Jumat, 31 Oktober 2025

Adilkah Keadilan Sosial Itu? (6)

Korupsi tuh dasarnya melanggar hak asasi manusia dalam beberapa cara yang amat penting. Pertama-tama, korupsi bikin hukum jadi enggak jalan dengan baik, padahal hukum itu pondasi utama buat lindungin dan jamin hak asasi manusia. Pas pejabat publik disuap, nyolong uang negara, atau pilih kasih, dana yang mestinya buat layanan publik kaya kesehatan, pendidikan, sama jaminan sosial malah dibawa kabur. Ini langsung ngeganggu hak ekonomi, sosial, sama budaya warganya, apalagi yang paling rentan yang bener-bener butuh layanan itu buat hidup dan martabat mereka. Kedua, korupsi bikin orang jadi gak percaya sama institusi pemerintah, kayak pengadilan sama polisi, bikin sistem buat jaga hak asasi jadi lemah. Contohnya, hakim yang korup atau polisi yang disogok bisa ngelanggar hak proses yang adil atau kebebasan orang, langsung ngelanggar hak sipil dan politik. Trus, korupsi sistemik malah bikin kondisi yang bikin pelanggaran hak asasi jadi makin parah, karena bisa bikin diskriminasi, pembatasan sewenang-wenang, sama gak ada pertanggungjawaban. Korupsi juga bikin kebebasan penting buat lawan korupsi, kayak kebebasan pers, akses informasi, dan hak berkumpul dengan damai jadi terkungkung. Akhirnya, badan hak asasi internasional sama regional juga ngakuin kalo korupsi itu penyebab dan bentuk pelanggaran hak asasi, makanya banyak nyaranin pendekatan berbasis hak asasi buat melawan korupsi. Korupsi bukan cuma masalah administrasi atau ekonomi aja, tapi pelanggaran hak asasi yang dalam banget ngeganggu martabat, kesetaraan, sama keadilan.

Korupsi sangat berdampak negatif pada hak atas kesehatan dan pendidikan dengan mengurangi aksesibilitas, kualitas, dan keadilan layanan yang sangat penting ini. Di sektor kesehatan, korupsi sering muncul dalam bentuk suap, penggelapan, dan salah alokasi sumber daya, yang menyebabkan kekurangan obat-obatan, perlengkapan medis, dan gaji nakes. Kondisi ini langsung menyebabkan berkurangnya akses pengobatan, meningkatnya angka kematian anak, dan menurunnya harapan hidup. Sebagai contoh, rakyat mungkin harus bayar suap agar mendapat perawatan yang layak, atau fasilitas kesehatan kekurangan pasokan yang memadai, sehingga kelompok rentan seperti anak-anak dan orang miskin sulit memperoleh layanan penting. Begitu juga, korupsi di bidang pendidikan tampak melalui praktik "ghost teacher" yang digaji tapi tak mengajar [istilah "ghost teacher" atau "guru hantu" ini populer di Afrika dan Asia Selatan, yakni guru yang namanya tercantum sebagai guru tapi tak melaksanakan tugasnya sebagai guru], pengalihan dana sekolah, dan eksploitasi seksual, yang merendahkan kualitas pendidikan dan menaikkan angka putus sekolah. Praktik korup ini memunculkan hambatan akses yang setara dan mengurangi kemampuan negara dalam memenuhi kewajibannya menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas. Dampaknya paling berat dirasakan oleh kelompok marjinal, termasuk perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin, yang memperdalam ketimpangan dan melanggar hak asasi mereka atas kesehatan dan pendidikan.

Korupsi, yang berdampak negatif pada hak atas kesehatan dan pendidikan, juga secara mendalam melanggar prinsip keadilan sosial. Keadilan sosial menuntut perlakuan yang adil dan setara bagi seluruh anggota masyarakat, memastikan sumber daya dan peluang, terutama di sektor penting semisal kesehatan dan pendidikan, didistribusikan berdasarkan kebutuhan dan tanpa diskriminasi. Saat korupsi masuk ke layanan ini, akses menjadi tidak setara, menguntungkan orang kaya atau yang berkuasa yang bisa bayar suap, sementara orang miskin dan yang terpinggirkan malah tersisih. Ketimpangan yang disebabkan korupsi ini tidak hanya memperlebar jurang antar kelompok sosial, tapi juga memperpetuasi kemiskinan dan eksklusi sosial. Misalnya, dalam sistem kesehatan yang korup, dana yang dialokasikan tidak tepat buat obat-obatan dan tenaga medis, yang paling dirugikan adalah kelompok kurang mampu yang sangat bergantung pada layanan kesehatan publik. Begitu pula dalam pendidikan, korupsi bisa muncul lewat guru hantu (dimana guru yang tidak ada atau sering absen tetap menerima gaji, yang artinya dana pendidikan disalahgunakan) atau pengalihan dana, yang menyebabkan kualitas dan kesempatan pendidikan jadi buruk dan paling berdampak ke anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Ketidakadilan sistemik seperti ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan melemahkan kewajiban negara untuk menjamin hak sosial yang setara. Pada akhirnya, korupsi memperdalam disparitas sosial, melemahkan kohesi sosial dan tujuan keadilan serta kesetaraan yang lebih luas dalam masyarakat.

Hak asasi manusia dan keadilan sosial merupakan konsep yang saling terkait erat dan bersama-sama membentuk fondasi masyarakat yang adil dan setara. Hak asasi manusia merupakan hak dan kebebasan dasar yang dimiliki setiap individu karena kemanusiaannya. Hak-hak ini mencakup hak sipil dan politik, semisal kebebasan berekspresi dan hak untuk memilih, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan standar hidup yang layak. Keadilan sosial, di sisi lain, berfokus pada distribusi sumber daya, peluang, dan hak istimewa yang adil dalam suatu masyarakat. Keadilan sosial berupaya mengatasi ketimpangan sistemik dan memastikan bahwa semua individu, terutama mereka yang terpinggirkan dan rentan, memiliki akses yang setara terhadap hak dan sumber daya ini.
Hubungan antara hak asasi manusia dan keadilan sosial terletak pada tujuan bersama mereka untuk memajukan martabat, kesetaraan, dan keadilan. Hak asasi manusia menyediakan kerangka hukum dan moral yang menjamin kebebasan dan perlindungan individu. Keadilan sosial mengoperasionalkan hak-hak ini dengan berupaya menghilangkan hambatan seperti diskriminasi, kemiskinan, dan pengucilan yang menghalangi orang untuk sepenuhnya menikmati hak asasi manusia mereka. Tanpa keadilan sosial, hak asasi manusia tetap menjadi cita-cita teoretis yang tidak dapat diakses oleh banyak orang dalam praktiknya akibat ketimpangan sosial dan ekonomi. Sebaliknya, prinsip-prinsip hak asasi manusia memperkuat gerakan keadilan sosial dengan menyediakan standar-standar yang diakui dan harus dijunjung tinggi oleh masyarakat. Bersama-sama, prinsip-prinsip ini berupaya menciptakan masyarakat inklusif di mana setiap orang dapat berpartisipasi, berkembang, dan hak-haknya dihormati.

"The Idea of ​​Human Rights" karya Charles R. Beitz (2009, Oxford University Press) menawarkan kajian teoretis yang menarik tentang konsep sentral hak asasi manusia, beralih dari kajian filosofi konvensional ke pendekatan praktis. Beitz dengan cermat mengeksplorasi sejarah dan praktik politik hak asasi manusia agar benar-benar memahami inti gagasannya.
Beitz berargumen bahwa praktik formal dan kelembagaan, sebagaimana yang kita kenal hari ini, merupakan hasil langsung dari penyelesaian politik dan hukum yang mengikuti Perang Dunia II. Konsensus pasca-perang ini secara formal mengadopsi gagasan bahwa perlakuan suatu negara terhadap warganya sendiri tak lagi menjadi masalah yurisdiksi domestik yang eksklusif, melainkan menjadi isu kepentingan internasional yang sah, sebuah gagasan yang secara eksplisit dimasukkan ke dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hal yang sangat penting, praktik baru ini diperjelas dan dikristalisasi dengan ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada tahun 1948.
Namun, Beitz sangat ingin menetapkan suatu perbedaan: meskipun praktik tersebut bersifat pasca-perang, ide sentral hak asasi manusia memiliki sejarah awal yang panjang dan signifikan. Ia mencatat bahwa sebelum UDHR, sudah ada langkah-langkah historis di mana negara-negara telah membatasi otoritas kedaulatan mereka sendiri demi melindungi kepentingan individu, yang secara efektif menempatkan masalah domestik tertentu di bawah suatu bentuk pengawasan internasional. Lebih lanjut, gerakan hak asasi manusia transnasional (seperti proliferasi "Liga untuk Hak Asasi Manusia" dan pembentukan Fédération Internationale des Droits de l'Homme) telah berkembang secara aktif sejak periode antar-perang, didorong sebagian oleh kegagalan Kovenan Liga Bangsa-Bangsa untuk mencakup perlindungan hak asasi manusia yang memadai.
Karenanya, Beitz memandang praktik modern ini sebagai pergeseran mendalam: yaitu pelembagaan dari cita-cita moral dan politik yang sudah ada sebelumnya menjadi proyek publik global yang komprehensif.

Ketika menelaah aspek-aspek krusial dari hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serius, Beitz menyoroti beberapa isu kritis, terutama yang berkaitan dengan tantangan yang melekat dalam implementasi praktis dan legitimasi jangka panjang rezim hak asasi manusia.
Pertama, Beitz menggarisbawahi masalah penting Skeptisisme yang mengelilingi seluruh upaya hak asasi manusia, dimana komponen utamanya adalah kekhawatiran bahwa wacana hak asasi manusia dapat dimanfaatkan oleh negara-negara kuat untuk memajukan kepentingan nasional mereka sendiri alih-alih benar-benar melindungi individu. Kekhawatiran ini menimbulkan keraguan terhadap integritas moral intervensi dan tindakan kemanusiaan internasional. Kedua, ia menarik perhatian pada masalah sistemik Standar Ganda dalam praktik, dimana negara-negara tertentu dapat dengan keras menentang catatan hak asasi manusia negara lain, sementara pada saat yang sama mereka sendiri menunjukkan kegagalan mendalam atau kemunafikan terkait kebijakan domestik atau luar negeri mereka, sehingga secara serius merusak otoritas moral gerakan hak asasi manusia global. Lebih lanjut, Beitz mengidentifikasi kekurangan kritis di bidang Akuntabilitas dan Implementasi yang Efektif, mencatat adanya kesenjangan yang berulang dan mengkhawatirkan antara janji normatif yang kuat yang termaktub dalam perjanjian internasional dan mekanisme penegakan yang tidak konsisten, serta seringkali tidak memadai di lapangan, yang memungkinkan banyak pelanggaran berat luput dari hukuman. Ia menyimpulkan bahwa penyelesaian kerentanan-kerentanan yang melekat ini, yang ia sebut 'patologi', pada akhirnya membutuhkan tindakan internasional yang lebih kuat dan lebih kolaboratif untuk memastikan bahwa praktik hak asasi manusia dapat memenuhi tujuan yang dinyatakan, yaitu melindungi semua individu di seluruh dunia.

Beitz menyampaikan pesan utamanya tentang kebutuhan mendesak untuk menggeser landasan filosofis hak asasi manusia dari pandangan "naturalistik" atau "moral" tradisional menjadi Konsepsi Politik (Political Conception). Pandangan politik ini menegaskan bahwa hak asasi manusia paling baik dipahami bukan sebagai klaim moral yang melekat yang dimiliki individu hanya karena mereka adalah manusia, melainkan sebagai norma-norma, yang fungsi intinya adalah menetapkan kondisi dasar bagi kehidupan politik, menjadikan perlakuan suatu negara terhadap warganya sebagai masalah kepentingan internasional yang sah.
Tesis sentral Beitz adalah bahwa hak asasi manusia berfungsi sebagai pembenaran untuk tindakan perlindungan atau perbaikan internasional—mulai dari pengawasan dan kritik hingga intervensi—ketika pemerintah secara serius gagal menjamin kepentingan dasar ini bagi rakyatnya. Dengan mendasarkan hak asasi manusia pada peran praktisnya dalam sistem internasional kontemporer, Beitz menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk mengatasi bentuk-bentuk skeptisisme umum dan untuk membenarkan penerapan hak asasi manusia pada area-area kontroversial dan diperselisihkan, seperti hak anti-kemiskinan dan hak atas demokrasi. Pada akhirnya, pesan utama buku ini adalah seruan untuk memandang hak asasi manusia sebagai proyek politik publik yang dinamis yang membutuhkan kolaborasi internasional berkelanjutan untuk memperbaiki patologi yang melekat padanya dan menjaga tatanan normatif global.

"Human Rights: A Very Short Introduction" karya Andrew Clapham (2007, Oxford University Press) mendefinisikan hak asasi manusia sebagai, pada dasarnya, adalah hak moral yang melekat, yang dimiliki oleh setiap individu semata-mata karena menjadi manusia, berlaku secara universal tanpa memandang kebangsaan, jenis kelamin, asal etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Hak-hak ini umumnya didasarkan pada prinsip martabat manusia yang setara dan mencakup spektrum perlindungan yang luas, semisal hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan perbudakan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak untuk bekerja dan memperoleh pendidikan.
Permasalahan kontemporer seringkali diekspresikan sebagai isu hak asasi manusia karena membingkai ketidakadilan dengan cara ini memberikan tuntutan akan pemulihan dengan otoritas moral dan hukum yang spesifik. Ketika suatu isu—baik itu perubahan iklim, kemiskinan, diskriminasi, atau penahanan sewenang-wenang—diartikulasikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, hal itu secara efektif mengubah keluhan sosial atau politik menjadi kewajiban hukum yang mengikat bagi negara. Pembingkaian ini menyediakan kosakata universal untuk mengatasi ketidakadilan dan memberikan standar yang konkret dan diakui secara internasional kepada individu serta kelompok advokasi untuk mengukur perilaku pemerintah dan memobilisasi dukungan serta tindakan publik. Bahasa hak asasi manusia sangat transformatif, mengalihkan permohonan dari belas kasihan atau preferensi politik menjadi tuntutan yang tidak dapat dinegosiasikan untuk martabat dan keadilan.

Cara akademis yang umum untuk menjelaskan kemunculan historis hak ini adalah melalui teori "Tiga Generasi", yang menghubungkan hak tersebut dengan cita-cita inti Revolusi Prancis: Kemerdekaan (Liberté), Kesetaraan (Égalité), dan Persaudaraan (Fraternité).
Generasi Pertama: Hak Sipil dan Politik (Kemerdekaan). Hak-hak ini sering disebut "hak negatif" karena terutama menuntut negara agar menahan diri dari campur tangan terhadap kebebasan individu. Hak-hak ini muncul dari revolusi liberal abad ke-18 (Amerika dan Prancis) dan berfokus pada otonomi individu dan perlindungan dari kekuasaan berlebihan pemerintah.
Generasi Kedua: Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kesetaraan). Hak-hak ini dianggap "hak positif" karena membebankan kewajiban kepada negara agar secara aktif menyediakan atau memastikan akses pada barang, layanan, dan kondisi tertentu untuk mencapai kesetaraan. Hak-hak ini muncul pada abad ke-19 dan ke-20, seringkali seiring dengan gerakan sosialis, menuntut perlindungan terhadap ekses kapitalisme yang tidak diatur.
Generasi Ketiga: Hak Solidaritas atau Kolektif (Persaudaraan). Hak-hak ini, yang paling baru diartikulasikan dan berfokus pada klaim kolektif atau kelompok yang memerlukan kerja sama internasional. Hak-hak ini berkaitan dengan isu-isu global dan mencakup hak atas pembangunan, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perdamaian. Hak-hak ini mewakili aspirasi global yang melampaui kerangka individu-versus-negara.

Spektrum luas hak asasi manusia yang diakui secara universal, dikategorikan secara tradisional menjadi lima kelompok yang berbeda namun saling bergantung: Hak Sipil dan Hak Politik biasanya berfokus pada penjaminan kebebasan mendasar dan integritas individu dari campur tangan negara yang tidak semestinya. Sebagai contoh, Hak Sipil berpusat pada perlindungan keberadaan dan martabat seseorang, dengan contoh inti adalah hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan; kewajiban utama Negara di sini adalah negatif, yang berarti harus menahan diri dari melakukan tindakan tersebut terhadap warganya. Demikian pula, Hak Politik berkaitan dengan penjaminan partisipasi individu dalam kehidupan publik komunitas dan negara, dicontohkan oleh hak untuk memilih dan dipilih serta kebebasan berkumpul; di sini, Negara memiliki kewajiban ganda untuk menghormati hak-hak ini dengan tidak menekannya dan untuk melindunginya dengan menetapkan kerangka hukum yang diperlukan untuk pelaksanaannya yang bebas.
Sebaliknya, Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya sering disebut hak Generasi Kedua, yang terutama menuntut tindakan positif dan alokasi sumber daya dari Negara. Hak Ekonomi berfokus pada kondisi yang diperlukan untuk mata pencaharian yang bermartabat, dengan contoh utama adalah hak untuk bekerja dan untuk kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, mewajibkan Negara untuk secara progresif berupaya mewujudkan hak-hak ini semaksimal mungkin dari sumber daya yang tersedia. Hak Sosial menjamin kebutuhan untuk kesejahteraan sosial, seperti hak atas jaminan sosial dan hak atas perumahan yang layak, memaksakan kewajiban Negara untuk mengambil langkah-langkah konkret dan terarah untuk membangun sistem perlindungan. Akhirnya, Hak Budaya melindungi kemampuan individu dan komunitas untuk melestarikan dan mengembangkan identitas mereka, diwujudkan dalam contoh seperti hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmiah, yang mensyaratkan Negara untuk menghormati dan memfasilitasi partisipasi tanpa diskriminasi. Meskipun berbeda dalam fokus langsung dan kewajiban negara, kelima kategori ini dianggap tidak terpisahkan dan saling bergantung, yang berarti realisasi salah satunya, seperti hak atas pendidikan (Sosial), sangat penting untuk kenikmatan hak lainnya, seperti kebebasan berekspresi (Sipil).

Semua hak asasi manusia, terlepas dari kategorinya, membebankan tiga tingkat kewajiban yang berbeda kepada Negara: Menghormati (Respect), Melindungi (Protect), dan Memenuhi (Fulfil). Kewajiban untuk Menghormati pada dasarnya adalah tugas negatif dan merupakan fokus utama Hak Sipil dan Politik; ini mensyaratkan Negara agar menahan diri dari mencampuri kenikmatan sebuah hak, semisal memastikan bahwa polisi tidak menahan warga negara secara sewenang-wenang atau bahwa pemerintah tidak menyensor kebebasan berbicara. Kewajiban untuk Melindungi adalah tugas positif, yang mensyaratkan Negara untuk mencegah pihak ketiga, seperti perusahaan atau individu swasta, melanggar hak-hak orang lain; ini berarti pemerintah harus mengesahkan dan menegakkan undang-undang untuk mencegah perbudakan atau menghentikan tokoh media yang kuat dari melanggar privasi secara tidak sah.
Yang paling menantang dan membutuhkan banyak sumber daya adalah Kewajiban untuk Memenuhi, yang merupakan fokus utama Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kewajiban ini mensyaratkan Negara agar mengambil langkah-langkah aktif dan positif—termasuk tindakan legislatif, administratif, dan anggaran—guna sepenuhnya mewujudkan hak-hak tersebut bagi seluruh warganya. Misalnya, untuk memenuhi hak atas pendidikan, Negara harus membangun sekolah, melatih guru, dan memastikan pendidikan dasar wajib dan gratis; demikian pula, pemenuhan hak atas kesehatan memerlukan penetapan sistem dan infrastruktur layanan kesehatan yang komprehensif. Sementara Hak Sipil dan Politik menuntut kepatuhan segera (seperti larangan segera terhadap penyiksaan), Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tunduk pada realisasi progresif, yang berarti Negara harus menunjukkan bahwa ia bergerak secepat dan seefektif mungkin menuju pencapaian penuhnya, menggunakan sumber daya maksimum yang tersedia tanpa bentuk diskriminasi apa pun.

Perdebatan tentang menyeimbangkan hak—terutama hak kebebasan berekspresi versus hak privasi—menggambarkan kalau HAM itu nggak saklek dan seyogyanya di-adu agar tahu mana yang harus menang di situasi tertentu. Clapham menyoroti ketegangan ini paling sering terjadi di ranah media, dimana hak publik untuk tahu (alias nge-spill berita) tabrakan sama hak seseorang untuk hidup tenang tanpa di-kepo-in.
Saat menilai konflik begini, pengadilan biasanya pakai tes proporsionalitas, yang intinya menuntut intervensi terhadap salah satu hak itu harus diatur undang-undang, punya tujuan yang jelas (misalnya buat ngelindungin hak yang lain), dan beneran diperlukan di negara demokratis. Poin pentingnya, proses balancing ini sering membedakan antara isu kepentingan publik yang benar-benar esensial—misalnya kayak bongkar skandal pejabat—dan sekadar rasa penasaran publik yang receh, di mana yang terakhir ini punya alasan yang jauh lebih lemah buat melanggar privasi orang. Komplikasi ini makin parah gara-gara teknologi baru, yang bikin pengawasan konstan dan pengumpulan data masif jadi daily struggle, memaksa kita semua untuk mengukur ulang batas-batas privasi di dunia digital yang 'serba terekspos' ini.

Corruption: A Very Short Introduction" karya Leslie Holmes (2015, Oxford University Press) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang tak semestinya atau tak pantas, yang terkait dengan posisi resmi atau jabatan seseorang. Holmes berargumen bahwa, meskipun definisi ini terdengar lugas, penerapannya menjadi sangat rumit karena esensi korupsi adalah adanya penyimpangan dari norma-norma yang seharusnya dianut oleh pemegang jabatan publik, dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi. Tantangan terbesarnya adalah bahwa pemahaman tentang apa yang dianggap 'tak semestinya' atau 'tak pantas' sangat bergantung pada budaya dan konteks spesifik suatu masyarakat; apa yang di satu tempat dianggap sebagai hadiah atau bentuk rasa hormat yang dapat diterima, di tempat lain dapat langsung dicap sebagai suap atau tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, menurut Holmes, korupsi secara universal dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi, tetapi detail dan penerimaannya di masyarakat adalah hal yang sangat cair dan bervariasi.
Holmes menjawab pertanyaan "Mengapa korupsi menjadi masalah" dengan menempatkannya di antara tantangan global yang paling merugikan, berargumen bahwa signifikansinya seringkali melampaui krisis lain seperti kemiskinan ekstrem dan perubahan iklim. Ia menegaskan bahwa korupsi bermasalah secara mendasar karena secara konsisten diidentifikasi sebagai penyebab utama kemiskinan di seluruh dunia, secara sistematis mengalihkan sumber daya dari layanan publik vital—seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan proyek infrastruktur—yang secara langsung mengganggu kapasitas Negara untuk berkembang dan berfungsi secara efisien. Selain itu, korupsi secara inheren merusak supremasi hukum dan kepercayaan publik, menyebabkan lingkungan sinis di mana warga negara kehilangan keyakinan pada institusi mereka dan keadilan sistem, akibatnya menghambat partisipasi politik dan proses demokrasi. Yang terpenting, ia menciptakan dan memperkuat ketidaksetaraan sosial yang mendalam dengan memastikan bahwa akses terhadap barang publik dan peluang didikte oleh penyuapan dan koneksi politik, bukannya berdasarkan prestasi atau kebutuhan, sehingga menjadikannya ancaman eksistensial terhadap stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi.

Dengan menggunakan lensa Andrew Clapham (tentang Hak Asasi Manusia) dan Leslie Holmes (tentang Korupsi), muncul hubungan yang jelas dan destruktif antara korupsi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Holmes menetapkan bahwa korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan fenomena sistemik dimana penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi mengikis efisiensi dan legitimasi Negara. Pengikisan sistemik ini secara langsung melanggar prinsip inti Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dirinci oleh Clapham, dengan merusak tiga kewajiban Negara untuk Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi hak-hak ini. Ketika dana publik disalurkan secara ilegal, Negara gagal dalam kewajibannya untuk Memenuhi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; misalnya, uang yang seharusnya untuk membangun rumah sakit atau sekolah dicuri, yang secara langsung menyebabkan penolakan terhadap hak atas kesehatan dan pendidikan, dan secara tidak proporsional merugikan populasi yang paling rentan. Selain itu, korupsi seringkali melibatkan subversi aturan hukum dan peradilan, yang merupakan pelanggaran langsung terhadap Hak Sipil dan Politik, khususnya hak atas pengadilan yang adil dan proses hukum yang semestinya (due process), sehingga menolak ganti rugi yang efektif bagi korban atas ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka. Akibatnya, korupsi bertindak sebagai penghalang besar bagi Keadilan Sosial karena secara sistematis mengalirkan sumber daya dan kekuasaan menjauh dari masyarakat umum dan menuju segelintir orang yang berkuasa. Hal ini menciptakan dan memperkuat ketidaksetaraan dan diskriminasi yang mendalam, secara efektif menjadikan kenikmatan hak asasi manusia dasar sebagai fungsi kekayaan atau koneksi politik, bukan sebagai hak universal, sehingga mengubah janji keadilan sosial menjadi sekadar ilusi.

Kamis, 30 Oktober 2025

Adilkah Keadilan Sosial Itu? (5)

Lord of War (2005), dibintangi Nicolas Cage sebagai Yuri Orlov, seorang pedagang senjata ilegal yang karirnya dimulai di AS dan kemudian beroperasi secara global. Film ini terinspirasi dari kisah nyata para penyelundup senjata internasional. Meskipun Orlov adalah pedagang gelap, alur ceritanya secara efektif menyoroti bagaimana surplus besar senjata setelah Perang Dingin, khususnya dari bekas blok Soviet, membanjiri pasar global, dan bagaimana negara-negara besar (termasuk AS) seringkali membiarkan pedagang seperti Orlov beroperasi demi keuntungan geopolitik. Film ini secara satire menunjukkan bahwa pedagang senjata ilegal seringkali menjadi "kambing hitam" demi kepentingan realpolitik negara-negara besar.

Pandangan yang paling kuat dari para kritikus tentang gencatan senjata Israel-Palestina yang berlaku saat ini ialah kesan sangat rapuh dan skeptis, terutama karena kesepakatan damai ini gagal nyentuh akar masalah konflik yang sebenarnya. Walaupun penghentian perang besar dan pembebasan sebagian sandera diakui sebagai langkah maju yang positif, banyak pengamat bersikeras bahwa perjanjian ini cuma istirahat sementara, bukan akhir yang definitif dari kekerasan, apalagi karena kedua belah pihak cepet-cepetan saling menuduh ngelanggar kesepakatan, menguji betul ketahanan gencatan senjata ini.
Organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, dalam penilaian kolektif mereka, lantang dan tegas banget nuntut negara-negara seperti Amerika Serikat seyogyanya segera hentikan semua transfer senjata ke pemerintah Israel buat mencegah keterlibatan lebih lanjut dalam potensi kejahatan internasional. Kelompok-kelompok ini, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, bersikeras bahwa transfer senjata, yang meliputi amunisi, komponen, dan suku cadang, wajib dihentikan karena ada risiko yang jelas dan nyata kalau senjata ini bakal dipakai buat melakukan atau memfasilitasi pelanggaran serius hukum humaniter internasional terhadap warga sipil Palestina di Gaza. Selain itu, mereka secara keras menyerukan kepada Kongres AS dan Pemerintahan Trump buat ngasih penangguhan segera bantuan militer mematikan selama tindakan Israel, seperti penghambatan bantuan kemanusiaan yang semena-mena dan parah serta jumlah korban sipil yang tetap tinggi, nunjukin pengabaian yang jelas terhadap kewajiban hukum internasional dan AS, sehingga jaminan apa pun yang diberikan oleh pemerintah Israel dianggap nggak meyakinkan sama sekali. Intinya, banyak ahli menekankan bahwa keharusan buat masang embargo senjata penuh ini jadi penting banget setelah putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang nemuin ada risiko genosida yang masuk akal di Gaza, mendorong semua negara buat pake segala cara yang logis buat cegah tindakan semacam itu.

Mengapa para kritikus menyebut tentang perdagangan senjata AS? Jelas, lantaran negeri Angkel Sem entu auto cuan gede banget dari bisnis jual-beli senjata, guys. Ini udah jadi DNA banget di sistem pemerintahan sama pebisnis sultan mereka. Gila sih, kontraktor senjata kayak Lockheed Martin dan Raytheon itu udah pasti jadi top tier di ranking dunia, duit yang masuk itu nggak ngotak! Pendapatannya bikin para sultan-sultan shareholder sama bos-bos mereka auto kaya raya. Anggaran militer Amerika yang seabrek-abrek itu? Itu justru jadi pelanggan utama mereka. Keuntungan mereka dijamin aman sentosa lewat kontrak pengadaan alat perang yang brutal. Apalagi, Deplunya kalo udah ngasih izin buat gass ekspor senjata ke sekutu, itu duit pajak sama fee-nya auto masuk ke kas negara. Intinya mah, uang negara sama pebisnis keren di sana itu klop banget, untung terus dari trading alat perang. Cuan abiss!
Dominasi Amerika Serikat di pasar senjata dunia itu beneran nggak ada obat! Mereka nguasain banget persentase ekspor senjata global, bikin negara lain cuma bisa gigit jari.
Menurut data terbaru dari SIPRI (lembaga keren yang ngurusin riset perdamaian), Amerika Serikat itu pegang kendali sebesar 43 persen dari total seluruh ekspor senjata di dunia buat periode 2020 sampai 2024! Bayangin, 43%! Ini gede banget sampai empat kali lipat lebih banyak dari Perancis yang ada di posisi kedua!
Intinya, AS itu juara bertahan sebagai supplier utama senjata canggih. Customer mereka juga bukan kaleng-kaleng, mereka ngirimin senjata ke lebih dari seratus negara, dengan Arab Saudi jadi pelanggan nomor satu, disusul sama Ukraina dan Jepang. Cuan mereka emang out of control!

Mari kita bedah dulu kenapa sih  AS ini bisa jadi bos di bisnis jualan senjata, dan kapan sih awal mula mereka jadi penguasa?
Fondasi utama AS sebagai pedagang senjata utama dunia itu udah dipasang setelah Perang Dunia II dan makin kokoh selama Perang Dingin (sekitar 1947–1991).
Pas PD II, AS dapat julukan "Gudang Senjata Demokrasi" karena kemampuannya nyetak alat perang canggih dalam jumlah gila-gilaan. Nah, setelah perang usai, persaingan sengit sama Uni Soviet (rival utamanya) bikin kemampuan industri ini diubah jadi alat politik luar negeri, lewat program-program gede seperti Foreign Military Sales (FMS). Walaupun zaman Perang Dingin AS dan Soviet saling sikut buat jadi eksportir terbesar, begitu Soviet bubaran di  tahun 1991, Rusia ambruk dalam jualan senjata, dan sejak saat itu, AS resmi jadi pedagang senjata global yang seng ada lawan sampai sekarang.

Kenapa status AS ini nggak kegeser? Alasannya combo antara strategi, politik, dan untung-rugi ekonomi:
Pertama, Strategi Geopolitik (Main Power): Jualan senjata itu kartu AS utama Washington buat memperkuat geng aliansi globalnya (NATO, bestie-bestienya yang di Asia, dan Timur Tengah). Dengan ngasih senjata canggih, AS mastiin kalo perlengkapan sekutunya bisa nyambung (interoperabilitas) sama punya AS. Ini ngunci pengaruh Amerika dan ngamanin kepentingan mereka di seluruh dunia.
Kedua, Teknologi Paling Gokil: Industri pertahanan AS selalu paling depan dalam inovasi militer. Mereka bikin alat perang paling canggih di dunia (kayak jet tempur F-35 stealth atau rudal pintar). Negara lain berlomba-lomba ngantre buat upgrade militer mereka dengan teknologi yang nggak bisa ditandingin rival AS.
Ketiga, Keuntungan Ekonomi (Cuan buat Perusahaan): Ekspor senjata penting banget buat menghidupi perusahaan-perusahaan senjata raksasa Amerika (military-industrial complex). Penjualan ke luar negeri ngasih pemasukan triliunan dolar, nyiptain lapangan kerja, dan nutupin biaya R&D (riset dan pengembangan) yang selangit. Intinya: jualan ke luar negeri bikin harga senjata buat militer AS sendiri jadi lebih murah.
Keempat, Ketergantungan Keamanan (Kunci Pelanggan): Kalau sebuah negara udah beli senjata gede dari AS, mereka otomatis akan mengalami ketergantungan selama puluhan tahun buat suku cadang, perawatan, pelatihan, dan upgrade. Ini menjadikan keterikatan keamanan jangka panjang, bikin negara pembeli susah pindah ke lain hati atau ganti pemasok, dan terkunci dalam orbit pengaruh Amerika.

Dalam kasus Israel-Palestina, Amerika Serikat memasok senjata dan bantuan keamanan kepada Israel secara mutlak; bahkan, AS bertindak sebagai sumber teknologi militer utama dan paling penting bagi negara tersebut. Hubungan yang sudah terjalin lama ini diresmikan melalui sistem hibah dan penjualan militer, yang utamanya disalurkan melalui program Pendanaan Militer Asing (Foreign Military Financing - FMF). Dana FMF ini, yang tunduk pada Memorandum Saling Pengertian (MOU) jangka panjang selama sepuluh tahun antara kedua negara, mewajibkan Israel untuk sebagian besar membeli barang dan layanan pertahanan buatan AS melalui sistem Penjualan Militer Asing (Foreign Military Sales - FMS). Pengaturan ini memastikan Israel menerima akses ke beberapa perangkat keras militer paling canggih di dunia, termasuk pesawat tempur tercanggih dan amunisi berpemandu presisi, yang merupakan elemen mendasar dari komitmen AS untuk mempertahankan Keunggulan Militer Kualitatif (Qualitative Military Edge - QME) Israel di kawasan Timur Tengah.
Cara Israel 'membayar' sebagian besar device militer canggihnya dari Amerika Serikat itu spesial banget, guys, karena pada dasarnya, senjata-senjata itu dibayari pakai duit hibah yang dikasih langsung sama Pemerintah AS—jadi, Israel kagak perlu pusing mikirin utang gede. Bantuan ini disalurkan lewat program yang keren namanya Foreign Military Financing (FMF), yang intinya ngasih Israel duit cash (saat ini sekitar $3,3 miliar per tahun berdasarkan perjanjian MOU mereka) buat belanja hardware dan jasa pertahanan AS melalui sistem Foreign Military Sales (FMS).
Lebih gokilnya lagi, Israel punya privilege unik yang disebut "Pembiayaan Aliran Kas (Cash Flow Financing)," yang kayak pre-order mewah, memungkinkan mereka buat booking pembelian super mahal—misalnya jet tempur siluman—dengan menjaminkan alokasi dana hibah tahunan mereka di masa depan. Dulu, Israel bahkan sempey dibolehin ngubah sebagian duit hibah AS itu jadi Shekel buat belanja dari industri pertahanan lokal mereka sendiri, semacam boost ekonomi dalam negeri, meskipun kebijakan ini lagi dihentikan perlahan. Intinya, AS adalah 'toko gadget militer' utama Israel; meskipun Israel punya pabrik senjata keren sendiri dan ada sedikit deal dengan negara lain, hampir semua sistem canggih dan cuan finansialnya datang dari bestie mereka, Amerika. 

Program Foreign Military Financing (FMF), terutama kucuran dana gede yang dikasih ke Israel itu, untungnya banyak banget, sob, buat Amerika Serikat, baik dari sisi strategi, ekonomi, maupun militer, dan ini jauh lebih dari sekadar aksi bagi-bagi bantuan.
Secara strategis, investasi ini menjamin AS punya sekutu yang powerful dan canggih di kawasan yang super panas, ibarat numpang jaga keamanan ke partner yang handal di Timur Tengah, tanpa harus ngirim banyak tentara AS. Ini namanya burden-sharing!
Secara ekonomi, hampir semua duit hibah itu wajib dibelanjakan untuk senjata dan jasa pertahanan buatan AS. Nah, ini yang bikin industri pertahanan Amerika full power; yang secara langsung support puluhan ribu lapangan kerja bergaji tinggi di AS, naikin ekspor mereka, dan yang paling penting, nurunin harga jual sistem senjata canggih kayak jet tempur buat militer AS sendiri karena jalur produksinya tetep jalan terus.
Terakhir, kerjasama ini mendorong interoperability militer, bikin pasukan AS dan Israel bisa latihan, komunikasi, dan beroperasi bareng tanpa hambatan, plus kolaborasi dalam pengembangan teknologi pertahanan kayak sistem anti-rudal, yang ngasih AS akses ke inovasi yang sudah teruji di medan perang. Ini win-win abis!

Bukan cuma Amerika yang 'raja' jual senjata di dunia. Ada beberapa negara besar lain yang ikutan 'main' dan nge-gas banget di pasar keamanan global. Menurut data kece dari SIPRI (lembaga riset perdamaian), dua pemain kelas kakap selain AS adalah Prancis dan Rusia.
Prancis ini sekarang lagi naik daun banget, sering nangkring di posisi kedua eksportir senjata terbesar dunia, lho. Kenapa Prancis ikutan jualan? Ada dua alasan utama yang saling nyambung: kebutuhan ekonomi dan ambisi 'mandiri' strategis.
Ekonomi: Penjualan senjata gede-gedean itu wajib buat ngidupin industri pertahanan canggih Prancis sendiri. Kalau cuma ngandelin pesanan dari militer nasional, nggak akan cukup buat nutupin biaya riset dan produksi yang mahal gila, apalagi buat pesawat tempur keren kayak Rafale.
Strategi: Dengan jualan senjata, Paris bisa menjalin bestie-bestie (kemitraan) politik dan militer yang super kuat dan jangka panjang dengan negara-negara penting, terutama di Timur Tengah dan Asia. Ini adalah cara Prancis buat 'pamer otot' dan memastikan suara geopolitiknya tetap didenger, tanpa harus nurut terus ama aliansi Barat.

Rusia secara historis adalah runner-up abadi, tapi posisinya belakangan agak terjepit karena perang di Ukraina dan sanksi Barat. Rusia terjun ke perdagangan senjata karena didorong oleh diversifikasi ekonomi dan proyeksi pengaruh geopolitik.
Buat Rusia, jual-beli senjata salah satu sumber devisa paling cuan selain migas. Duit dari sini bantu ngejaga kompleks industri militernya yang gede banget, warisan dari zaman Uni Soviet.
Rusia pakai transfer senjata sebagai alat politik buat nahan sekutu lamanya (kayak India) dan ngedapetin temen baru (kayak di Afrika dan Timur Tengah) yang sistem pertahanannya udah klop sama barang Rusia. Ini cara mereka buat mempertahankan kehadiran global dan menantang dominasi aliansi militer pimpinan Barat.

Jerman, sebagai powerhouse industri besar di Eropa, punya posisi yang unik dan seringkali kontradiktif dalam bisnis senjata dunia, di mana mereka sering banget menyeimbangkan antara cuan ekonomi dan kebijakan ekspor yang super ketat dan etis—apalagi kalo dibandingin sama temen-temen NATO-nya. Motif utama Jerman jualan senjata sebenernya adalah ekonomi, yaitu buat menjaga industri pertahanan domestik mereka yang udah super canggih dan ikut proyek pertahanan kolaborasi Eropa; ini penting banget supaya industri mereka tetap hidup. Tapi, kebijakan Jerman biasanya memaksakan kriteria politik yang ketat, ngotot buat nggak ngirim senjata ke zona konflik atau rezim yang tercatat melakukan pelanggaran HAM; meskipun begitu, sikap ini baru-baru ini jadi lebih fleksibel dan pragmatis buat nanggapi krisis geopolitik sekarang, kayak perang di Ukraina dan pergeseran aliansi keamanan di Timur Tengah.
Sebaliknya, peran China yang makin gede sebagai pemasok senjata global didorong terutama oleh tujuan politik strategis buat memperluas influence mereka di seluruh dunia, terutama di Global South. China menawarkan alternatif yang menggiurkan buat pemasok Barat dengan ngejual perangkat keras militer yang murah, bandel, dan makin canggih—termasuk sistem drone dan pertahanan udara yang laku keras—seringkali dengan keuntungan eksplisit nggak adanya syarat politik atau screening HAM terhadap urusan domestik negara penerima. Pendekatan ini memungkinkan Beijing buat mengamankan kemitraan strategis, dapet akses ke sumber daya vital, dan menantang dominasi yang udah mapan dari Amerika Serikat dan Rusia, ujung-ujungnya memajukan ambisi jangka panjangnya buat jadi rival kekuatan militer dan politik global.

Naiknya pamor Korea Selatan dan Turki itu bikin goncangan besar pada struktur bisnis senjata global yang udah kayak oligopoli (dikuasai segelintir pemain) selama ini, ngubah dinamika pasar di luar dominasi tradisional AS, Rusia, dan kekuatan Eropa. Kedua negara ini didorong oleh motif ganda: kemandirian keamanan nasional dan kelangsungan hidup ekonomi industri pertahanan mereka.

Korea Selatan udah melesat jadi eksportir global besar, motif utamanya adalah kebutuhan buat menopang industri pertahanan domestik yang super besar sebagai benteng melawan ancaman intens dari Korea Utara. Biaya gila-gilaan buat ngembangin sistem canggih itu bikin Seoul harus jualan secara internasional biar dapet skala ekonomi dan jalur produksi mereka tetap sehat secara finansial. Kunci sukses mereka adalah nawarin platform senjata canggih berkualitas tinggi—kayak tank, artileri, dan kapal laut—yang kompatibel sama NATO tapi seringkali lebih murah dan pengirimannya lebih cepat daripada alternatif Barat. Ini bikin mereka menarik banget buat negara-negara Eropa yang lagi modernisasi alutsista dan negara-negara di Asia.
Sementara itu, Turkiye secara strategis fokus ngembangin kemampuan yang berasal dari dalam negeri dan bikin disrupsi teknologi, yang paling terkenal adalah UCAV (drone tempur tak berawak) mereka, kayak Bayraktar TB2. Pendorong utama Turki adalah tekad buat menghilangkan ketergantungan sama pemasok asing yang di masa lalu pernah memberlakukan embargo senjata atau batasan politik selama operasi militer Turki. Dengan nawarin teknologi yang teruji di medan perang, relatif murah, dan dampak tinggi tanpa adanya syarat politik yang diterapkan pemerintah Barat, Ankara udah sukses mengukir niche di pasar global, terutama buat mengamankan influence dan kemitraan di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah.
Dua pemasok baru yang lagi naik daun ini secara aktif menyediakan opsi diversifikasi yang sangat dibutuhkan buat negara-negara—terutama di Global South dan negara NATO tier kedua—yang pengen modernisasi pasukan mereka tanpa terkunci pada biaya tinggi dan pengawasan politik yang datang dari pemasok tradisional.

"The Global Politics of Arms Sales"
karya Andrew J. Pierre (1982, Princeton University Press) menganalisis latarbelakang yang mendorong negara-negara besar, termasuk AS, terlibat dalam penjualan senjata. Karya ini secara sistematis menguraikan motivasi-motivasi tersebut ke dalam kategori-kategori yang telah disebutkan: mendapatkan pengaruh, meningkatkan keamanan bagi sekutu, dan meraup keuntungan ekonomi. Analisis Pierre dengan jelas menunjukkan bagaimana penjualan senjata bertransisi dari transaksi komersial menjadi pilar utama kebijakan luar negeri, yang memungkinkan AS menjalankan kekuasaan dan mengamankan ketergantungan jangka panjang dari klien.
Argumen mendasar yang dikemukakan oleh Andrew J. Pierre ngasih jurus pamungkas buat jelasin kenapa sistem FMS (Foreign Military Sales) Amerika jadi kunci buat ngendaliin politik dan ekonomi dunia setelah PD II. Motif terbesarnya adalah perang dingin; FMS itu dibikin sebagai senjata rahasia buat ngunci aliansi di seluruh dunia, memastikan kalau semua sekutu Amerika pake senjata yang sejenis dan nyambung (interoperable) biar gampang kalau perlu nge-gass barengan. Mekanismenya gampang tapi genius: FMS nggak cuma jual barang, tapi jual ketergantungan total; begitu negara udah beli tank FMS, mereka terikat kontrak seumur hidup buat spare part, servis, upgrade, dan pelatihan yang cuma bisa didapat dari AS, yang bisa nyampe puluhan tahun. Hubungan sehidup-semati ini ngasih kekuatan tawar-menawar (leverage) politik super gede ke Washington buat ngatur kebijakan luar negeri negara pelanggan, sekaligus ngejamin pabrik senjata Amerika tetap kaya raya dan produksi jalan terus. Ini bener-bener ngubah penjualan senjata jadi alat nguasain dunia yang nyata.

Pierre jelas banget nyebutin nama-nama negara pemasok besar dan negara penerima kuncinya, karena seluruh analisisnya emang didasarkan pada bedah aliran senjata geopolitik selama dan sebelum era Perang Dingin. Walaupun Amerika Serikat diulas habis-habisan sebagai pemasok inti (the central supplier), eksportir senjata tradisional besar lain kayak Uni Soviet (sekarang Rusia), Perancis, dan Inggris juga sering banget dibahas buat ngasih lihat gimana kompetisi global dan area pengaruh masing-masing. Nggak lupa doski nyebut juga pemasok yang mulai muncul saat itu, termasuk China dan Jerman Barat (sebelum bersatu), meskipun power mereka dianggap di bawah kekuatan utama.
Karya ini nyebutin banyak negara penerima di berbagai kawasan buat nunjukin dampak strategis transfer senjata. Contoh penerima kunci yang sering banget disebut antara lain sekutu gede dan negara klien di Timur Tengah (kayak Israel, Arab Saudi, dan Mesir), negara-negara garis depan konfrontasi di Asia (misalnya Korea Selatan), sampe negara di Amerika Selatan dan Afrika, tempat AS dan Soviet beradu pengaruh. Nyelipin transfer spesifik antarnegara ini vital banget buat tesis Pierre bahwa penjualan senjata itu, di atas segalanya, adalah alat kebijakan luar negeri dan leverage diplomatik, bukan sekadar transaksi dagang biasa.

Nah, gelar negara paling doyan impor senjata di dunia itu baru-baru ini udah ganti pemilik gara-gara konflik yang makin brutal! Menurut data update dari SIPRI (yang udah kita bahas sebelumnya), Ukraina itu auto naik tahta jadi importir senjata nomor satu di dunia buat periode 2020 sampai 2024! Bayangin, pangsa pasar impor senjata mereka itu melonjak sampai 8,8 persen dari total global—naik hampir 100 kali lipat dari periode sebelumnya, lho! Plot twist-nya di sini jelas karena bantuan senjata gede-gedean dari negara-negara Barat, terutama dari Amrik.
Setelah Ukraina nangkring di posisi puncak, negara-negara lain yang hobi beli senjata dan lagi ngegas keamanan regional adalah India (yang tradisional emang buyer besar), terus disusul sama negara-negara sultan di Timur Tengah kayak Qatar dan Arab Saudi. Pokoknya, kalau ada konflik, para seller senjata langsung senang banget karena cash flow mereka auto kenceng!

Konflik di Eropa itu beneran game changer buat bisnis senjata dunia, guys, terutama buat negara-negara di sana! Dampak yang paling ngena itu impor senjata negara-negara Eropa langsung double, bahkan anggota NATO di Eropa itu ngegas impor mereka sampai lebih dari seratus persen antara periode 2015–2019 dan 2020–2024. Kenapa? Karena mereka udah parno banget ama ancaman dari Rusia, jadi mereka ngebut buat modernisasi dan nambah amunisi!
Dan coba tebak siapa yang paling cuan? Ya jelas Amerika Serikat lagi! Mereka itu supplier utama yang ngirim hampir dua pertiga senjata buat negara-negara NATO di Eropa. Ini artinya miliaran Dolar langsung auto masuk ke kantong perusahaan senjata AS.
Meskipun senjata yang dikirim ke Ukraina duluan itu awalnya cuma stok bantuan militer, tapi karena stok gudang negara-negara Barat udah kempes gara-gara dikirim ke sana, sekarang mereka lagi booking besar-besaran buat ngisi ulang gudang mereka. Ini jaminan proyek yang super cuan dan jangka panjang buat industri senjata global! Ngeri, kan?

Bisnis jual-beli senjata itu ibarat pedang bermata dua buat kestabilan regional, karena seringnya malah jadi kompor yang bikin konflik makin panas, bukannya jadi pemadam kebakaran.
Senjata yang gampang banget didapat, apalagi di wilayah yang udah rawan clash kayak Timur Tengah atau Eropa Timur, itu langsung nge-gas eskalasi konflik. Intinya, kalau negara-negara superpower ngirim senjata canggih ke pihak-pihak yang lagi musuhan di satu kawasan, itu auto memicu perlombaan senjata, dimana semua negara berasa wajib beli senjata biar nggak kalah gahar, dan ini jelas nambah risiko perang!
Selain bikin rusuh, duitnya itu lho! Dana yang seabrek-abrek buat belanja militer, terutama di negara yang lagi susah, itu ngerampas sumber daya buat bangun sekolah, kesehatan, dan ngurangin kemiskinan. Jadi, stabilitas sosial-ekonomi jangka panjang malah ambyar.
Yang paling ngeri lagi, senjata-senjata yang awalnya dijual resmi seringkali bocor dan nyasar ke pasar gelap ('black market'), dimana mereka jatuh ke tangan grup-grup teroris atau mafia kejahatan terorganisir. Ini bahaya banget buat keamanan sipil dan kedaulatan negara. Intinya, walau jual senjata dibilang buat menjaga keamanan, kenyataannya perdagangan senjata yang nggak terkontrol itu auto meningkatkan ketidakstabilan, mengintensifkan pelanggaran HAM, dan memperparah krisis kemanusiaan.

Guys, loe kudu ngarti kalau cakupan dari Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) itu luas banget, mencakup delapan kategori senjata konvensional yang udah jadi patokan PBB! Kategori-kategori ini nggak cuma senjata kecil-kecil, tapi juga semua sistem tempur utama kayak tank, kendaraan lapis baja, sistem artileri gede, pesawat tempur, helikopter serang, kapal perang, dan misil beserta peluncurnya. Arms Trade Treaty (ATT) itu sendiri merupakan instrumen utama yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) buat ngatasin perdagangan senjata konvensional yang tidak diatur. Perjanjian ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada April 2013 dan mulai berlaku pada Desember 2014.
Nah, yang paling penting itu kategori terakhir, yaitu Senjata Ringan dan Senjata Kecil (SALW), karena senjata ini gampang banget beredar dan perannya paling gede dalam bikin rusuh di regional dan ngelanggar HAM, meskipun ukurannya mini.
Secara spesifik, Senjata Kecil (Small Arms) itu biasanya ngerujuk ke senjata yang bisa dibawa dan dipakai sendiri oleh satu orang, contohnya senapan serbu, pistol, dan senapan mesin ringan. Sedangkan Senjata Ringan (Light Weapons) itu didesain buat dipakai oleh tim (dua atau tiga orang) atau buat nembakin proyektil peledak, kayak senapan mesin berat, peluncur granat portabel, atau sistem misil yang bisa dibawa manusia. Kerennya, jangkauan perjanjian ini nggak berhenti di senjatanya doang, lho, tapi juga mewajibkan negara buat mengontrol ekspor amunisi dan suku cadang yang dibuat khusus buat delapan kategori senjata konvensional tadi!

Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) itu jadi hero banget dalam upaya dunia buat ngerem peredaran senjata ilegal dan mengurangi krisis kemanusiaan dengan cara memasang standar kontrol hukum dan etika yang ketat di tiap proses transfer senjata konvensional. Cara kerja utamanya adalah dengan mewajibkan semua negara yang ikut perjanjian buat melakukan penilaian risiko yang super ketat sebelum mereka ngasih lampu hijau buat ekspor senjata. Ini yang keren, penilaiannya bukan cuma soal bisnis; negara itu wajib nolak ekspor kalau ada risiko yang kebangeten (overriding risk) senjata itu bakal dipakai buat melakukan atau memfasilitasi pelanggaran berat hukum kemanusiaan internasional, pelanggaran serius HAM, aksi terorisme, atau kekerasan berbasis gender. Nggak sampai di situ, ATT juga langsung gas mengatasi perdagangan ilegal dan penderitaan kemanusiaan dengan mewajibkan negara punya sistem kontrol nasional yang komprehensif dan aktif mengambil langkah buat mencegah pengalihan (diversion) senjata dari pasar legal ke pihak-pihak yang gak berhak, karena pengalihan inilah yang sering banget jadi bahan bakar buat kelompok bersenjata dan area konflik. Dengan mengangkat transparansi lewat pelaporan tahunan wajib soal ekspor-impor dan mendorong kerjasama internasional, ATT berharap bisa meningkatkan akuntabilitas dan memastikan senjata-senjata itu gak nyasar ke tangan para pelaku kekerasan yang bakal memanfaatkannya buat bikin kekacauan dan bikin orang-orang harus mengungsi.

Kalau kita lihat dari sudut pandang Keadilan Sosial (Social Justice), Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) itu ibarat tools moral dan hukum yang penting banget buat melawan ketidakadilan global yang sistemik dan terus-terusan terjadi gara-gara peredaran senjata yang nggak diatur. Ketidakadilan utama yang disasar adalah penderitaan yang nggak seimbang yang menimpa warga sipil, terutama kelompok paling rentan dan termarjinalkan—kayak perempuan, anak-anak, dan orang-orang di zona konflik—yang paling kena getah kekerasan bersenjata yang difasilitasi oleh transfer senjata yang ceroboh. ATT berusaha meluruskan ini dengan menanamkan isu kemanusiaan dan HAM sebagai kriteria hukum yang wajib dipatuhi dalam ekspor senjata, yang intinya mendahulukan perlindungan manusia daripada sekadar untung-rugi komersial atau kepentingan politik. Poin krusialnya adalah, Perjanjian ini secara eksplisit memasukkan kekerasan berbasis gender (KGB) sebagai faktor risiko yang harus dinilai, mengakui kalau transfer senjata itu sering bikin parah ketidakseimbangan kekuasaan yang ada dan meningkatkan ancaman spesifik buat perempuan dan anak perempuan. Jadi, pada dasarnya, Perjanjian ini adalah upaya untuk mencapai keadilan, dengan tujuan mengurangi konflik bersenjata, membatasi penderitaan manusia, dan menjunjung tinggi hak mendasar semua orang buat hidup aman, bebas dari ancaman senjata yang nyasar ke tangan para pelanggar hukum internasional.

Dari sudut pandang keadilan sosial secara umum, perdagangan senjata skala besar yang terus-terusan terjadi ke wilayah konflik—terutama pasokan senjata dari negara-negara eksportir besar kayak Amerika Serikat ke Israel—pada dasarnya dilihat sebagai mesin pendorong ketidaksetaraan dan ketidakadilan sistemik, bukan cuma alat politik antarnegara biasa.
Kritik ini mengatakan bahwa bisnis ini sama sekali nggak netral secara etika, karena secara aktif ikut nyumbang pada pelanggengan kekerasan dan krisis kemanusiaan yang diakibatkannya, yang ujung-ujungnya memperparah penderitaan dan marginalisasi populasi yang paling rentan, yaitu warga sipil Palestina. Inti ketidakadilan terletak pada fakta bahwa negara-negara eksportir secara efektif mendahulukan kepentingan ekonomi dan geopolitik—yang seringkali ditentukan oleh keuntungan produsen senjata dan kompleks industri militer—di atas kewajiban moral dan hukum mereka buat menegakkan hak asasi manusia dan mencegah kejahatan massal.
Lebih jauh lagi, para pegiat keadilan sosial berargumen bahwa perdagangan ini merusak konsep supremasi hukum dan akuntabilitas, menciptakan rasa kebal hukum yang mendalam buat negara-negara yang diduga melakukan pelanggaran serius hukum humaniter internasional; dengan tetap memasok sarana perang meskipun ada bukti yang melimpah soal korban sipil dan pelanggaran HAM, negara eksportir berisiko dianggap terlibat, atau setidaknya memfasilitasi, kejahatan internasional tersebut. Sistem ini juga dikritik karena dimensi ras dan gender, karena penggunaan senjata berteknologi tinggi, yang sebagian besar dipasok oleh negara-negara Barat, secara nggak proporsional berdampak pada perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas di antara populasi yang diserang, menyebabkan pengungsian besar-besaran, hilangnya mata pencaharian, dan hancurnya infrastruktur sipil penting kayak rumah sakit dan sekolah.
Oleh karenanya, dari sudut pandang ini, seruan buat embargo senjata yang komprehensif dan segera terhadap semua pihak yang berkonflik bukan cuma tuntutan politik, tapi keharusan etika yang diperlukan buat membongkar sistem yang mempertahankan kekerasan kolonial, mengambil untung dari penderitaan manusia, dan pada akhirnya memastikan bahwa 'perdamaian' politik apa pun hanya akan kosong dan sementara.

Pesan paling penting yang wajib banget diketahui publik tentang perdagangan senjata global adalah: Inilah sistem yang didorong oleh keuntungan, yang secara sistemik melanggengkan konflik, penderitaan manusia, dan ketidakstabilan global, bukan cuma alat netral buat keamanan.
Intinya, arus senjata konvensional yang masif, nggak teratur, dan seringkali korup—mulai dari jet tempur dan rudal sampai senjata ringan—itu cuma memperparah dan memperpanjang kekerasan di seluruh dunia. Ketika negara-negara superpower, atau perusahaan pertahanan mereka, terus-terusan ngirim senjata ke zona konflik, mereka itu sama aja berinvestasi pada kelanjutan perang. Model ekonomi yang nyeleneh ini memastikan bahwa keuntungan finansial jangka pendek produsen senjata diutamakan di atas keamanan manusia jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan negara penerima.
Selain itu, publik hendaklah sadar bahwa biayanya ditanggung secara nggak proporsional oleh pihak yang paling rentan: perdagangan senjata ini berkontribusi langsung pada pelanggaran HAM besar-besaran, termasuk kejahatan perang dan pengungsian jutaan warga sipil, dimana perempuan dan anak-anak seringkali ngalamin konsekuensi yang paling parah. Ini juga berfungsi sebagai beban ekonomi yang gede banget, mengalihkan sumber daya nasional yang banyak dari sektor pembangunan manusia yang penting kayak kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan.
Singkatnya, pesannya adalah tentang kontradiksi moral dan etika yang mendalam: sistem yang menghasilkan alat pemusnah massal tetep sebagian besar mengatur dirinya sendiri dan sangat menguntungkan. Sampai warga menuntut transparansi penuh, akuntabilitas ketat, dan konsistensi etika dari pemerintah dan perusahaan mereka, bisnis perang akan terus-terusan merusak kemungkinan perdamaian abadi dan keadilan sosial di seluruh dunia.

[Bagian 6]
[Bagian 4]

Rabu, 29 Oktober 2025

Adilkah Keadilan Sosial Itu? (4)

Beberapa proyek infrastruktur penting yang dimulai di era Jokowi sampai sekarang mangkrak, belum kelar atau rampung tapi dipandang merugikan publik, bikin banyak orang debat soal dampak sosial dan moralnya. Kalau kita pakai lima prinsip David Miller—kebutuhan, prestasi, kesetaraan, kebebasan, dan komunitas—kita bisa lihat lebih jelas dampaknya terhadap keadilan sosial.
Pertama, prinsip kebutuhan bilang bahwa proyek publik seharusnya fokus ke kebutuhan paling mendesak rakyat. Contohnya, jalan desa yang belum kelar, bendungan atau rumah sakit di daerah terpencil. Kalau mangkrak, yang paling miskin dan rentan justru nggak kebagian manfaatnya, padahal seharusnya mereka prioritas.
Kedua, prinsip prestasi menekankan tanggungjawab dan akuntabilitas. Mereka yang merencanakan, dananya dicairkan, sampai mengeksekusi proyek wajib memastikan proyek selesai. Proyek mangkrak ini nunjukin kegagalan prinsip ini—birokrasi lambat, intervensi politik, atau salah manajemen bikin proyek nggak jalan, bikin rakyat kehilangan kepercayaan, dan usaha yang seharusnya dihargai jadi sia-sia.
Ketiga, prinsip kesetaraan kelihatan dari distribusi manfaat infrastruktur. Banyak proyek mangkrak ada di daerah terpencil, sementara kota besar udah nikmatin infrastruktur yang selesai. Ini bikin ketimpangan makin parah, karena akses ke fasilitas publik nggak merata.
Keempat, prinsip kebebasan ngingetin kita bahwa keadilan sosial harus bikin warga lebih berdaya, bukan stuck atau frustrasi. Proyek mangkrak kayak bandara, jalan tol, atau kawasan industri yang nggak selesai membatasi mobilitas, peluang kerja, dan bisnis rakyat. Artinya, kebebasan orang buat ningkatin hidupnya sendiri ikut terhambat.
Terakhir, prinsip komunitas menekankan hubungan moral antara negara dan rakyat. Proyek yang mangkrak bikin kepercayaan warga menurun, solidaritas sosial melemah, dan rasa tanggung jawab bareng berkurang. Supaya keadilan sosial bener-bener terasa, warga harus ngerasa negara bertindak adil dan sumber daya publik dikelola dengan etis.
Kalau dianalisis lewat prinsip Miller, proyek mangkrak itu bukan sekadar masalah teknis, tapi tantangan multi-dimensi terhadap keadilan sosial. Mengatasinya butuh birokrasi yang efisien sekaligus akuntabilitas moral dan sipil—supaya sumber daya publik dibagi sesuai kebutuhan, dieksekusi dengan benar, didistribusi adil, bikin rakyat berdaya, dan ngerawat rasa kebersamaan di masyarakat.

Sebuah proyek pemerintah yang benar-benar buat kepentingan publik itu cuma bisa dibilang “bersih” dari korupsi dan kepentingan pribadi kalau semua prosesnya berdiri di atas fondasi transparansi, akuntabilitas, dan keputusan yang netral tanpa titipan. Dari tahap perencanaan, tender, sampai pelaksanaan dan evaluasi, semuanya harus bisa diaudit publik—tercatat jelas duitnya ke mana, siapa yang dapat kontraknya, dan apa hasil yang dijanjikan. Nggak boleh ada deal di belakang meja, proyek titipan, atau tender yang dimanipulasi demi orang dalam. Integritas jangan cuma jadi slogan di spanduk, tapi sistem nyata yang dijaga lembaga pengawas independen dengan gigi dan wewenang penuh buat nyidik tanpa takut diintervensi. Kalau pejabat wajib lapor konflik kepentingan, warga bisa ngintip data pengeluaran secara real-time, dan media atau LSM bebas nanya tanpa takut dibungkam, baru deh proyek itu beneran milik rakyat—bukan milik segelintir orang yang doyan nyari untung di balik baju jabatan..

Kita semua disuruh takjub sama klaim bahwa Whoosh itu “Karya Terbaik Sepanjang Masa,” padahal cuma karena nama penulisnya terkenal terus tulisan di buku itu otomatis jadi emas murni. Kritikus kayaknya diharapkan tunduk sambil bilang, “Wah, genius banget!” padahal kenyataannya jelas: tulisannya kadang nyasar kayak turis nyasar di mall, beberapa bab malah kerasa cuma diisi biar tebal aja sambil ngopi. Tapi, mesin marketing jalan terus, bikin publik yakin beli buku ini kayak beli tiket pencerahan, padahal sebenernya cuma beli alas tidur mahal dikit aja. 

Mari kita telaah penyimpangan yang dilaporkan dan fakta-fakta bermasalah tentang proyek kereta cepat Whoosh Jakarta–Bandung yang menurut para kritikus mengarah pada penggelembungan biaya, pilihan pengadaan yang buruk, dan kegagalan tatakelola—serta menimbulkan tanggungjawab politik di tingkat tertinggi. Kita berpegang pada apa yang telah didokumentasikan oleh laporan dan pernyataan publik yang kredibel (dugaan, investigasi, dan angka resmi) dan menandai hal-hal yang masih diperdebatkan atau sedang diselidiki.
Pertama, proyek Whoosh ini sempet “dideketin” ama Jepang yang penawarannya lebih ramah di dompet, lalu tiba-tiba berbelok ke China—dan yang bikin orang garuk-garuk kepala, perubahan ini kelihatan enggak mulus dan ada jejak politisnya. Beberapa tokoh publik bahkan nunjukin kalau keputusan mengganti mitra itu berujung ke meja istana, makanya publik nuntut jawaban.
Kedua, angkanya melonjak. Proyek yang awalnya diperkirakan beberapa miliar dollar, naik jadi sekitar US$7,2–7,3 miliar; hitungan per-kilometernya juga lebih mahal dari proyek serupa. Nah, kalau biaya naik gitu besar, wajar ada tuduhan mark-up atau perubahan scope yang perlu dijelasin.
Ketiga, cara pembiayaan dan kontraknya dibuat pake model joint venture dan pinjaman yang akhirnya nambah risiko ke BUMN dan publik—jadi beban utang dan bunga bisa baliknya ke kantong rakyat kalau operatornya boncos. Itu bikin orang bilang “kok risikonya kita yang nanggung?” bukan pihak swasta asingnya.
Keempat, dugaan mark-up pun terbuka dan sekarang KPK sampai mulai ngorek. Bedanya: tuduhan itu belum vonis, tapi masuk ranah penyelidikan—artinya bukan sekadar gosip warung kopi lagi.
Kelima, klausul kontrak dan syarat pinjaman yang ditulis di beberapa laporan tampak bikin negara lebih susah gerak kalau masalah muncul—beberapa pejabat hukum publik udah ngasih peringatan soal ini.
Keenam, jalannya kereta juga enggak seramai janji feasibility study—penumpang jauh di bawah target, rugi operasional juga ada. Kalau manfaat sosial-ekonominya kecil sementara biaya besar, warga layak marah karena yang kena ya beban publik.
Jadi intinya: akumulasi fakta-fakta itu (pengalihan mitra/pendanaan, lonjakan biaya, struktur kontrak yang bikin negara nanggung risiko, tuduhan mark-up dan penyelidikan, plus performa yang mengecewakan) menjadi dasar kuat buat nuntut pertanggungjawaban politik level atas—termasuk menjelaskan peran Presiden Jokowi dalam keputusan-keputusan itu. 

Kalau kita lihat kasus Whoosh lewat kacamata keadilan sosial, kelihatan banget konfliknya: sumber daya negara dan beban rakyat enggak dibagi adil. Keadilan sosial itu dasarnya ngomong: duit, kesempatan, dan risiko negara harus jelas dibagi, dan warga dapat manfaat yang sebanding sama yang mereka bayar. Nah, di Whoosh, kritik bilang biaya naik gila-gilaan, tendernya nggak transparan, dan risiko finansial dipindahin ke negara—ini jelas nabrak prinsip keadilan distributif. Rakyat biasa bayar mahal tapi manfaatnya minim, sementara segelintir orang di lingkaran politik dan kontraktor bisa cuan gede lewat mark-up atau kontrak.
Selain itu, fairness prosedural juga bermasalah. Keputusan yang dibuat tanpa tender kompetitif yang jelas, evaluasi terbuka, atau kontrol publik, bikin warga nggak bisa ikut ngerasain atau kontrol proyek yang jelas-jelas bakal ngaruh ke infrastruktur dan ekonomi mereka. Penumpang kereta sedikit dan manfaat sosial rendah makin memperkuat kesan: biayanya tinggi, manfaatnya minim, dan beban ditimpain ke orang yang paling nggak kuat nanggung—ini jelas tanda ketidakadilan sosial.
Dari sisi ini, kasus Whoosh bisa dijadiin peringatan: proyek infrastruktur kalau ngawur bisa bikin ketimpangan tambah parah dan bikin warga nggak percaya pemerintah. Pertanggungjawaban pemimpin, terutama yang nyetujui dan ngawasin proyek, jadi masalah keadilan sosial juga, karena keadilan bukan cuma soal hukum atau kebijakan—tapi soal memastikan keputusan publik benar-benar adil dan buat kebaikan bersama, bukan cuma nguntungin segelintir orang. Kasus ini juga menunjukkan bahwa tuntutan agar "Jokowi segera diadili" masih sangat relevan. 
Kalau dipandang dari perspektif keadilan sosial, kontroversi soal dokumen pendidikan Wakil Presiden Gibran—apalagi dugaan bahwa ia mungkin enggak sampai setara SMA—bikin banyak pertanyaan serius soal fairness, transparansi, dan merit dalam kepemimpinan politik. Keadilan sosial itu nggak cuma soal uang atau materi, tapi juga soal integritas prosedur, standar etika, dan aturan yang berlaku sama bagi semua orang. Kalau pejabat tinggi keliatan bisa “lompati” aturan atau sembunyiin kualifikasi, kepercayaan rakyat sama institusi runtuh, dan prinsip bahwa pemimpin harus kompeten dan sah secara moral jadi goyah.
Kalau pakai prinsip Miller, kesetaraan paling terasa. Rakyat berharap syarat agar jabatan politik berlaku sama ke semua kandidat. Kalau pendidikan Gibran nggak jelas tapi tetap pegang posisi tinggi, ini bikin ketimpangan: rakyat biasa atau calon pemimpin lain harus patuh aturan yang mungkin dilewatin elit. Rasanya jelas enggak adil.
Prinsip prestasi atau merit juga kena imbas. Posisi pimpinan itu punya otoritas moral yang seharusnya berdasarkan kualifikasi, usaha, dan tanggung jawab. Kalau kredensial dipertanyakan, dasar etis memberi kekuasaan melemah, kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat jadi renggang. Meritokrasi terganggu, kepercayaan publik ikut anjlok.
Prinsip kebutuhan juga nyambung secara nggak langsung. Pemimpin yang nggak cukup kualifikasi bisa kurang efektif bikin kebijakan yang bener-bener memenuhi kebutuhan masyarakat, apalagi yang paling rentan. Akhirnya, hasil keadilan sosial pun ikut terganggu.
Prinsip solidaritas dan komunitas juga kena dampak. Kalau standar di level atas nggak jelas atau nggak adil, kepercayaan masyarakat luntur. Rakyat bisa ngerasa tersisih atau skeptis soal kemampuan mereka ikut sistem politik yang adil, solidaritas sosial melemah, dan rasa kebersamaan dalam masyarakat jadi berkurang.
Dari sisi keadilan sosial, isu pendidikan Gibran bukan cuma urusan pribadi atau prosedur, tapi masalah etika publik. Kasus ini nunjukin betapa pentingnya transparansi, penunjukan berbasis prestasi, dan aturan yang berlaku sama bagi semua, supaya keadilan sosial dan legitimasi demokrasi tetap terjaga.

Argumen bahwa Wakil Presiden Gibran harus dimakzulkan atau mengundurkan diri karena keraguan seputar kualifikasi pendidikannya memang beralasan secara moral, terutama dalam hal transparansi, kesetaraan, dan meritokrasi. Argumen ini hendaklah diselaraskan dengan kerangka hukum dan mekanisme politik Indonesia. Para advokat dapat menggunakan tekanan publik, pengawasan, dan seruan reformasi kelembagaan untuk memperkuat pentingnya kepemimpinan yang etis dan berkompeten.

Dalam karya penting Thomas Risse, Transparency, Accountability, and Global Governance (2008, Global Governance Vol. 14, No. 1 (January–March 2008), pp. 73-94, published by: Brill), ia membahas bagaimana transparansi berfungsi sebagai dasar akuntabilitas dalam tatakelola global. Risse mengidentifikasi tiga kekuatan utama—tekanan pasar, wacana eksternal, dan norma internal—yang mempengaruhi perilaku aktor global melalui transparansi. Kekuatan-kekuatan ini dapat mengatur tindakan dengan membuatnya terlihat dan dapat diawasi, sehingga memegang aktor bertanggung jawab kepada publik dan pemangku kepentingan lainnya. 
Menerapkan kerangka kerja Risse pada kontroversi seputar dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi dan dokumen pendidikan Wakil Presiden Gibran yang tidak jelas, mengungkapkan kekhawatiran signifikan mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan Indonesia. Kurangnya kejelasan dan transparansi tentang kualifikasi pendidikan pejabat tinggi ini merusak kepercayaan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi mereka serta kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokratis.
Analisis Risse menekankan pentingnya transparansi sebagai mekanisme akuntabilitas. Ketika kualifikasi pemimpin disembunyikan atau disalahartikan, hal itu tak hanya melanggar hak publik untuk mengetahui tetapi juga merusak norma-norma dasar yang mendukung pemerintahan demokratis. Dalam konteks Indonesia, masalah seperti ini menyoroti kebutuhan akan langkah-langkah transparansi yang kuat untuk memastikan bahwa pemimpin politik bertanggungjawab dan bahwa otoritas mereka berasal dari kredensial yang sah dan dapat diverifikasi.

Dalam aksi yang bisa dibilang teatrikal banget, Jokowi kabarnya nunjukin ijazahnya ke kerumunan pendukung, yang langsung sorak-sorai “ASLI LI!” seolah sekadar nunjukin selembar kertas bisa langsung bikin semua keraguan ilang seketika. Bayangin aja, di semesta lain, buku-buku sekolah mungkin udah direvisi: bukti kompetensi sekarang bukan lagi ujian atau pengalaman, tapi tepuk tangan spontan dari fans. Sementara itu, rakyat yang lain cuma bisa melotot, nanya-nanya, “Verifikasinya ini gimana sih, kudu dicek serius atau cukup teriak-teriak doang?”

Kalau dibandingin kasus ijazah Jokowi yang diduga palsu sama dokumen pendidikan Gibran yang gak jelas, keduanya bikin masalah serius dari perspektif keadilan sosial, tapi cara dampaknya agak beda-beda. Keduanya sama-sama nyentuh isu transparansi, akuntabilitas, dan fairness—hal-hal penting buat tatakelola etis negara.
Prinsip kesetaraan langsung kena di dua kasus ini. Rakyat berharap syarat untuk jabatan tinggi berlaku sama ke semua orang. Kalau aturan ini keliatannya dilewatin oleh pejabat tinggi, muncul ketimpangan moral dan prosedural, bikin kepercayaan rakyat luntur. Bedanya, kasus Jokowi soal dugaan ijazah palsu, sedangkan Gibran lebih ke dokumen pendidikan nggak lengkap atau nggak jelas. Tapi intinya sama: rakyat biasa harus lebih ketat, sementara elit bisa lolos.
Prinsip prestasi atau merit juga terganggu. Legitimitas pemimpin seyogyanya berdasarkan kompetensi dan integritas. Kalau ada keraguan soal kualifikasi pendidikan, dasar etis memimpin jadi goyah. Rakyat bisa ngerasa kekuasaan diberikan karena politik atau privilege, bukan karena prestasi, dan kontrak sosial antara negara dan warga melemah.
Prinsip kebutuhan nyambung secara nggak langsung. Pemimpin yang kompeten berpengaruh ke kemampuan negara buat bagi-bagi sumber daya secara adil. Kalau kualifikasi pemimpin dipertanyakan, kebijakan buat pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur bisa terganggu, yang paling kena dampak ya masyarakat rentan.
Prinsip solidaritas dan komunitas juga kena imbas. Kedua kontroversi ini bisa bikin kepercayaan publik sama pemerintah luntur. Transparansi di level atas penting supaya rakyat ngerasa bagian dari kehidupan etis dan sipil bangsa. Kalau kredensial pemimpin dipertanyakan atau disembunyiin, rasa percaya kolektif ke institusi ikut menurun.
Walau kasus Jokowi dan Gibran beda secara spesifik—dugaan palsu vs dokumen nggak lengkap—keduanya sama-sama nge-challenge sisi etis dan prosedural keadilan sosial. Kasus ini nunjukin pentingnya transparansi, penunjukan berbasis prestasi, dan aturan yang berlaku sama buat semua, supaya sistem politik adil dan masyarakat tetap kompak.

Kontroversi soal dugaan ijazah palsu Jokowi dan dokumen pendidikan Gibran yang nggak jelas punya dampak berlapis buat keadilan sosial di Indonesia. Dalam jangka pendek, kasus ini paling terasa di persepsi dan kepercayaan publik. Rakyat bisa ngerasa pemimpin nggak kena standar yang sama kayak orang biasa, bikin prinsip kesetaraan goyah dan bikin rakyat skeptis sama pemerintah. Ini bisa bikin partisipasi warga turun dan kohesi sosial melemah.
Dalam jangka menengah, kurangnya transparansi dan akuntabilitas bisa ngefek ke norma politik dan praktik pemerintahan. Kalau dibiarkan, kasus ini bisa jadi preseden: elit politik merasa bisa lolos dari pengawasan, standar meritokrasi jeblok. Akhirnya, kesempatan dan sumber daya bisa dibagi berdasarkan privilege, bukan kompetensi atau kebutuhan rakyat.
Dalam jangka panjang, keraguan terus-menerus soal integritas pemimpin bisa bikin legitimasi demokrasi dan kepercayaan publik runtuh. Keadilan sosial nggak cuma soal pembagian sumber daya, tapi juga soal pemerintahan yang etis. Kalau rakyat terus merasa pemimpin ngeles atau nutup-nutupin kualifikasi, kemampuan negara buat ngejalanin kebijakan adil terganggu. Lama-lama, kontrak sosial melemah, aksi kolektif buat kebaikan bareng susah jalan, dan ketidakadilan sistemik makin mengakar.
Singkatnya, dua kasus ini serius banget dampaknya buat keadilan sosial di Indonesia. Keduanya nunjukin pentingnya transparansi, penunjukan berbasis prestasi, dan aturan yang berlaku sama untuk semua, supaya kepercayaan publik, kesetaraan, dan pemerintahan yang etis tetap terjaga.

[Bagian 5]
[Bagian 3]

Selasa, 28 Oktober 2025

Hari Sumpah Pemuda

Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Indonesia bukan sekadar mengenang sejarah, tapi juga jadi pengingat tentang semangat persatuan yang terus hidup di kalangan anak muda. Setiap 28 Oktober, masyarakat Indonesia mengingat momen penting saat para pemuda dari berbagai daerah menyatakan tekad untuk satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.

Sumpah ini, yang diucapkan pada 1928, bukan sekadar pernyataan politik tapi juga komitmen moral dan budaya. Hari itu menunjukkan tekad para pemuda melampaui perbedaan dan bekerja bersama demi kebaikan bangsa. Keberanian dan visi mereka tetap menginspirasi generasi sekarang.

Jika kita lihat konteks zamannya, Indonesia di era itu masih terfragmentasi di bawah kolonialisme, identitas daerah sering lebih dominan daripada identitas nasional. Keputusan para pemuda untuk bersatu menandakan pergeseran besar menuju kesadaran berbangsa.

Prinsip “satu tanah air” menekankan pentingnya kesatuan seluruh wilayah Indonesia. Kesejahteraan dan keamanan satu daerah sangat terkait dengan daerah lain. Hari Sumpah Pemuda mengingatkan kita bahwa persatuan bukan sekadar ide romantis, tapi kebutuhan nyata bagi pembangunan berkelanjutan.

Prinsip kedua, “satu bangsa,” menekankan pentingnya identitas bersama. Di negara dengan ratusan etnis, menjaga identitas nasional butuh dialog, toleransi, dan kemampuan menerima perbedaan. Tekad para pemuda 1928 sudah menunjukkan pemahaman awal tentang keseimbangan ini.

Bahasa, yang menjadi prinsip ketiga, adalah alat kuat untuk menyatukan. Bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, tapi simbol solidaritas, benang pengikat berbagai budaya dan tradisi.

Hari Sumpah Pemuda juga mengingatkan kita peran generasi muda dalam menentukan arah bangsa. Mereka bukan sekadar penonton, tapi peserta aktif yang visi dan tindakannya bisa membentuk masa depan Indonesia.

Anak muda zaman sekarang bisa belajar dari momen ini. Di era globalisasi dan digital, tantangan persatuan berbeda tapi sama pentingnya. Media sosial bisa menyatukan ide tapi juga memicu perpecahan jika tidak digunakan dengan bijak.

Perlu ada rasa tanggungjawab bersamaan dengan kebebasan. Seperti pemuda 1928 yang berikrar setia pada Indonesia bersatu, anak muda hari ini hendaknya berkomitmen pada keterlibatan konstruktif dan akuntabilitas sosial.

Sejarah menunjukkan bahwa persatuan tidak muncul begitu saja. Persatuan dipupuk lewat pendidikan, dialog, dan pengalaman bersama. Hari Sumpah Pemuda mengajak kita ikut membangun bangsa dengan melihat keberagaman sebagai kekuatan, bukan penghalang.

Keberanian pemuda 1928 juga mengandung dimensi etika: berdiri demi persatuan butuh keberanian, apalagi menghadapi tantangan atau oposisi. Generasi sekarang bisa mencontoh keberanian ini dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan integritas bangsa.

Sumpah ini juga simbol harapan. Di tengah tekanan kolonial, sekelompok pemuda visioner membayangkan masa depan bebas dari perpecahan dan penindasan. Harapan itu menjadi cetak biru untuk bangsa merdeka.

Memperingati hari ini bukan sekadar upacara; ini ajakan introspeksi tentang nilai-nilai yang menjadi dasar identitas bangsa. Kita diajak menilai bagaimana tindakan, kata-kata, dan sikap kita mendukung atau melemahkan solidaritas bersama.

Hari Sumpah Pemuda juga mengajak menjembatani kesenjangan generasi. Generasi tua punya pengalaman perjuangan, generasi muda punya energi, kreativitas, dan inovasi. Menggabungkan kekuatan ini, Indonesia bisa membangun masa depan yang tangguh.

Sumpah ini, juga punya makna edukatif. Sekolah dan institusi memanfaatkan hari ini untuk mengajarkan tanggungjawab warga, kesadaran budaya, dan kepemimpinan yang etis.

Perjalanan Indonesia sejak 1928 menunjukkan bahwa persatuan itu proses berkelanjutan. Masih ada kesenjangan ekonomi, ketegangan regional, dan tantangan sosial, yang mengingatkan kita bahwa cita-cita Sumpah Pemuda perlu terus dijaga.

Hari ini juga mengajak refleksi hubungan antara identitas lokal dan nasional. Kebanggaan daerah itu penting, tapi jangan sampai menutupi rasa kebangsaan. Menyeimbangkan keduanya tetap jadi tantangan utama masyarakat demokratis dan pluralistik Indonesia.

Di era globalisasi, Hari Sumpah Pemuda juga mengajak menilik posisi Indonesia di dunia. Negara yang bersatu internal lebih mampu menegaskan kepentingannya secara internasional dan berkontribusi dalam dialog global dengan percaya diri.

Sumpah ini menekankan kolaborasi. Seperti pemuda 1928 yang bersatu dari latar belakang berbeda, masyarakat modern juga mendapat manfaat dari kerja sama lintas sektor, baik pendidikan, bisnis, maupun pemerintahan.

Refleksi Hari Sumpah Pemuda juga mendorong pertumbuhan pribadi. Setiap individu diingatkan agar mengevaluasi bagaimana nilai-nilai, kemampuan, dan pilihan mereka berkontribusi pada kesejahteraan bangsa. Sumpah ini bukan hanya tonggak sejarah tapi ajakan hidup yang terus relevan.

Hari Sumpah Pemuda juga mengingatkan kita bahwa persatuan hendaklah terus diperbarui. Seperti halnya idealisme yang bisa memudar, komitmen juga bisa melemah kalau tidak terus dirawat. Setiap generasi perlu menemukan lagi makna persatuan sesuai zamannya sendiri.

Anak muda masa kini hidup di dunia yang jauh berbeda dari 1928. Tapi inti perjuangannya tetap sama—menciptakan rasa memiliki dan tujuan di tengah perubahan besar yang terus terjadi di negeri ini.

Era digital membuka peluang sekaligus risiko. Ia membuat anak muda bisa bersuara dan menggerakkan perubahan, tapi juga bisa melahirkan misinformasi, apatisme, dan perpecahan. Semangat Sumpah Pemuda menantang mereka agar bijak memanfaatkan teknologi ini.

Dialog budaya punya peran penting dalam menjaga semangat 1928. Ketika orang dari berbagai daerah saling berbagi ide dan tradisi, mereka memperkuat fondasi identitas bersama yang melampaui batas wilayah.

Keadilan ekonomi juga penting. Persatuan akan rapuh jika jurang antara yang beruntung dan yang terpinggirkan terlalu lebar. Sumpah Pemuda mengingatkan bahwa keadilan sosial dan persatuan itu saling terkait.

Kedewasaan politik dibutuhkan guna menjaga warisan 1928. Demokrasi akan kuat jika warganya paham bahwa partisipasi, integritas, dan kompromi merupakan fondasi negara yang sehat.

Pendidikan etika kewarganegaraan hendaklah tetap menjadi prioritas utama. Ketika anak muda belajar menyeimbangkan kebebasan dan tanggungjawab, mereka membawa semangat Sumpah Pemuda ke dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran lingkungan juga bagian dari tanggungjawab nasional. Melindungi keindahan dan sumber daya alam Nusantara berarti menjaga tanah air yang dijanjikan dalam ikrar pertama—satu tanah air, Indonesia.

Sumpah ini juga mengajak kita menghormati sejarah. Melupakan sejarah bukan cuma kelalaian, tapi risiko mengulang kesalahan masa lalu. Mengingat perjuangan generasi terdahulu menumbuhkan rasa syukur dan rendah hati.

Seni dan sastra jadi jembatan waktu untuk menyampaikan pesan persatuan. Lewat musik, puisi, dan cerita, generasi baru bisa merasakan makna sumpah pemuda dengan cara yang lebih emosional dan dekat.

Keberanian pemuda 1928 merupakan contoh kepemimpinan visioner—kepemimpinan yang lahir dari nilai, bukan kekuasaan. Keikhlasan dan pandangan jauh ke depan mereka jadi tamparan bagi oportunisme politik modern, mengingatkan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan, bukan penguasa.

Harmoni sosial bergantung pada empati. Kemampuan mendengar dan memahami orang lain, terutama yang berbeda pandangan atau latar belakang, merupakan bentuk nyata menjalankan Sumpah Pemuda dalam kehidupan sehari-hari.

Kesetaraan gender juga bagian dari perjalanan panjang ini. Memberdayakan perempuan dan lelaki secara setara membuat proyek kebangsaan menuju persatuan dan kemajuan jadi lebih inklusif dan adil. Setara bukan berarti harus sama, melainkan sesuai porsi masing-masing.

Gerakan anak muda modern bisa menafsirkan ulang sumpah ini dengan cara kreatif—lewat kampanye digital, wirausaha sosial, atau kerja sukarela—membuktikan bahwa semangat 1928 bisa hidup di zaman TikTok dan startup.

Sumpah ini bukan sekadar dokumen persatuan, tapi juga deklarasi tanggung jawab. Ia mengajak warga untuk bertindak etis, berpikir kritis, dan bekerja sama dengan tulus demi masa depan yang pantas diperjuangkan.

Harapan tetap jadi pesan paling abadi. Meski ada perpecahan, ketimpangan, dan gejolak politik, Sumpah Pemuda mengingatkan bahwa optimisme dan ketekunan bisa menaklukkan kesulitan.

Keimanan—baik spiritual maupun sipil—adalah pengikat nilai sumpah. Ia memberi kekuatan bagi anak muda agar percaya bahwa kebaikan bersama bukan hal naif, melainkan kekuatan yang bisa mengubah segalanya.

Sumpah Pemuda adalah cermin sekaligus kompas. Ia mencerminkan siapa kita dan menunjukkan arah kemana bangsa ini hendak melangkah. Di saat ragu, ia mengingatkan bahwa persatuan selalu jadi kekuatan terbesar Indonesia.

Seiring Indonesia terus berkembang, makna Sumpah Pemuda juga harus ikut berevolusi—bukan untuk mengubah esensinya, tapi agar tetap relevan di era inovasi, keberagaman, dan globalisasi.

Semangat 1928 bertahan karena ia berbicara pada sesuatu yang paling manusiawi: keinginan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, untuk berkontribusi, dan membangun bersama. Di sanalah jantung bangsa Indonesia berdenyut.

Sejarah tidak mengingat influencer yang kejar tren; ia mengingat mereka yang memunculkan makna. Pemuda 1928 adalah pencipta makna, bukan pengekor mode.

Mereka tak punya sponsor atau tagar, tapi mereka punya keyakinan. Dan keyakinan, sekali menyala, akan bertahan lebih lama daripada konten viral manapun.

Sumpah Pemuda juga mewujudkan keberanian—keberanian membayangkan masa depan bersatu di tengah penjajahan dan perpecahan. Tindakan membayangkan itu sendiri sudah bentuk perlawanan.

Sumpah Pemuda juga mengingatkan kita bahwa nasionalisme bukanlah kesetiaan buta, tapi cinta yang tercerahkan. Bukan tentang memuja simbol, tapi membela nilai-nilai—kejujuran, kesetaraan, dan kasih sayang. Nilai-nilai inilah yang membuat bangsa bisa tumbuh melampaui slogan dan spanduk seremonial.

Saat pemuda 1928 berkata “Satu Bahasa,” mereka bukan menolak keberagaman—tapi membangun pemahaman. Bahasa Indonesia menjadi jembatan, bukan tembok. Ia menyatukan hati yang lama terpisah oleh jarak dan penjajahan.

Generasi hari ini hendaknya menafsirkan ulang makna persatuan itu. Berbicara satu bahasa bukan berarti berpikir sama; tapi saling memahami. Itu berarti memakai kata-kata untuk menyembuhkan, bukan untuk melukai.

Era digital telah mengubah ucapan menjadi kekuatan. Satu tweet bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan; satu caption bisa mempersatukan, tapi juga memecah. Semangat Sumpah Pemuda harus menjadi pedoman cara kita berkomunikasi—dengan tanggungjawab dan kesadaran.

Para pemuda tahun 1928 percaya pada bangsa yang bahkan belum ada. Mereka mendeklarasikan persatuan sebelum negara itu resmi lahir. Itu adalah iman—bukan pada kepastian, melainkan pada kemungkinan.

Iman seperti itu kini jarang. Terlalu sering, anak muda hanya percaya pada hal-hal yang bisa dimonetisasi. Tapi Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa ada mimpi yang pantas diperjuangkan meski tak bisa dijual.

Gerakan itu bukan tentang ego; tapi tentang menundukkan ego demi sesuatu yang lebih besar. Mereka melepaskan kebanggaan suku untuk memeluk identitas bersama—Indonesia.

Dan penyerahan diri itu tidak membuat mereka kecil—justru menjadikan mereka tak terbatas. Mereka menemukan bahwa diri manusia akan tumbuh ketika ia mengabdi pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tantangan kita hari ini adalah menemukan kembali kerendahan hati suci itu di tengah dunia yang bising dan penuh pamer. Kebesaran sejati tidak dimulai dari personal branding, tapi dari keikhlasan memberi diri.

Sejarah tidak mengingat influencer yang kejar tren; sejarah mengingat mereka yang menciptakan makna. Pemuda 1928 adalah pencipta makna, bukan pengekor arus.

Mereka tak punya sponsor, tak punya tagar, tapi punya keyakinan. Dan keyakinan, sekali menyala, bertahan lebih lama dari konten viral mana pun.

Sumpah Pemuda juga mengandung keberanian—keberanian membayangkan masa depan yang bersatu di tengah penjajahan dan perpecahan. Tindakan membayangkan itu sendiri sudah merupakan bentuk perlawanan.

Keberanian hari ini mungkin bukan melawan senjata, tapi melawan ketidakpedulian, sinisme, dan ketakutan akan perubahan.

Generasi muda hendaklah berani berpikir melampaui sekadar bertahan hidup—untuk membangun, bukan sekadar ada. Karena selama pemuda hanya beradaptasi tanpa berinovasi, bangsa akan berhenti bergerak.

Setiap generasi punya bentuk penjajahannya sendiri. Generasi mereka dijajah secara politik; generasi kita dijajah secara digital—lewat perbudakan perhatian dan penjajahan pikiran.

Agar merdeka, kita hendaklah merebut kembali fokus, tujuan, dan hubungan nyata dengan dunia. Sumpah Pemuda memanggil kita untuk kembali sadar.

Persatuan bukan berarti keseragaman; keberagaman bukan berarti perpecahan. Inilah kedewasaan berpikir yang diajak oleh Sumpah Pemuda. Kita satu bangsa bukan karena kita sama, tapi karena kita memilih berbagi takdir. Takdir bersama itu kini seyogyanya mencakup keadilan bagi semua, kepedulian terhadap bumi, dan penghormatan terhadap martabat mereka yang lemah. Jika tidak, sumpah itu belum lengkap.

Pemuda hari ini hendaklah memperbarui sumpah itu, bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat tindakan—melalui aksi lingkungan, tanggungjawab sosial, dan integritas moral. Jika generasi 1928 berjuang demi kemerdekaan, maka generasi kini hendaknya berjuang demi nurani.

Kemerdekaan bukanlah benda mati; ia adalah irama—yang harus terus dimainkan di setiap zaman, lewat keberanian dan kebaikan. Dan melodi dari irama itulah persatuan—selalu rapuh, tapi selalu pantas dijaga.

Maka di Hari Sumpah Pemuda ini, jangan hanya menatap masa lalu dengan nostalgia, tapi tatap masa depan dengan tujuan. Pekerjaan masa lalu adalah pondasi; tugas masa kini adalah kelanjutan. Ingatlah bahwa sumpah adalah janji yang hidup. Ia hanya bernapas ketika kita menepatinya.

Dan ketika hati kita kembali mengucap sumpah suci itu—“Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”—semoga itu bukan sekadar kenangan, tapi gerakan nyata. Karena Indonesia akan selalu muda—selama para pemudanya, masih meyakininya.

Sumpah Pemuda tetap menjadi bukti hidup bahwa keberanian pemuda bisa membentuk takdir bangsa. Pesannya abadi karena tantangan yang disampaikannya—persatuan, keadilan, dan tanggungjawab—tak pernah benar-benar hilang.

Ia mengingatkan kita bahwa setiap generasi punya kewajiban menafsirkan ulang nilai-nilainya sesuai realita zaman. Sumpah ini bukan beku di 1928; ia berevolusi seiring setiap warga yang menghidupkan kata-katanya.

Di dunia yang selalu berubah, mudah merasa tak berdaya. Namun sumpah ini mengajarkan bahwa komitmen bersama, sekecil apa pun, bisa menciptakan gelombang perubahan yang bertahan lebih lama dari hidup satu individu.

Semoga pemuda Indonesia terus menghormati janji suci ini dengan bertindak penuh empati, integritas, dan visi. Bangun jembatan di tengah perpecahan, nyalakan cahaya di saat gelap, dan tebarkan harapan di tengah keputusasaan.

Pada akhirnya, Sumpah Pemuda lebih dari sekadar tonggak sejarah—ia undangan. Undangan untuk melayani, bersatu, dan percaya pada kemungkinan Indonesia yang lebih baik dan lebih kuat.