Minggu, 18 Agustus 2024

Ketika Cattleya Berbicara (3)

"Di kerajaan Penthungjaya, Prabu Penthung Pinanggul yang masyhur naik takhta. Dengan bakat main drama dan kepiawaian ngibulnya, ia dengan cepat menyingkirkan musuh-musuh politiknya. Partai Hijau, yang dulu pendukung setianya, mendapati dirinya tak punya satu kursi pun di Dewan Kerajaan. Sementara itu, mereka yang mendukungnya, diganjar dengan jabatan bergengsi, ketaatan mereka dibeli dengan janji-janji kekuasaan dan pengaruh.
Prabu Penthung Pinanggul, gak pernah punya substansi nyata, bondhonya cuma 'talenta perkadalan' dan sedikit main sandiwara. Ia menjarah kas kerajaan mendanai rencana-rencana muluknya, seraya didukung oleh para Taipan berpengaruh, yang berkaitan erat dengan Kaisar Jin Kang Ping. Para Taipan ini, dengan kantong dalam dan koneksi yang luas, memastikan bahwa pemerintahan sang Prabu berjalan mulus, semulus lidahnya yang pandai main silat.

Suatu hari, sang Prabu bertekad menaklukkan Lembusura, banteng bermata merah perkasa yang pernah membantunya merebut takhta. Dengan gagah-berani ia mengabaikan kesetiaan, sang Prabu berkhayal mengalahkan Lembusura dalam pertarungan, mencincangnya, dan menyajikannya dalam hidangan semur daging sapi yang lezat buat makan siang. Ia membayangkan aroma sedap tercium di aula istana, sebagai bukti kewibawaan dan kekancilannya.
Tapi, ciloko telulas, angan-angan sang Prabu tak semudah itu terwujud. Lembusura musuh yang tangguh, kekuatan dan keganasannya, tak tertandingi. Seluruh pasukan sang Prabu, meskipun telah berusaha sekuat tenaga, kalah telak. Medan perang jadi pemandangan berkaru dengan pedang yang beradu dan teriakan prajurit yang parau, tapi Lembusura tetap tegak bertumpu, matanya memerah, menyala, menantang.

Gak mau ngaku para prajuritnya keok, sang Prabu mengalihkan fokusnya ke Pohon Beringin Kencana, simbol agung ketahanan kedaton. Ia berencana menebang pohon itu, daunnya yang berwarna keemasan sangat kontras dengan ambisi kelamnya. Bagaimanapun, ia gak bisa lupa akan profesi lamanya sebagai tukang kayu, pekerjaan sederhana yang kini terasa amat jauh darinya. Ia sudah gak sabaran bersemayam di atas kursi kebesaran berbahan kayu pohon beringin kencana.
Maka, seluruh pasukan Penthungjaya pun berarak menuju Pohon Beringin Kencana. Sang Prabu, dengan bravadonya yang khas, memimpin serangan, otaknya telah penuh visi kemenangan. Namun, sang Banyan tegak berdiri sebagai saksi bisu sejarah keraton, akarnya dalam dan tak tergoyahkan.

Saat para prajurit bersiap melakukan serangan, suasana hening menyelimuti kerumunan. Sang Prabu, yang menyadari betapa gawatnya momen itu, mengangkat tangannya. 'Pohon ini,' katanya, 'akan tumbang, dan bersamanya, cara-cara lama pun kecundang. Kita akan membangun yang baru, lebih kuat dan lebih agung dari pohon gaharu!'
Namun pokok aurum tua dan bijak itu punya rencana lain. Ranting-rantingnya bergoyang lembut tertiup angin, seolah mencibir sang Prabu yang dikuasai keangkuhan. Para prajurit ragu-ragu, kapak mereka berat di tangan. Mampukah mereka benar-benar merungkadkan sesuatu yang begitu indah dan abadi?

Nasib apakah yang menanti pohon emas ini? Akankah ambisi sang Prabu terlaksana? Tetap kokohkah sang pohon atau sudah keropos? Nantikan saga lanjutannya dalam satire absurd ini!"

"Identitas nasional bukan sekadar label yang dangkal; ia sangat mempengaruhi cara orang memandang dirinya dan orang lain, caranya berhubungan dengan negaranya, dan caranya berpartisipasi dalam masyarakat. Identitas nasional sesungguhnya penting bagi masyarakat, tapi signifikansi dan makna dari identitas ini, dapat bervariasi tergantung pada konteks dan keadaan individu," Cattleya meneruskan ulasannya.

"David McCrone dan Frank Bechhofer menemukan bahwa identitas nasional selalu beririsan dengan bentuk identitas lain, semisal etnisitas, agama, dan kelas, sehingga menjadikannya konsep yang kompleks dan punya banyak sisi. Mereka menyoroti bahwa sementara sebagian orang akan mengekspresikan perasaan bangga dan keterikatan nasional yang kuat, sebagian lainnya mungkin melihat identitas nasional mereka kurang penting bagi keseluruhan rasa diri mereka. Kendati demikian, gagasan identitas nasional memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik, membentuk segala hal mulai dari hubungan pribadi hingga kebijakan publik.
McCrone dan Bechhofer membuat perbedaan yang jelas antara identitas nasional dan kewarganegaraan (nationality) atau bahkan memiliki paspor. Identitas Nasional merujuk pada rasa memiliki seseorang terhadap sebuah bangsa, yang lebih tentang bagaimana individu memandang dirinya dan hubungannya dengan bangsa tertentu. Identitas nasional mencakup perasaan keterikatan, kebanggaan, dan kedekatan budaya. Konstruksi sosial dan psikologis inilah yang dibentuk oleh beragam faktor semisal sejarah, budaya, bahasa, dan pengalaman pribadi. Identitas nasional bersifat subjektif dan dapat bervariasi bahkan di antara orang-orang dengan kebangsaan yang sama.
Kewarganegaraan, di sisi lain, ialah status hukum yang menandakan keanggotaan seseorang di negara-bangsa tertentu. Kewarganegaraan sering dikaitkan dengan hak dan tanggung jawab hukum, semisal hak memilih, akses ke layanan sosial, dan perlindungan hukum. Kewarganegaraan biasanya didokumentasikan melalui paspor atau tanda pengenal resmi lainnya dan diakui oleh pemerintah dan badan internasional.
Paspor merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah, yang menyatakan identitas dan kewarganegaraan seseorang. Paspor memungkinkan pemegangnya bepergian ke luar negeri dan memberikan bukti kewarganegaraan. Meskipun paspor menunjukkan kewarganegaraan, paspor tak selalu mencerminkan identitas nasional seseorang. Misalnya, seseorang boleh memegang paspor dari satu negara tetapi merasa identitas nasionalnya lebih kuat di negara lain karena ikatan budaya, etnis, atau keluarga.
Singkatnya, walaupun kewarganegaraan dan paspor merupakan konsep hukum dan administratif, identitas nasional merupakan gagasan yang lebih personal dan subjektif, yang mencerminkan hubungan emosional dan budaya seseorang dengan sebuah negara. Keduanya terkait tapi berbeda; seseorang dapat memiliki kewarganegaraan resmi tanpa merasakan identitas nasional yang kuat, dan sebaliknya.

McCrone dan Bechhofer mengakui bahwa di wilayah tertentu dan di antara kelompok tertentu, identitas nasional bisa sangat kompleks dan penuh ambigu atau pertentangan. Individu yang termasuk dalam kelompok minoritas dalam sebuah negara, semisal minoritas etnis, agama, atau bahasa, kerap mengalami identitas nasional yang problematis atau dikontestasikan. Contohnya, orang yang mengidentifikasi diri dengan lebih dari satu kelompok budaya atau etnis, akan merasa sulit sepenuhnya menyelaraskan diri dengan satu identitas nasional. Imigran dan keturunan mereka, terutama mereka yang punya ikatan kuat dengan negara asal mereka, akan memiliki pula banyak identitas, yang menyebabkan kesamaran dalam cara mereka melihat dirinya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain.
Ada beberapa wilayah di seluruh dunia yang identitas nasionalnya sangat dikontestasikan karena alasan historis, politik, atau sosial. Misalnya, wilayah dengan sejarah penjajahan, pertikaian teritorial, atau loyalitas yang terbagi akan memiliki penduduk yang mengidentifikasi diri dengan kebangsaan yang berbeda atau menolak identitas nasional yang dipaksakan. Contohnya termasuk wilayah seperti Irlandia Utara, dimana identitas nasional dapat dibagi secara tajam antara kesetiaan Irlandia dan Inggris, atau Catalonia di Spanyol, dimana sebagian besar penduduk mengidentifikasi diri sebagai orang Catalan daripada orang Spanyol.
Contoh lain, di Indonesia, situasi warga Chinese-Indonesia (sekarang populer dengan terma 'Chindo') sesungguhnya dapat dilihat sebagai identitas nasional yang diperebutkan. Warga Chinese-Indonesia secara historis menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan diri sepenuhnya ke dalam identitas nasional Indonesia yang lebih luas, dikarenakan latarbelakang etnis, budaya, dan agama mereka yang berbeda. Selama bertahun-tahun, mereka kerap dipandang sebagai orang luar atau memiliki identitas ganda, terutama selama periode ketegangan politik dan sosial. Keadaan ini semakin rumit oleh peristiwa sejarah, semisal sentimen anti-Chinese dan kebijakan diskriminatif selama era Suharto, yang memaksakan asimilasi sekaligus meminggirkan komunitas Chinese. Pengalaman kelompok ini mencerminkan ambiguitas dan pertentangan identitas nasional seperti yang dibahas McCrone dan Bechhofer. Warga Chinese-Indonesia akan mengidentifikasi diri secara kuat dengan Chinese heritage mereka, termasuk bahasa, budaya, dan tradisi, sementara juga bergulat dengan kewarganegaraan Indonesia mereka. Identitas ganda atau hibrida ini, dapat menimbulkan ketegangan, baik di dalam komunitas maupun dalam hubungan mereka dengan masyarakat Indonesia yang lebih luas. Dengan demikian, warga negara Chinese-Indonesia merupakan contoh bagaimana identitas nasional dapat dikontestasikan dan dinegosiasikan, saat mereka bernavigasi antara identitas etnik mereka dan harapan menjadi bagian nasional di Indonesia. Sesungguhnya, orang Indonesia itu, mereka yang menyayangi dan mencintai Indonesia.

McCrone dan Bechhofer mengeksplorasi kompleksitas seputar klaim identitas nasional, menekankan bahwa klaim tersebut tak diterima secara otomatis tetapi dapat divalidasi atau ditolak oleh orang lain berdasarkan berbagai kriteria sosial, budaya, dan politik. Ketika seseorang mengklaim identitas nasional, pada dasarnya mereka menegaskan kepemilikan mereka terhadap sebuah bangsa tertentu, yang kerap mengacu pada ikatan budaya, sejarah, atau bahasa yang sama. Klaim ini mencerminkan rasa diri individu dan bagaimana mereka memandang tempat mereka dalam komunitas nasional.
Orang lain boleh menerima atau menolak klaim ini. Kemampuan berbahasa atau dialek nasional dapat menjadi faktor kunci. Jika seseorang fasih berbahasa tersebut, mereka dapat lebih mudah diterima sebagai bagian dari identitas nasional. Partisipasi dan kepatuhan terhadap norma budaya, tradisi, dan adat istiadat bangsa, dapat pula mempengaruhi apakah orang lain menerima klaim identitasnya.
Di beberapa negara, khususnya negara dengan identitas etnis yang kuat, memiliki keturunan atau latarbelakang etnis yang 'tepat' bisa menjadi penting bagi orang lain menerima klaim seseorang atas identitas nasionalnya. Sejarah keluarga seseorang tentang bangsanya, termasuk berapa lama mereka telah berhubungan dengan bangsa tersebut, dapat mempengaruhi penerimaannya. Punya kewarganegaraan atau kependudukan resmi kerap dipandang sebagai validasi formal atas identitas nasional. Namun, bahkan dengan kewarganegaraan, faktor lain semisal keselarasan budaya masih dapat mempengaruhi penerimaan. Keyakinan politik atau loyalitas individu, khususnya di negara-negara yang terpolarisasi secara politik, dapat mempengaruhi apakah orang lain menerima klaim identitas nasional mereka. Diakui sebagai bagian dari komunitas nasional oleh rekan-rekan atau komunitas lokal dapat memainkan peran penting. Ikatan dan jaringan sosial dapat memperkuat atau melemahkan klaim individu. Pandangan masyarakat yang lebih luas, yang sering dibentuk oleh media, wacana politik, dan opini publik, juga dapat mempengaruhi diterima atau tidaknya klaim identitas nasional.
McCrone dan Bechhofer menyoroti bahwa bahkan ketika seorang individu sangat mengidentifikasi dirinya dengan sebuah bangsa, boleh jadi, orang lain menantang identitas ini berdasarkan perbedaan yang dirasakan dalam praktik budaya, keturunan, atau keyakinan politik. Proses mengklaim dan memvalidasi identitas nasional dengan demikian bersifat dinamis dan dapat melibatkan negosiasi sosial yang berarti. Apakah klaim seseorang terhadap identitas nasional diterima atau ditolak, bergantung pada interaksi yang kompleks dari faktor-faktor budaya, etnis, politik, dan sosial. Proses ini menggambarkan sifat identitas nasional yang subjektif dan bersifat diperjuangkan.

McCrone dan Bechhofer berpendapat bahwa identitas nasional bersubstansi internal dan berperan dalam mempertahankan batas-batas kelompok, tetapi mereka menekankan bahwa substansi identitas nasional sering terkait dengan kebutuhan membatasi dan mempertahankan batas-batas ini. Identitas nasional, menurut McCrone dan Bechhofer, bukan sekadar label yang dangkal; identitas nasional mencakup sejumlah besar substansi internal, termasuk keyakinan, nilai-nilai, praktik budaya, narasi sejarah, dan ingatan kolektif bersama. Elemen-elemen ini memberikan rasa memiliki dan komunitas di antara mereka yang mengidentifikasi diri dengan sebuah bangsat. Substansi internal identitas nasional adalah yang memberinya kedalaman dan makna, yang memungkinkan individu saling berkomunikasi melalui pengalaman, simbol, dan tradisi yang sama.
McCrone dan Bechhofer berpendapat bahwa substansi internal identitas nasional sering digunakan membenarkan dan memperkuat batasan kelompok. Misalnya, praktik budaya bersama atau narasi sejarah dapat ditekankan dalam memunculkan rasa persatuan yang lebih kuat dalam kelompok dan membedakan bangsa dari yang lain. Dengan cara ini, substansi identitas nasional dibentuk oleh dan membentuk batasan yang mendefinisikan bangsa.
Identitas nasional merupakan kekuatan yang kuat dalam politik, yang membentuk sikap, perilaku, dan kesetiaan politik. McCrone dan Bechhofer menekankan bahwa para pemimpin dan gerakan politik acapkali menyerukan identitas nasional untuk memobilisasi dukungan, membingkai perdebatan politik, dan melegitimasi agenda mereka. Misalnya, gerakan nasionalis dapat menarik rasa identitas nasional bersama guna mendorong otonomi, kemerdekaan, atau perlawanan yang lebih besar terhadap pengaruh eksternal yang dirasakan.
Identitas nasional juga dapat menjadi sumber perpecahan politik, khususnya dalam masyarakat multikultural atau multietnis dimana kelompok-kelompok yang berbeda punya visi yang berbeda tentang apa yang direpresentasikan oleh sebuah bangsa. Perpecahan ini dapat menyebabkan konflik politik, sebab kelompok-kelompok dengan identitas nasional yang berbeda akan menginginkan hasil politik yang berbeda, seperti devolusi, federalisme, atau bahkan pemisahan diri.
Reformasi atau perubahan konstitusi dapat didorong oleh keinginan memformalkan dan melindungi aspek-aspek tertentu identitas nasional. Misalnya, konstitusi dapat mengabadikan bahasa resmi, simbol budaya, atau hak-hak khusus yang dipandang penting bagi identitas bangsa. Identitas nasional dapat menjadi faktor kunci dalam perdebatan mengenai pengaturan konstitusional, seperti yang menyangkut pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, pengakuan hak-hak minoritas, atau status berbagai kelompok nasional dalam negara.
Perubahan konstitusional juga dapat membentuk kembali identitas nasional dengan mengubah kerangka politik dan hukum tempat identitas tersebut diekspresikan. Misalnya, pembentukan lembaga politik baru, perubahan pengakuan hukum terhadap berbagai kelompok nasional, atau pergeseran keseimbangan kekuasaan antara otoritas nasional dan regional dapat mengarah pada pendefinisian ulang tentang apa artinya menjadi bagian dari sebuah negara. Dalam kasus dimana perubahan konstitusional menghasilkan otonomi atau kemerdekaan yang lebih besar bagi suatu wilayah atau kelompok tertentu, identitas nasional kelompok tersebut dapat menjadi lebih jelas, yang mengarah pada konfigurasi ulang identitas nasional dalam negara yang lebih luas.
McCrone dan Bechhofer berpendapat bahwa identitas nasional merupakan pendorong sekaligus produk dari perubahan politik dan konstitusional. Identitas nasional mempengaruhi perilaku politik dan pengaturan konstitusional, sementara perubahan konstitusional, pada gilirannya, dapat mendefinisikan ulang dan membentuk kembali identitas nasional. Hubungan yang dinamis ini khususnya terlihat dalam konteks dimana pertanyaan tentang kedaulatan, otonomi, dan pengakuan kelompok nasional menjadi pusat kehidupan politik.

David Miller mengeksplorasi hubungan antara kewarganegaraan dan identitas nasional, dengan menyatakan bahwa identitas nasional memainkan peran penting dalam kewarganegaraan yang demokratis. Ia membahas konsep identitas kelompok, identitas nasional, dan politik demokratis sebagai fenomena yang saling terkait dalam eksplorasinya tentang kewarganegaraan dan identitas nasional. Identitas kelompok merujuk pada identitas kolektif yang dimiliki oleh individu berdasarkan karakteristik seperti etnis, agama, budaya, atau bahasa. Identitas ini dapat menjadi dasar bagi kohesi sosial dalam kelompok atau komunitas yang lebih kecil. Miller mengakui bahwa identitas kelompok sangat penting dalam memberi individu rasa memiliki dan membantu menentukan tempat mereka dalam masyarakat. Namun, ia juga mengakui bahwa identitas kelompok dapat menyebabkan perpecahan atau konflik ketika identitas tersebut menjadi terlalu kaku atau eksklusif.
Miller berpendapat bahwa identitas nasional sangat penting bagi politik demokrasi karena identitas tersebut mendorong kohesi sosial dan rasa tanggungjawab kolektif di antara warga negara. Identitas nasional yang kuat dapat membantu memastikan bahwa warga negara berkomitmen pada proses demokrasi dan kesejahteraan sesama warga negara. Miller menekankan pentingnya membangun identitas nasional yang inklusif, yang memungkinkan orang-orang dari berbagai latarbelakang merasa bahwa mereka bagian dari komunitas nasional. Inklusivitas ini sangat penting bagi stabilitas dan efektivitas tatakelola demokrasi.
Miller berpandangan bahwa politik demokrasi sangat bergantung pada identitas nasional bersama. Identitas bersama ini memungkinkan warga negara berperan dalam proses demokrasi dengan rasa saling percaya dan kemauan bekerjasama demi kebaikan bersama. Ia mengakui bahwa politik demokrasi dapat ditantang oleh keberadaan identitas kelompok yang kuat, yang dapat bertentangan dengan atau melemahkan identitas nasional. Agar demokrasi dapat berfungsi secara efektif, harus ada keseimbangan antara menghormati identitas kelompok dan menumbuhkan identitas nasional yang kuat dan inklusif. Miller juga membahas peran negara dalam membentuk dan mempromosikan identitas nasional, dengan menyatakan bahwa negara harus mendorong rasa memiliki nasional sembari menghormati keragaman identitas kelompok dalam negara.

Miller menganalisis berbagai aliran komunitarianisme (bukan komunisme)—kiri, kanan, dan tengah—dan mengeksplorasi implikasinya terhadap teori dan praktik politik. Komunitarianisme kiri menekankan keadilan sosial, kesetaraan, dan pentingnya komunitas dalam mencapai tujuan-tujuan ini. Komunitarianisme ini sering mengkritik ekses individualisme dan pendekatan yang digerakkan oleh pasar. Mereka berpendapat bahwa komunitas dan nilai-nilai bersama sangat penting untuk mencapai masyarakat yang adil dan jujur. Miller mengakui kontribusi komunitarianisme kiri dalam menyoroti dimensi sosial keadilan dan perlunya ikatan komunal. Namun, ia juga mencatat bahwa komunitarianisme kiri harus menyeimbangkan penekanan pada komunitas dengan penghormatan terhadap hak-hak individu dan keberagaman.
Komunitarianisme kanan sering berfokus pada pelestarian nilai-nilai tradisional, tatanan sosial, dan peran lembaga-lembaga yang mapan dalam menjaga kohesi masyarakat. Komunitarianisme kanan cenderung menekankan pentingnya tradisi budaya dan moral. Komunitarianisme kanan menganjurkan agar kembali ke nilai-nilai dan lembaga-lembaga tradisional guna menangkal fragmentasi sosial yang dirasakan. Miller mengkritik komunitarianisme kanan karena berpotensi terlalu konservatif dan resistan terhadap perubahan sosial yang diperlukan. Ia berpendapat bahwa meskipun fokus pada tradisi dan tatanan sosial dapat memberikan stabilitas, hal itu tak boleh menghalangi kemajuan atau pengakuan terhadap norma-norma sosial yang terus berkembang.
Komunitarianisme tengah mencari jalan tengah, menggabungkan aspek-aspek komunitarianisme kiri dan kanan. Kerap bertujuan menyeimbangkan hak-hak individu dengan tanggungjawab dan nilai-nilai komunal. Mereka menganjurkan pendekatan pragmatis yang menghormati hak-hak individu dan nilai-nilai komunitas. Miller menghargai pendekatan pragmatis dan seimbang dari komunitarianisme tengah. Ia melihatnya sebagai cara mengatasi ketegangan antara individualisme dan komunitas tanpa sepenuhnya menganut salah satu ekstrem.
Miller mengakui bahwa komunitarianisme, dalam berbagai bentuknya, memberikan wawasan berharga tentang hubungan antara individu dan komunitas mereka. Namun, ia juga menunjukkan bahwa setiap aliran memiliki keterbatasan dan potensi jebakannya sendiri. Misalnya, komunitarianisme kiri akan kesulitan menyelaraskan nilai-nilai komunal dengan kebebasan individu, sementara komunitarianisme kanan dapat menolak reformasi sosial yang diperlukan. Miller menghargai cara komunitarianisme menyoroti pentingnya komunitas dalam membentuk identitas dan mempromosikan kohesi sosial. Namun, ia berpendapat bahwa diperlukan pendekatan yang seimbang, yang menghormati hak-hak individu dan nilai-nilai komunal.

P. W. Preston meneliti bagaimana perubahan global membentuk kembali identitas politik dan budaya. Ia berpendapat bahwa globalisasi telah menyebabkan kaburnya batas-batas nasional, sehingga semakin sulit bagi orang mempertahankan identitas nasional tradisional. Arus barang, orang, dan informasi lintas batas menantang gagasan tentang identitas nasional yang berbeda. Sebagai akibat dari globalisasi, muncullah identitas transnasional yang semakin meningkat. Orang-orang semakin mengidentifikasi diri dengan komunitas global yang lebih luas daripada komunitas nasional atau lokal yang ketat. Pergeseran ini mencerminkan sifat dunia modern yang saling terhubung.
Globalisasi telah menyebabkan terciptanya identitas hibrida, dimana individu memadukan unsur-unsur dari berbagai budaya dan kebangsaan. Preston mencatat bahwa hibriditas ini dapat menghasilkan bentuk-bentuk baru ekspresi politik dan budaya yang tak sesuai dengan kategori-kategori nasional tradisional. Identitas nasional sedang ditata ulang mengakomodasi pengaruh-pengaruh global. Negara-negara mengadaptasi narasi dan simbol-simbol nasional mereka untuk memasukkan aspek-aspek budaya global sambil mempertahankan tradisi-tradisi uniknya.
Preston menyoroti bahwa globalisasi budaya mendorong pertukaran budaya yang luas, yang mengarah pada hibridisasi praktik budaya. Proses ini dapat memperkaya identitas budaya tetapi juga memunculkan ketegangan karena tradisi lokal berinteraksi dengan pengaruh global. Sebagai respons terhadap tekanan global, beberapa komunitas menolak perubahan budaya dalam melestarikan identitas tradisional. Yang lain mengadaptasi praktik budaya mereka agar sesuai dengan kerangka global, yang mengarah pada pengembangan bentuk budaya baru.
Pergeseran identitas budaya dan politik akibat globalisasi dapat menyebabkan penataan ulang politik. Struktur dan ideologi politik tradisional dapat ditantang karena pembentukan identitas baru mempengaruhi perilaku dan preferensi politik. Preston meneliti ketegangan antara mekanisme tatakelola global dan otonomi lokal. Ketika lembaga global memperoleh pengaruh, ada negosiasi berkelanjutan antara standar global dan nilai-nilai budaya lokal.
Perubahan lanskap identitas dapat menyebabkan konflik, baik di dalam negara maupun antara kelompok budaya yang berbeda. Preston membahas bagaimana konflik identitas muncul dari visi yang saling bertentangan tentang identitas nasional dan budaya. Meskipun ada konflik, globalisasi juga menawarkan peluang mengintegrasikan identitas yang beragam. Preston menekankan potensi menumbuhkan pemahaman dan kerjasama yang lebih baik di antara kelompok budaya dan politik yang berbeda.

Anthony D. Smith meneliti asal-usul dan perkembangan gerakan nasionalis, peran etnisitas dan budaya dalam pembentukan negara, dan dampak nasionalisme pada isu-isu politik kontemporer. Smith mendefinisikan nasionalisme sebagai ideologi politik yang berupaya memajukan dan melindungi kepentingan sebuah bangsa atau kelompok etnis tertentu. Menurut pandangannya, nasionalisme dicirikan oleh keyakinan akan pentingnya peninggalan pusaka budaya, sejarah, dan identitas bersama di antara anggota sebuah bangsa. Smith berpendapat bahwa nasionalisme selalu berakar dalam identitas etnis dan budaya. Nasionalisme terkait erat dengan rasa sejarah, bahasa, dan tradisi bersama yang menentukan karakter sebuah bangsa. Nasionalisme berputar di sekitar gagasan tentang bangsa sebagai entitas yang berbeda dan mandiri. Konsep ini mencakup gagasan bahwa sebuah bangsa harus memiliki negara atau kedaulatan politiknya sendiri. Smith menyoroti bahwa nasionalisme bukan sekadar fenomena modern, melainkan berakar sejarah. Ia mengeksplorasi bagaimana gerakan nasionalis memanfaatkan narasi dan simbol historis untuk melegitimasi klaim mereka dan menumbuhkan rasa keberlanjutan dan kepemilikan. Nasionalisme sering melibatkan mobilisasi orang-orang di sekitar identitas nasional bersama agar mencapai tujuan politik, semisal kemerdekaan, otonomi, atau pelestarian pusaka peninggalan budaya.

Smith menggambarkan ideologi sebagai seperangkat keyakinan, nilai, dan ide yang menyediakan kerangka kerja dalam memahami dunia dan memandu perilaku politik dan sosial. Ideologi membantu individu dan kelompok memahami lingkungan dan masyarakat tempat mereka tinggal. Ideologi menyediakan seperangkat ide koheren yang menjelaskan cara kerja dunia dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya. Ideologi menetapkan norma dan nilai yang memandu perilaku dan pengambilan keputusan. Ideologi menawarkan kriteria dalam mengevaluasi tindakan politik dan sosial, membentuk apa yang dianggap diinginkan atau tak diinginkan.
Ideologi selalu berkontribusi pada pembentukan identitas kelompok. Ideologi membantu orang menentukan siapa mereka bagi orang lain dan menumbuhkan rasa memiliki dalam komunitas atau bangsa tertentu. Ideologi memotivasi dan membenarkan tindakan politik dan sosial. Ideologi menyediakan dasar memobilisasi orang di sekitar tujuan tertentu, baik itu untuk reformasi, revolusi, atau mempertahankan status quo.

John E. Joseph mengeksplorasi bagaimana bahasa membentuk dan mencerminkan berbagai aspek identitas, termasuk dimensi nasional, etnis, dan agama. Bahasa selalu berfungsi sebagai penanda utama identitas nasional. Bahasa dapat menjadi simbol kepemilikan yang kuat dan sarana membedakan sebuah bangsa dari bangsa lain. Penggunaan dan promosi bahasa nasional dapat memperkuat rasa identitas bersama di antara orang-orang dalam sebuah bangsa.
Identitas nasional juga dibentuk oleh faktor politik dan sosial. Pembentukan negara-bangsa, kebijakan penggunaan bahasa, dan gerakan sosial semuanya dapat mempengaruhi dan mendefinisikan ulang identitas nasional. Misalnya, kebijakan bahasa dapat menyatukan atau memecah belah masyarakat berdasarkan kriteria linguistik.
Identitas nasional tak statis; ia berkembang. Perubahan batas politik, pola migrasi, dan sikap sosial semuanya dapat mempengaruhi cara identitas nasional dipersepsikan dan diekspresikan. Identitas nasional berinteraksi dengan bentuk identitas lain, seperti identitas etnis, agama, dan daerah. Identitas yang saling bersinggungan ini dapat memperumit dan memperkaya pemahaman tentang apa makna menjadi bagian dari sebuah bangsa.

Identitas nasional memainkan beberapa peran penting dalam masyarakat. Identitas nasional membantu memunculkan rasa memiliki di antara warga negara, menumbuhkan kohesi dan persatuan sosial. Identitas nasional memungkinkan individu melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar dengan tujuan dan nilai-nilai bersama. Identitas nasional yang kuat sering melegitimasi otoritas negara dan lembaga-lembaganya. Identitas nasional memberikan landasan bagi kontrak sosial antara pemerintah dan yang diperintah, dimana warga negara mengakui otoritas negara sebagai imbalan atas perlindungan dan penyediaan layanan.
Identitas nasional berkontribusi pada stabilitas politik dengan menggalakkan loyalitas kepada bangsa dan lembaga-lembaganya. Identitas nasional membantu mencegah perpecahan dan konflik internal yang dapat timbul dari identitas atau kesetiaan yang saling bersaing. Identitas nasional yang kuat dapat meningkatkan ketahanan sebuah bangsa terhadap ancaman eksternal, semisal agresi asing atau imperialisme budaya. Identitas nasional memperkuat keinginan penduduk membela bangsa dan mempertahankan kedaulatannya. Identitas nasional membantu melestarikan dan mempromosikan pusaka peninggalan budaya sebuah bangsa. Identitas nasional memastikan bahwa praktik budaya, bahasa, dan tradisi yang unik, diwariskan kepada generasi mendatang. Identitas nasional selalu memberi warga negara tujuan dan takdir, yang menghubungkan identitas pribadi mereka dengan masa depan kolektif bangsa. Identitas nasional dapat menginspirasi kebanggaan nasional, patriotisme, dan tindakan kolektif dalam mengejar tujuan bersama.

Identitas nasional dapat menghadapi tantangan dari berbagai sumber. Penyebaran budaya, nilai, dan sistem ekonomi global dapat mengencerkan identitas nasional, yang menyebabkan hilangnya kekhasan. Hal ini khususnya berlaku dalam kasus-kasus dimana pengaruh global membayangi tradisi dan praktik lokal. Masyarakat dengan keragaman etnis, agama, atau daerah yang signifikan, akan berjuang mempertahankan identitas nasional yang kohesif. Identitas sub-nasional yang bersaing dapat menyebabkan ketegangan, konflik, dan bahkan seruan memisahkan diri. Migrasi skala besar dapat memperkenalkan budaya, bahasa, dan identitas baru ke dalam sebuah negara, yang berpotensi menantang identitas nasional yang ada. Integrasi migran ke dalam tatanan nasional dapat menjadi proses yang rumit dan terkadang kontroversial. Polarisasi politik dan perpecahan ideologis dapat melemahkan identitas nasional dengan memunculkan kubu-kubu berseberangan, yang melihat dirinya secara fundamental berbeda. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat yang terfragmentasi dengan visi yang bersaing tentang apa yang seharusnya diwakili oleh bangsa tersebut. Kemajuan teknologi, khususnya dalam komunikasi dan media, dapat menantang gagasan tradisional tentang identitas nasional. Maraknya media sosial, misalnya, memungkinkan penyebaran cepat narasi dan identitas alternatif yang dapat bertentangan dengan identitas nasional resmi.
Identitas nasional merupakan konsep yang punya banyak sisi, memainkan peran penting dalam kohesi, stabilitas, dan kelangsungan sebuah bangsa. Identitas nasional mencakup sejarah, bahasa, budaya, nilai, dan simbol bersama yang menyatukan warga negara dan membangun rasa memiliki. Kendati identitas nasional dapat berkembang dan beradaptasi seiring waktu, identitas nasional juga menghadapi tantangan berarti dari globalisasi, perpecahan internal, migrasi, dan perubahan teknologi. Mempertahankan identitas nasional yang kuat dan inklusif, sangat penting bagi stabilitas dan kemakmuran jangka panjang negara-bangsa mana pun.

Beberapa contoh negara yang mengalami erosi identitas nasional. Lantaran penjajahan dan pengaruh budaya Barat, praktik tradisional Hawaii dan bahasa Hawaii telah menurun secara signifikan. Pengaruh dan kendali China telah menyebabkan pembatasan pada praktik keagamaan Tibet dan perubahan demografi, yang menyebabkan penurunan budaya tradisional Tibet. Modernisasi dan pengaruh Barat telah membawa Meksiko pada kemunduran bahasa asli dan praktik pertanian tradisional. Kenya dan Nigeria, negara-negara ini memiliki perbedaan suku dan agama yang jelas, yang dapat menyebabkan kurangnya koherensi dan identitas nasional. Suriah, konflik yang sedang berlangsung dan pengaruh eksternal telah berdampak signifikan pada identitas nasional, dengan banyak orang lebih mengidentifikasi diri dengan sub-kelompok daripada bangsa secara keseluruhan. Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana berbagai faktor, seperti penjajahan, modernisasi, dan konflik, dapat berkontribusi pada erosi identitas nasional. 

Kemerosotan moral juga dapat melemahkan sebuah bangsa. Kemerosotan moral mengacu pada penurunan atau erosi standar dan nilai etika dalam masyarakat atau individu. Kita akan membahasnya secara singkat di sesi berikut, biidznillah."

Setelah itu, Cattleya membawakan puisi yang menyentuh hati, memikat dengan penyampaiannya yang ekspresif dan kata-kata yang mendalam,

Dalam bisikan, nama bangsa hilang,
Terkikis angin perubahan yang datang.
Jiwanya pudar, desah sunyi,
Kisah mimpi yang telah pergi.
Kutipan & Rujukan:
- David McCrone & Frank Bechhofer, Understanding National Identity, 2015, Cambridge University Press
- David Miller, Citizenship and National Identity, 2000, Polity Press
- P. W. Preston, Political/Cultural Identity: Citizens and Nations in a Global Era, 1997, Sage
- Anthony D. Smith, Nationalism: Theory, Ideology, History, 2010, Polity Press
- John E. Joseph, Language and Identity: National, Ethnic, Religious, 2004, Palgrave