Senin, 12 Agustus 2024

Ocehan Seruni (41)

"Di negeri ajaib Ngastina, tempat matahari selalu bersinar agak suram, hiduplah sekelompok superhero yang memproklamirkan diri. Para superhero ini, yang dikenal sebagai 'Liga Lewah' punya cara yang unik menunjukkan patriotismenya. Para anggota Liga Lewah dikenal karena kecintaan mereka pada kemewahan dan kemegahan. Meskipun cara mereka menyolok-mata, Liga Lewah sungguh percaya bahwa mereka mengabdi pada negara. Oleh aksi mereka yang menonjol dan gaya hidup mewah, Liga Lewah berpengaruh terhadap persepsi publik. Mereka sering menarik perhatian media dan dianggap sebagai selebriti di Ngastina. Di setiap Hari Kebangsaan, mereka akan menyewa kendaraan paling mewah, berapa pun biayanya. Bagi mereka, tiada yang lebih meneriakkan 'kebanggaan bangsa' selain menyusuri jalan-jalan dengan kereta perang kencana dan kereta kuda bertabur berlian. Mereka percaya bahwa kehadiran dan penampilan mereka dapat membangkitkan semangat rakyat. 'Lihatlah kami!" teriak mereka seraya melambaikan tangan kepada warga yang kebingungan. 'Kamilah epitome kebanggaan nasional!"
Bagaimanapun, rakyat tak begitu terkesan. Mereka hanya melihat pajak yang mereka peroleh dengan susah payah lenyap begitu saja, lantran kendaraan para pahlawan super itu sering hangus oleh hiasan yang berlebihan. Tapi, mereka tak berani berbuat apa-apa, terutama orang miskin, yang takut para superhero itu akan mencabut dana subsidi yang telah mereka terima.
Ekstravaganzanya gak berhenti di situ. Para superhero memutuskan bahwa istana lama, tak sesuai lagi dengan citra megah mereka. Maka, mereka memulai misi membangun yang baru, tanpa berhemat. Marmer dari sudut terjauh dunia, atap berlapis emas, dan lampu kristal yang dapat menyilaukan siapa pun yang berani melihatnya secara langsung. 'Ngastina pantas memperoleh yang terbaik!' seru mereka, selepas biaya pembangunan istana membubung lebih tinggi dari gunung tertinggi di negeri itu.
Sementara beberapa warga terpesona oleh pertunjukan Liga Lewah, yang lain mengkritik pengeluaran berlebihan mereka, terutama ketika negara menghadapi tantangan ekonomi. Di sisi lain Ngastina, hiduplah 'Sensible Antiheroes' atau para 'Antihero Berakal-sehat'. Orang-orang ini berpandangan beda tentang apa makna patriotisme. Antihero Berakal-sehat mewujudkan implikasi, tanggungjawab, dan perilaku beretika. Mereka dikenal karena pendekatan mereka yang realistis dan membumi dalam memecahkan masalah. Mereka berfokus pada apa yang bermanfaat bagi sebagian besar warga. Mereka berpemahaman yang mendalam tentang perjuangan yang dihadapi oleh rakyat Ngastina. Tindakan mereka didorong oleh keinginan yang tulus meningkatkan kehidupan orang lain.
Antihero Berakal-sehat percaya pada penggunaan sumber daya secara bijak dan memastikan bahwa tindakan mereka tak membebani ekonomi negara secara tak semestinya. Mereka memprioritaskan kesejahteraan rakyat di atas keuntungan pribadi. Mereka memimpin dengan keteladanan, menunjukkan bahwa patriot sejati memerlukan pengambilan keputusan sulit yang menguntungkan kebaikan yang lebih besar, walau bila keputusan itu, tak selalu populis atau glamor. Mereka percaya bahwa patriot sejati itu tentang memahami perjuangan rakyat dan bertindak dengan rasa tanggungjawab dan etika. Mereka tak cuma didorong oleh idealisme, namun juga oleh rasa praktis bertahan hidup dan keadilan.
'Kok mereka buta sih?' para antihero bergumam, geleng-geleng kepala saat menyaksikan kedogolan para superhero. 'Ini bukan saatnya berfoya-foya. Rakyat kita sedang berjuang. Okelah mereka telah memberi subsidi kepada orang miskin. Tapi apakah mereka mau membiarkan rakyat hidup terus dalam kemiskinan? Memang sih, Biro Pusat Statistik Ngastina menunjukkan data bahwa orang miskin berkurang, tapii, definisi mengenai kemiskinan, kaan bisa dikondisikan.'
Para antihero menyelenggarakan pertemuan akbar, dimana mereka membicarakan cara-cara meningkatkan kehidupan warga. Mereka membangun sekolah, rumah sakit, dan pusat-pusat kemasyarakatan, sambil mengawasi anggaran dengan ketat. Mereka percaya bahwa patriotisme sejati itu tentang peduli terhadap well-being setiap warga negara.
Saat matahari terbenam, rakyat Ngastina berkumpul di alun-alun kota. Mereka telah melihat kedua sisi perayaan tersebut dan mulai merenungkan makna sebenarnya patriotisme. Lambat laun, mereka mulai sadar bahwa meskipun aksi para superhero itu mengundang tontonan dan menghibur, para antiherolah yang benar-benar memahami hakikat patriotisme.
Alam pewayangan dipenuhi dengan banyak tempat mistis dan mempesona. Ada Belantara Bisikan, hutan lebat purba yang pepohonannya konon hidup oleh suara-suara masa lalu. Saat dikau berjalan di tengah belantara, dirimu dapat mendengar bisikan lembut kisah-kisah dan rahasia yang telah lama dilupakan, terbawa angin. Daun-daun berdesir membawa cerita para pahlawan dan legenda, dan udara dipenuhi aroma melati dan cendana yang sedang mekar. Yang lainnya, Telaga Refleksi. Terletak di lembah tersembunyi, Telaga Refleksi adalah raga air yang tenang dengan permukaan sebening kaca. Ia berkemampuan ajaib memantulkan tak semata penampilan fisik orang-orang yang memandangnya, tapi juga kesejatian diri mereka. Ia mengungkapkan keinginan, ketakutan, dan emosi terdalam dari orang yang memandangnya. Banyak orang datang ke telaga mencari kejelasan dan penemuan jati diri, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tak mereka ketahui sebelumnya.
Pada akhirnya, rakyat Ngastina memutuskan mengikuti keteladanan para antihero. Mereka merangkul nilai-nilai tanggungjawab dan empati. Maka, di negeri Ngastina, patriotisme sejati terdefinisikan ulang, bukan oleh keagungan aksi pesona seseorang, melainkan oleh manfaat yang mereka persembahkan bagi kehidupan rakyat." [Disclaimer: Hikayat ini karya fiksi dan satire. Narasinya tentang isu-isu sosial. Segala kemiripan dengan tokoh nyata, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, atau kejadian sebenarnya, murni kebetulan]

"Kekuatan ekonomi diwujudkan dalam bentuk pengaruh internasional melalui perdagangan, investasi, dan bantuan ekonomi. Negara yang kuat dengan ekonomi yang besar dapat mempengaruhi pasar global, menentukan tren ekonomi, dan menawarkan bantuan keuangan kepada negara lain. Economic leverage atau daya ungkit ekonomi ini, dapat digunakan membangun aliansi, mengamankan perjanjian perdagangan yang menguntungkan, dan memberikan tekanan kepada negara lain agar sejalan dengan kebijakannya," lanjut Seruni.

"Negara-negara dengan ekonomi yang kuat memiliki lebih banyak sumber daya untuk berinvestasi dalam bantuan luar negeri, pinjaman, dan proyek pembangunan. Dukungan finansial ini dapat menciptakan ketergantungan, yang memungkinkan negara donor memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan keberpihakan penerima. Ekonomi yang tangguh biasanya memiliki PDB yang tinggi, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memproduksi sejumlah besar barang dan jasa. PDB yang tumbuh dari waktu ke waktu juga merupakan tanda kekuatan ekonomi. Tingkat pengangguran yang rendah menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk bekerja, yang berkontribusi pada produktivitas dan stabilitas ekonomi. Ekonomi yang kokoh kerap punya neraca perdagangan yang menguntungkan, yang berarti lebih banyak mengekspor daripada mengimpor. Namun, defisit perdagangan juga dapat dikelola jika diimbangi oleh kekuatan ekonomi lainnya. Inflasi yang terkendali menunjukkan stabilitas harga, yang penting bagi prediktabilitas ekonomi dan kepercayaan konsumen. Hiperinflasi atau deflasi dapat mengganggu stabilitas ekonomi.
Ekonomi yang kuat mendukung standar hidup yang tinggi, tercermin dalam akses ke layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan layanan penting lain yang berkualitas. Hal ini sering diukur dengan PDB per kapita dan indikator kualitas hidup lainnya. Keragaman ekonomi, dengan berbagai sektor yang berkembang pesat (semisal teknologi, manufaktur, pertanian, dan jasa), mengurangi ketergantungan pada satu industri dan meningkatkan ketahanan ekonomi. Mata uang nasional yang kuat dibanding dengan mata uang lain merupakan indikator kepercayaan dan stabilitas ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa investor dan pasar global yakin terhadap prospek ekonomi negara tersebut.
Ekonomi yang kuat didukung oleh sistem keuangan yang tangguh, termasuk bank-bank yang bermodal besar, pasar saham yang dinamis, dan suku bunga yang stabil. Sistem ini mengalokasikan modal secara efisien dan mendukung pertumbuhan bisnis. Baik investasi domestik maupun asing merupakan indikator kekuatan ekonomi. Tingkat investasi yang tinggi dalam infrastruktur, teknologi, dan pendidikan, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Lingkungan politik yang stabil dan tatakelola yang efektif, berkontribusi pada kekuatan ekonomi dengan memastikan supremasi hukum, melindungi hak milik, dan membina lingkungan yang mendukung bisnis. Ekonomi yang kuat mendorong inovasi dan adopsi teknologi baru, yang mengarah pada peningkatan produktivitas dan daya saing di panggung global. Ekonomi yang kuat sering dikaitkan dengan kebijakan fiskal yang bertanggungjawab, termasuk tingkat utang publik yang dapat dikelola dan anggaran pemerintah yang mendukung pertumbuhan sambil menjaga stabilitas.
manakala sebuah negara menunjukkan karakteristik ini, secara umum dipandang memiliki ekonomi yang kuat, mampu memberikan kualitas hidup yang tinggi bagi warganya dan tetap tangguh dalam menghadapi tantangan ekonomi.

Gene Sperling yang menjabat sebagai Direktur Dewan Ekonomi Nasional di bawah dua presiden AS, mengeksplorasi bagaimana kekuatan ekonomi tak cuma diukur dengan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) atau metrik finansial, melainkan pula oleh kemampuan perekonomian menyajikan martabat ekonomi kepada warganya. Ia menekankan pentingnya lapangan kerja, upah yang adil, dan jaring pengaman sosial yang kuat sebagai komponen penting dari ekonomi yang benar-benar kuat. Ia memperkenalkan konsep 'economic dignity (martabat ekonomi),' yang menekankan bahwa tujuan akhir dari kebijakan ekonomi harus memastikan bahwa seluruh individu dapat hidup bermartabat. Ini berarti punya kesempatan berkontribusi secara berarti bagi masyarakat, merawat keluarga, dan menjalani kehidupan yang memuaskan. Kekuatan ekonomi, dalam pengertian ini, haruslah dievaluasi berdasarkan seberapa baik ia meningkatkan martabat seluruh warga negara, bukan hanya pada hasil keuangan agregat.
Sperling berpendapat bahwa metrik keuangan tradisional kerapkali tak mampu menangkap aspek-aspek kehidupan yang berkontribusi pada well-being, semisal akses ke layanan kesehatan yang berkualitas, pendidikan, keamanan kerja, dan keseimbangan kehidupan kerja. Ekonomi yang kuat semestinya memungkinkan kualitas hidup yang tinggi bagi seluruh warga negara, lebih dari sekadar kekayaan materi. Sementara pertumbuhan PDB menunjukkan ekspansi ekonomi secara keseluruhan, hal ini tak memperhitungkan bagaimana kekayaan dan sumber daya didistribusikan dalam masyarakat. Sebuah negara dapat mengalami pertumbuhan PDB yang tinggi, namun pada saat yang sama, mengalami peningkatan ketimpangan, dimana manfaat pertumbuhan terkonsentrasi di antara sebagian kecil penduduk. Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang merusak kesehatan ekonomi secara keseluruhan.
Kekuatan ekonomi juga hendaknya mempertimbangkan long-term sustainability, termasuk dampak lingkungan dan pelestarian sumber daya bagi generasi mendatang. Pertumbuhan PDB yang mengorbankan degradasi lingkungan atau praktik unsustainable, tak berkontribusi pada kekuatan ekonomi yang langgeng. Daripada hanya berfokus pada jumlah pekerjaan yang tercipta (yang mungkin tercermin dalam angka PDB), Sperling menekankan pentingnya kualitas pekerjaan tersebut. Apakah pekerjaan tersebut memberikan upah yang adil, kondisi kerja yang aman, dan peluang untuk maju? Ekonomi yang hanya menghasilkan pekerjaan bergaji rendah dan tak aman, dapat tumbuh dalam PDB tapi tetap tak bisa menghadirkan martabat ekonomi.
Argumen Sperling ialah bahwa kendati pertumbuhan PDB dan metrik keuangan penting, keduanya bukanlah ukuran yang lengkap dari perekonomian yang benar-benar kuat dan sehat. Penilaian komprehensif terhadap kekuatan ekonomi, seyogyanya mencakup seberapa baik ekonomi mendukung martabat, well-being, dan kualitas hidup rakyatnya.

Mariana Mazzucato mempertanyakan metrik ekonomi konvensional semisal PDB dengan menyatakan bahwa metrik ini acapkali tak mampu membedakan antara aktivitas yang benar-benar menciptakan nilai dan aktivitas yang hanya mengekstraknya. Mazzucato menekankan bahwa metrik ekonomi tradisional, seperti PDB, cenderung menggabungkan seluruh bentuk aktivitas perekonomian tanpa membedakan antara aktivitas yang menciptakan nilai dan aktivitas yang mengekstrak atau mendistribusikannya kembali. Misalnya, spekulasi keuangan atau perilaku mencari keuntungan, yang dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan, seringkali dihitung sebagai kontribusi positif terhadap PDB. Namun, Mazzucato berpendapat bahwa aktivitas ini, tak menciptakan nilai baru dalam perekonomian; sebaliknya, aktivitas ini kerapkali melibatkan ekstraksi nilai yang diciptakan oleh orang lain, semisal pekerja, wirausahawan, dan inovator.
Dengan ketidakmampuan membedakan antara kegiatan yang menciptakan nilai dan yang mengekstraksi nilai, PDB dapat menyebabkan keliru alokasi sumber daya dan kebijakan ekonomi yang keliru arah. Misalnya, fokus yang berlebihan pada pertumbuhan sektor keuangan, yang dapat meningkatkan PDB dalam jangka pendek, dapat mengalihkan sumber daya dari sektor-sektor seperti manufaktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan, yang penting bagi kesejahteraan ekonomi dan sosial jangka panjang.Mazzucato menunjukkan bahwa beberapa kegiatan yang termasuk dalam perhitungan PDB tak berkontribusi pada output produktif. Misalnya, kegiatan seperti pemasaran, periklanan, dan lobi dihitung dalam PDB meskipun kegiatan tersebut akan tak menghasilkan produksi barang atau jasa yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ia berpendapat bahwa kegiatan ini acapkali berfungsi mendistribusikan kembali nilai yang ada daripada menciptakan nilai baru. Metrik ekonomi tradisional semisal PDB, mengabaikan pula biaya sosial dan lingkungan yang terkait dengan kegiatan ekonomi tertentu. Contohnya, PDB akan meningkat karena peningkatan produksi industri, tapi pertumbuhan ini dapat mengorbankan degradasi lingkungan atau kondisi kerja yang buruk. Mazzucato berpendapat bahwa ukuran kekuatan ekonomi yang sebenarnya harus memperhitungkan faktor eksternal ini dan mempertimbangkan kelangsungan pertumbuhan.
Kritik Mazzucato terhadap PDB dan metrik ekonomi konvensional lainnya, bahwa metrik tersebut tak bisa memberikan gambaran yang komprehensif dan akurat tentang kesehatan ekonomi. Dengan mencampuradukkan penciptaan nilai dengan ekstraksi nilai, metrik ini dapat mengarah pada kebijakan yang memprioritaskan keuntungan finansial jangka pendek ketimbang kemakmuran dan ketersinambungan masyarakat jangka panjang. Mazzucato menganjurkan pemikiran ulang tentang apa yang merupakan nilai dalam ekonomi. Ia menyarankan bahwa nilai hendaknya didefinisikan berdasarkan kontribusinya terhadap kebaikan bersama, termasuk layanan publik, inovasi, dan sustainable development. Dengan berfokus pada kegiatan yang benar-benar berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar kegiatan yang menghasilkan laba, para pembuat kebijakan dapat membangun perekonomian yang lebih adil dan terus berlangsung.

Mazzucato juga mengkritik maraknya finansialisasi dalam skala internasional, dimana pasar keuangan, lembaga, dan para elit berpengaruh terhadap kebijakan dan prioritas ekonomi di seluruh dunia. Ia berpendapat bahwa pergeseran ini telah mengarah pada penekanan keuntungan jangka pendek dan nilai pemegang saham dengan mengorbankan investasi jangka panjang dalam kegiatan produktif, inovasi, dan barang publik. Tren global ini berdampak pada ekonomi nasional dengan memprioritaskan keuntungan finansial di atas kesejahteraan sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Mazzucato mengkaji pula bagaimana perdagangan internasional dan rantai nilai global terstruktur, yang acapkali menguntungkan perusahaan multinasional dan mengarah pada ekstraksi nilai dari negara-negara berkembang. Ia menunjukkan bahwa banyak negara terintegrasi ke dalam jaringan produksi global dengan cara yang terutama melayani kepentingan negara-negara dan perusahaan yang lebih kaya, yang mengarah pada ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan dalam kekuatan ekonomi.

Kekuatan ekonomi dapat mendikte persyaratan perdagangan dan membuka perjanjian perdagangan yang menguntungkan, sehingga memberi mereka pengaruh terhadap negara lain. Negara yang bergantung pada hubungan perdagangan ini, cenderung menyelaraskan kebijakan mereka dengan negara yang dominan secara ekonomi. Negara dengan kekuatan ekonomi kerap mengendalikan sumber daya global yang penting, semisal minyak, teknologi, atau mineral langka. Kendali ini memungkinkan mereka memberikan pengaruh yang signifikan terhadap negara yang bergantung pada sumber daya ini. Negara atau perusahaan kaya dapat berinvestasi dalam infrastruktur, teknologi, dan bisnis di negara lain. Investasi ini tak hanya meningkatkan ekonomi negara tuan rumah tetapi juga memunculkan tingkat pengaruh, karena negara tuan rumah dapat menyelaraskan kebijakannya untuk menjaga hubungan yang menguntungkan dengan investor. Kekuatan ekonomi kerapkali mendukung ekspor budaya, media, dan teknologi, yang dapat menyebarkan nilai, norma, dan ideologi. Soft power budaya ini dapat membentuk persepsi global dan meningkatkan pengaruh sebuah negara di panggung dunia.

Mazzucato membahas bagaimana hukum dan paten kekayaan intelektual internasional dapat menghambat inovasi dan memperkuat ketimpangan global. Ia berpendapat bahwa rezim kekayaan intelektual global saat ini sering memungkinkan perusahaan di negara maju mengekstraksi nilai dari inovasi yang didanai publik atau dikembangkan melalui kerja sama dengan negara lain, tanpa memberikan kompensasi yang memadai kepada mereka yang berkontribusi pada proses penciptaan nilai. Mazzucato menganjurkan pendekatan yang lebih kooperatif dan adil terhadap inovasi dalam skala global, dimana investasi dalam penelitian dan pengembangan, terutama di bidang seperti perawatan kesehatan dan keberlangsungan lingkungan, dibagikan dan dikelola dengan cara yang menguntungkan semua negara, bukan hanya yang terkaya. Ia berpendapat perlunya menata ulang kebijakan ekonomi internasional yang memprioritaskan barang publik global dan memastikan bahwa manfaat inovasi didistribusikan secara luas.
Mazzucato juga mengkritik peran lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF) dan Bank Dunia, dalam membentuk kebijakan ekonomi di berbagai negara. Ia berpendapat bahwa lembaga-lembaga ini sering mempromosikan kebijakan neoliberal yang mengutamakan penghematan dan liberalisasi pasar, yang dapat mengarah pada ekstraksi nilai daripada penciptaan nilai dalam perekonomian negara-negara berkembang.

Dani Rodrika, ekonom terkemuka, meneliti hubungan kompleks antara kebijakan ekonomi domestik dan kekuatan ekonomi global. Rodrik mengeksplorasi ketegangan antara globalisasi dan kedaulatan nasional, dengan menyatakan bahwa upaya mencapai integrasi ekonomi global terkadang dapat melemahkan kemampuan negara menerapkan kebijakan domestik yang mencerminkan prioritas sosial dan ekonomi mereka sendiri. Tatkala negara-negara semakin terintegrasi ke dalam ekonomi global, mereka kerapkali berkomitmen pada perjanjian dan lembaga internasional yang menetapkan aturan yang mengatur perdagangan, keuangan, dan investasi. Aturan global ini dapat membatasi berbagai pilihan kebijakan yang tersedia bagi pemerintah nasional, khususnya dalam hal melindungi industri lokal, mengatur pasar, atau menerapkan kebijakan sosial yang mungkin bertentangan dengan norma global. Misalnya, perjanjian perdagangan dapat membatasi kemampuan negara mengenakan tarif atau subsidi yang dapat melindungi pekerjaan atau industri dalam negeri, bahkan jika kebijakan tersebut sejalan dengan prioritas nasional.
Integrasi ekonomi global dapat menyebabkan 'perlombaan menuju dasar' dalam standar ketenagakerjaan, lingkungan, dan egulasi karena negara-negara bersaing menarik investasi asing. Agar tetap kompetitif, negara-negara dapat menurunkan pajak, melemahkan perlindungan ketenagakerjaan, atau melonggarkan regulasi lingkungan, bahkan jika tindakan tersebut bertentangan dengan prioritas sosial mereka. Perlombaan ini dapat mengikis kemampuan pemerintah mempertahankan standar yang lebih tinggi, yang mencerminkan nilai-nilai dan prioritas penduduknya.
Integrasi ekonomi global seringkali memerlukan penyerahan sebagian kedaulatan nasional kepada badan-badan internasional semisal World Trade Organization (WTO) atau International Monetary Fund (IMF). Lembaga-lembaga ini dapat memberlakukan ketentuan kebijakan pada negara-negara anggota, terutama pada masa krisis ekonomi, yang dapat membatasi kemampuan pemerintah menjalankan kebijakan yang mencerminkan preferensi warga negaranya. Sebagai contoh, langkah-langkah penghematan yang diberlakukan oleh IMF selama krisis utang dapat memprioritaskan stabilitas fiskal daripada kesejahteraan sosial, yang menyebabkan pemotongan belanja publik yang dapat merugikan populasi yang rentan.
Seiring negara-negara membuka diri terhadap pasar global, mereka menjadi lebih rentan terhadap siklus ekonomi global, krisis keuangan, dan fluktuasi pasar. Kerentanan ini dapat memaksa pemerintah menganut kebijakan yang memprioritaskan stabilitas ekonomi jangka pendek daripada tujuan sosial jangka panjang. Misalnya, negara yang mengalami pelarian modal atau penurunan ekspor secara tiba-tiba, akan merasa terpaksa menerapkan langkah-langkah penghematan atau mencabut regulasi industri, meskipun tindakan ini bertentangan dengan prioritas sosial atau ekonominya.
Rodrik berpendapat bahwa integrasi ekonomi global dapat melemahkan akuntabilitas demokrasi dengan mengalihkan kewenangan pengambilan keputusan dari pejabat terpilih ke lembaga internasional, perusahaan multinasional, dan pasar keuangan global. Pergeseran ini dapat mempersulit warga negara mempengaruhi kebijakan ekonomi melalui proses demokrasi, karena keputusan-keputusan penting semakin banyak dibuat di forum-forum internasional atau oleh pelaku pasar yang tak bertanggungjawab secara langsung kepada publik.
Integrasi ekonomi global dapat menimbulkan konflik antara kepentingan pasar global dan kebutuhan masyarakat setempat. Kebijakan yang mengutamakan efisiensi ekonomi global, seperti liberalisasi perdagangan atau privatisasi layanan publik, dapat mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan, berkurangnya akses ke layanan penting, atau dampak negatif lainnya bagi segmen masyarakat tertentu. Konflik ini dapat menyulitkan pemerintah menerapkan kebijakan yang mengutamakan kebutuhan sosial dan ekonomi setempat daripada tuntutan pasar global.
Rodrik berpendapat bahwa meskipun integrasi ekonomi global dapat mendatangkan manfaat, integrasi tersebut juga memberikan kendala pada pembuatan kebijakan domestik yang dapat melemahkan kemampuan negara menjalankan kebijakan yang selaras dengan prioritas sosial dan ekonominya. Ia menyarankan bahwa keseimbangan hendaknya dicapai antara integrasi global dan mempertahankan ruang kebijakan yang cukup bagi pemerintah guna memenuhi kebutuhan dan nilai-nilai unik masyarakat mereka.

Ekonomi yang kuat mendanai militer yang kuat, yang pada gilirannya mendukung pengaruh internasional. Aliansi militer dan pengaturan keamanan sering dikaitkan dengan kekuatan ekonomi, menjadikan negara-negara yang kuat secara ekonomi sebagai pemain kunci dalam keamanan global.
Nicholas Mulder menyajikan argumen yang meyakinkan tentang peran penting kekuatan ekonomi dalam hubungan internasional. Mulder mengeksplorasi bagaimana sanksi ekonomi telah menjadi alat yang ampuh dalam pengaruh internasional, menunjukkan bagaimana langkah-langkah ekonomi dapat membentuk politik global, mempengaruhi hubungan internasional, dan memaksakan kepatuhan dari negara-negara lain. Ia menelusuri asal-usul sanksi ekonomi hingga awal abad ke-20, khususnya selama dan setelah Perang Dunia I. Ia menyoroti bagaimana sanksi awalnya dipahami sebagai alternatif damai konflik militer, dengan gagasan bahwa tekanan ekonomi dapat memaksa negara-negara mengubah perilaku mereka tanpa perlu intervensi bersenjata. Liga Bangsa-Bangsa, yang dibentuk seusai Perang Dunia I, merupakan salah satu badan internasional pertama yang mendukung penggunaan sanksi ekonomi sebagai cara untuk menjaga perdamaian dan keamanan global. Hal ini menandai dimulainya sanksi ekonomi sebagai alat pengaruh internasional.
Selama periode antarperang, sanksi ekonomi menjadi lebih canggih dan digunakan secara luas. Mulder meneliti bagaimana sanksi diterapkan dalam berbagai konteks geopolitik, seperti terhadap Italia selama invasinya ke Ethiopia pada tahun 1930-an. Efektivitas sanksi ini bervariasi, tetapi sanksi tersebut menunjukkan bahwa tindakan ekonomi dapat digunakan menekan negara-negara, yang mempengaruhi kebijakan dan tindakan mereka di panggung global.
Perang Dunia II menyaksikan peningkatan serius dalam penggunaan langkah-langkah ekonomi sebagai alat perang. Mulder membahas bagaimana kekuatan Sekutu menggunakan blokade dan sanksi ekonomi untuk melemahkan kekuatan Poros. Periode ini memperkuat pemahaman bahwa kekuatan ekonomi merupakan bagian integral dari strategi masa perang dan pengaruh internasional. Periode pascaperang menyaksikan pembentukan lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia, yang dirancang mempromosikan selain stabilitas ekonomi global, tapi juga berfungsi sebagai instrumen yang melaluinya, negara-negara kuat dapat mempengaruhi perekonomian.

Selama Perang Dingin, sanksi ekonomi menjadi komponen utama strategi untuk membendung komunisme. Mulder mengkaji bagaimana Amerika Serikat, khususnya, menggunakan kekuatan ekonominya, menjatuhkan sanksi kepada Uni Soviet dan sekutunya, dengan tujuan mengisolasi mereka secara ekonomi dan politik. Penggunaan alat-alat ekonomi selama Perang Dingin memperkuat gagasan bahwa kekuatan ekonomi dapat sama efektifnya dengan kekuatan militer dalam membentuk hubungan internasional.
Pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, globalisasi memperluas jangkauan pengaruh ekonomi. Mulder membahas bagaimana perdagangan, investasi, dan keuangan global telah menjadi instrumen utama kekuatan internasional. Sanksi ekonomi terus berkembang, dengan sanksi yang ditargetkan (semisal pembekuan aset dan pembatasan perdagangan) menjadi lebih tepat dan efektif dalam memengaruhi perilaku negara atau individu tertentu.
Mulder berpendapat bahwa penggunaan sanksi ekonomi sebagai alat pemaksaan dan kontrol dalam hubungan internasional dapat didefinisikan sebagai 'Senjata Ekonomi'. Menurut Mulder, sanksi ekonomi adalah tindakan yang membatasi perdagangan, transaksi keuangan, dan akses sebuah negara terhadap sumber daya, dengan tujuan memaksa negara tersebut mengubah perilaku atau kebijakannya. Mulder secara kritis mengkaji implikasi etis dari penggunaan kekuatan ekonomi sebagai bentuk kontrol. Ia menyoroti potensi sanksi ekonomi merugikan penduduk sipil dan mempertanyakan efektivitas jangka panjangnya dalam mencapai tujuan politik, menimbulkan konsekuensi yang tak diinginkan, serta memunculkan ketidakstabilan ekonomi dan politik jangka panjang.

Di tingkat internasional, kemampuan meningkatkan pendapatan pajak yang substansial memungkinkan sebuah negara terlibat dalam bantuan asing, investasi, dan lembaga internasional, sehingga meningkatkan pengaruh globalnya. Sebagai contoh, negara-negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menggunakan pendapatan pajak untuk mendukung proyek-proyek pembangunan internasional, yang meningkatkan pengaruh mereka di negara-negara penerima.
Meskipun perpajakan dapat menjadi alat yang ampuh meningkatkan pengaruh ekonomi, perpajakan juga berpotensi merugikan, yang dapat merusak stabilitas dan pengaruh ekonomi domestik dan internasional. Selanjutnya, akan kita perbincangkan secara singkat tentang evolusi perpajakan, biidznillah."

Lalu Seruni membaca syair,

Di jalanan Konoha, mesin menderu,
Dengan mobil sewaan, dekorasi megah.
Sebuah istana baru, mereka pamerkan dengan bangga,
Di jantung Konoha, istana berkilau,
Simbol impian terbesar mereka.
Kutipan & Rujukan:
- Gene Sperling, Economic Dignity, 2020, Penguin
- Mariana Mazzucato, The Value of Everything: Making and Taking in the Global Economy, 2018, Penguin
- Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy And The Future Of The World Economy, 2011, W. W. Norton & Company
- Nicholas Mulder, The Economic Weapon: The Rise of Sanctions as a Tool of Modern War, 2022, Yale University Press