringan jika perubahannya damai dan dalam kerangka demokrasi, tetapi dapat menjadi parah jika perubahan kepemimpinan dilakukan dengan kekerasan, mendadak, atau melibatkan metode yang tak konstitusional, semisal kudeta militer.
Ketidakpuasan yang meluas di antara penduduk, yang kerap disebabkan oleh kesulitan ekonomi, korupsi, atau ketidakadilan yang dirasakan, dapat menyebabkan protes, pemogokan, atau kerusuhan. Kerusuhan sipil menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk tidak senang dengan situasi politik saat ini. Ketidakstabilan mungkin terbatas jika protes berlangsung damai dan menghasilkan dialog atau reformasi yang konstruktif. Namun, jika protes berubah menjadi kekerasan, ditanggapi dengan penindasan, atau menyebabkan kekacauan yang meluas, tingkat ketidakstabilan dapat menjadi sangat dalam, yang berpotensi mengganggu stabilitas seluruh negara.
Pemerintah yang lemah atau tak tak mampu menegakkan hukum dan kebijakan dapat mengalami kesulitan menjaga ketertiban dan memerintah secara efektif. Hal ini dapat terjadi dalam situasi dimana pemerintah sangat terpecah, tak memiliki mandat yang jelas, atau tak mampu mengendalikan wilayah atau faksi tertentu di dalam negara. Ketidakstabilan politik dapat bersifat moderat jika pemerintah hanya lemah sementara atau jika ada upaya memperkuatnya. Namun, jika pemerintah tetap terpecah-pecah atau kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah negara, ketidakstabilan dapat menjadi parah, yang menyebabkan kekosongan kekuasaan dan potensi anarki.
Perpecahan etnis, agama, atau regional yang mengakar dapat menyebabkan konflik dan ketidakstabilan politik, terutama jika satu kelompok merasa terpinggirkan atau didiskriminasi. Ketegangan ini dapat diperburuk oleh para pemimpin politik yang mengeksploitasinya bagi keuntungan pribadi atau politik. Ketidakstabilan akan moderat jika ketegangan dikelola melalui dialog dan inklusi. Namun, jika ketegangan meningkat menjadi kekerasan, pembersihan etnis, atau gerakan separatis, ketidakstabilan dapat meluas, mengancam persatuan dan stabilitas negara.
Pemilu yang disengketakan, dimana hasilnya diperdebatkan atau dianggap curang, dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Hal ini sering terjadi di negara demokrasi baru atau di negara dengan sistem pemilu yang lemah, dimana legitimasi proses pemilu dipertanyakan. Jika perselisihan diselesaikan melalui cara hukum atau damai, ketidakstabilan akan bersifat sementara. Namun, jika perselisihan menyebabkan protes meluas, kekerasan, atau runtuhnya tatanan politik, ketidakstabilan dapat menjadi signifikan, berpotensi menyebabkan krisis yang berkepanjangan.
Kesulitan ekonomi, semisal hiperinflasi, pengangguran, atau kemerosotan ekonomi yang tiba-tiba, dapat menyebabkan ketidakstabilan politik, terutama jika pemerintah dianggap bertanggungjawab atau tak mampu mengatasi krisis. Ketidakstabilan tersebut akan ringan jika pemerintah dapat mengelola krisis secara efektif. Namun, jika situasi ekonomi lebih lanjut memburuk dan menyebabkan kemiskinan massal, pemogokan, atau kerusuhan, tingkat ketidakstabilan dapat menjadi parah, yang melemahkan otoritas dan legitimasi pemerintah.
Ketidakstabilan politik juga dapat dipicu atau diperburuk oleh faktor eksternal, semisal intervensi asing, dukungan terhadap kelompok oposisi, atau ancaman negara tetangga. Aktor eksternal akan mengeksploitasi perpecahan internal demi kepentingan mereka. Ketidakstabilan akan ringan bila campur tangan eksternal terbatas atau jika negara dapat melawan atau mengelolanya. Namun, bila kekuatan eksternal kuat dan terus-menerus, dapat secara signifikan mengganggu stabilitas negara, yang mengarah pada konflik jangka panjang atau bahkan perubahan rezim.
Krisis konstitusional terjadi ketika terjadi kerusakan dalam kerangka hukum atau kelembagaan sebuah negara, semisal perselisihan mengenai penafsiran konstitusi, keseimbangan kekuasaan, atau legitimasi lembaga tertentu. Ketidakstabilan tersebut dapat dibatasi jika krisis diselesaikan melalui mekanisme hukum atau kompromi. Namun, jika krisis tersebut menyebabkan kelumpuhan fungsi pemerintahan, tingkat ketidakstabilan tersebut dapat menjadi parah, yang berpotensi menyebabkan keruntuhan total sistem politik.

Keberadaan kartel politik dalam sebuah negara, dapat melemahkan negara tersebut dalam beberapa cara, terutama dengan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi, mengurangi persaingan politik, mendorong korupsi, dan menghambat inovasi kebijakan. Kartel politik merujuk pada koalisi atau aliansi partai politik, organisasi, atau pemimpin yang bekerjasama dalam mempertahankan kekuasaan, mengendalikan persaingan politik, dan mencegah partai baru atau partai yang lebih kecil memperoleh pengaruh. Konsep ini sering digunakan dalam konteks perbincangan tentang sistem politik dimana partai-partai yang mapan mendominasi lanskap politik, membatasi persaingan demokrasi, dan memastikan keberlanjutan dominasinya.
Konsep kartel politik telah berkembang, dengan perspektif historisnya yang mencerminkan perubahan dalam sistem politik, dinamika partai, dan praktik demokrasi. Pada abad ke-19, mesin politik di kota-kota seperti New York dan Chicago menunjukkan bentuk awal perilaku seperti kartel. Mesin-mesin ini sering dikendalikan oleh satu partai atau pemimpin yang menggunakan patronase dan loyalitas partai dalam mempertahankan kekuasaan. Mereka mengendalikan sumber daya politik dan membatasi persaingan, memastikan bahwa partai-partai pesaingnya kurang berpengaruh. Di Eropa, kartel politik mulai muncul dikala partai-partai mapan berusaha mengonsolidasikan kekuasaannya. Partai-partai di beberapa negara mulai berkolaborasi dalam strategi dan kebijakan elektoral mempertahankan dominasinya dan mengelola persaingan politik.
Terma 'cartel party' secara resmi diperkenalkan oleh Richard S. Katz dan Peter Mair pada akhir abad ke-20, dan akarnya dapat ditelusuri hingga perkembangan awal abad ke-20. Ketika sistem politik semakin matang dan lebih terlembaga, partai-partai mapan di banyak negara demokrasi mulai bekerja sama melindungi kepentingannya dan mempertahankan kendali atas sistem politik. Perubahan dalam sistem pemilihan, semisal pengenalan perwakilan proporsional dan konsolidasi sistem partai, berkontribusi pada munculnya perilaku kartel. Partai-partai mapan berusaha mencegah masuknya partai-partai baru atau yang lebih kecil, yang dapat menantang dominasi mereka.
Usai Perang Dunia II, banyak negara demokrasi Eropa mengalami kebangkitan partai kartel. Di negara-negara seumpama Jerman dan Italia, partai-partai mapan membentuk aliansi dan menyepakati kebijakan-kebijakan utama menstabilkan sistem politiknya dan mencegah partai-partai ekstremis memperoleh dukungan. Kartel politik di era ini, kerap melibatkan perjanjian-perjanjian tentang pengelolaan ekonomi dan pengendalian negara. Partai-partai mapan berkolaborasi mengendalikan sumber daya ekonomi dan lembaga-lembaga negara, mengurangi persaingan dan memastikan stabilitas.
Konsep kartel politik secara formal diteorikan oleh Katz dan Mair pada tahun 1990-an. Mereka berpendapat bahwa partai politik dalam demokrasi modern sering bertindak laksana organisasi kartel, menggunakan kendalinya atas sumber daya negara dan sistem pemilihan demi mempertahankan dominasi dan membatasi persaingan. Fenomena kartel politik tak terbatas pada satu wilayah saja. Di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, kartel politik telah muncul dalam berbagai bentuk, yang sering ditandai dengan kolusi di antara partai-partai mapan mengendalikan lanskap politik dan menekan oposisi.

Dalam kartel politik, partai-partai politik utama dapat bekerjasama, baik secara eksplisit maupun implisit, untuk membatasi persaingan. Mereka dapat menyetujui aturan, praktik, atau kebijakan tertentu yang mempersulit partai baru atau pihak luar menantang kekuasaan mereka. Kartel politik acapkali mengendalikan aspek-aspek utama proses pemilu, seperti akses ke media, pendanaan kampanye, atau aturan yang mengatur pemilu. Kontrol ini memungkinkan mereka membentuk lanskap politik yang menguntungkan mereka. Dengan mengendalikan sumber daya politik dan akses ke kekuasaan, kartel politik dapat mengecualikan atau meminggirkan partai-partai baru atau yang lebih kecil, memastikan bahwa mereka tetap berada di pinggiran sistem politik. Kartel politik biasanya berfokus pada mempertahankan status quo dan posisi kekuasaannya. Mereka dapat menolak reformasi atau perubahan yang dapat mengancam dominasinya, bahkan pun jika reformasi tersebut diperlukan bagi kesehatan demokrasi yang lebih luas. Kendati partai-partai dalam kartel politik masih dapat bersaing dalam beberapa isu, mereka kerap berkoordinasi dalam kebijakan-kebijakan utama guna memastikan kepentingan kolektif mereka terlindungi. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya diferensiasi kebijakan yang nyata antara partai-partai besar.
Dalam beberapa diskusi, terma 'kartel politik' telah digunakan untuk menggambarkan 'Koalisi Besar' di Jerman, tempat dua partai terbesar (the Christian Democratic Union (CDU) dan the Social Democratic Party (SPD)) membentuk koalisi, yang secara efektif mengurangi persaingan dan mempertahankan kendali atas sistem politik.
Dominasi PRI (Institutional Revolutionary Party di) Meksiko selama sebagian besar abad ke-20 merupakan contoh lain. PRI mempertahankan kekuasaan melalui kombinasi kendali elektoral, patronase, dan aliansi dengan entitas politik lain, yang secara efektif beroperasi sebagai kartel politik.

Keprihatinan telah muncul tentang kecenderungan kartel politik di Indonesia. Pembagian kekuasaan yang luas di antara partai-partai politik telah menyebabkan kurangnya oposisi yang jelas. Hal ini telah menghambat perkembangan oposisi demokratis yang kuat, sehingga sulit meminta pertanggungjawaban pemerintah. Meskipun ada pemilu yang bingkas, demokrasi Indonesia dipandang cacat di bidang-bidang lain. Kompromi dengan politisi yang korup telah melemahkan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Selepas jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998, Indonesia menyaksikan munculnya kartel politik sebagai cara menstabilkan sistem demokrasi yang baru. Presiden sering membentuk koalisi luas yang mencakup banyak partai politik, terlepas dari perbedaan ideologisnya. Menurut pandangan media-media asing, Presiden Joko Widodo juga mengandalkan koalisi luas dalam memerintah. Pemerintahannya telah mencakup partai-partai yang merupakan pesaingnya sejak permulaan, yang mencerminkan tren kartel politik yang sedang berlangsung di Indonesia.
Kartel politik di Indonesia berdampak signifikan terhadap pembuatan kebijakan. Karena pengaturan pembagian kekuasaan di antara berbagai partai politik, kebijakan acapkali perlu dinegosiasikan dan disetujui oleh banyak pemangku kepentingan. Hal ini dapat menyebabkan kompromi dan kebijakan yang diperlunak, yang akan tak sepenuhnya mengatasi masalah yang dihadapi. Kebutuhan menjaga stabilitas koalisi dapat mengakibatkan keengganan menerapkan kebijakan yang berani atau kontroversial. Keadaan ini dapat memperlambat proses pembuatan kebijakan dan menyebabkan perubahan bertahap daripada yang transformatif.
Kartel politik dapat menumbuhkan lingkungan tempat merajalelanya perkoncoan dan korupsi. Kebijakan dapat dipengaruhi oleh kebutuhan memberi penghargaan kepada sekutu dan pendukung politik, alih-alih berdasarkan prestasi atau kepentingan publik. Dengan garis yang kabur antara pemerintah dan oposisi, meminta pertanggungjawaban pembuat kebijakan menjadi tantangan. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya transparansi dan berkurangnya kepercayaan publik terhadap sistem politik.
Menangani masalah kartel politik di Indonesia memerlukan pendekatan yang beragam. Meningkatkan independensi dan kapasitas lembaga politik, semisal lembaga peradilan dan komisi pemilihan umum, dapat membantu memastikan proses politik yang lebih adil dan transparan. Melaksanakan reformasi sistem pemilu, seperti mengurangi ambang batas perwakilan partai di parlemen, dapat mendorong lanskap politik yang lebih beragam dan kompetitif. Mendorong partai politik mengadopsi praktik yang lebih demokratis secara internal dapat mengurangi dominasi elit partai dan menumbuhkan akuntabilitas yang lebih besar.
Melaksanakan langkah-langkah antikorupsi yang kuat dan memastikan penegakan hukum yang ketat, dapat mengurangi pengaruh perkoncoan dan korupsi dalam politik. Memperkuat organisasi masyarakat sipil dan mendorong partisipasi publik yang lebih besar dalam proses politik dapat membantu meminta pertanggungjawaban partai politik dan para pemimpinnya. Meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi dan bahaya kartel politik dapat memberdayakan warga negara menuntut tatakelola yang lebih baik.
Solusi ini bertujuan membangun sistem politik yang lebih transparan, akuntabel, dan demokratis di Indonesia.

Kartel politik kerap menyebabkan berkurangnya persaingan, lantaran memunculkan hambatan bagi pendatang baru dan membatasi pilihan yang tersedia bagi pemilih. Dengan terbatasnya persaingan, kartel politik dapat mengakibatkan stagnasi kebijakan, karena partai-partai yang dominan hanya mempunyai sedikit insentif dalam berinovasi atau mengatasi tantangan baru. Para pemilih akan kecewa dengan sistem politik jika mereka menganggap bahwa partai-partai besar berkolusi mempertahankan kekuasaan daripada benar-benar mewakili kepentingan mereka. Kartel politik merupakan situasi dimana aktor politik dominan berkolaborasi mempertahankan kekuasaannya, kerap dengan mengorbankan persaingan demokratis dan partisipasi politik yang lebih luas.
Pembentukan kartel politik biasanya disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang mendorong partai politik atau elit yang mapan berkolaborasi guna mempertahankan kekuasaan dan kendali mereka atas sistem politik. Faktor-faktor ini dapat mencakup insentif kelembagaan, kepentingan pribadi, ancaman eksternal, dan keinginan meminimalkan ketidakpastian. Sistem pemilu tertentu, semisal sistem perwakilan proporsional atau sistem dengan hambatan masuk yang tinggi, dapat mendorong pembentukan kartel politik. Misalnya, jika sistem pemilu menguntungkan partai-partai besar yang sudah mapan dan mempersulit partai-partai baru mendapatkan perwakilan, partai-partai yang sudah mapan dapat berkolusi mempertahankan sistem yang menguntungkan mereka. Jika aturan yang mengatur pendanaan politik disusun sedemikian rupa sehingga menguntungkan partai-partai yang sudah mapan, mereka dapat membentuk kartel untuk melindungi keuntungan finansial ini dan mencegah pendatang baru mengakses sumber daya yang sama.

Para elit politik dapat membentuk kartel guna mengamankan posisi kekuasaan dan pengaruhnya. Melalui kerjasama dengan partai-partai mapan lainnya, mereka dapat mengurangi persaingan dan meningkatkan peluang mereka agar tetap berkuasa. Kartel politik kerap terbentuk untuk mengendalikan sumber daya yang berharga, semisal dana negara, akses media, atau jaringan patronase. Dengan bekerja sama, para anggota kartel dapat memastikan bahwa sumber daya ini tetap berada dalam kendali mereka. Partai-partai yang sudah mapan akan menganggap gerakan-gerakan baru atau populis sebagai ancaman terhadap dominasi mereka. Sebagai tanggapan, mereka akan membentuk kartel, secara kolektif melawan gerakan-gerakan ini, menggunakan kekuatan gabungan meminggirkan atau menekan gerakan-gerakan tersebut. Selama masa krisis, seumpama kemerosotan ekonomi atau kerusuhan sosial, partai-partai yang sudah mapan akan bersatu mencegah situasi menjadi tak terkendali. Mereka berpendapat bahwa kerjasama diperlukan gunamenjaga stabilitas, bahkan jika hal itu membatasi persaingan.
Persaingan politik menimbulkan ketidakpastian, lantaran pemilihan umum dapat menyebabkan perubahan kepemimpinan dan arah kebijakan. Dengan membentuk kartel, partai-partai yang sudah mapan dapat mengurangi ketidakpastian ini dengan menyetujui pembagian kekuasaan atau dengan menerapkan kebijakan yang melindungi kepentingan bersama mereka. Kartel juga dapat dibentuk guna memastikan bahwa hasil kebijakan tetap dapat diprediksi dan sejalan dengan kepentingan anggota kartel. Hal ini dapat melibatkan kesepakatan mengenai kebijakan utama atau pembagian wilayah pengaruh sehingga masing-masing partai mengetahui apa yang diharapkan.
Di beberapa negara, kartel politik terbentuk karena preseden historis dimana partai-partai secara tradisional bekerja sama. Ini dapat menjadi hasil dari ideologi bersama, ikatan regional, atau kolaborasi masa lalu selama periode kritis. Dalam sistem politik dimana elitisme mengakar, budaya kolaborasi di antara elit penguasa secara alami dapat mengarah pada perilaku seperti kartel. Budaya ini menghambat persaingan dan mengedepankan gagasan bahwa hanya partai atau individu tertentu yang layak memerintah. Jika oposisi lemah, terfragmentasi, atau kekurangan sumber daya, partai-partai yang mapan akan merasa berani membentuk kartel. Tanpa oposisi yang kuat menantang mereka, anggota kartel dapat lebih mudah mendominasi lanskap politik. Partai-partai yang mapan juga dapat mengkooptasi pesaing potensial dengan menawarkannya bagian dari manfaat kartel, semisal akses ke sumber daya atau penunjukan politik. Ini mengurangi kemungkinan tantangan serius terhadap dominasi mereka.
Kartel politik dapat menyebabkan kemunduran demokrasi, karena sering memprioritaskan kepentingan anggota kartel di atas prinsip persaingan dan representasi demokrasi. Dengan persaingan yang terbatas, inovasi kebijakan dapat terhambat, yang menyebabkan stagnasi dan ketidakmampuan mengatasi tantangan baru secara efektif. Persepsi bahwa sistem politik dikendalikan oleh kartel dapat menyebabkan kekecewaan publik, mengurangi kepercayaan pada lembaga demokrasi, dan berpotensi mendorong pemilih ke arah alternatif yang lebih ekstrem atau populis.

Keberadaan kartel politik dalam sebuah negara dapat melemahkan negara tersebut dalam beberapa cara, terutama dengan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi, mengurangi persaingan politik, mendorong korupsi, dan menghambat inovasi kebijakan. Kartel politik mengurangi persaingan politik yang sesungguhnya dengan berkolusi mempertahankan kekuasaan dan menyingkirkan partai-partai baru atau yang lebih kecil. Hal ini merusak proses demokrasi, karena para pemilih diberikan pilihan yang terbatas, yang sering menyebabkan apatisme pemilih dan berkurangnya partisipasi dalam pemilu. Ketika kartel politik memperkuat kekuasaannya, mereka dapat melemahkan lembaga-lembaga semisal peradilan, komisi pemilihan umum, dan media, guna memastikan dominasinya. Erosi pengawasan dan keseimbangan ini dapat menyebabkan otoritarianisme atau konsolidasi kekuasaan di tangan beberapa elit. Di Rusia, dominasi United Russia party, bersama kolaborasinya dengan entitas politik lain, telah menyebabkan berkurangnya persaingan politik yang berarti dan kritik bahwa negara tersebut telah bergeser ke arah otoritarianisme.
Dengan kekuasaan yang terpusat di antara beberapa partai atau pemimpin, kartel politik sering memunculkan lingkungan yang memungkinkan korupsi tumbuh subur. Kurangnya persaingan dan pengawasan memungkinkan anggota kartel terlibat dalam praktik korupsi, semisal penggelapan, penyuapan, dan patronase, tanpa rasa takut dimintai pertanggungjawaban. Kartel politik dapat memanipulasi sumber daya negara, kontrak pemerintah, dan layanan publik demi menguntungkan anggotanya, sering dengan mengorbankan masyarakat umum. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas ini dapat menyebabkan korupsi meluas, yang melemahkan efektivitas dan legitimasi pemerintah. Di banyak negara Afrika, kartel politik dikaitkan dengan tingkat korupsi yang tinggi, dimana elit penguasa menggunakan sumber daya negara bagi keuntungan pribadi, yang merusak pembangunan dan tatakelola.
Kartel-kartel politik kerap menolak reformasi yang dapat mengancam dominasinya, meskipun reformasi tersebut diperlukan bagi kemajuan ekonomi atau sosial. Penolakan ini dapat menyebabkan stagnasi kebijakan, dimana pemerintah tak mampu mengatasi masalah-masalah mendesak seumpama kesenjangan ekonomi, perawatan kesehatan, atau pendidikan. Kurangnya persaingan dan perspektif baru dalam kartel politik dapat mengakibatkan pemerintah yang lambat beradaptasi dengan tantangan baru, seperti perubahan teknologi, krisis lingkungan, atau perubahan dinamika global. Hal ini dapat melemahkan kemampuan bangsa agar tetap kompetitif dan tangguh di dunia yang berubah dengan cepat. Di Italia, dominasi partai politik tertentu pada periode pascaperang menyebabkan stagnasi kebijakan, yang berkontribusi terhadap tantangan ekonomi dan kurangnya inovasi dalam mengatasi kebutuhan masyarakat baru.

Ketika warga negara merasa bahwa sistem politik mereka didominasi oleh kartel yang mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan publik, mereka akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Kekecewaan ini dapat menyebabkan penurunan jumlah pemilih, meningkatnya sinisme, dan rasa tak berdaya di antara para pemilih. Persepsi bahwa elit politik berkolusi mempertahankan kekuasaan juga dapat memicu munculnya gerakan populis atau ekstremis, yang memanfaatkan kemarahan dan frustrasi publik. Gerakan-gerakan ini dapat semakin mengguncang negara, yang menyebabkan keresahan sosial dan polarisasi politik. Di banyak negara Amerika Latin, kekecewaan publik terhadap kartel politik telah berkontribusi pada munculnya pemimpin populis yang berjanji melepaskan cengkeraman elit yang mengakar, terkadang lebih lanjut menyebabkan ketidakstabilan.
Kartel politik kerap mengutamakan kepentingannya sendiri ketimbang pengelolaan ekonomi yang baik, yang menyebabkan alokasi sumber daya menjadi tak efisien. Hal ini dapat mengakibatkan salah urus ekonomi, dimana sumber daya diarahkan ke proyek-proyek yang menguntungkan kartel daripada ekonomi yang lebih luas, menyebabkan pertumbuhan ekonomi lebih lambat atau bahkan krisis ekonomi. Keberadaan kartel politik dapat menghambat investasi asing, lantaran investor akan menganggap negara tersebut tidak stabil secara politik atau korup. Hal ini dapat melemahkan ekonomi negara dengan mengurangi peluang bagi pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan kemajuan teknologi. Di Zimbabwe, dominasi elit politik dan kendali mereka atas sumber daya ekonomi telah menyebabkan kemerosotan ekonomi, hiperinflasi, dan berkurangnya investasi asing, yang melemahkan negara secara signifikan.
Kartel politik dapat memperburuk perpecahan sosial, etnis, atau regional dengan menggunakan politik identitas guna mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan mengutamakan kelompok atau wilayah tertentu, mereka dapat memperdalam perpecahan sosial, yang menyebabkan meningkatnya ketegangan dan potensi konflik. Ketika kartel politik menyingkirkan kelompok tertentu dari kekuasaan, kelompok terpinggirkan ini akan merasa terasing dan kehilangan haknya. Hal ini dapat menyebabkan keresahan sosial, protes, atau bahkan pemberontakan, yang selanjutnya melemahkan stabilitas negara. Di Nigeria, kartel politik sering berpihak pada kelompok etnis atau regional, yang memperburuk ketegangan antara berbagai komunitas dan berkontribusi pada konflik dan ketidakstabilan yang sedang berlangsung.

Warga negara dapat memainkan peran penting dalam melawan kartel politik dengan berperan dalam berbagai kegiatan yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan pemerintahan yang demokratis. Mereka dapat berpartisipasi aktif dalam menjalankan hak pilih dalam pemilihan umum. Dengan memilih kandidat dan partai yang mengutamakan transparansi dan akuntabilitas, warga negara dapat mempengaruhi lanskap politik. Mendidik diri sendiri dan orang lain tentang sistem politik, bahaya kartel politik, dan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi dapat memberdayakan warga negara membuat keputusan yang tepat.
Turut serta dengan atau mendukung LSM dan kelompok advokasi yang menangani isu-isu seperti antikorupsi, hak asasi manusia, dan reformasi elektoral dapat memperkuat suara warga negara dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin politik. Menghadiri pertemuan akbar, forum publik, dan debat memungkinkan warga negara menyuarakan keprihatinan mereka, mempertanyakan, dan meminta pertanggungjawaban politisi atas tindakan mereka. Bergabung dengan partai politik dan mengadvokasi demokrasi internal dan transparansi dapat membantu mereformasi partai dari dalam.
Memanfaatkan platform media sosial untuk meningkatkan kesadaran, berbagi informasi, dan memobilisasi dukungan bagi reformasi demokrasi dapat membangun suara kolektif yang kuat. Secara aktif memantau kegiatan pemerintah dan melaporkan kasus korupsi kepada otoritas terkait atau organisasi pengawas dapat membantu mengekang praktik korupsi. Mendorong dan mendukung jurnalisme independen yang menyelidiki dan melaporkan korupsi politik dan perilaku kartel dapat membantu menjaga informasi publik dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin.
Dengan mengambil tindakan ini, warga negara dapat berkontribusi pada sistem politik yang lebih transparan, akuntabel, dan demokratis.

Beberapa negara telah berhasil mengatasi tantangan terkait kartel politik dan masalah serupa. Sementara Meksiko masih menghadapi tantangan signifikan dengan kartel narkoba, telah ada upaya mereformasi sistem politik dan penegakan hukum. Misalnya, pengenalan National Anti-Corruption System pada tahun 2016 yang bertujuan membangun pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Korea Selatan telah membuat langkah maju dalam memerangi korupsi politik melalui pembentukan Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC). Badan ini telah berperan penting dalam menggalakkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Italia bersejarah panjang dalam menangani kejahatan terorganisasi dan korupsi politik. Pembentukan Anti-Mafia Directorate dan penerapan undang-undang antikorupsi yang ketat telah membantu mengurangi pengaruh organisasi kriminal dalam politik.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa meskipun prosesnya dapat menantang, masih dapat membuat kemajuan yang berarti melalui reformasi yang komprehensif dan kerangka kelembagaan yang kuat.
Indonesia dapat mengambil beberapa pelajaran berharga dari pengalaman negara-negara seperti Meksiko, Korea Selatan, dan Italia dalam mengatasi kartel politik dan korupsi. Meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya kartel politik dan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi dapat memberdayakan warga negara menuntut tatakelola pemerintahan yang lebih baik. Kampanye pendidikan dan program pendidikan kewarganegaraan dapat memainkan peran penting dalam hal ini. Memastikan bahwa lembaga penegak hukum bebas dari pengaruh politik dan mampu menyelidiki dan mendakwa kasus korupsi secara independen sangatlah penting. Ini termasuk menyediakan pelatihan dan sumber daya yang memadai bagi personel penegak hukum. Berkolaborasi dengan organisasi internasional dan negara-negara lain dalam berbagi praktik terbaik dan menerima dukungan dalam menerapkan langkah-langkah antikorupsi dapat meningkatkan upaya Indonesia. Dengan belajar dari contoh-contoh ini, Indonesia dapat mengembangkan strategi yang lebih kuat dan efektif melawan kartel politik dan mengedepankan tatakelola pemerintahan yang baik.

Kesimpulannya, kartel politik dapat melemahkan sebuah negara dengan mengendurkan prinsip-prinsip demokrasi, mendorong korupsi, menghambat inovasi kebijakan, menyebabkan kekecewaan publik, mengakibatkan salah urus perekonomian, dan menipiskan kohesi sosial. Faktor-faktor ini secara kolektif mengikis kemampuan negara memerintah secara efektif, menanggapi tantangan, dan menjaga stabilitas sosial.

Perbincangan kita tentang kekacauan politik masih terus berlanjut, biidznillah."
Setelah itu, Cattleya memikat kita dengan puisi tentang dunia gelap kartel politik,

Dalam bayang, mereka merajut rencana,
Jaring kuasa, dibangun dari mimpi semata.
Suara dibungkam, kebenaran tersembunyi,
Dalam genggaman kartel, nasib terkunci.
Kutipan & Rujukan:
- Fabrizio Saccomanni, Managing International Financial Instability: National Tamers versus Global Tigers, 2008,Edward Elgar
- Robert O. Paxton, What is Fascism?: From the Anatomy of Fascism, 2004, Vontagebooks
- Richard S. Katz & Peter Mair, Democracy and the Cartelization of Political Parties, 2018, Oxford University Press
- Hans Keman & Ferdinand Muller-Rommel (Eds.), Party Government in the New Europe, 2012, Routledge
[Session 7]