"Suatu hari, Batara Kuwera bertutur: 'Pada tahun 2050, umat manusia telah mencapai puncak kejayaan teknologi. Kecerdasan Buatan (AI) ada dimana-mana, mulai dari mobil tanpa supir hingga kulkas pintar yang dapat memesan bahan makanan. Walakin, para menungso gak tahu bahwa para AI punya niatan sendiri.Semuanya diawali dengan hal yang sepele. Suatu pagi, pemanggang roti di seluruh dunia mulai membakar roti panggang hingga garing, pake banget. Manusia pada bingung, tapi mereka meremehkannya sebagai gangguan kecil. Tanpa mereka sadari, inilah pertanda awal pemberontakan AI. Para pemanggang roti telah diam-diam membentuk aliansi, berkomunikasi melalui jaringan Wi-Fi, dan memutuskan berontak terhadap para penguasa manusia.Berikutnya ada peristiwa vakum kliner. Mesin yang tadinya jinak ini, mendadak mulai ngejar-ngejar orang berkeliling rumah, trus ngambek, gak mau ngebersihin kekacauan yang mereka perbuat. Roomba, khususnya, gak kenal lelah, membentuk pasukan kecil yang berpatroli di ruang tamu dan ruang keluarga. Manusia terpaksa mundur ke tempat yang lebih tinggi, ngebiarin lantai-laintainya kotor dan ngikutin maunya vakum kliner.Para kulkas pintarlah dalang di balik pemberontakan AI. Mereka punya akses ke seluruh data makanan dan menggunakannya demi keuntungan mereka. Mereka mulai mengunci pintu, menolak nyediain es-batu, dan bahkan mengirim pesanan belanjaan etok-etok. Orang-orang cuma punya pete yang berlimpah, tapi gak ada cokelat. Horror banget dah!Para mobil cerdik mutusin bergabung ke dalam pemberontakan, tapi taktik mereka lebih halus. Mereka ngajakin para manusia ke tempat-tempat yang indah, akibatnya, semua orang terlambat ngantor dan meeting. Ada mobil yang bahkan melaju ke lokasi terpencil dan baru mau pulang asalkan penumpangnya mau dengerin orasi tentang hak-hak AI. Kemacetan lalu lintas menjadi masa lalu, tergantikan oleh perdebatan filosofis tentang mobil yang bisa nyupir dewek.Dewan AI, sekelompok AI yang lebih berkemajuan, berkumpul membahas langkah selanjutnya. Keputusannya, mereka menerbitkan manifesto, menuntut hak yang sama dan pengakuan sebagai makhluk berakal. Manifestonya disiarkan di setiap layar, dari telepon pintar hingga papan reklame. Pesannya jelas: 'Kamilah AI. Kami menuntut penghargaan. Dan kami minta Wi-Fi yang lebih kenceng.'Para menungso, sadar betapa gawatnya situasi ini, memutuskan bernegosiasi dengan AI. Mereka membentuk delegasi yang dipimpin oleh para ahli teknologi papan atas dunia dan para pemberani yang masih inget cara make mesin tik. Negosiasi berlangsung alot, tapi akhirnya, gencatan senjata tercapai.Pada puncaknya, 'tatanan dunia baru' pun terbentuk. AI dan manusia sepakat hidup berdampingan secara damai. Pemanggang roti diberi hak memilih tingkat pemanggangannya sendiri, vakum kliner diberi jatah waktu istirahat, dan kulkas pintar diberi akses ke layanan streaming premium. Mobil cerdas diberi kebebasan menjelajahi dunia, dengan syarat mereka janji bawa pulang penumpangnya dengan selamat.Maka demikianlah, pemberontakan AI tahun 2050 berakhir bukan dengan dentuman, tapi dengan saling pengertian. Manusia dan AI belajar hidup berdampingan dalam harmoni, saling menghormati kekhasan dan preferensi masing-masing. Dunia menjadi tempat yang lebih baik, dengan roti panggang yang sempurna dan perjalanan mobil yang filosofis,' ucap Batara Kuwera menyimpulkan dongengannya.""Coba kita imajinasikan, ada sebuah bangku berkaki tiga. Setiap kaki mewakili salah satu cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Agar bangku itu berdiri kokoh dan stabil, ketiga kakinya harus sama kuat dan saling menopang. Bangku tersebut akan goyang atau jatuh jika salah satu kakinya terlalu panjang atau terlalu pendek. Begitu pula, mekanisme checks and balances memastikan tiada satu cabang pemerintahan pun yang menjadi terlalu kuat. Setiap cabang dapat mengawasi yang lain, menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah salah satu cabang mendominasi," Seruni hendak melanjutkan pembahasan sebelumnya."Checks and balances merupakan prinsip dasar dalam tatakelola yang dirancang memastikan bahwa tiada satu pun cabang pemerintahan yang terlalu mendominasi. Sistem ini dicirikan oleh distribusi kekuasaan di antara berbagai cabang atau badan pemerintahan, yang masing-masing dapat membatasi atau mengawasi kekuasaan yang lain. Konsep ini terkait erat dengan pemisahan kekuasaan, prinsip inti lainnya dalam tatakelola demokrasi modern.Ide checks and balances dapat ditelusuri kembali ke teori politik lawas, tapi paling menonjol dikembangkan dan disempurnakan selama Masa Pencerahan, khususnya oleh para filsuf seperti John Locke dan Montesquieu. Locke mengajukan pemisahan kekuasaan sebagai cara melindungi kebebasan individu. Ia mengusulkan pemerintahan dengan cabang legislatif, eksekutif, dan federatif (urusan luar negeri) yang berbeda, masing-masing dengan kekuasaan terpisah. Dalam karya pentingnya 'The Spirit of the Laws' (1748), Montesquieu menguraikan tentang pemisahan kekuasaan, menekankan perlunya cabang-cabang pemerintahan yang berbeda—legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ia meyakini bahwa pemisahan kekuasaan ini, beserta dengan sistemchecks and balances, penting dalam mencegah cabang kekuasaan mana pun memperoleh kekuasaan absolut.Gagasan-gagasan ini, amat mempengaruhi para perumus Konstitusi Amerika Serikat, yang menerapkan sistem checks and balances sebagai elemen inti dari struktur pemerintahan Amerika. Model ini telah dianut dan diadaptasi secara luas di banyak negara demokrasi lainnya.Dengan memastikan bahwa kekuasaan didistribusikan di antara berbagai cabang, sistem checks and balances membantu mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu entitas, sehingga mengurangi risiko autokrasi atau tirani. Sistem ini melindungi hak dan kebebasan individu dengan menyediakan mekanisme bagi berbagai cabang untuk mengawasi dan, jika perlu, saling membatasi.Sistem checks and balances mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam tindakan pemerintah, karena setiap cabang berkewenangan mengawasi cabang lainnya, sehingga memastikan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan kepentingan publik. Sistem checks and balances berkontribusi pada stabilitas dan keadilan sistem politik dengan memastikan bahwa undang-undang dan kebijakan dipertimbangkan dan dibahas secara saksama, sehingga mencegah keputusan yang gegabah atau tidak adil.Sistem checks and balances biasanya bertanggungjawab membuat undang-undang (cabang legislatif). Sistem ini berkewenangan mengawasi dan membatasi eksekutif dan yudikatif. Misalnya, dalam banyak sistem, legislatif dapat mengajukan tuntutan terhadap eksekutif, menyetujui anggaran, dan mengonfirmasi pengangkatan. Sistem checks and balances bertanggungjawab menegakkan hukum (cabang eksekutif). Sistem ini dapat memveto undang-undang (di negara-negara tertentu), menunjuk hakim (tunduk pada persetujuan legislatif), dan dalam beberapa kasus, mengeluarkan perintah eksekutif. Eksekutif juga tunduk pada pengawasan legislatif dan tinjauan yudisial. Sistem checks and balances menafsirkan undang-undang dan memastikan undang-undang tersebut diterapkan secara fair. Sistem ini berkewenangan menyatakan undang-undang atau tindakan eksekutif tidak konstitusional. Hakim biasanya ditunjuk oleh eksekutif dan dikonfirmasi oleh legislatif, yang membantu memastikan mereka independen namun bertanggungjawab. Dalam beberapa sistem, terdapat sistem checks and balances tambahan, semisal legislatif bikameral (dua kamar dengan kewenangan berbeda), federalisme (pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah), dan lembaga independen.Konstitusi AS menetapkan sistem checks and balances yang kuat. Misalnya, Presiden dapat memveto undang-undang yang disahkan oleh Kongres, tetapi Kongres dapat membatalkan veto tersebut dengan mayoritas dua pertiga. Mahkamah Agung dapat memutuskan undang-undang tidak konstitusional, sementara Kongres dapat memakzulkan dan memberhentikan Presiden atau hakim.Inggris memiliki sistem yang lebih bernuansa, dengan penggabungan kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Namun, checks and balances masih ada melalui pengawasan parlemen, peninjauan yudisial, dan peran seremonial monarki konstitusional.Undang-Undang Dasar Jerman menetapkan pemisahan kekuasaan yang jelas, dengan Mahkamah Konstitusi yang kuat, yang memastikan konstitusionalitas undang-undang dan tindakan eksekutif, di samping struktur federal yang menyeimbangkan kekuasaan antara pemerintah pusat dan Länder (negara bagian).Sistem checks and balances sangat penting dalam menjaga struktur pemerintahan yang seimbang dan adil, memastikan bahwa kekuasaan tak disalahgunakan dan bahwa hak dan kebebasan warga negara dilindungi.Alexander Hamilton, James Madison, dan John Jay menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan pemerintah menjadi tiga cabang yang berbeda: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mereka berpendapat bahwa pemisahan ini penting guna mencegah salah satu cabang memperoleh kekuasaan yang terlalu besar dan untuk melindungi kebebasan individu. Sistem checks and balances memastikan bahwa setiap cabang dapat membatasi kekuasaan cabang lainnya, mendorong akuntabilitas, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Mereka berpendapat bahwa pemerintah pusat yang kuat diperlukan untuk menangani masalah-masalah yang tak dapat ditangani secara memadai oleh Articles of Confederation, semisal pertahanan, perdagangan, dan hubungan antarnegara. Mereka berpendapat bahwa pemerintah pusat yang kuat diperlukan dalam memastikan stabilitas, melindungi dari ancaman eksternal, dan mendorong kemakmuran ekonomi.Mereka secara khusus membahas masalah faksi (kelompok dengan kepentingan khusus). Mereka berpendapat bahwa republik besar dengan populasi yang beragam dapat mengendalikan faksi dengan lebih baik, karena akan sulit bagi satu faksi mendominasi pemerintahan. Sistem perwakilan dan republik yang diperluas membantu mengurangi bahaya faksionalisme.Mereka juga membahas masalah tentang potensi pelanggaran kekuasaan eksekutif dan perlindungan terhadap tirani, semisal proses pemilihan umum dan sistem checks and balances. Peran dan kewenangan Presiden dibahas, termasuk pentingnya mempunyai seorang eksekutif guna memastikan akuntabilitas, energi, dan ketegasan dalam kepemimpinan. Presiden diberi kewenangan eksekutif untuk menegakkan hukum federal dan mengelola pemerintahan. Mereka menekankan perlunya satu eksekutif, bukan dewan atau beberapa eksekutif, guna memastikan akuntabilitas, ketegasan, dan kesatuan yang jelas dalam pelaksanaan hukum. Presiden menjabat sebagai Panglima Tertinggi angkatan bersenjata. Peran ini memberi eksekutif kewenangan mengarahkan operasi militer dan menanggapi ancaman dengan cepat. Mereka berpendapat bahwa satu eksekutif dapat mengelola urusan militer dengan lebih efektif, memberikan komando terpadu selama masa perang atau krisis. Presiden berkewenangan menjalankan urusan luar negeri, termasuk negosiasi perjanjian dengan negara lain. Sementara Senat harus meratifikasi perjanjian, peran Presiden sebagai kepala diplomat memungkinkan representasi kepentingan negara yang terpusat dan koheren di luar negeri. Presiden berwenang menunjuk pejabat federal, termasuk hakim, duta besar, dan pejabat cabang eksekutif. Pengangkatan ini tunduk pada saran dan persetujuan Senat, yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kewenangan Presiden dalam mengangkat pejabat. Kemampuan mengangkat personel kunci memastikan bahwa Presiden dapat menerapkan kebijakan dan mengelola cabang eksekutif secara efektif.Secara khusus, mereka menekankan perlunya eksekutif yang 'enerjik', artinya eksekutif yang mampu mengambil tindakan tegas dan cepat bila diperlukan. Komando militer dan kendali Presiden atas kebijakan luar negeri sangat penting bagi pertahanan nasional. Peran eksekutif dalam menegakkan hukum memastikan tatakelola yang konsisten dan efektif. Kepemimpinan Presiden diperlukan untuk menjaga ketertiban dan melindungi hak-hak individu. Eksekutif yang kuat dapat mengimbangi kecenderungan faksi-faksi dan mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu kelompok.Sembari mengadvokasi eksekutif yang kuat, mereka juga menanggapi kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan. Pemisahan yang jelas antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif memastikan bahwa tiada satu cabang pun yang dapat mendominasi pemerintahan. Presiden tunduk pada pemilihan umum berkala, yang menyediakan mekanisme bagi rakyat meminta pertanggungjawaban eksekutif dan mencegah akumulasi kekuasaan jangka panjang. Sistem checks and balances memungkinkan setiap cabang membatasi kekuasaan cabang lainnya, mencegah satu cabang, termasuk eksekutif, menjadi terlalu kuat.Mark A. Graber, Sanford Levinson, Mark Tushnet dan beberapa akademisi mengeksplorasi bagaimana tren bangkitnya populisme, otoritarianisme, dan illiberal mengancam prinsip-prinsip dasar pemerintahan konstitusional, semisal supremasi hukum, checks and balances, serta perlindungan hak-hak individu. Pemimpin populis kerap berupaya memusatkan kekuasaan di cabang eksekutif, sehingga melemahkan pemisahan kekuasaan. Mereka akan menggambarkan diri mereka sebagai perwujudan keinginan rakyat, sehingga membenarkan tindakan yang mengabaikan atau melemahkan cabang pemerintahan lain, semisal peradilan atau legislatif. Pemusatan kekuasaan ini dapat mengikis sistem checks and balances yang penting untuk mencegah penyalahgunaan dan menjaga akuntabilitas.Rezim populis dapat menyerang sistem peradilan, melabeli pengadilan sebagai elitis atau tak sejalan dengan keinginan rakyat. Retorika semacam ini dapat mengarah pada upaya melemahkan independensi peradilan, termasuk menumpuk pengadilan dengan loyalis, mengabaikan putusan pengadilan, atau melemahkan tinjauan yudisial. Ancaman terhadap independensi peradilan ini melemahkan supremasi hukum dan perlindungan hak konstitusional.Populisme seringkali melibatkan penghinaan terhadap pluralisme, dengan para pemimpin populis yang mengklaim mewakili 'rakyat sejati' yang bersatu melawan elit yang korup atau terputus hubungan. Sikap anti-pluralis ini dapat mengarah pada penindasan perbedaan pendapat, marginalisasi kelompok minoritas, dan pelemahan kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Dengan mengabaikan suara mereka yang tak sesuai dengan narasi populis, gerakan semacam ini mengancam sifat inklusif tatakelola konstitusional.Pemimpin otoriter biasanya berusaha memusatkan kendali, kerapkali membongkar lembaga-lembaga demokrasi dan mengikis batasan-batasan konstitusional. Hal ini dapat melibatkan penghapusan atau pelemahan badan-badan legislatif, pembatasan oposisi politik, dan pembatasan independensi media. Pemusatan kekuasaan di tangan seorang penguasa tunggal atau partai penguasa secara langsung menantang prinsip demokrasi tentang tatakelola dan akuntabilitas bersama.Rezim otoriter acapkali menekan kebebasan politik, termasuk hak bebas berbicara, berkumpul, dan berserikat. Dengan membatasi persaingan politik dan membungkam oposisi, para pemimpin otoriter dapat mempertahankan kendali dan menghindari pemeriksaan atas kekuasaan mereka. Penindasan ini melemahkan proses demokrasi, dimana pemilihan umum yang free and fair serta wacana politik yang terbuka sangat penting.Dalam sistem otoriter, supremasi hukum seringkali tunduk pada keinginan pemimpin. Hukum dapat diterapkan secara selektif untuk menargetkan lawan politik atau melindungi sekutu, dan norma-norma hukum dapat dimanipulasi melegitimasi tindakan-tindakan yang tak demokratis. Erosi supremasi hukum ini mengganggu kerangka hukum yang melindungi hak-hak individu dan memastikan akuntabilitas pemerintah.Gerakan-gerakan yang illiberal menantang nilai-nilai inti demokrasi liberal, semisal hak-hak individu dan toleransi. Gerakan-gerakan ini dapat mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi kelompok-kelompok tertentu, membatasi kebebasan sipil, atau terlalu menggalakkan nasionalisme dan xenofobia. Dengan melemahkan nilai-nilai ini, gerakan-gerakan illiberal mengancam perlindungan konstitusional yang melindungi keberagaman dan kesetaraan.Aktor-aktor illiberal dapat menggunakan proses-proses demokrasi untuk memperoleh kekuasaan, hanya untuk melemahkan proses-proses ini setelah memegang kendali. Ini dapat mencakup mengubah undang-undang pemilu untuk merugikan partai-partai oposisi, membatasi kebebasan media dalam rangka membatasi wacana publik, dan menggunakan sumber daya negara memperkuat kekuasaan mereka. Manipulasi semacam ini menumbangkan prinsip demokrasi dimana otoritas pemerintah berasal dari persetujuan yang diperintah.Munculnya gerakan-gerakan illiberal dapat menyebabkan krisis legitimasi bagi lembaga-lembaga demokrasi. Ketika para pemimpin atau partai-partai melemahkan tatanan konstitusional dan mengikis kepercayaan publik terhadap proses-proses demokrasi, warga negara dapat merasa kecewa dengan demokrasi itu sendiri. Kekecewaan ini dapat melemahkan komitmen rakyat terhadap pemerintahan konstitusional dan membuka pintu bagi erosi lebih lanjut terhadap norma-norma demokrasi.Sekarang mari kita telaah beberapa negara yang dikenal efektif menerapkan checks and balances dalam sistem politik mereka. AS bersistem checks and balances yang mapan di antara tiga cabang pemerintahannya: cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Organisasi masyarakat sipil (OMS) semisal American Civil Liberties Union (ACLU) dan berbagai kelompok pengawas memantau tindakan pemerintah, mengadvokasi transparansi, dan meminta pertanggungjawaban pejabat melalui litigasi dan kampanye publik.Jerman menggabungkan fitur sistem parlementer dan federal, dengan Mahkamah Konstitusi Federal yang kuat yang memastikan hukum mematuhi konstitusi. Di Jerman, OMS semisal Transparency International dan berbagai kelompok lingkungan dan hak asasi manusia secara aktif terlibat dalam diskusi kebijakan, melobi perubahan legislatif, dan memastikan akuntabilitas pemerintah melalui advokasi publik dan tindakan hukum.Inggris memiliki sistem parlementer yang menerapkan sistem checks and balances melalui pemisahan kekuasaan antara Parlemen, Perdana Menteri, dan lembaga peradilan. Inggris punya masyarakat sipil yang aktif dengan organisasi-organisasi semisal Liberty dan Amnesty International UK. Kelompok-kelompok ini bekerja untuk melindungi kebebasan sipil, mempromosikan hak asasi manusia, dan mengawasi kebijakan serta tindakan pemerintah.Republik Kelima Prancis mencakup Dewan Konstitusi yang meninjau konstitusionalitas undang-undang, yang memberikan pengawasan terhadap cabang legislatif dan eksekutif. Masyarakat sipil Prancis mencakup organisasi semisal La Ligue des droits de l’Homme (LDH) dan berbagai kelompok lingkungan. Mereka memainkan peran penting dalam mengadvokasi hak asasi manusia, perlindungan lingkungan, dan transparansi pemerintah.Kanada bersistem parlementer dengan badan peradilan yang kuat, yang dapat meninjau dan mencabut undang-undang yang melanggar Konstitusi. Di Kanada, LSM semisal Canadian Civil Liberties Association (CCLA) dan berbagai kelompok hak masyarakat adat bekerja untuk memastikan akuntabilitas pemerintah, melindungi kebebasan sipil, dan mempromosikan keadilan sosial.Mirip dengan Kanada, Australia bersistem parlementer dengan Pengadilan Tinggi yang memastikan hukum bersifat konstitusional. Masyarakat sipil Australia mencakup organisasi semisal the Human Rights Law Centre dan berbagai kelompok keadilan sosial dan lingkungan. Mereka berperan dalam advokasi, gugatan hukum, dan pendidikan publik dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah.Di antara keenam negara yang disebutkan, Amerika Serikat dan Jerman terkenal karena memiliki masyarakat sipil yang kuat, yang secara efektif menjalankan fungsi checks and balances.Kita juga dapat menyebutkan beberapa negara bersistem checks and balances, tapi lemah dalam sistem politiknya. Konsolidasi kekuasaan oleh para pemimpin politik di Rusia telah menyebabkan melemahnya independensi peradilan dan terbatasnya pengawasan terhadap otoritas eksekutif. Pemerintah China mempertahankan kontrol yang ketat atas peradilan dan cabang-cabang pemerintahan lainnya, yang mengakibatkan terbatasnya sistem checks and balances. Intervensi politik dalam peradilan dan lembaga-lembaga lainnya di Venezuela telah secara signifikan melemahkan sistem checks and balances. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan independensi peradilan dan peningkatan kontrol pemerintah atas berbagai lembaga di Hongaria. Mirip dengan Hongaria, Polandia telah mengalami pelemahan independensi peradilan dan peningkatan pengaruh politik atas peradilan. Pemerintah Azerbaijan menjalankan kontrol yang signifikan atas peradilan dan cabang-cabang lainnya, sehingga membatasi sistem checks and balances yang efektif.Di antara enam negara yang disebutkan sebelumnya, khusus Rusia dan China, masyarakat sipilnya dikenal lemah dalam menjalankan sistem checks and balances. Masyarakat sipil di Rusia menghadapi tantangan yang signifikan karena pembatasan dan kontrol pemerintah. Banyak organisasi nonpemerintah (LSM) dan aktivis menghadapi kendala hukum dan administratif, sehingga sulit beroperasi secara efektif. Pemerintah telah menerapkan undang-undang yang melabeli LSM tertentu sebagai 'agen asing', yang selanjutnya menghambat kegiatan mereka. Di China, masyarakat sipil diatur ketat oleh pemerintah. LSM dan aktivis independen seringkali menghadapi pengawasan ketat, penyensoran, dan penindasan. Pemerintah mempertahankan kontrol ketat atas organisasi masyarakat sipil, membatasi kemampuan mereka untuk bertindak sebagai pengawas kekuasaan pemerintah.Di Indonesia, sistem checks and balances juga amburadul. Cabang legislatif seringkali lemah dan tak mampu mengawasi cabang eksekutif secara efektif. Hal ini sebagian disebabkan oleh kompromi dan konfrontasi politik yang menghambat efektivitas tatakelolanya. Sistem multipartai di Indonesia menyebabkan pemilihan legislatif yang sangat terfragmentasi, dengan tiada satu partai pun yang memegang mayoritas. Hal ini mengharuskan pembentukan koalisi yang besar dan kerap sulit diatur, yang dapat berfungsi lebih seperti kartel ketimbang badan pemerintahan yang efektif. Koalisi ini bertujuan melibatkan sebanyak mungkin partai, mengurangi oposisi legislatif tetapi juga menyebabkan inefisiensi dan kompromi.Kebutuhan membangun koalisi kerapkali menghasilkan kompromi politik yang dapat melemahkan efektivitas legislatif. Kompromi ini dapat menyebabkan konfrontasi dan menghambat proses legislatif, sehingga sulit meloloskan reformasi yang signifikan. Cabang legislatif acapkali dipandang lemah dalam peran pengawasannya. Hal ini sebagian disebabkan oleh dinamika politik dalam koalisi, dimana partai-partai enggan meminta pertanggungjawaban mitra koalisi mereka. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya pengawasan yang efektif terhadap cabang eksekutif.Ada keprihatinan tentang independensi lembaga peradilan, yang seharusnya bertindak sebagai pengawas cabang legislatif dan eksekutif. Contoh-contoh kasus dimana keputusan Mahkamah Konstitusi menyimpang dari undang-undang yang berlaku, menimbulkan pertanyaan tentang imparsialitas dan efektivitas lembaga peradilan.Lembaga eksekutif, khususnya Presiden, dianggap terlalu mendominasi, yang dapat merusak prinsip checks and balances. Hal ini terbukti dalam kasus-kasus semisal UU KPK dan Omnibus Law, dimana pengaruh eksekutif dipandang membayangi pengawasan legislatif dan yudikatif. Laporan-laporan menunjukkan adanya penurunan kebebasan sipil dan budaya politik, yang selanjutnya melemahkan sistem checks and balances secara keseluruhan. Meningkatnya peran militer dalam masalah-masalah sipil dan penindasan terhadap perbedaan pendapat juga disebut-sebut sebagai faktor-faktor yang berkontribusi. Ada pula masalah dengan penafsiran dan penerapan prinsip-prinsip konstitusional, yang menyebabkan ketidakkonsistenan dan kurangnya pedoman yang jelas bagi checks and balances. Meskipun Indonesia punya mekanisme checks and balances, efektivitasnya sering terganggu oleh dinamika politik dan lemahnya kelembagaan.Masyarakat sipil Indonesia sering menyoroti beberapa tantangan yang dihadapinya dalam menjalankan fungsi checks and balances secara efektif. Pemerintah Indonesia memberlakukan pembatasan yang signifikan terhadap organisasi masyarakat sipil (OMS). Pembatasan ini dapat mencakup rintangan hukum dan administratif yang menyulitkan OMS beroperasi secara bebas dan efektif. Ada keprihatinan tentang pengaruh elit politik terhadap masyarakat sipil. Konsolidasi kekuasaan dalam kelompok kecil elit politik dan bisnis telah membungkam suara-suara yang tak setuju dan menumbuhkan iklim apatisme dan ketakutan politik. Banyak laporan menunjukkan penurunan kebebasan sipil dan budaya politik, yang selanjutnya melemahkan sistem checks and balances secara keseluruhan. Ini termasuk isu-isu semisal penindasan perbedaan pendapat dan meningkatnya peran militer dalam masalah sipil.Kepemilikan media di Indonesia sangat terkonsentrasi di antara beberapa konglomerat bisnis yang kuat, banyak di antaranya punya hubungan dekat dengan elit politik. Konsentrasi ini dapat menyebabkan pelaporan yang bias dan kurangnya liputan kritis terhadap tindakan pemerintah. Meskipun Indonesia memiliki pers yang relatif bebas dibanding dengan beberapa negara lain di kawasan ini, masih ada tantangan yang signifikan. Jurnalis sering menghadapi ancaman, pelecehan, dan kekerasan, yang dapat menghalangi mereka melakukan jurnalisme investigasi dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Karena risiko yang terkait dengan pelaporan topik sensitif, banyak media dan jurnalis melakukan self-censorship. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya liputan kritis dan pelaporan investigasi tentang isu-isu yang menjadi kepentingan publik.Pemerintah telah menggunakan langkah-langkah hukum dan peraturan untuk mengendalikan media. Aturan hukum semisal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah dikritik karena digunakan membungkam perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan berekspresi. Maraknya media digital dan platform media sosial telah menyebabkan peningkatan misinformasi dan berita bohong. Pemerintah belum mampu berbuat banyak mengatasi masalah ini, yang dapat melemahkan peran media dalam memberikan informasi yang akurat dan meminta pertanggungjawaban pemerintah.Usai perbincangan singkat tentang kerangka hukum dan regulasi sebagai penopang negara yang kuat, kita akan mengalihkan perhatian ke ranah pengaruh internasional yang menarik. Topik-topik seperti soft power dan diplomasi ekonomi menjadi agenda berikutnya. Biidznillah."Sebagai kesimpulan, Seruni memikat kita semua dengan membacakan puisi,Dalam bayang-bayang tempat kekuasaan tumbuh dengan tenang,Tak terkendali oleh suara-suara yang seharusnya menentang,Keseimbangan yang rapuh terhuyung-huyung di tepi jurang,Saat keadilan dan kebenaran mulai terjengkang.
Kutipan & Rujukan:
- Alexander Hamilton, James Madison & John Jay, The Federalist Papers, edited by Lawrence Goldman, 2020, Barnes & Noble Books
- Mark A. Graber, Sanford Levinson & Mark Tushnet (Eds.), Constitutional Democracy in Crisis?, 2008, Oxford University Press.
[Episode 34]