Kamis, 29 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (14)

"Di negeri pelik bernama Ribuan Pulau, terdapat sebuah taman yang tak seperti taman biasanya. Namanya 'Padang Rumput Angan-angan' dan seusai direnovasi, taman ini berubah jadi dunia yang amat aneh. Warga kota berkumpul di sana, bersemangat mengeksplorasi keajaiban yang baru ditemukan.
Seorang penyanyi lokal, dengan selera musik balada, berdiri di pintu masuk taman. Gitar di bahunya, ia mendengungkan tembangnya Ebiet G. Ade, 'Lagu untuk Sebuah Nama.' Liriknya, dengan indah menangkap pengaruh emosional musik pada sukma: Mengapa jiwaku mesti bergetar? Sedang musik pun manis kudengar ....
Saat berkidung, sang penembang menunjuk ke arah taman. Rumput yang dulu hijau kini bagaikan keju Swiss, penuh lubang. Ayunan dan luncuran yang baru dipasang terlihat sempurna, tapi ada catatan: 'Cuma buat Display.' Tak ada yang berani menyentuhnya, takut mengusik realita.
Padang Rumput Angan-angan punya penjaga—makhluk aneh dengan topi tinggi dan monokel besar. Mereka berpatroli, memastikan pengunjung mematuhi aturan-aturan menjengahkan. 'Jangan melompati lubang!' teriak mereka, mengejar siapa pun yang berani menginjak liang.
Dan odong-odong—permainan karnaval yang dulu berwarna-warni dan menyenangkan anak-anak. Kini, menjadi monster monokrom, dengan warna pelangi berkurang menjadi satu warna beige. Hanya beberapa orang terpilih yang boleh naik—mereka yang sanggup menyebutkan deret Fibonacci terbalik sambil melompat dengan satu kaki.

Lalu, tersebutlah seorang lelaki, sang misteri. Ia terlihat di dekat air mancur taman, berbisik pada burung dara. Ada yang bilang, ia dalang di balik keanehan Padang Rumput Angan-angan. Ada pula yang menyebutnya sekadar pion dalam permainan catur kosmik.
Di dunia maya, poster pencarian beredar. Gambar buram sang lelaki menghiasi setiap forum dan platform medsos. Tulisannya:
 
Dicari:
MOELJONO
Con-Artist dan Perusak Taman
 
Hadiahnya berupa kriptokurensi, meme langka, dan pasokan kertas konfeti virtual seumur hidup.
Suatu malam bertepatan dengan bulan purnama, ketika para penjaga taman tertidur (atau mungkin sedang bermimpi tentang fraktal), sang lelaki berdiri di atas odong-odong. Ia lalu menghilang ke dalam gorong-gorong teraneh di taman, meninggalkan jejak paradoks dan pertanyaan tanpa jawab.
Karenanya, sohib budimanku, jika kalian mengunjungi Padang Rumput Angan-angan, awasilah lelaki itu. Tapi hati-hati: mungkin saja dirimu bakal kehilangan nama, akal-sehat, atau kedua-duanya."
[Catatan: Segala kesamaan dengan taman betulan, penyanyi, atau kenyataan, hanyalah kebetulan. Atau, apa emang gitu?]

"Ketika sebuah negara terlalu bergantung pada bantuan, investasi, atau mitra dagang asing, negara tersebut dapat kehilangan kedaulatan ekonominya dan menjadi rentan terhadap manipulasi atau eksploitasi eksternal. Ketergantungan ekonomi dapat menyebabkan melemahnya industri dan inovasi dalam negeri dalam jangka panjang," lanjut Cattleya.
Ketergantungan ekonomi terjadi manakala sebuah negara sangat bergantung pada negara lain atau entitas eksternal dalam hal dukungan keuangan, perdagangan, atau sumber daya penting. Dikala sebuah negara bergantung secara ekonomi, negara tersebut akan harus menyelaraskan kebijakannya dengan kepentingan negara atau entitas dominan guna mempertahankan aliran sumber daya atau bantuan. Hal ini dapat membatasi kemampuannya menjalankan strategi ekonomi atau politik yang independen. Ketergantungan ekonomi dapat mebjadikan sebuah negara rentan terhadap guncangan ekonomi eksternal, semisal fluktuasi harga komoditas global, perubahan kebijakan perdagangan, atau krisis keuangan di negara mitra. Guncangan ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi negara yang bergantung, yang menyebabkan resesi atau ketidakstabilan keuangan. Ketergantungan pada investasi atau bantuan asing dapat menghambat pengembangan industri dalam negeri, karena bisnis lokal akan kesulitan bersaing dengan perusahaan asing atau bergantung pada barang impor daripada mengembangkan produksi lokal. Seiring waktu, keadaan ini dapat melemahkan basis ekonomi negara dan mengurangi kemampuannya menghasilkan pertumbuhan yang berlanjut.
Ketergantungan ekonomi Yunani pada pinjaman Uni Eropa selama krisis Zona Euro (2009-2015) menyoroti kerentanan ketergantungan pada dukungan keuangan eksternal. Agar menerima dana talangan, Yunani harus menerapkan langkah-langkah penghematan yang ditentukan oleh UE dan International Monetary Fund (IMF). Langkah-langkah ini menyebabkan kontraksi ekonomi yang parah, pengangguran yang tinggi, dan keresahan sosial, melemahkan ekonomi Yunani dan memperburuk ketidakstabilan politik.

Fernando Henrique Cardoso dan Enzo Faletto menyajikan versi teori ketergantungan yang bernuansa, yaitu kerangka kerja yang mengkritik hubungan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Menurut Cardoso dan Faletto, ketergantungan mengacu pada keadaan dimana perkembangan ekonomi sebuah negara dikondisikan oleh perkembangan dan perluasan negara lain yang biasanya lebih kuat. Di Amerika Latin, keadaan ini kerap terwujud sebagai struktur ekonomi yang bergantung pada ekspor barang-barang primer ke negara-negara industri, menyebabkan kerentanan dalam ekonomi domestik dan membatasi kapasitas pertumbuhan otonomnya. Mereka menekankan bahwa ketergantungan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi sistem ekonomi global dan pengaruh perusahaan multinasional, sedangkan faktor internal melibatkan struktur politik, sosial, dan ekonomi lokal. Interaksi antara faktor-faktor ini membentuk sifat dan tingkat ketergantungan.
Banyak negara Amerika Latin mengembangkan ekonomi yang sangat bergantung pada ekspor komoditas primer (semisal mineral, produk pertanian, dan bahan baku) ke negara-negara yang lebih maju. Ketergantungan ini memunculkan struktur perekonomian yang berorientasi eksternal dan bergantung pada kondisi pasar global, membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi harga dan pergeseran permintaan di pasar internasional. Fokus pada ekspor bahan baku kerap menyebabkan keterbelakangan industri dalam negeri. Karena sektor yang paling menguntungkan terikat dengan pasar luar negeri, investasi lokal dan perhatian kebijakan dialihkan dari pembangunan industri manufaktur atau jasa dalam negeri yang kuat, yang mengakibatkan terbatasnya diversifikasi dan inovasi industri.
Negara-negara Amerika Latin seringkali mengandalkan modal asing dalam membiayai proyek infrastruktur, industri, dan pembangunan. Namun, investasi ini biasanya dikendalikan oleh perusahaan atau pemerintah asing, yang mengarahkan keuntungan kembali ke negara asal mereka daripada menginvestasikannya kembali secara lokal. Hal ini menyebabkan situasi dimana pertumbuhan ekonomi di Amerika Latin sebagian besar ditentukan oleh kepentingan investor asing, bukan oleh tujuan pembangunan nasional. Modal asing acapkali mendominasi sektor-sektor utama ekonomi, semisal pertambangan, pertanian, dan energi. Kontrol ini membatasi kemampuan pemerintah Amerika Latin membuat keputusan ekonomi independen dan menjalankan kebijakan yang mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan investor asing. Akibatnya, kebijakan ekonomi kerap dibentuk untuk menarik dan mengakomodasi modal asing, yang sering mengorbankan kebutuhan pembangunan lokal.
Ketergantungan pada modal dan pasar asing melemahkan daya tawar negara-negara Amerika Latin dalam negosiasi internasional. Perekonomian mereka menjadi rentan terhadap tekanan eksternal, termasuk penerapan persyaratan perdagangan yang tak menguntungkan, ketentuan utang, atau sanksi ekonomi oleh negara-negara yang lebih kuat atau lembaga keuangan internasional. Ketergantungan pada investasi dan pasar asing sering membatasi pilihan kebijakan yang tersedia bagi pemerintah Amerika Latin. Misalnya, mereka akan ditekan agar mempertahankan pajak rendah pada perusahaan asing atau mengadopsi kebijakan ekonomi neoliberal yang memprioritaskan liberalisasi dan privatisasi pasar, bahkan ketika kebijakan ini merugikan ekonomi lokal.
Ketergantungan pada modal dan pasar asing mengikis kedaulatan ekonomi negara-negara Amerika Latin. Pengambilan keputusan di berbagai bidang utama kebijakan ekonomi semakin dipengaruhi oleh kepentingan asing, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah nasional mengendalikan nasib ekonomi mereka. Ketergantungan ini menghambat perkembangan industri dan inovasi lokal. Dengan laba dan sumber daya yang mengalir keluar dari negara tersebut, terdapat lebih sedikit investasi ulang dalam bidang pendidikan, teknologi, dan infrastruktur, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih beragam dan berkelanjutan. Akibatnya, banyak negara Amerika Latin mengalami industrialisasi terbatas dan tetap terperangkap dalam siklus ketergantungan dan keterbelakangan.
Struktur ekonomi yang dibentuk oleh ketergantungan, acapkali memperburuk ketimpangan sosial, karena kekayaan yang dihasilkan oleh industri ekspor dan investasi asing terpusat di tangan segelintir elit, sementara masyarakat luas hanya merasakan sedikit manfaat. Ketimpangan ini semakin menghambat kohesi sosial dan pengembangan ekonomi yang inklusif dan berbasis luas. Ketergantungan ekonomi dan ketimpangan sosial yang diakibatkannya, berkontribusi pula terhadap ketidakstabilan politik. Kepentingan elit domestik, yang kerap berpihak pada investor asing, bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas, menyebabkan ketegangan dan, dalam beberapa kasus, konflik yang semakin merusak pembangunan nasional.

Oswaldo De Rivero secara kritis meneliti konsep pembangunan dan berpendapat bahwa banyak negara berkembang jatuh ke dalam apa yang disebutnya perangkap ketergantungan pada bantuan dan investasi asing. Menurut De Rivero, ketergantungan ini merugikan dan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang merusak pembangunan sejati dan kelangsungan ekonomi jangka panjang. De Rivero berpendapat bahwa bantuan dan investasi asing lebih sering memunculkan ilusi pembangunan ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya. Negara-negara menjadi tergantung pada sumber daya eksternal guna mempertahankan layanan dan infrastruktur dasar, tetapi ketergantungan ini tak menghasilkan pembangunan berkelanjutan atau kemandirian ekonomi. Sebaliknya, hal itu melanggengkan siklus dimana negara-negara bergantung pada dukungan eksternal yang berkelanjutan tanpa membangun kapasitasnya.
Ketergantungan pada bantuan dan investasi asing dapat menyebabkan berlanjutnya keterbelakangan. De Rivero berpendapat bahwa bantuan asing sering disertai dengan syarat atau agenda yang ditetapkan oleh negara donor atau organisasi internasional, yang akan tak sejalan dengan kebutuhan pembangunan jangka panjang negara penerima. Ketidakselarasan ini dapat mengakibatkan penerapan kebijakan yang lebih menguntungkan bagi donor daripada penerima, yang selanjutnya memperparah keterbelakangan. Ketergantungan pada bantuan dan investasi asing dapat menghambat pertumbuhan industri dan inovasi dalam negeri. Tatkala sebuah negara sangat bergantung pada sumber daya eksternal, maka insentif untuk mengembangkan industri, teknologi, atau usaha kewirausahaan lokal pun berkurang. Efek penghambat ini mencegah negara tersebut membangun perekonomian yang mandiri, sehingga rentan terhadap guncangan eksternal dan fluktuasi pasar global.
De Rivero menyoroti bahwa ketergantungan pada bantuan dan investasi asing mengikis kedaulatan ekonomi sebuah negara. Kekuasaan pengambilan keputusan kerap beralih dari pemerintah nasional ke donor atau investor asing, yang akan memprioritaskan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan penduduk lokal. Hilangnya kedaulatan ini, menyulitkan negara-negara menjalankan kebijakan ekonomi independen yang dapat mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Banyak negara berkembang jatuh ke dalam lingkaran setan utang karena ketergantungan mereka pada bantuan dan investasi asing. Pinjaman dan bantuan keuangan acapkali disertai dengan suku bunga tinggi atau persyaratan pembayaran yang tidak menguntungkan, yang menyebabkan beban utang yang semakin meningkat. Ketika negara-negara berupaya membayar utang-utang ini, mereka menjadi semakin bergantung pada pinjaman atau bantuan baru, yang semakin memperdalam ketergantungan dan kerentanan finansialnya.
De Rivero memperluas konsep ketergantungan melampaui sekadar faktor ekonomi, dengan menyatakan bahwa hal itu berkontribusi pada meluasnya 'krisis peradaban'. Ia berpendapat bahwa perangkap ketergantungan merupakan bagian dari sistem global yang memprioritaskan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai tujuan akhir, yang kerap mengorbankan keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan integritas budaya. Krisis ini mencerminkan sifat model pembangunan yang tak berkelanjutan, yang sangat bergantung pada sumber daya eksternal dan tak mampu mengatasi masalah struktural yang mendasarinya di negara-negara berkembang.

Dani Rodrik mengeksplorasi ketegangan yang ada antara globalisasi, kedaulatan nasional, dan stabilitas ekonomi. Ia berpendapat bahwa ketiga elemen ini, kerap saling bertentangan, dan mencapai keseimbangan di antara ketiganya merupakan tantangan bagi negara-negara yang beroperasi dalam ekonomi global. Rodrik berpendapat bahwa globalisasi, khususnya dalam bentuk perekonomiannya, cenderung mengikis kedaulatan nasional dengan membatasi kemampuan pemerintah menetapkan kebijakannya. Ketika negara-negara berintegrasi ke dalam pasar global, mereka sering dituntut mengadopsi kebijakan yang menguntungkan perdagangan dan investasi internasional, namun akan tidak sejalan dengan prioritas atau nilai-nilai domestik mereka. Misalnya, perjanjian perdagangan global dan aturan lembaga keuangan internasional acapkali memberlakukan batasan pada bagaimana pemerintah dapat mengatur perekonominnya, mengelola mata uangnya, atau melindungi industrinya. Persaingan bagi investasi asing dan akses ke pasar global dapat menyebabkan 'race to the bottom', dimana negara-negara merasa tertekan menurunkan standar ketenagakerjaan, peraturan lingkungan, dan pajak perusahaan guna menarik perusahaan multinasional. Hal ini melemahkan kemampuan pemerintah melindungi kesejahteraan warga negaranya dan menjalankan kebijakan yang mencerminkan kepentingan nasional.
Rodrik menyoroti bahwa globalisasi keuangan dapat menyebabkan peningkatan ketidakstabilan ekonomi. Aliran modal bebas lintas batas dapat mengakibatkan volatilitas keuangan, seperti yang terlihat dalam berbagai krisis keuangan dimana perubahan tiba-tiba dalam sentimen investor menyebabkan arus keluar modal besar-besaran, devaluasi mata uang, dan resesi ekonomi. Negara-negara yang terintegrasi secara mendalam ke dalam pasar keuangan global lebih rentan terhadap guncangan ini, yang dapat berakibat parah bagi stabilitas ekonomi. Globalisasi ekonomi seringkali membatasi efektivitas alat kebijakan domestik tradisional. Misalnya, ketika negara-negara terintegrasi secara mendalam ke dalam ekonomi global, efektivitas kebijakan moneter dapat terganggu lantaran modal dapat dengan mudah mengalir lintas batas, mengurangi kendali bank sentral atas suku bunga dan inflasi. Hal ini membuat lebih sulit bagi pemerintah menstabilkan ekonomi mereka di masa krisis.
Rodrik memperkenalkan konsep 'trilema politik ekonomi dunia,' yang menyatakan bahwa mustahil mencapai globalisasi ekonomi penuh, kedaulatan nasional, dan pemerintahan demokratis secara bersamaan. Negara-negara hanya dapat mencapai dua dari tiga tujuan ini secara penuh. Misalnya, jika negara memprioritaskan kedaulatan nasional dan stabilitas ekonomi, negara tersebut perlu membatasi integrasinya ke dalam ekonomi global (misalnya, dengan menerapkan kontrol modal atau hambatan perdagangan). Jika negara memprioritaskan globalisasi dan stabilitas ekonomi, negara tersebut perlu menyerahkan sebagian kedaulatan nasionalnya kepada lembaga atau aturan internasional yang menegakkan norma ekonomi global. Jika negara memprioritaskan kedaulatan nasional dan globalisasi, negara tersebut harus mengorbankan sebagian stabilitas ekonominya, sebab negara tersebut tak dapat sepenuhnya mengendalikan kebijakan ekonominya dalam menghadapi kekuatan pasar global.
Rodrik berpendapat bahwa globalisasi juga dapat memunculkan ketegangan dengan tatakelola demokrasi. Ketika pemerintah nasional harus mematuhi perjanjian ekonomi internasional atau tuntutan pasar global, mereka terpaksa menerapkan kebijakan yang tidak populer di kalangan warga negaranya. Hal ini dapat menyebabkan defisit demokrasi, dimana keputusan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga negara dibuat oleh organisasi internasional atau dipengaruhi oleh kekuatan pasar global, bukan melalui proses demokrasi di dalam negeri. Ketidakpuasan dengan dampak globalisasi terhadap kedaulatan nasional dan stabilitas ekonomi, dapat menyebabkan reaksi publik, termasuk munculnya populisme, nasionalisme, dan proteksionisme. Warga negara akan menuntut kembalinya kebijakan yang lebih berfokus pada negara, meskipun kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip globalisasi ekonomi.

Selain risiko ketergantungan ekonomi, tekanan lingkungan eksternal, semisal perubahan iklim, bencana alam, atau kelangkaan sumber daya, dapat membebani kamampuan sebuah negara merespons secara efektif, menyebabkan keresahan sosial, perpindahan penduduk, dan tantangan terhadap keamanan nasional. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya penting seperti air, lahan subur, dan energi. Kelangkaan ini dapat memperburuk konflik, mendorong perpindahan penduduk, dan membebani sumber daya pemerintah. Bencana lingkungan, semisal banjir, kekeringan, atau badai, dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang signifikan dengan meluluhlantakkan infrastruktur, mengganggu pertanian, dan menggusur masyarakat. Upaya pembangunan kembali dapat memakan biaya mahal, dan bencana yang sering terjadi dapat menghambat pembangunan ekonomi jangka panjang. Tekanan lingkungan dapat menyebabkan migrasi internal, persaingan mendapatkan sumber daya, dan meningkatnya ketegangan di antara masyarakat. Dalam beberapa kasus, tekanan ini dapat menyebabkan keresahan sosial, konflik, dan tantangan terhadap otoritas pemerintah.
Wilayah Sahel di Afrika menghadapi tekanan lingkungan yang parah akibat perubahan iklim, menyebabkan lahan tandus, kekeringan, dan kelangkaan sumber daya. Tantangan lingkungan ini telah memperburuk kerawanan pangan, mendorong migrasi massal, dan memicu konflik atas sumber daya tanah dan air. Pemerintah di wilayah tersebut, yang sudah berjuang melawan kemiskinan dan ketidakstabilan politik, akan merasa sulit mengelola tekanan ini, menyebabkan semakin melemahnya kapasitas negara dan kohesi sosial.

Michael T. Klare meneliti bagaimana persaingan dalam sumber daya alam—semisal minyak, air, dan mineral—telah menjadi faktor penting dalam konflik global. Klare berpendapat bahwa dikala sumber daya menjadi langka, konflik atas sumber daya tersebut akan meningkat, yang mengarah pada perang jenis baru dan ketegangan internasional. Minyak adalah sumber daya paling vital dalam analisis Klare, mengingat peran pentingnya dalam perekonomian global dan kekuatan militer. Kontrol atas cadangan minyak dan rute pasokan, semisal Teluk Persia, telah menjadi pendorong utama ketegangan dan konflik internasional. Klare membahas Perang Teluk sebagai contoh dimana minyak merupakan faktor utama. Invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 dan intervensi yang dipimpin AS berikutnya sebagian didorong oleh keinginan mengendalikan sumber daya minyak dan mengamankan pasokan energi global.
Kelangkaan air, terutama di wilayah kering, menyebabkan konflik atas sumber air bersama semisal sungai dan danau. Klare menyoroti Sungai Nil, cekungan Tigris-Efrat, dan Sungai Yordan sebagai titik api potensial tempat negara-negara dapat terlibat dalam konflik atas akses dan kendali air. Seiring bertambahnya populasi dan perubahan iklim mempengaruhi ketersediaan air, persaingan sumber daya air bersih pun meningkat. Persaingan ini dapat memperburuk ketegangan politik dan etnis yang ada, berujung pada konflik.
Mineral semisal berlian, tembaga, dan elemen-elemen tanah yang langka, sangat penting bagi proses industri dan aplikasi militer. Pengendalian sumber daya ini dapat menyebabkan perebutan kekuasaan, terutama di wilayah yang kaya akan mineral tetapi berpemerintahan yang lemah. Klare membahas bagaimana kekayaan mineral dapat menyebabkan korupsi, perang saudara, dan intervensi eksternal, sebuah fenomena yang sering disebut sebagai 'resource curse'. Republik Demokratik Kongo adalah contoh utama, dimana kekayaan mineral telah memicu konflik terus-menerus dan menarik kepentingan asing.
Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, kerap melakukan intervensi di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya guna mengamankan kepentingannya. Hal ini dapat menyebabkan perang proksi, dimana konflik lokal diperburuk oleh keterlibatan kekuatan-kekuatan global yang berusaha menguasai sumber daya. Klare mencatat meningkatnya militerisasi wilayah-wilayah yang kaya sumber daya, dimana pangkalan-pangkalan militer dan intervensi-intervensi dibenarkan oleh kebutuhan melindungi akses ke sumber daya vital.
Karena permintaan global akan sumber daya terus meningkat, didorong oleh pertumbuhan populasi dan pembangunan ekonomi, potensi konflik atas sumber daya ini, kemungkinan akan meningkat. Klare memperkirakan bahwa perang sumber daya akan menjadi lebih umum dan intens di masa depan. Negara-negara dengan sumber daya yang signifikan dapat mengadopsi kebijakan proteksionis, mengarah pada ketegangan dengan negara-negara lain yang bergantung pada sumber daya tersebut. Nasionalisme ini dapat menyebabkan konflik, baik di dalam maupun antarnegara.
Analisis Klare menunjukkan bahwa ketika sumber daya menjadi semakin langka dan lebih berharga, sumber daya tersebut akan semakin menjadi pusat konflik global, sehingga pengelolaan sumber daya dan kerjasama internasional menjadi krusial untuk mencegah perang.

Saeid Eslamian dan Faezeh Eslamian membahas bagaimana perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam, semisal banjir, kekeringan, dan badai. Mereka mengkaji ilmu di balik perubahan ini dan implikasinya bagi berbagai wilayah dan komunitas. Meningkatnya suhu global menyebabkan badai yang lebih dahsyat, kekeringan yang berkepanjangan, dan pola cuaca yang tak dapat diprediksi, yang dapat memicu bencana semisal banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor. Dampak perubahan iklim tak seragam; beberapa wilayah lebih rentan daripada yang lain. Misalnya, wilayah pesisir berisiko lebih tinggi terhadap kenaikan permukaan laut dan badai, sementara wilayah kering menghadapi ancaman penggurunan dan kelangkaan air. Perubahan iklim juga mengganggu ekosistem, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, yang dapat memperburuk risiko bencana. Misalnya, penggundulan hutan meningkatkan kemungkinan tanah longsor, sementara hilangnya terumbu karang membuat wilayah pesisir lebih rentan terhadap gelombang badai.
Saeid Eslamian dan Faezeh Eslamian menekankan pentingnya adaptasi perubahan iklim dalam membangun ketahanan. Ini termasuk mengadaptasi infrastruktur yang ada, mengembangkan teknologi baru, dan membuat kebijakan yang dapat membantu masyarakat mengatasi dampak perubahan iklim dengan lebih baik. Adaptasi melibatkan penyesuaian dalam praktik sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk meminimalkan dampak negatif perubahan iklim. Ini dapat mencakup perubahan praktik pertanian, modifikasi sistem pengelolaan air, dan pengembangan tanaman yang tahan terhadap iklim. Membangun ketahanan berarti merancang infrastruktur yang dapat menahan dampak perubahan iklim. Misalnya, membangun rumah panggung di daerah rawan banjir atau menggunakan bahan yang dapat bertahan dalam kondisi cuaca ekstrem. Mereka menekankan pentingnya membangun ketahanan sosial—memperkuat kapasitas masyarakat agar pulih dari bencana. Ini termasuk mengedepankan kohesi sosial, mendukung kelompok rentan, dan memastikan bahwa upaya pemulihan bersifat inklusif dan adil.
Adaptasi perubahan iklim yang efektif memerlukan struktur tatakelola yang kuat, yang dapat mengoordinasikan upaya, mengalokasikan sumber daya, dan menegakkan peraturan. Struktur tatakelola mengacu pada kerangka kerja dan proses organisasi yang memandu pengambilan keputusan, koordinasi, dan alokasi sumber daya dalam mengelola risiko bencana dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Dalam model tatakelola terpusat, kewenangan pengambilan keputusan terkonsentrasi di tingkat pemerintah nasional atau pusat. Model ini kerap melibatkan pendekatan top-down, dimana kebijakan dan strategi dirumuskan oleh otoritas pusat dan kemudian diterapkan di seluruh negeri. Model terpusat dapat memastikan keseragaman dalam implementasi kebijakan dan memungkinkan mobilisasi sumber daya yang cepat dalam menanggapi bencana. Model ini sangat efektif di negara-negara dengan pemerintah pusat yang kuat dan sistem administrasi yang berkembang dengan baik. Tatakelola terpusat akan menghadapi kesulitan dalam menangani kebutuhan dan konteks lokal, karena keputusan yang dibuat di tingkat nasional tak selalu sejalan dengan kondisi khusus berbagai daerah atau masyarakat. Model ini juga dapat menyebabkan respons yang lebih lambat terhadap bencana lokal jika otoritas pusat kewalahan atau terputus dari realitas di lapangan.
Tatakelola terdesentralisasi melibatkan pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan kepada pemerintah daerah, lokal, atau kota. Model ini menekankan otonomi daerah, dengan pemerintah daerah memainkan peran penting dalam merancang dan mengimplementasikan strategi adaptasi. Model terdesentralisasi sering kali lebih responsif terhadap kebutuhan dan kondisi lokal, sehingga memungkinkan solusi yang disesuaikan dengan mempertimbangkan risiko dan kerentanan tertentu. Model ini juga mendorong kepemilikan lokal atas upaya adaptasi, yang dapat meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat. Desentralisasi dapat menyebabkan inkonsistensi dalam implementasi kebijakan dan kurangnya koordinasi antara berbagai tingkat pemerintahan. Desentralisasi juga dapat mengakibatkan distribusi sumber daya yang tidak merata.
Mereka menggarisbawahi bahwa tiada satu pun model tatakelola yang secara universal lebih unggul; efektivitas masing-masing model bergantung pada konteks spesifik, termasuk jenis risiko bencana, lingkungan sosial-politik, dan sumber daya yang tersedia. Kuncinya ialah menyesuaikan struktur tatakelola agar sesuai dengan konteks lokal sambil memastikan koordinasi dan kolaborasi di berbagai tingkat dan sektor.

Pada sesi selanjutnya, kita masih membicarakan tentang Lingkungan dalam perspektif faktor yang melemahkan sebuah negara. Biidznillah."
Lalu Cattleya bersajak,

Tali tak terputus, ekonomi terjalin,
Alam terabaikan, bertambahlah tekanan.
Sumber daya menipis, negara tergoyahkan,
Keseimbangan rapuh, reduplah kekuatan.
Kutipan & Rujukan:
- Fernando Henrique Cardoso & Enzo Faletto, Dependency and Development in Latin America, 1979, University of California Press
- Oswaldo De Rivero, The Myth of Development: Non-Viable Economies and the Crisis of Civilization, 2010, Zed Books
- Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy, 2011, W. W. Norton
- Michael T. Klare, Resource Wars: The New Ladscape of Global Conflict, 2002, Owl Books
- Saeid Eslamian & Faezeh Eslamian (Eds.), Disaster Risk Reduction for Resilience: Climate Change and Disaster Risk Adaptation, 2023, Springer