[Bagian 2]Di seluruh pelosok Nusantara, suara Tot Tot Wuk Wuk udah kayak soundtrack penderitaan rakyat. Bunyinya nyaring, strobonya nyala kayak lampu disko, dan mobil pejabat melaju kayak lagi syuting Fast & Furious versi birokrasi. Dulu katanya cuma buat keadaan darurat, sekarang malah jadi parade harian klan para privilege.Warga, mulai dari Sabang, Jakarta, Jayapura sampai Merauke, udah capek. Sirene itu bukan cuma berisik, tapi juga bikin emosi naik kayak harga cabe. Banyak yang bilang, “Ini bukan suara negara, ini suara stres!” Tapi yang bikin makin nyesek bukan cuma bunyinya—melainkan kesan di baliknya. Fasilitas negara dipakai buat kenyamanan pribadi, bukan buat kepentingan publik. Jalan raya berubah jadi panggung pamer kekuasaan.Yang lucu, katanya rakyat itu bosnya. Demokrasi, katanya, rakyat yang punya kuasa. Tapi kok di jalan, rakyat disuruh minggir, disuruh sabar, disuruh ngalah. Pejabat lewat kayak raja, rakyat kayak figuran. Ironi banget, kaan?Akhirnya, rakyat pun melawan dengan cara kreatif. Meme-meme lucu, video parodi, dan slogan viral kayak “Stop Tot Tot Wuk Wuk” bertebaran di medsos. Kritik berubah jadi karya. Video satiris jadi senjata. Demokrasi nggak cuma soal suara di TPS, tapi juga soal suara di jalanan.Coba bayangin sejenak, jalanan Mesopotamia ribuan tahun lalu: rame sama pedagang, keledai, dan ayam yang lepas dari kandangnya. Seorang penjaga yang pakai baju kulit lusuh melambaikan lempeng tanah liat sambil teriak ke pedagang yang bengong, “Hei, jangan jual ikan sebelum matahari naik!” Si pedagang ngedumel, ayam kabur, dan sang penjaga cuma bisa ngeluh dalam hati, “Dari dulu kerjaan penegak hukum itu memang nggak pernah rapi.”
Kedengarannya kayak adegan lawakan sejarah, tapi menurut Alan Wright (2002) dalam bukunya Policing: An Introduction to Concepts and Practice, itu bisa banget terjadi. Wright bilang, bahkan di zaman Mesopotamia dan Mesir Kuno, udah ada bentuk-bentuk awal kepolisian—kayak penjaga kuil, pengawas pasar, dan ronda malam yang tugasnya jaga ketertiban, meskipun kadang caranya rada ngawur.Menurut Wright, polisi modern lahir karena sistem lama kayak ronda malam, jagal, atau petugas lokal ga cukup lagi buat ngejaga ketenangan di kota-kota yang makin padat, makin kompleks, saat Revolusi Industri dan urbanisasi bikin masalah sosial makin banyak. Era 1800-an di Inggris itu momen dimana negara mulai mikir: “Kita butuh satu badan resmi yang tugasnya bukan cuma nangkep orang jahat, tapi juga mencegah kejahatan, meredam kerusuhan, dan bantu masyarakat.”Dan pekerjaan polisi itu jauh dari cuma “ngejar penjahat”. Polisi modern punya tugas kaya ngejagain ketertiban umum, mencegah kejahatan sebelum terjadi, bantu warga kalau ada masalah, merespons darurat, serta menjadi jembatan antara warga dengan negara. Kadang mereka kudu pakai kekerasan secara sah (arrest, pakai kekuatan jika perlu), tapi banyak juga tugas yang lebih ke melayani: membantu, mencegah, memberikan keamanan agar orang bisa hidup tenang.Wright ngebahas gimana polisi tuh berperan penting dalam menjaga ketertiban sosial. Doski bilang, polisi modern muncul karena negara butuh cara resmi buat ngatur keributan di masyarakat yang makin kompleks. Dulu, orang cuma ngandelin ronda atau petugas lokal, tapi sekarang negara bikin polisi yang tugasnya nggak cuma nangkep penjahat, tapi juga mencegah kerusuhan dan ngatur ketertiban.Wright juga ngomongin gimana masyarakat ngarep polisi bisa nangani kerusuhan, demo, atau keributan lain dengan cara yang tetep menghormati hak-hak warga. Polisi nggak cuma harus tegas, tapi juga adil dan transparan. Kalau masyarakat ngerasa polisi sah dan adil, mereka bakal lebih mau kerjasama. Tapi, kalau nggak, bisa-bisa malah timbul ketidakpercayaan dan masalah baru.Wright juga ngulik hubungan polisi sama kelompok sosial, terutama kelas pekerja dan komunitas yang terpinggirkan. Kalau kelompok-kelompok ini ngerasa diperlakukan nggak adil atau nggak didengerin, bisa-bisa timbul konflik dan kepercayaan yang hilang. Makanya, penting banget buat polisi ngerti dan nyambung sama semua lapisan masyarakat biar tugas mereka efektif dan diterima.Wright ngebahas kritik dari para ahli kriminologi soal kerjaan polisi. Ia bilang, meskipun polisi penting buat jagain ketertiban, kritik ini nunjukin kalau polisi kadang malah ngejaga kekuasaan yang udah ada daripada adil buat semua orang. Misalnya, kelompok pekerja atau komunitas terpinggirkan bisa sering kena sorotan lebih keras, dan polisi yang cuma fokus sama hukum aja bisa gak ngerti konteks sosial atau ekonomi yang bikin orang bertindak kriminal. Wright bilang, kritik ini ngajarin kita supaya polisi lebih peka sama konteks, ngerti dinamika sosial, kondisi ekonomi, dan bisa bangun hubungan yang oke sama masyarakat. Intinya, kritik kriminologis ini nyuruh polisi buat ngeimbangin antara kekuasaan sama keadilan, legitimasi, dan pemahaman sosial.
Wright ngajak kita mikir ulang soal arti 'polisi'. Ia bilang, 'polisi' itu bukan cuma tugas polisi negara, tapi juga melibatkan banyak pihak lain yang ikut menjaga ketertiban. Wright ngenalin empat cara utama polisi bekerja: menjaga kedamaian, menyelidiki kejahatan, mengelola risiko, dan keadilan komunitas. Masing-masing punya cara dan tujuan sendiri-sendiri. Intinya, Wright ngajarin kita buat liat polisi itu lebih luas, nggak cuma dari sisi hukum, tapi juga dari berbagai peran dan pihak yang terlibat.
Menurut Alan Wright, tugas polisi itu kayak jalan di atas tali—harus bisa ngejaga keseimbangan antara kebebasan warga dan ketertiban sosial. Di satu sisi, masyarakat pengen polisi ngasih ruang buat orang bebas ngomong, protes, dan bergerak; tapi di sisi lain, mereka juga pengen semuanya tetep aman, kagak rusuh, enggak chaos. Nah, dilema abadi muncul di situ: kalau polisi terlalu ketat, jadinya kayak negara otoriter; tapi kalau terlalu longgar, bisa-bisa masyarakat kacau. Wright bilang, kunci utamanya ada di legitimasi—polisi kudu keliatan adil, wajar, dan bertindak sesuai izin moral dari masyarakat.Tapi, kalau suatu wilayah ngerasa ketertibannya lagi terancam—misalnya ada demo besar, teror, atau kerusuhan—biasanya aparat jadi lebih militeristik. Mulai pakai tameng anti-huru-hara, unit taktis, sampai teknologi pengawasan kayak di film dystopia. Wright ngingetin, gaya kayak gini bisa bikin publik makin waspada bahkan nggak percaya kalau dipakai berlebihan atau tanpa transparansi. Intinya, strategi kepolisian itu cerminan nilai politik dan budaya di masyarakatnya: kalau masyarakatnya menjunjung legitimasi dan akuntabilitas, kekuatan polisi bisa dikontrol; tapi kalau yang dominan rasa takut dan instabilitas, polisi bisa berubah jadi alat represi.Wright ngulik banget soal gimana polisi ngejaga “order maintenance” alias ketertiban sosial tanpa ngerampas kebebasan individu. Buatnya, tugas polisi tuh bukan cuma soal nangkep pelanggar hukum, tapi juga soal ngatur dinamika masyarakat biar kagak meledak. Wright bilang, kunci dari peacekeeping sejati ada di “nahan diri”—ngerti batasan sejauh mana paksaan boleh dipakai. Begitu polisi kelewat batas, kepercayaan publik bisa langsung rontok, dan legitimasi mereka pun ikut ambruk. Jadi, penggunaan kekuatan harus proporsional, bisa dipertanggungjawabkan, dan enggak nyenggol etika.Wright lebih jauh nyorot kalau norma dan strategi peacekeeping beda-beda tergantung budaya politiknya. Di negara demokrasi liberal, polisi lebih fokus ke pendekatan “ngobrol dulu deh”—nyari konsensus dan jaga kepercayaan masyarakat. Tapi di negara yang otoriternya kental, gaya yang dipakai lebih ke kontrol, pengawasan, bahkan ancaman kekerasan yang terang-terangan. Buat Wright, ini semua mencerminkan nilai politik dan budaya tiap bangsa: yang cinta pluralisme bakal dorong polisi jadi penjaga kedamaian, sementara yang parno sama instabilitas malah bikin polisi kayak pasukan tempur. Intinya, gaya peacekeeping itu cerminan karakter bangsa—gimana mereka nyari titik tengah antara kebebasan dan ketakutan, antara kuasa dan keadilan.Wright kemudian ngajak kita geser fokus dari “pelisi sebagai penjaga ketertiban” ke “nyelidikin kejahatan”—gimana polisi nyidik, nge-detect, dan merespons aksi kriminal. Wright bilang, di Inggris udah terjadi pergeseran cara kerja penyelidikan polisi: ada yang cuma reaktif (nunggu kejahatan terjadi baru bertindak), ada juga yang proaktif (usaha mencegah sebelum kejadian). Pendekatannya beda-beda juga tergantung jenis kejahatannya—kalau kejahatan rutin yang banyak jumlahnya, polisi pakai cara, waktu, dan sumber daya yang berbeda dibanding waktu mereka hadapi kejahatan serius atau kriminal terorganisir.Wright juga bantah mitos bahwa polisi cuma “penangkap penjahat”. Cerita macam itu sering dibesar-besarkan, katanya, sampai lupa bahwa ada sisi pencegahan, hak asasi, dan kerusakan tak kasat mata yang juga harus diperhatikan. Polisi tuh bukan cuma “aksi” di lapangan, tapi juga jadi gerbang masuk ke sistem peradilan kriminal—mereka yang tentuin kasus mana yang dilanjutkan, mana yang prioritas; mereka yang rancang metode penyelidikan; dan semua itu dipengaruhi oleh budaya institusi, hukum, harapan publik, dan keterbatasan sumber. Meskipun udah ada usaha supaya penyelidikan makin ‘profesional’ atau ilmiah, Wright bilang banyak praktik lama masih terus berjalan karena budaya dan ekspektasi masyarakatnya masih ke sana.Alan Wright lalu ngebahas soal manajemen risiko dalam kepolisian. Jadi, di zaman sekarang, masyarakat tuh lebih fokus ke "apa yang bisa salah?"—mulai dari terorisme, kejahatan dunia maya, bencana alam, sampai krisis kesehatan. Nah, polisi gak cuma nunggu kejadian, tapi mulai proaktif, nyiapin langkah-langkah pencegahan. Wright bilang, penting banget polisi kerja bareng instansi lain dan masyarakat buat ngatur risiko ini.Tapi, Wright juga ngingetin, jangan sampe gara-gara fokus ke risiko, kebebasan individu jadi terabaikan. Polisi harus bisa seimbang: ngamanin masyarakat tanpa ngelanggar hak-hak dasar. Intinya, polisi di era sekarang itu nggak cuma jadi "penjaga gerbang", tapi juga harus pinter ngatur strategi di dunia yang penuh ketidakpastian, tanpa kehilangan nilai-nilai demokrasi.Wright ngobrolin pula soal keadilan komunitas dalam dunia kepolisian. Jadi, doski jelasin gimana pendekatan ini nggak cuma fokus ke penegakan hukum, tapi juga nyambungin polisi sama komunitas yang mereka layani. Wright bahas gimana strategi kepolisian berkembang, dari model tradisional yang top-down ke pendekatan yang lebih deket ama masyarakat. Perubahan ini nunjukin kalo masyarakat makin sadar pentingnya keterlibatan komunitas dalam menjaga ketertiban dan keadilan.Tapi, Wright juga nyorot tantangan dalam nerapin keadilan komunitas. Doski bilang, meskipun model ini pengen lebih inklusif dan responsif sama kebutuhan komunitas, itu butuh perubahan besar dalam budaya dan praktik kepolisian. Bab ini nunjukkin pentingnya polisi buat bangun kepercayaan dan kerja bareng sama warga, sambil ngertiin dinamika budaya yang ada di tiap komunitas. Wright bilang, keadilan komunitas itu nggak cuma soal ngatasi kejahatan, tapi juga ngerti dan nyelesain masalah sosial yang jadi akar perilaku kriminal.Wright liat keadilan komunitas sebagai pendekatan progresif dalam kepolisian, yang nyoba seimbangin penegakan hukum dengan promosi kesetaraan sosial dan kesejahteraan komunitas. Doski ngedukung model kepolisian yang fleksibel, sensitif budaya, dan bener-bener nyambung sama nilai dan kebutuhan masyarakat.Wright ngebahas juga soal politik kepolisian di zaman modern sekarang. Doski bilang, polisi sekarang nggak cuma dipengaruhi oleh hukum dan keadilan, tapi juga oleh politik, ekonomi, dan dinamika sosial. Wright nyorot gimana pengaruh politik bisa nentuin prioritas polisi, alokasi sumber daya, dan strategi operasional, yang kadang malah bikin polisi fokus ke jenis kejahatan atau komunitas tertentu aja.Wright juga ngomongin tantangan buat ngejaga legitimasi polisi di masyarakat yang beragam dan cepat berubah. Doi bilang, kepercayaan publik ke polisi tergantung dari persepsi keadilan, akuntabilitas, dan transparansi. Kalau tindakan polisi dianggap bermotif politik atau bias, itu bisa ngerusak kepercayaan publik dan ngeganggu efektivitas polisi. Doski nunjukin pentingnya ngerancang praktik kepolisian yang sesuai dengan nilai demokrasi dan hak asasi manusia, dan mendorong reformasi yang lebih akuntabel dan melibatkan masyarakat dalam keputusan kepolisian.
Kesimpulannya, Wright bilang masa depan kepolisian tergantung dari kemampuannya buat beradaptasi dengan kompleksitas masyarakat modern sambil tetep ngejaga prinsip keadilan dan kesetaraan. Doi ngajak buat ngebayangin ulang kepolisian yang gak cuma fokus pada kontrol dan penegakan hukum, tapi juga lebih inklusif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan semua komunitas. Visi ini melibatkan pergeseran ke arah kepolisian yang nggak cuma efektif, tapi juga adil dan sah di mata publik.
Pesan utama Wright ialah bahwa kepolisian itu, bukan cuma soal ngejar penjahat atau jaga ketertiban doang. Polisi itu kompleks banget dan punya banyak peran: dari menjaga kedamaian, nyidik kejahatan, ngatur risiko, sampai memastikan keadilan komunitas—semuanya dipengaruhi sama konteks sosial, politik, dan budaya. Wright bilang, biar polisi efektif, mereka harus bisa ngeimbangin kekuasaan sama legitimasi, pastiin tindakan proporsional, akuntabel, dan sesuai nilai masyarakat. Intinya, masa depan kepolisian tergantung dari kemampuan beradaptasi, tanggungjawab etis, dan keterlibatan nyata sama masyarakat. Polisi tuh nggak cuma jaga hukum, tapi juga bangun kepercayaan dan kohesi sosial.
Pas Eropa masuk ke abad pertengahan, konsep “kepolisian” mulai agak serius. Clive Emsley (1996) dalam The English Police: A Political and Social History nyeritain gimana masyarakat nunjuk warga biasa jadi penjaga malam—semacam “satpam kampung” yang teriak-teriak kalo ada maling. Mereka belum sehebat Sherlock Holmes, tapi lumayan lah buat bikin maling mikir dua kali.
Terus muncullah Sir Robert Peel di tahun 1829 yang bikin Metropolitan Police Service di London. Dalam Principles of Law Enforcement, Peel ngajarin bahwa polisi itu bukan buat nakut-nakutin rakyat, tapi buat dapetin kepercayaan mereka. Intinya, polisi itu warga juga—cuma bedanya, mereka pakai seragam dan tanggungjawabnya gede.
Charles Reith (1956) dalam A Short History of the British Police bilang, fungsi dasar polisi dari dulu sampai sekarang itu tetep sama: melindungi orang, menegakkan norma, dan menjaga kedamaian. Bedanya cuma di alat dan teknologinya aja—dulu pakai lempeng tanah liat, sekarang pakai database digital.
Pada dasarnya, kepolisian didirikan di sebuah negara karena dua kebutuhan manusia yang paling klasik: keamanan dan ketertiban sosial. Secara filosofis, polisi hadir untuk menyeimbangkan antara kebebasan individu dan keselamatan bersama. Mereka jadi perwujudan dari konsep social contract ala Thomas Hobbes dan John Locke, dimana rakyat rela mengorbankan sebagian kebebasannya supaya dapat perlindungan dan hukum ditegakkan secara konsisten. Tanpa polisi, masyarakat gampang kacau, yang kuat menindas yang lemah, dan kekacauan menggantikan keadilan.
Polisi juga merupakan manifestasi nyata dari otoritas negara. Menurut Herbert L. Packer (1968) dalam The Limits of the Criminal Sanction, polisi berada di persimpangan antara hukum dan moral: mereka adalah alat kekuasaan negara, tapi idealnya tetep dibatasin oleh norma etika dan pengawasan demokratis. Tujuannya bukan sekadar menghukum, tapi mencegah bahaya, menjaga kepercayaan publik, dan memberi rasa aman yang konsisten. Tanpa polisi yang kredibel, kontrak sosial bisa rapuh, dan kepercayaan rakyat terhadap keadilan mudah luntur.
Lebih lanjut, pakar modern seperti Peter K. Manning (2008) dalam The Technology of Policing bilang bahwa polisi bukan cuma penegak hukum, tapi juga simbol nilai-nilai kolektif. Mereka memberi tahu masyarakat: perilaku apa yang nggak bisa ditoleransi, hak apa yang dilindungi, dan ekspektasi apa yang berlaku bagi rakyat maupun negara. Filosofisnya, polisi itu bukan cuma soal penegakan, tapi soal menegakkan tatanan sosial, norma etika, dan memberi rasa aman bahwa, di masyarakat yang teratur, kesalahan akan diperbaiki dan orang bisa hidup tanpa takut terus-terusan.
Singkatnya, polisi ada karena tiap masyarakat selalu menghadapi ketegangan: antara kebebasan dan ketertiban, antara tindakan individu dan tanggung jawab kolektif, serta antara keadilan dan kekuasaan. Alasan keberadaan mereka adalah menengahi ketegangan ini, menjadikan hukum dan moral abstrak jadi nyata, sehingga warga bisa hidup tanpa takut kekerasan, pencurian, atau penindasan.
Jadi, pas Presiden Prabowo ngomong soal reformasi besar di tubuh Polri, mungkin kisah si penjaga Mesopotamia yang capek ngejar ayam itu masih relevan banget: tiap reformasi kepolisian pada dasarnya adalah usaha manusia buat menata ulang kekacauan yang udah ada sejak pertama kali kota diciptain.
Jumat, 10 Oktober 2025
Penjaga Ketertiban atau Cermin Kekuasaan? (1)
Kamis, 09 Oktober 2025
Manusia dan AI
Ada beberapa anekdot yang pas banget buat ngegambarin hubungan manusia dan AI:Seorang insinyur software muda sampai berhari-hari ngajarin AI buat bikin musik. AI itu bisa nyusun melodi yang secara teknis sempurna, harmoninya matematis flawless. Tapi begitu sang insinyur mainin komposisi AI ke teman-temannya, suasananya… hampa. Gak ada ketegangan, gak ada kejutan, gak ada “sukma”. Kesal, sang insinyur duduk di depan piano, mainin nada sederhana sambil kadang salah dikit-dikit. Eh, justru kesalahan kecil itu bikin musiknya hidup. AI bisa ngitung tiap nada, tapi kagak bisa niru pengalaman manusia—tawa, ragu-ragu, senang, sedih—yang bikin musik berasa beneran nyentuh.Cerita ini nunjukin satu kebenaran: AI bisa niru skill manusia, tapi kagak bisa gantiin esensi manusia. Kreativitas, emosi, dan penilaian moral lahir dari pengalaman hidup, bukan algoritma. Manusialah yang memberinya makna, AI cuma nyediain efisiensi. Dua-duanya paling jos kalau digabung: manusia yang ngarahin, ngerasa, dan mutusin, sementara AI, ngurusin tugas rutin dan berbasis data.Ada anekdot lain.
Seorang chef ternama ikutan kontes masak melawan robot dapur bertenaga AI. Robot tersebut masak sesuai resep sempurna: takaran pas, suhu tepat, plating flawless. Tapi pas juri nyobain, katanya enak sih, tapi gak ada “rasa hati”. Masakan chef yang agak berantakan, terlalu asin dikit, bahkan gosong dikit malah bikin juri senyum-senyum. “Rasanya kayak ada yang beneran peduli,” kata mereka. Robot cuma bisa ngikutin instruksi, tapi, manusialah yang bisa masukin rasa cinta dan intuisi ke makanan.
Nah, mari kita tambahin lagi anekdotnya.
Seorang mahasiswa sastra minta AI bikin puisi tentang cinta. AI bikin soneta rapi, meter sempurna, rima klop. Dibacain, terdengar dingin dan kaku. Terus mahasiswa itu nulis puisi berantakan di buku catatan, penuh klise, baris putus-putus, kalimat panjang nggak karuan. Puisi itu bikin orang ketawa, nangis, sampai tarik napas. AI jago ngebentuk, manusia jago rasa. Emosi gak bisa dihitung—kudu dirasain sendiri.
Dalam kenyataannya, ketakutan bahwa AI bakal ngegantiin segala pekerjaan dan kemampuan manusia itu, agak berlebihan. Memang bener sih, kecerdasan buatan bisa ngambil alih pekerjaan yang berulang, berbasis data, dan penuh rutinitas dengan kecepatan super. Tapi inti dari kemanusiaan—kemampuan dalam merasa, membayangkan, menilai dengan nurani, dan terhubung secara emosional—tetep di luar jangkauan mesin. Sehebat apa pun algoritma, doski gak punya rasa empati, dilema moral, atau inspirasi sejati; doi cuman bisa niruin dari pola data.
Pekerjaan yang bertumpu pada kekuatan khas manusia, karenanya, kagak bisa beneran digantiin AI. Contoh, pekerjaan yang butuh berpikir kritis dan pertimbangan etis, semisal hakim, diplomat, dan pemimpin. Profesi kreatif seperti penulis, sutradara, seniman, dan inovator juga lahir dari intuisi serta kedalaman emosi manusia—hal yang mustahil direplikasi mesin. Begitu juga dengan profesi yang berakar pada empati, seumpama psikolog, guru, konselor, dan perawat, yang memerlukan hubungan manusiawi, bukan respons buatan.
Selain itu, kepemimpinan, seni yang sepenuhnya manusiawi. Menginspirasi orang, menciptakan visi masa depan, dan menyatukan beragam pikiran di bawah tujuan bersama tak bisa disederhanakan jadi hitungan data. Pekerjaan yang butuh kemampuan berimprovisasi dalam situasi tak terduga—semisal dokter gawat darurat, pemadam kebakaran, atau negosiator krisis—pun tetep bergantung pada naluri manusia. Akhirnya, bidang-bidang seperti kerajinan tangan dan bimbingan spiritual—yang lahir dari sentuhan, keindahan, dan makna batin—akan selalu jadi ranah manusia, bukan mesin.
AI memang akan mengubah dunia kerja, tapi gak bakalan ngehapus peran pikiran, qalbu, dan jiwa manusia. Masa depan bukan tentang manusia melawan AI, melainkan tentang manusia yang bekerja bersama AI—seraya menjaga apa yang membuat kita tak tergantikan.
Ada beberapa keterampilan dan pekerjaan manusia yang takkan pernah bisa tergantikan oleh AI, secerdas apa pun mesinnya nanti. Di ranah ini, esensi kemanusiaan—seperti emosi, intuisi, kreativitas, dan penilaian moral—memainkan peran yang gak bisa ditiru oleh algoritma. AI bisa menganalisis pola dan menjalankan tugas dengan presisi luar biasa, tapi ia gak punya kesadaran batin buat peduli, berimajinasi, atau menanggung beban tanggungjawab atas pilihannya.
Profesi yang berakar pada empati dan kecerdasan emosional adalah yang paling tak tergantikan. Guru, terapis, pekerja sosial, dan perawat memiliki pemahaman dan kasih sayang yang tak bisa direkayasa oleh mesin. Begitu juga dunia kreatif seperti seni, menulis, musik, film, dan desain—semuanya lahir dari orisinalitas dan resonansi emosi yang hanya dimiliki manusia. Walau AI bisa menghasilkan gambar atau teks, ia hanya menyusun ulang potongan yang sudah ada; ia tak benar-benar merasakan atau memaknai ciptaannya.
Kepemimpinan juga sepenuhnya milik manusia. Menginspirasi orang lain, membuat keputusan etis di tengah ketidakpastian, dan menciptakan visi yang menyatukan manusia di bawah nilai bersama bukanlah urusan perhitungan, melainkan nurani dan karisma. Hal yang sama berlaku untuk pekerjaan yang menuntut kemampuan beradaptasi, naluri cepat, dan improvisasi—seperti dokter gawat darurat, pemadam kebakaran, atau negosiator krisis—di mana intuisi lebih penting dari data.
Akhirnya, ada bidang-bidang yang lahir dari sentuhan dan kedalaman batin: seniman yang membentuk tanah liat dengan perasaan, koki yang meracik rasa dari ingatan, atau pemuka agama yang menuntun hati mencari makna. Semua itu adalah tindakan jiwa, bukan hasil kode.
AI bisa membantu, mempercepat, bahkan meniru sebagian pekerjaan manusia, tapi ia tak bisa menggantikan roh manusia yang memberi makna dan kehangatan pada pekerjaan. Keterampilan paling berharga di masa depan bukanlah yang bersaing dengan mesin, melainkan yang menegaskan apa makna menjadi manusia seutuhnya.
Dalam The Age of Em (2016, Oxford University Press), ekonom Robin Hanson ngebayangin masa depan dimana benak manusia dapat diemulasi oleh mesin. Tapi, walau dalam dunia futuristik itu, Hanson menegaskan bahwa motivasi, emosi, dan perilaku sosial manusia, gak bakalan bisa disalin sepenuhnya. Ia menyiratkan bahwa teknologi memang bisa mengubah cara kita bekerja, tapi kagak bisa ngegantiin esensi manusia yang memberi makna pada pekerjaan itu sendiri.Hanson bilang gini, meski di masa depan semua kerjaan bisa dicaplok ama otak digital alias “Ems,” tetep aja ada yang kagak bisa digantiin ama teknologi: sisi manusiawi yang bikin gawean itu bermakna. Menurutnya, nilai kerja itu nggak cuma soal seberapa cepat atau efisien kita ngejalaninnya, tapi juga soal perasaan, interaksi sosial, dan tujuan pribadi yang bikin kita ngerasa “worth it.” Jadi walau Ems bisa ngelakuin semua tugas lebih cepat dan tepat, rasa puas, pertimbangan moral, keterlibatan emosional, sama makna budaya dari kerjaan itu tetep nempel di manusia asli. Singkatnya, mesin bisa kerja, tapi kagak bisa masuk ke cerita manusia yang bikin kerjaan itu berasa penting.Hanson ngebayangin dunia dimana otak manusia bisa di-scan terus dijadiin digital copy alias “Ems.” Ems ini bisa mikir, kerja, bahkan nyiptain kayak manusia asli tapi super cepet. Sounds keren, kan? Tapi Hanson nge-flag, sisi manusia yang penuh emosi, kompleks, dan terhubung sama budaya nggak bakal bisa di-digitalkan. AI atau Ems bisa kerja maksimal, tapi nggak bisa ngerasain puas, bikin keputusan moral, atau ngerasain makna kayak manusia asli.Menurut Hanson, kerja manusia itu lebih dari sekadar output: kerja itu soal problem solving, kolaborasi, ekspresi diri, dan ikut komunitas. Ems mungkin bisa niru perilaku manusia, tapi mereka nggak “ngeh” kenapa manusia ngelakuin semua itu. Jadi AI bisa nge-replikasi apa yang manusia lakukan, tapi nggak bisa nge-replikasi kenapa manusia ngerjainnya. Nah, ini bikin kita mikir soal psikologis juga: masyarakat penuh Ems bisa super efisien, tapi terasa hampa buat manusia asli karena makna hidupnya masih nempel sama pengalaman manusia, bukan sekadar produktivitas.Singkatnya, Hanson bilang: AI bisa bikin kerjaan lebih gampang, tapi esensi manusia—kesadaran, emosi, dan koneksi sosial yang bikin hidup bermakna—gak bakal bisa diganti. Jadi hubungan manusia-AI bukan soal gantiin manusia, tapi gimana manusia dan AI bisa coexist, saling melengkapi, dan tetap ngejaga nilai-nilai yang cuma manusia yang bisa bawa.Pesan utama Hanson itu simpel tapi dalem: meski AI canggih—kayak otak digital alias “Ems”—bisa bikin semua kerjaan lebih cepet dan efisien, ada batas yang nggak bisa dilewatin sama teknologi: sisi manusiawi kita. Makna hidup, tujuan, dan nilai itu nggak cuma soal output atau kecepatan, tapi nempel sama kesadaran, emosi, interaksi sosial, dan pertimbangan moral kita.Hanson juga ngewarning: dunia yang dikuasai AI bisa keren secara teknologi, tapi berisiko bikin aspek-subjektif dan etis yang bikin hidup bermakna buat manusia jadi hilang. Mesin bisa kerja lebih bagus dari manusia, tapi kagak bisa ngerasain kenapa kerja itu penting, puasnya, atau makna budaya yang kita bawa. Jadi, intinya, AI itu kudu dilihat sebagai alat buat nambah kemampuan manusia, bukan ngegantiin apa yang ngejadiin kita manusia.Dalam The Heart of the Machine: Our Future in a World of Artificial Emotional Intelligence (2017, Arcade Publishing). Richard Yonck menelusuri bagaimana AI berusaha meniru empati dan emosi manusia. Namun, Yonck menekankan bahwa perasaan sejati dan penilaian moral merupakan sesuatu yang hanya bisa dimiliki manusia. Menurutnya, meski AI bisa “berpura-pura” punya kasih-sayang, ia takkan pernah benar-benar merasakannya, karena emosi membutuhkan kesadaran—dan kesadaran bukanlah sesuatu yang bisa diprogram.Yonck ngajak kita nge-cek tren AI yang nggak cuma pinter mikir atau ngolah data, tapi juga bisa “ngeh” sama perasaan manusia. Doski bilang, teknologi sekarang bisa ngenalin, ngerti, bahkan “nanggapin” emosi kita. Seru sih, soalnya AI kayak gini bisa bantuin manusia lebih sehat, hubungan lebih oke, bahkan bikin sektor kayak kesehatan dan pendidikan lebih canggih. Tapi di sisi lain, ada risiko: AI bisa nge-manipulasi, nge-bohongin, atau bahkan ngeganti sisi emosi kita. Pesan utamanya? Pas kita bikin mesin yang pinter soal emosi, kita kudu sadar dan hati-hati, bikin aturan etika, sosial, dan personal supaya AI nggak malah nge-reduce sisi kemanusiaan kita. Yonck ngingetin juga, kecerdasan emosional itu bukan cuma urusan teknis, tapi urusan manusia banget: soal nilai, empati, dan koneksi antar manusia.Dalam Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (2015, Penguin Press), profesor MIT Sherry Turkle menyampaikan kritik yang menohok terhadap dunia modern yang semakin dikuasai oleh teknologi dan AI. Menurutnya, manusia kini lebih “terhubung” secara digital, tapi justru kehilangan kemampuan untuk berbicara dari hati ke hati. Ia menegaskan bahwa empati, refleksi moral, dan kedalaman batin hanya bisa lahir lewat percakapan nyata antar manusia—bukan lewat notifikasi, emoji, atau algoritma yang pura-pura peduli. Pesan Turkle jelas banget: semakin kuat AI, semakin besar pula kebutuhan kita untuk merebut kembali seni berbicara agar kemanusiaan kita tak terkikis jadi sekadar data dan sinyal digital.Turkle ngasih peringatan bahwa kebiasaan kita yang terlalu nempel sama digital—chat, medsos, dan pesan instan—sebenernya bikin kemampuan ngobrol langsung kita makin luntur. Menurutnya, ngobrol itu bukan cuma tuker info, tapi fondasi buat empati, refleksi diri, dan koneksi manusia yang dalam. Turkle bilang kalau kita ganti ngobrol sama digital terus-terusan, kita bisa kehilangan kemampuan buat ngerti orang lain, ngatur emosi, dan mikir kritis. Pesan utamanya? Kita harus sengaja “reclaim” seni ngobrol, utamain hadir secara penuh, dengerin orang, dan dialog asli supaya hubungan manusia tetep kaya emosi dan bermakna.Dalam Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2016, HarperCollins), Yuval Noah Harari membahas ambisi baru umat manusia: menjadi “seperti Tuhan” lewat kecerdasan buatan dan bioteknologi. Doski nunjukin bahwa ketika mesin mulai ngalahin manusia dalam hal logika dan efisiensi, pertanyaan yang jauh lebih penting muncul—apa sebenernya yang tersisa dari kemanusiaan kita? Harari menegaskan bahwa emosi, kesadaran, dan moralitas adalah benteng terakhir manusia, sesuatu yang tak bisa dilahirkan dari tumpukan data, melainkan dari pengalaman batin yang subjektif. AI mungkin bisa tahu apa yang kita rasakan, tapi ia takkan pernah tahu bagaimana rasanya jadi manusia. Itulah, kata Harari, inti dari kemanusiaan yang takkan pernah bisa digandakan oleh algoritma: kesadaran diri, empati, dan pencarian makna.Yuval Noah Harari ngajak kita bayangin masa depan manusia, apalagi pas AI dan bioteknologi makin canggih dan cepet. Doski bilang, saat manusia bisa ngatur hidup, kesadaran, dan kecerdasan, peran, kepercayaan, dan etika kita bisa diguncang habis-habisan. Soal AI, Harari peringatkan kalau algoritma bisa ngalahin kecerdasan manusia di bidang-bidang penting, bikin keputusan lebih cepet, akurat, dan kadang lebih efektif dari manusia. Ini bisa bikin manusia gak lagi jadi agen paling cerdas atau berpengaruh, bikin pertanyaan soal tujuan hidup, pilihan, dan kesenjangan makin berat. Pesan utamanya? AI dan teknologi terkait punya potensi buat ngeredefinisi makna kemanusiaan, dan kita kudu siap-siap ngehadapin dilema etika, sosial, dan filosofis yang muncul barengan kemajuan itu.Artificial Intelligence in Education: The Power and Dangers of ChatGPT in the Classroom (2024), yang disunting oleh Amina Al-Marzouqi, Said Salloum, Mohammed Al-Saidat, Ahmed Aburayya, dan Babeet Gupta, mengupas tuntas integrasi ChatGPT dan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan. Buku ini menyajikan pandangan mendalam tentang potensi revolusioner dan tantangan yang ditimbulkan oleh teknologi AI di ruang kelas.Para editor menyoroti bagaimana AI, khususnya ChatGPT, dapat meningkatkan pengalaman belajar yang personal, mengotomatisasi tugas administratif, dan memberikan umpan balik instan kepada siswa. Inovasi ini menjanjikan perubahan besar dalam pendekatan pedagogis tradisional, menjadikan pendidikan lebih aksesibel dan disesuaikan dengan kebutuhan individu. Namun, buku ini juga menyoroti kekhawatiran signifikan, termasuk dilema etis, masalah privasi data, dan potensi AI untuk memperpetuasi bias. Penulis menekankan pentingnya implementasi yang bertanggung jawab, memastikan bahwa AI berfungsi sebagai pelengkap, bukan pengganti, pendidik manusia.Selain itu, buku ini menekankan pentingnya penelitian empiris dan perspektif global untuk memahami dampak beragam AI di berbagai konteks pendidikan. Dengan menggabungkan wawasan dari berbagai disiplin ilmu, para penulis memberikan pandangan yang mendalam tentang peran AI dalam pendidikan, mengadvokasi pendekatan seimbang yang memaksimalkan manfaat sambil mengurangi risiko.ChatGPT menawarkan berbagai keuntungan dalam konteks pendidikan. AI ini memungkinkan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan menyesuaikan kebutuhan individu siswa, memfasilitasi instruksi yang berbeda. ChatGPT dapat memberikan umpan balik instan, membantu dalam penilaian formatif dan mendukung proses belajar siswa. Selain itu, AI ini dapat membantu mengotomatisasi tugas administratif, seperti penilaian dan pembuatan konten, sehingga memungkinkan pendidik untuk lebih fokus pada pedagogi. Integrasinya ke dalam sistem manajemen pembelajaran meningkatkan aksesibilitas dan keterlibatan, menawarkan lingkungan belajar yang interaktif dan dinamis.Meskipun memiliki manfaat, ChatGPT juga menimbulkan berbagai tantangan. Salah satu kekhawatiran utamanya adalah potensi erosi keterampilan berpikir kritis, karena siswa mungkin mengandalkan respons yang dihasilkan AI tanpa terlibat dalam proses kognitif yang lebih dalam. Ada juga risiko kecurangan akademik, dengan siswa menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas tanpa pemahaman atau atribusi yang tepat. Selain itu, keluaran AI terkadang bisa tidak akurat atau menyesatkan, yang dapat menyebabkan misinformasi. Isu etis muncul terkait privasi data dan potensi bias yang tertanam dalam algoritma AI, yang dapat memperpetuasi ketidaksetaraan sosial yang ada. Ketergantungan berlebihan pada alat AI juga dapat mengurangi peran pendidik manusia, mempengaruhi hubungan guru-siswa dan perkembangan pembelajaran sosial dan emosional.Kendati ChatGPT menjanjikan revolusi dalam pendidikan melalui peningkatan personalisasi dan efisiensi, implementasinya harus dilakukan dengan hati-hati. Pemangku kepentingan pendidikan hendaklah memastikan bahwa alat AI digunakan secara bertanggungjawab, menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pelestarian elemen manusia yang esensial dalam pengajaran dan pembelajaran.Para editor kasih beberapa saran supaya bahaya ChatGPT di kelas bisa diminimalisir. Mereka menekankan pendekatan multi-layered yang gabungin kebijakan, pedagogi, dan teknologi biar AI dipakai dengan tanggung jawab.Pertama, para editor menyarankan supaya literasi AI dimasukin ke kurikulum, jadi siswa nggak cuma pakai ChatGPT tapi juga ngerti keterbatasannya, potensi bias, dan aspek etisnya. Dengan ngajarin siswa menilai secara kritis, risiko ketergantungan dan penyalahgunaan bisa dikurangi.Kedua, mereka menyarankan bikin kebijakan jelas di institusi tentang penggunaan AI, termasuk pedoman integritas akademik, privasi data, dan penerapan AI yang bertanggung jawab. Kebijakan ini bikin semua pihak, siswa dan guru, tetap akuntabel dan aman dari jebakan etis maupun hukum.Ketiga, para editor menyarankan supaya AI dipakai sebagai alat pelengkap, bukan pengganti guru manusia. Dengan tetap menempatkan guru di pusat proses belajar, sisi sosial dan relasional pendidikan tetap terjaga—hal yang nggak bisa digantikan AI.Terakhir, mereka mendorong adanya monitoring dan evaluasi berkelanjutan terhadap penggunaan AI. Ini termasuk ngecek akurasi, fairness, dan bias keluaran AI, lalu terus memperbaiki praktik berdasarkan bukti empiris dan feedback dari siswa serta guru.Intinya, para editor ngajak untuk integrasi ChatGPT di kelas yang seimbang dan hati-hati—manfaatin kekuatannya tapi aktif meredam risiko, sambil tetap menjaga peran manusia sebagai pengarah utama pendidikan.Kalau dipakai dengan bijak dan etis, AI bisa jadi teman cerdas yang bikin belajar, mengajar, dan kerja lebih efektif, bukan cuma ngambil alih semuanya. Buat pelajar, AI bisa jadi tutor pribadi yang ngajarin konsep susah, latihan soal, dan kasih feedback langsung sesuai level mereka. Dengan begitu, siswa bisa fokus mikir kritis dan kreatif, bukan cuma hafalan doang. Buat guru, AI bisa bantu urusan administratif, analisis performa murid, dan kasih saran intervensi personal, sehingga guru punya lebih banyak waktu buat mentoring, diskusi, dan ngejaga vibe kelas tetap hidup.
Buat pekerja dan profesional, AI bisa jadi asisten pintar yang urusin tugas rutin, ngatur informasi, dan bikin insight dari data segunung. Dengan begitu, manusia bisa fokus ke keputusan strategis, problem-solving, dan inovasi—hal-hal yang butuh intuisi, penilaian, dan empati. Di bidang kesehatan, hukum, atau riset, AI bisa kasih rekomendasi berbasis bukti atau prediksi, tapi tetap manusia yang menilai, memahami konteks, dan ambil tindakan. Kuncinya, lihat AI sebagai partner, bukan pengganti, yang memperkuat kemampuan manusia sambil tetap ngejaga sisi unik manusia: penilaian, kreativitas, dan tanggung jawab moral.
Beberapa rujukan mendukung pandangan ini. Artificial Intelligence in Education (2020) karya Wayne Holmes, Maya Bialik, dan Charles Fadel bilang kalau AI bisa personalisasi pengalaman belajar dan bikin guru lebih efektif. Sherry Turkle dalam Reclaiming Conversation (2015) menekankan pentingnya interaksi manusia asli walau dunia sudah penuh AI dan digital. Terakhir, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2016) mengingatkan kalau masa depan kerja manusia ada di kemampuan memanfaatkan AI sambil tetep ngembangin kapasitas emosional, etis, dan kreatif yang nggak bisa diganti mesin.
Ada sebuah anekdot: seorang coder muda minta AI bikinin lelucon. AI pun buatin lelucon dengan struktur yang sempurna… tapi kagak ada yang ketawa. Baru pas sang coder nambahin twist aneh dan muka konyol, ruangan meledak oleh tawa, buktiin lagi kalau manusialah yang bikin “magic” yang mesin nggak bakal bisa ngitung.
Perkembangan AI nggak bisa lepas dari perkembangan pengetahuan dan kemampuan manusia. AI nggak berkembang sendiri—ia butuh kecerdasan manusia buat desain, program, dan perbaiki sistemnya. Jadi, makin pintar dan kreatif manusia, makin efektif AI bisa dipakai buat bantuin manusia, bukan ngatur manusia. Supaya manfaat AI maksimal, kita harus aktif banget: ngerti cara baca output AI, gabungin insight AI dalam keputusan nyata, dan terus evaluasi serta perbaiki sistem yang kita bikin. Intinya, manusia harus jadi pemandu dan kurator AI, bukan cuma pengguna pasif.Selain itu, kreativitas dan berpikir kritis manusia tetep jadi senjata utama buat kemaslahatan umat. Dengan kemampuan ini, manusia bisa pecahin masalah rumit, bayangin masa depan yang lebih baik, dan bikin inovasi yang tetap etis dan sosial. Dengan kreativitas, manusia bisa bikin aplikasi AI yang nyelesain tantangan global—misal perubahan iklim, akses kesehatan, atau pendidikan—sambil tetep ngejaga nilai kemanusiaan. Berpikir kritis bikin kita bisa nilai output AI dengan cermat, lawan bias, dan ambil keputusan moral yang mesin nggak bisa ganti. Gabungan kreativitas dan kritis ini bikin manusia bisa pakai AI sebagai kekuatan buat kebaikan bersama, bukan cuma efisiensi atau profit semata.Pas kita melangkah di dunia AI yang serba cepat dan kadang absurd, jelas banget manusia nggak tergantikan, bukan karena mesin lemah, tapi karena emosi, humor, dan improvisasi kita nggak bisa dihitung. AI bisa ngitung angka, bikin laporan, bahkan bikin musik, tapi nggak bisa ketawa sama lelucon garing, ngerasain deg-degan pas nemu ide baru, atau merinding liat sunrise. Rasa ingin tahu dan berpikir kritis manusia bikin teknologi bukan cuma alat dingin dan efisien, tapi partner yang bisa bantu kita bayangin, bikin, dan peduli dengan cara yang mesin nggak bisa sendiri.
Di kantor, kelas, atau studio sekalipun, kreativitas manusia adalah bumbu rahasia yang bikin hidup berwarna. AI bisa bantu, kasih saran, dan optimasi, tapi manusia yang masukin makna, empati, dan pertimbangan etis. Dari bikin ide baru sampai selesain masalah mendesak, pikiran dan hati kita tetap jadi kunci buat ngerubah dunia. Intinya, teknologi paling jos kalau digerakin oleh insight manusia, dan tugas kita adalah pakai AI buat kebaikan bareng-bareng tanpa kehilangan percikan manusiawi kita.
Dan ya, “sentuhan manusia” jelas banget beda ama “sentuhan AI.” Sentuhan manusia itu penuh empati, intuisi, dan kedalaman rasa—hal-hal lembut yang lahir dari kesadaran dan pengalaman hidup. Kalau manusia bikin karya seni, nulis cerita, atau ngasih pelukan buat nenangin orang lain, di situ ada kehangatan yang gak bisa dijelasin ama logika. Mungkin gak sempurna, tapi justru disitulah letak maknanya. Sentuhan manusia bukan soal efisiensi, tapi soal koneksi—tentang memahami karena merasakan, bukan karena terprogram.Sedangkan “sentuhan AI” itu lebih soal presisi, kecepatan, dan kemampuan ngebaca pola. AI bisa niruin gaya menulis, bikin musik, bahkan analisis emosi, tapi semua itu tanpa bener-bener ngerasain. Sentuhan AI itu hitungan, bukan kehangatan; cerdas, tapi nggak intuitif. AI bisa nyontek irama kemanusiaan, tapi kagak bisa nyiptain detak jantungnya. Bedanya bukan cuma di hasilnya, tapi di apa yang dibawanya—manusia bawa niat dan jiwa, AI bawa logika dan data. Kalau digabung, bisa harmonis banget, tapi kalau dipisah, cuma manusialah yang bisa bikin sesuatu terasa hidup.
Akhirnya, kita tutup topik ini dengan sebuah anekdot: Seorang manajer ngandelin AI buat ngatur jadwal rapat, optimasi kerjaan, dan ngirim reminder. Semua lancar… sampai krisis besar muncul: klien butuh perhatian mendadak, jadwal AI jadi berantakan. Manajer manusia langsung gerak, bikin rapat dadakan, dan selesein masalah. AI bisa atur, prediksi, dan analisis, tapi gak bisa improvisasi pas hidup berantakan. Manusia tetep pilot, dan AI menjadi copilotnya.
Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (7)
[Bagian 8]Ngecek inflasi itu bukan cuma dateng ke pasar terus bilang, “Eh inflasi enggak naik nih.” Inflasi itu indikator ekonomi kompleks yang ngukur rata-rata kenaikan harga dari sekumpulan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu.Biar bener-bener tau, ekonom dan statistikawan ngumpulin data dari berbagai sumber: harga eceran, harga grosir, energi, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Harga-harga ini dihitung secara sistematis, kadang dengan memberi bobot sesuai pentingnya barang atau jasa buat rumah tangga. Hasilnya disebut Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen, yang nunjukin secara akurat bagaimana biaya hidup berubah di keseluruhan ekonomi.Singkatnya, ngecek inflasi itu pakai ilmu dan data, bukan sekadar tolah-toleh di pasar doang.Tapi, ngomong-ngomong, kenapa sih sebuah negara lebih suka tetep bertahan di angka pertumbuhan ekonomi lima persen daripada ngejar angka 10, 15, atau bahkan 25 persen? Jawabannya simpel: ini soal imbang-imbangan antara ambisi dan keberlanjutan. Memang sih, pertumbuhan super tinggi terlihat keren di laporan, tapi ada risiko tersembunyi. Inflasi bisa meledak, kesenjangan sosial makin lebar, infrastruktur kebanjiran tekanan, dan sumber daya alam cepet habis.Nah, pertumbuhan stabil di lima persen itu ibarat sweet spot: cukup kenceng buat ningkatin standar hidup, buka lapangan kerja, dan narik investor, tapi tetep aman tanpa bikin ekonomi goyah. Intinya, ini soal pilihan pintar: mendingan kualitas ketimbang kecepatan gila-gilaan, biar kemakmuran gak cuma numpang lewat tapi bertahan lama.Kalau sebuah negara bisa pertahanin pertumbuhan ekonomi di angka 5% per tahun, itu ibarat mesin ekonominya terus ngebut tapi tetep stabil—hasilnya bisa luar biasa, tapi tergantung juga dari kondisi awal negaranya, jumlah penduduknya, dan seberapa cerdas pemerintah mengelolanya.Pertumbuhan 5% biasanya menandakan PDB (Produk Domestik Bruto) naik dengan nyata. Ini artinya, pendapatan per orang meningkat, dan standar hidup masyarakat ikut terangkat. Orang bisa beli lebih banyak, hidup lebih layak, dan rasa aman finansial pun tumbuh pelan tapi pasti.Ekonomi yang stabil seperti ini juga bikin angka kemiskinan menurun. Begitu lapangan kerja baru muncul, makin banyak orang dapat penghasilan. Kalau hasil pertumbuhan dibagi dengan adil, kelompok masyarakat kecil pun bisa ikut naik kelas, bukan cuma nonton dari pinggir.Selain itu, pertumbuhan 5% yang konsisten bikin investor dalam dan luar negeri datang berdatangan. Uang masuk, infrastruktur dibangun, pabrik berdiri, teknologi berkembang. Efeknya menjalar ke mana-mana: ekonomi makin berdenyut, dan negara makin tangguh menghadapi guncangan global.Dari sisi negara, pendapatan pajak dan retribusi ikut naik. Artinya, pemerintah punya modal lebih buat ngebangun jalan, sekolah, rumah sakit, sampai program sosial. Kalau duitnya dikelola bener, hasilnya bukan cuma angka di laporan, tapi kesejahteraan yang benar-benar terasa.Pertumbuhan ekonomi juga bikin suasana sosial dan politik lebih adem. Kalau rakyat merasa hidupnya membaik, protes dan gejolak cenderung menurun — asalkan, tentu saja, pertumbuhan ini gak cuman dinikmati segelintir orang di puncak piramida.Dan jangan lupa: pertumbuhan yang stabil juga mendorong inovasi dan produktivitas. Dunia industri dan jasa makin efisien, makin kompetitif, bahkan bisa bersaing di level global.Taapii, perlu dicatet—5% pertumbuhan bukan jaminan segalanya bakal indah. Kuncinya bukan di angka, tapi di kualitas pertumbuhan. Seberapa merata hasilnya, seberapa lama bisa bertahan, dan apakah kebijakannya berpihak pada banyak orang. Kalau cuma ngandelin satu sektor dan keuntungannya dinikmati segelintir pihak, ya siap-siap aja: yang tumbuh bukan kesejahteraan, tapi kesenjangan sosial.Mari kita bikin bayangan konkret. Misalnya, PDB Indonesia sekarang sekitar USD 1 triliun, atau kira-kira Rp 17.000 triliun kalau pakai kurs Rp 17.000 per dolar AS.Kalau ekonomi tumbuh 5%, berarti dalam setahun ekonomi kita bertambah sekitar USD 50 miliar — atau Rp 850 triliun. Jumlah segede ini kalau dikelola dengan baik, bisa bikin perubahan nyata buat hidup jutaan orang.Coba lihat dari sisi infrastruktur. Uang segitu bisa dipakai buat bangun ribuan kilometer jalan tol, jembatan, sampai transportasi publik yang lebih modern. Kalau biaya satu kilometer tol sekitar Rp 50–70 miliar, maka tambahan Rp 850 triliun bisa bikin 12.000–17.000 kilometer jalan tol baru! Bayangin, dari Sabang sampai Merauke bisa tersambung mulus.Di sektor pendidikan, uang sebesar itu bisa naikin gaji guru, bangun sekolah baru, dan memperluas akses kuliah. Kalau biaya pendidikan per siswa per tahun sekitar Rp 10 juta, maka Rp 850 triliun bisa membiayai 85 juta siswa selama setahun penuh. Generasi emas bukan lagi slogan, tapi kenyataan.Untuk kesehatan, Rp 850 triliun bisa bangun rumah sakit baru, beli alat kesehatan canggih, dan perluas jangkauan BPJS. Kalau satu rumah sakit rujukan butuh Rp 500 miliar, berarti bisa bikin 1.700 rumah sakit baru — cukup buat bikin pelayanan kesehatan naik kelas di seluruh negeri.Dari sisi investasi dan lapangan kerja, uang ini bisa disalurin ke industri, UMKM, dan sektor teknologi. Kalau setiap proyek bisa nyiptain 1.000 lapangan kerja, maka Rp 850 triliun bisa membuka jutaan pekerjaan baru. Efeknya, pengangguran turun, daya beli naik.Lalu di bidang program sosial, Rp 850 triliun bisa memperkuat bantuan langsung tunai, subsidi pangan, dan program pengentasan kemiskinan. Misalnya tiap keluarga dapat Rp 1 juta per bulan, dana ini bisa menopang 70 juta keluarga selama setahun penuh. Kalau kita fokus ke lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi 5% bisa punya efek yang luar biasa besar, meski juga hasil akhirnya tergantung banget pada struktur ekonomi dan kebijakan pemerintahnya. Soalnya, pertumbuhan itu nggak otomatis bikin lapangan kerja muncul—semua tergantung seberapa merata, inklusif, dan padat karya pertumbuhan itu dijalanin.Pertama, kalau ekonomi tumbuh, otomatis permintaan tenaga kerja naik. Produksi barang dan jasa meningkat, perusahaan butuh lebih banyak orang buat memenuhi permintaan pasar. Industri manufaktur misalnya, bakal butuh tambahan operator pabrik, teknisi, dan manajer produksi. Di sisi lain, sektor jasa seperti transportasi, logistik, dan pariwisata juga nambah staf buat ngimbangi lonjakan aktivitas ekonomi.Kedua, pertumbuhan ekonomi bikin investasi baru berdatangan, yang ujung-ujungnya menciptakan pekerjaan baru. Begitu ekonomi kelihatan stabil dan menjanjikan, investor lokal maupun asing jadi berani masuk. Pabrik baru dibangun—artinya puluhan sampai ribuan orang dapat kerja. Proyek infrastruktur kayak jalan, bandara, dan jembatan juga nyerap banyak tenaga kerja: dari insinyur, pekerja konstruksi, sampai staf pendukung teknis.Ketiga, ekonomi yang tumbuh juga jadi angin segar buat UMKM dan startup. Daya beli masyarakat naik, penjualan meningkat, dan akses ke modal pun makin gampang. Pengusaha kecil bisa ekspansi, dan efeknya, lapangan kerja—baik formal maupun informal—makin banyak. Apalagi sektor yang dinamis kayak retail, layanan jasa, dan teknologi, makin rame dan nyerap banyak tenaga muda.Keempat, pertumbuhan ekonomi nggak cuma soal jumlah kerjaan, tapi juga kualitasnya. Saat ekonomi berkembang, peluang untuk dapet gaji lebih tinggi dan pelatihan keterampilan juga naik. Sektor modern seperti energi terbarukan, jasa digital, dan industri manufaktur canggih mulai tumbuh, membuka peluang kerja yang lebih keren dan menjanjikan masa depan.Tapi tentu aja, ada tantangan dan batasannya. Pertumbuhan 5% nggak otomatis bikin semua orang dapet kerja. Kalau pertumbuhan cuma terkonsentrasi di sektor padat modal kayak tambang atau ekspor komoditas, lapangan kerja bisa nggak merata. Atau kalau teknologi makin menggantikan tenaga manusia lewat otomatisasi, lapangan kerja baru bisa nggak seimbang sama laju pertumbuhan. Karena itu, pemerintah perlu bikin kebijakan yang inklusif, misalnya subsidi pelatihan, program penyerapan tenaga kerja, dan investasi di sektor padat karya.Sebagai contoh nyata di Indonesia, kalau pertumbuhan 5% menambah USD 50 miliar ke PDB nasional, dan setiap USD 50.000 investasi bisa menciptakan satu lapangan kerja, maka ada potensi tercipta sekitar satu juta pekerjaan baru dalam setahun. Jumlahnya bisa lebih besar lagi kalau dana itu dialirkan ke sektor padat karya seperti konstruksi, manufaktur, dan jasa—sektor-sektor yang memang paling cepat nyerap tenaga kerja.
Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi 5% bukan cuma angka di laporan BPS. Ini berarti negara punya ruang finansial besar buat naikin kualitas hidup rakyat, bangun infrastruktur, dan dorong pembangunan yang berkelanjutan—asal duitnya dikelola dengan jujur, efisien, dan adil.
Dalam ilmu ekonomi, ada batas praktis yang sering disebut “sweet spot,” yaitu titik ideal dimana pertumbuhan ekonomi dipandang sehat dan berkelanjutan. Angkanya enggak mutlak, karena sangat tergantung pada struktur ekonomi, jumlah penduduk, dan kestabilan institusional suatu negara. Tapi para ekonom umumnya sepakat ada kisaran tertentu yang menunjukkan bahwa sebuah ekonomi berada dalam kondisi prima.Kalau pertumbuhannya rendah, misalnya di bawah dua atau tiga persen, biasanya dianggap kurang ideal—apalagi untuk negara berkembang. Pertumbuhan yang lambat sering jadi tanda adanya masalah struktural atau stagnasi di sektor-sektor penting. Akibatnya? Pengangguran tinggi, investasi seret, dan daya beli masyarakat sulit naik. Singkatnya, ekonomi dengan pertumbuhan rendah susah banget bikin rakyatnya benar-benar maju. Nah, kalau kita liat angka dari BPS yang bilang pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen, tapi kenyataannya pengangguran tinggi, investasi jalan di tempat, dan daya beli masyarakat susah naik, ya wajar aja kalau kita mulai meragukan angka itu. Kalau ditelaah lagi, pertumbuhan sekitar 2,5 persen terasa jauh lebih masuk akal dengan kondisi kayak gini.Sementara itu, pertumbuhan moderat—antara tiga sampai enam persen—biasanya dianggep paling sehat dan berkelanjutan. Ini cocok banget buat negara berkembang seperti Indonesia. Pertumbuhan di kisaran ini bisa membuka banyak lapangan kerja, menaikkan pendapatan per kapita, dan memberi ruang bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur publik. Contohnya, banyak negara di Asia Tenggara sengaja menargetkan empat sampai lima persen sebagai “sweet spot” agar ekonominya stabil tapi tetep maju.Kalau pertumbuhannya terlalu tinggi, di atas tujuh atau delapan persen, sekilas memang kelihatan keren banget. Investor berdatangan, standar hidup naik cepat, semua orang optimis. Tapi di balik itu ada risiko tersembunyi: inflasi bisa melonjak kalau produksi nggak sanggup mengejar permintaan; ketimpangan ekonomi bisa makin lebar kalau pertumbuhan cuma terjadi di sektor tertentu; bahkan sumber daya alam dan infrastruktur bisa kepanasan alias overheating.Dalam ekonomi, “overheating” itu artinya kondisi ketika ekonomi tumbuh terlalu cepet, melebihi kapasitas yang bisa ditanggung, sehingga muncul ketidakseimbangan dan potensi instabilitas. Intinya, sumber daya ekonomi—tenaga kerja, modal, dan infrastruktur—digunakan di batas maksimal atau bahkan melebihi batasnya.Kalau permintaan lebih tinggi daripada pasokan, efeknya bisa berupa inflasi tinggi, harga aset naik drastis, kekurangan tenaga kerja, dan tekanan pada sumber daya alam. Overheating berisiko karena pertumbuhan yang terlihat kencang itu gak bisa dipertahankan lama-lama tanpa menimbulkan masalah serius, bahkan bisa berujung resesi.Secara nyata, ekonomi yang “overheated” bisa bikin harga barang dan jasa melambung, gaji naik lebih cepat dari produktivitas, tenaga kerja terampil langka, dan transportasi, energi, serta hunian jadi kewalahan. Pemerintah biasanya coba “nge-rem” ekonomi dengan menaikkan suku bunga, mengurangi belanja negara, atau membatasi kredit agar ekonomi enggak kebablasan.Sebaliknya, kalau pertumbuhan negatif alias ekonomi menyusut, itu udah lampu merah. Produksi turun, pengangguran naik, daya beli jeblok. Kalau berlangsung lama, negara bisa masuk ke jurang resesi dan butuh waktu lama buat pulih.
Bagi negara berkembang, pertumbuhan sekitar empat sampai enam persen per tahun biasanya dianggap paling ideal—cukup buat meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperluas lapangan kerja, dan membangun infrastruktur, tanpa bikin inflasi atau ketimpangan sosial jadi liar.Yuk kita lanjut ke topik yang sebenernya nggak ngomongin koperasi secara langsung, tapi nyambung banget sama prinsip-prinsip koperasi.
Together: The Rituals, Pleasures and Politics of Cooperation (2012, Yale University Press) oleh Richard Sennett, basically ngomongin soal gimana manusia sebenernya “didesain” buat bisa kerjasama. Tapi bukan cuma soal kerjaan kantor atau duit-duit-an, tapi juga di kehidupan sehari-hari—melalui ritual, kebiasaan bareng, dan saling respect. Doski bilang, kemampuan kerjasama itu skill yang kudu diasah lewat kesabaran, saling percaya, dan interaksi sosial. Tapi, ada juga hal-hal yang bikin kerjasama gagal, kayak kesenjangan sosial, isolasi, atau hierarki yang kaku. Intinya, ngerti cara manusia bisa kerjasama bakal bikin hubungan antar orang lebih oke dan masyarakat lebih solid.Sennett gak cuma ngomong soal “kerja bareng” biasa. Buat doi, cooperation itu sesuatu yang kompleks—gabungan antara sabar, saling percaya, respect, dan saling ngerti. Kerjasama itu skill sekaligus seni sosial: orang harus bener-bener engage, negosiasi perbedaan, dan ikut ritual atau interaksi yang bikin rasa percaya tumbuh. Doski juga bilang, kerjasama nggak otomatis jalan; cuma berkembang kalau orang mau ngenalin sisi kemanusiaan orang lain dan invest waktu buat hubungan. Yang seru, Sennett juga bilang cooperation itu bisa bikin senang dan punya sisi politik—bisa nge-bentuk komunitas, nge-kuatin ikatan sosial, dan bikin aksi kolektif yang gak bisa dicapai cuma lewat hirarki atau transaksi biasa.Sennett ngasih contoh cooperation yang gampang dibayangin sehari-hari. Misalnya, satu band jazz lagi improvisasi bareng: tiap pemain kudu dengerin yang lain, nge-adjust mainnya biar tetep harmonis. Di situ keliatan sabar, perhatian, dan fleksibilitas—semua skill penting buat kerjasama. Contoh lain, proyek komunitas kayak bikin taman bareng tetangga. Semua nego tugas, sharing barang, dan rayain keberhasilan kecil bareng-bareng, bikin kerjaan yang sebenernya biasa jadi bonding sosial yang seru. Bahkan di kantor, Sennett bilang, tim bakal jalan lancar kalau anggota saling respect kontribusi masing-masing dan mau ikut ritual kecil kayak daily check-in atau problem-solving bareng, yang lama-lama bikin trust tumbuh. Dari semua contoh ini, kelihatan banget kalau cooperation itu mesti dipelajari, dilatih, dan bisa bikin senang karena ada rasa capai bareng-bareng. [Dalam konteks buku Richard Sennett Together: The Rituals, Pleasures and Politics of Cooperation, kata “cooperation” paling tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kerjasama”. Namun, penting dicatat bahwa Sennett memaknai cooperation lebih luas daripada sekadar “bekerja bersama untuk mencapai tujuan”. Doski menekankan aspek sosial, psikologis, dan emosional: kesabaran, saling percaya, saling menghargai, membangun ritual atau interaksi berulang, dan menikmati proses kerja sama itu sendiri. Jadi, “kerjasama” di sini bukan cuma soal tugas atau pekerjaan, tapi interaksi manusia yang penuh perhatian dan rasa tanggungjawab sosial].
Sennett ngomongin soal “mindset” yang bikin kerja sama beneran jalan. Menurutnya, kerjasama itu gak cuma soal aturan atau tindakan luar, tapi soal punya sikap internal yang penuh perhatian, empati, dan respect sama orang lain. Mindset ini bikin kita peka sama kebutuhan orang lain, bisa negosiasi perbedaan tanpa ribut, dan santai menghadapi hal-hal yang nggak bisa diprediksi dari interaksi manusia. Sennett bilang, mindset ini dibangun lewat latihan, interaksi berulang, dan ikut ritual bareng yang ngebangun trust. Dengan cara ini, kerjasama bukan cuma sekadar tugas, tapi jadi pengalaman sosial dan emosional yang seru dan rewarding.
Menurut Sennet, kerjasama itu bukan cuma skill atau pilihan individu, tapi juga dipengaruhi banget ama lingkungan sosial sekitar. Hierarki sosial, kesenjangan ekonomi, dan komunitas yang terpisah-pisah bisa bikin trust susah tumbuh dan kerjasama jadi ribet. Sebaliknya, lingkungan yang nyediain interaksi, saling respect, dan tujuan bareng biasanya bikin kerjasama jalan lebih gampang. Sennett juga ngeremind soal sisi politik dan moral: kalau mau masyarakat bisa kerjasama beneran, ketimpangan sosial harus dikurangi dan harus ada ruang buat semua orang terlibat.
Sennet bilang, hubungan kerja sama itu gampang goyah karena tergantung sama perhatian terus-menerus, trust, dan saling respect. Salah paham kecil, komunikasi yang bolong, atau rasa tersinggung bisa bikin kerja sama runtuh. Sennett ngingetin kalau ngejaga keseimbangan ini butuh kesadaran individu, komitmen bareng, dan ngerti kalau interaksi manusia itu nggak selalu bisa diprediksi. Kerentanan kerja sama ini bukan kelemahan, tapi memang bagian dari sifatnya, dan belajar nge-handle hal ini, merupakan bagian dari kecerdasan sosial dan emosional.
Kata Sennet, guncangan sosial atau personal—kayak ekonomi nggak stabil, politik lagi ribut, atau norma sosial yang berubah—bisa bikin pola trust dan kolaborasi yang udah terbentuk jadi goyah. Orang sering kesulitan nge-adapt skill kerjasama mereka kalau rutinitas atau ekspektasi yang biasa tiba-tiba berubah, dan ini bisa bikin konflik, mundur, atau hubungan sosial runtuh. Sennett ngingetin kalau nge-develop resilience, fleksibilitas, dan sikap terbuka buat belajar dari orang lain itu penting banget biar kerjasama tetep jalan di tengah ketidakpastian. “Unsettling” ini, menurutnya, gak cuma risiko, tapi juga kesempatan: bisa bikin kerja sama goyah, tapi juga bikin orang refleksi, inovasi, dan nego ulang ikatan sosial.
Sennett ngebahas faktor-faktor yang bikin kerjasama manusia jadi lemah dan susah dipertahankan. Ia nyebutin tiga penyebab utama. Pertama, inequality—gap gede soal duit, power, atau status sosial—ngegerus trust karena orang gak yakin orang lain bakal fair atau balas usaha mereka. Kedua, social triangle itu struktur masyarakat dimana power, prestige, dan sumber daya numpuk cuma di segelintir orang. Hierarki kaku ini bikin respect dan keterlibatan bareng-bareng susah, interaksi jadi lebih kompetitif daripada kolaboratif. Ketiga, uncooperative self itu kebiasaan psikologis orang yang lebih utamain keuntungan pribadi daripada tujuan bareng, apalagi kalau kondisi sosial mendukung perilaku begitu. Menurut Sennett, ketiga faktor ini—ketimpangan, hierarki sosial, dan sikap egois—interaksi bareng-bareng bikin kerja sama rapuh, trust gampang runtuh, dan kolaborasi selalu dalam risiko. Buat ngatasinnya, doski bilang butuh reformasi sosial sekaligus latihan skill kerjasama yang sadar dan konsisten.
Biar gampang kebayang, berikut contoh nyata tiga faktor yang dibahas Sennett:Untuk inequality, bayangin kantor dimana bos dapet bonus gede banget sementara staff level bawah susah dapet fasilitas dasar. Karyawan jadi resentful dan kurang saling trust, bikin proyek bareng susah karena orang nggak mau share ide atau bener-bener mau bantuin.Soal social triangle, bayangin komunitas atau organisasi dimana cuma beberapa orang yang pegang power, prestige, dan bikin keputusan. Yang lain ngerasa cuma ikut perintah, kontribusinya gak dihargain. Hierarki kaku gini bikin kolaborasi susah, karena orang fokus kompetisi buat dapet perhatian daripada kerja bareng.Adapun tentang uncooperative self, bayangin seseorang yang selalu ngutamain keuntungan pribadi—misal ngambil credit atas kerjaan kelompok atau nyimpen info buat keuntungan sendiri. Kalau ini jadi kebiasaan, trust runtuh dan orang lain jadi ogah kerja bareng, bikin semangat kerjasama melemah.Intinya, Sennett pengen nunjukin kalau kerjasama itu nggak otomatis jalan—butuh fairness, kesetaraan, dan kebiasaan sosial yang ngebangun trust. Tanpa itu, bahkan orang yang skillful dan niat baik bakal susah buat kerja bareng efektif.Sennett juga ngebahas faktor-faktor yang bikin kerjasama manusia makin kuat. Menurutnya, kerjasama berkembang kalau ada kondisi sosial, psikologis, dan budaya yang mendukung. Yang paling penting itu trust, dibangun lewat interaksi berulang, keterbukaan, dan bisa diandalkan; kalau orang yakin orang lain bakal fair dan jaga janji, kerja bareng jadi lebih gampang. Faktor penting lain adalah saling respect, bikin orang bisa ngehargain kontribusi dan perspektif masing-masing, konflik berkurang, dan dialog lebih lancar. Sennett juga bilang, tujuan bareng atau visi sama penting banget, karena bikin orang mau kerjasama lebih dari sekadar kepentingan pribadi. Selain itu, ritual, rutinitas, dan kebiasaan sosial ngebantu interaksi jadi lebih predictable, nge-boost trust, dan bikin orang merasa belong. Terakhir, fleksibilitas dan adaptasi—mau nego, kompromi, dan respon sama perubahan—bikin kerjasama tetep jalan walau kondisi rumit atau gak pasti. Semua faktor ini bareng-bareng bikin lingkungan kerjasama jadi kuat, rewarding secara sosial, dan tahan lama.
Biar gampang kebayang, berikut contoh nyata faktor-faktor yang bikin kerja sama kuat ala Sennett:Untuk trust, bayangin tim di kantor dimana semua orang selalu tepat waktu, share info terbuka, dan jaga janji. Lama-lama semua yakin bisa saling ngandelin, bikin kerja bareng jadi lancar dan seru.Soal saling respect, contohnya proyek komunitas kayak bikin festival lokal. Meski tiap orang punya ide berbeda, mereka dengerin satu sama lain, hargain kontribusi masing-masing, dan negosiasi tanpa baper. Respect ini bikin minim konflik dan kerjasama kuat.Tentang tujuan bareng, bayangin volunteer yang bikin taman komunitas. Semua termotivasi sama visi sama—nyediain space buat tetangga—makanya mereka kerja bareng walau ada tugas yang ribet atau capek.Dengan ritual dan rutinitas, contoh gampangnya daily stand-up meeting atau check-in mingguan di tim. Kebiasaan sosial yang predictable ini bikin interaksi terstruktur, nge-boost trust, dan bikin orang merasa jadi bagian tim.Terakhir, fleksibilitas dan adaptasi muncul pas ada hal nggak terduga—misal hujan mendadak atau budget kebutuhannya kurang. Anggota tim nego ulang, adjust tugas, dan tetep kolaborasi meski situasi berubah.Dari semua ini, Sennett nunjukin bahwa kalo trust, respect, tujuan bareng, rutinitas, dan fleksibilitas ini nyatu, kerjasama jadi kuat, rewarding secara sosial, dan tahan lama.Pesan utama yang pengen disampein Sennett dalam Together itu: kerjasama manusia itu penting banget, tapi rapuh, dan butuh usaha sadar, awareness sosial, sama kecerdasan emosional. Ia bilang, kerjasama kagak otomatis jalan; mesti diasah lewat trust, saling respect, tujuan bareng, dan interaksi berulang. Sennett juga ngingetin kalau struktur sosial, ketimpangan, dan perilaku egois gampang banget bikin keropos kolaborasi, sementara ritual, rutinitas, dan fleksibilitas bisa nge-boost kerjasama. Kerjasama bukan cuma skill praktis, tapi juga sumber kesenangan, bonding sosial, dan punya makna politik, nge-bentuk komunitas dan institusi secara bermakna. Intinya, Sennett ngajak kita buat ngeh kompleksitas kolaborasi manusia dan aktif bikin lingkungan—baik personal maupun sosial—dimana kerjasama bisa berkembang dan bertahan lama.
Intinya, apa yang dibahas Sennett di Together itu nyambung banget sama prinsip-prinsip perkoperasian. Di koperasi, segalanya berjalan karena ada trust, saling bantu, dan tujuan bareng—mirip banget ama yang Sennett bilang soal kerjasama manusia: butuh sabar, saling respect, dan ritual-ritual kecil buat nge-boost hubungan sosial.Terus, Sennett juga bilang kalau hierarki kaku dan ketimpangan sosial bikin kerja sama gagal. Nah, di koperasi itu juga sama: keputusan entu kudu bareng-bareng, suara semua anggota dihargai, biar koperasi kagak pecah belah. Yang seru, Sennett ngomong soal “pleasure”—senang karena kerja bareng, rayain keberhasilan kecil, atau ritual bareng—ini kayak motivasi yang bikin koperasi jalan terus.Terakhir, Sennett juga ngebahas dimensi politik dari kerjasama—bagaimana aksi kolektif bisa nge-shape komunitas dan institusi. Koperasi juga gitu, bukan cuma soal bisnis, tapi bikin ekonomi lokal lebih kuat, bangun solidaritas, dan ngeremind orang soal tanggungjawab sosial. Jadi, buat Sennett dan koperasi, kerjasama itu bukan cuma cara dapet hasil, tapi skill, kesenangan bareng, sekaligus tindakan politik.
[Bagian 6]
Rabu, 08 Oktober 2025
Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (6)
[Bagian 7]Bila seekor anak Gajah nantangin Banteng, itu bukan duel gaya-gayaan, tapi adu keras kepala level dewa. Gajah yang masih bocah sok jagoan, ngegas pake badan gede, nyeruduk kayak lagi main GTA. Tapi Banteng? Doski bakalan kagak mau mundur. Doski nunduk, pasang kuda-kuda, dan siap nahan. Benturannya gak cantik—cuma debu, otot, dan ego. Di situ, Gajah bakal belajar: badan gede doang kagak cukup, kalau nggak bisa ngontrol, malah jadi bahaya buat diri sendiri. Banteng menang bukan karena lebih kuat, tapi doski menang karena tahu cara bertahan. Pelajaran buat sang anak Gajah? Kedewasaan itu bukan soal ukuran, tapi soal timing dan ketangguhan.Andai sang anak Gajah nekat nantang sang Elang, itu bukan duel seimbang, tapi clash dua vibe. Gajah yang masih belajar cara jalan udah sok ngegas, hentakin bumi kayak mau bikin gempa. Tapi Elang? Doski kagak bakalan turun. Doski terbang makin tinggi, ngintip dari atas, nungguin momen pas buat nyerang. Elang menang bukan karena kuat, tapi karena cerdik. Doski bikin sang anak Gajah capek sendiri, terus nyentil pas si Gajah lengah. So, pelajaran buat sang Gajah: tenaga doang kagak cukup, kalau kagak dibarengin otak, loe cuma rame doang.
Nah, kalau sang anak Gajah yang masih labil itu ngotot mau ngalahin para Elang dan sang Banteng, skenarionya kudu bikin doi kapok bukan karena dihajar, tapi karena malu sendiri. Para Elang sih kagak nyerang, cukup terbang bareng, muter-muter di atas kepala sang Gajah sambil gaya. Banteng kagak perlu nyeruduk, cukup berdiri tegak, jadi cermin keras kepala. Gajah yang sok jago itu bakalan bingung, capek sendiri, dan akhirnya nyadar: doski kagak bisa nguasain langit, enggak bisa naklukin daratan, dan yang paling parah—gak ada yang mau ikutan ama doski. Kekalahan paling pedih itu bukan karena ditampar, tapi oleh gema kesepian saat ditinggalin.
Kembali ke pembahasan buku kita.
Claudia Sanchez Bajo dan Bruno Roelants mengenalkan ide bahwa koperasi—baik yang berbasis pekerja, konsumen, maupun produsen—menekankan kepemilikan bersama, tatakelola demokratis, dan keberlanjutan jangka panjang, yang sangat berbeda dengan kapitalisme konvensional yang serba spekulatif dan mementingkan untung cepat.Mereka menekankan bahwa koperasi bukan sekadar eksperimen idealis atau ceruk kecil, tapi sudah terbukti tahan banting di dunia nyata saat krisis ekonomi. Dengan memperkenalkan contoh-contoh ini, para penulis ingin menunjukkan bagaimana koperasi bisa menyeimbangkan kelayakan finansial dengan tujuan sosial, melindungi anggota dari dampak terburuk krisis utang, dan menawarkan jalur alternatif supaya ekonomi bisa tumbuh lebih berkelanjutan dan manusiawi.Para penulis menekankan peran penting koperasi baik secara ekonomi maupun sosial di seluruh dunia. Mereka bilang, koperasi bukan pemain pinggiran atau eksklusif, tapi justru kontributor besar bagi pekerjaan, penciptaan kekayaan, dan kohesi sosial di banyak negara. Secara ekonomi, koperasi menghasilkan pendapatan signifikan, menstabilkan ekonomi lokal, dan menyediakan barang/jasa yang mungkin diabaikan perusahaan profit-driven. Mereka sering aktif di sektor pertanian, perbankan, perumahan, dan ritel, melayani populasi besar dengan cara yang efisien dan adil.Secara sosial, para penulis menekankan bahwa koperasi mendorong partisipasi demokratis, pengambilan keputusan kolektif, dan tanggungjawab bersama. Anggota sekaligus pemilik dan partisipan, sehingga tercipta pemikiran jangka panjang, praktik etis, dan solidaritas sosial. Koperasi juga cenderung lebih tahan banting saat krisis ekonomi, karena struktur tatakelola dan misi yang berfokus pada anggota mengurangi tekanan untuk keuntungan spekulatif jangka pendek. Dengan menggabungkan efisiensi ekonomi dan tujuan sosial, koperasi menunjukkan bahwa profitabilitas bisa dicapai tanpa mengorbankan kesejahteraan komunitas atau standar etika. Subbab ini memposisikan koperasi sebagai alternatif praktis dan skalabel dibanding praktik kapitalisme berbasis utang yang tak berkelanjutan.Para penulis menekankan bahwa koperasi adalah pemain ekonomi besar di dunia. Mereka bilang koperasi menghasilkan pendapatan signifikan, menjaga stabilitas ekonomi lokal dan nasional, serta menyediakan barang dan jasa di sektor-sektor yang sering dihindari perusahaan profit-oriented. Koperasi aktif di bidang pertanian, perbankan, ritel, perumahan, dan energi, menciptakan pasar yang sebaliknya bakal kosong. Model ini bikin kekayaan tetap berputar di komunitas, nggak lari jauh-jauh ke pemegang saham. Dengan begitu, koperasi gak cuma nambah GDP, tapi juga bikin ekonomi lebih tahan banting, jauh dari siklus boom-and-bust ala kapitalisme berbasis utang.
Para penulis menyoroti bahwa koperasi punya dimensi sosial yang kuat. Mereka menciptakan lapangan kerja yang lebih stabil dan inklusif dibanding perusahaan biasa, dengan gaji adil, fasilitas, dan tatakelola partisipatif. Anggota yang ikut langsung dalam pengambilan keputusan juga belajar skill baru, merasa lebih berdaya, dan bikin komunitas lebih solid. Selain pekerjaan, koperasi membangun social capital: mendorong kerjasama, keterlibatan komunitas, dan tanggungjawab etis. Model ini mengurangi ketimpangan, memberi suara pada kelompok terpinggirkan, dan memperkuat tatanan sosial, sehingga komunitas lebih tahan banting saat krisis.
Sanchez Bajo dan Roelants bilang, banyak manfaat koperasi yang nggak bisa diukur pakai metode ekonomi biasa seperti GDP atau margin keuntungan. Misalnya: rasa percaya, solidaritas, kohesi sosial, praktik bisnis etis, dan pemberdayaan anggota. Koperasi sering menangani kebutuhan sosial yang penting tapi nggak menguntungkan secara finansial—contohnya, menyediakan perumahan terjangkau, perbankan lokal, atau layanan komunitas. Mereka juga tetep mempertahankan pekerjaan saat perusahaan biasa lagi krisis dan PHK besar-besaran. Kontribusi ini bikin kualitas hidup lebih baik, mengurangi ketegangan sosial, dan menciptakan masyarakat yang lebih stabil dan tahan banting, tapi hampir nggak terlihat di statistik ekonomi konvensional.
Para penulis bilang kalau koperasi terbukti lebih tahan banting dibanding perusahaan kapitalis biasa saat krisis ekonomi. Mereka menjelaskan bahwa struktur koperasi—d mana anggota sekaligus pemilik dan ikut mengelola—bikin keputusan ekonomi lebih fokus pada keberlanjutan jangka panjang daripada untung cepat. Struktur ini juga mengurangi risiko dari praktik finansial spekulatif dan mendorong pengelolaan utang serta sumber daya dengan hati-hati.Mereka memberikan contoh bahwa saat krisis finansial, koperasi tetap selalu mempertahankan pekerjaan, menyediakan barang/jasa penting, dan menjaga kekayaan komunitas. Tatakelola demokratis dan misi yang berfokus pada anggota bikin keputusan prioritaskan kesejahteraan bersama, bukan spekulasi berisiko tinggi, sehingga lebih kebal terhadap gejolak pasar. Bagian ini menekankan bahwa ketahanan koperasi bukan kebetulan, tapi fitur struktural dari modelnya, menunjukkan bahwa usaha ekonomi bisa tetap stabil sekaligus bertanggungjawab secara sosial.Para penulis membahas bagaimana koperasi punya logika unik yang membedakannya dari perusahaan kapitalis biasa. Mereka bilang, supaya ngerti kenapa koperasi tahan banting dan efektif, kita kudu ngelihat standar internasional dan prinsip operasionalnya, yang bersama-sama membentuk apa yang disebut “rasionalitas koperasi.”Pertama, standar koperasi internasional memberikan kerangka kerja yang mendefinisikan apa itu koperasi dan memastikan koperasi tetap memegang prinsip kepemilikan anggota, tatakelola demokratis, dan tanggungjawab sosial. Standar ini jadi referensi global, bikin koperasi tetap punya identitas meski beroperasi di berbagai konteks ekonomi dan budaya.Lapisan pertama dari rasionalitas koperasi: definisi internasional menekankan pengakuan hukum dan konseptual koperasi. Dijelaskan bahwa koperasi adalah perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh anggotanya, yang berbagi manfaat sekaligus tanggungjawab. Definisi ini menegaskan komitmen koperasi terhadap kesejahteraan bersama, pengambilan keputusan partisipatif, dan kebutuhan anggota diutamakan daripada maksimalisasi laba.Lapisan kedua dari rasionalitas koperasi: prinsip operasional fokus pada bagaimana koperasi berjalan sehari-hari. Prinsip-prinsip ini—seperti keanggotaan sukarela, kontrol demokratis anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan independensi, pendidikan dan pelatihan, kerja sama antar koperasi, serta kepedulian terhadap komunitas—jadi panduan keputusan harian dan strategi jangka panjang. Prinsip-prinsip ini memastikan koperasi tetap berfokus pada misi, berkelanjutan, dan bertanggung jawab sosial, bahkan saat tekanan ekonomi tinggi. Kedua lapisan ini bersama-sama menunjukkan kenapa koperasi bisa tahan banting dan adil, karena rasionalitas mereka bukan cuma soal finansial, tapi juga sosial dan demokratis.Para penulis secara eksplisit mendefinisikan nilai-nilai koperasi dan menyebutkan prinsip-prinsip utama yang mendasarinya. Mereka mendefinisikan nilai koperasi sebagai keyakinan etis dan moral inti yang memandu operasi koperasi dan interaksi antar anggota. Nilai-nilai ini menjadi fondasi tatakelola, pengambilan keputusan, dan tanggungjawab sosial koperasi, yang membedakannya dari perusahaan biasa yang cuma mementingkan untung.Para penulis menyebutkan nilai-nilai utama koperasi sebagai:
- Self-help (saling bantu)–anggota berinisiatif memperbaiki kesejahteraan diri dan bersama.
- Self-responsibility (tanggung jawab)–anggota bertanggungjawab atas tindakan mereka di koperasi.
- Democracy (demokrasi)–setiap anggota punya suara dalam pengambilan keputusan
- Equality (kesetaraan)–semua anggota diperlakukan adil dan punya kesempatan yang sama.
- Equity (keadilan)–manfaat dan tanggungjawab dibagi secara adil antar anggota.
- Solidarity (solidaritas)–anggota saling mendukung dan menjaga kohesi sosial.
Mereka menjelaskan bahwa nilai-nilai ini bukan sekadar ideal abstrak; nilai-nilai ini nyata memengaruhi perilaku, tata kelola, dan hasil koperasi. Nilai-nilai ini jadi tulang punggung etis yang memungkinkan koperasi mengejar tujuan ekonomi sekaligus memajukan kesejahteraan sosial, membangun kepercayaan, dan menjaga ketahanan jangka panjang.Mereka menekankan bahwa nilai-nilai koperasi adalah fondasi moral dan etis yang bikin koperasi berbeda dari perusahaan kapitalis biasa. Mereka bilang, nilai-nilai seperti saling bantu (self-help), tanggungjawab (self-responsibility), demokrasi, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas nggak cuma memandu tatakelola koperasi, tapi juga perilaku anggota sehari-hari. Nilai-nilai ini bikin keputusan diambil untuk kepentingan bersama, bukan cuma buat pemegang saham eksternal atau untung cepat.Para penulis menekankan bahwa nilai koperasi bukan sekadar simbol atau slogan. Nilai solidaritas bikin anggota saling dukung saat ada kesulitan, demokrasi memastikan semua suara terdengar dan manajemen bertanggung jawab. Keadilan dan equity mengurangi ketimpangan internal dan membangun kepercayaan, yang bikin koperasi lebih tahan banting. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, koperasi bisa menyelaraskan aktivitas ekonomi dengan tujuan sosial, membuktikan bahwa sukses bisnis bisa jalan bareng tanggungjawab etis dan kesejahteraan komunitas.Para penulis menjelaskan bahwa mutuals adalah semacam organisasi ekonomi yang punya “jiwa kembar” dengan koperasi, tapi sedikit berbeda dalam bentuk dan tujuannya. Kalau koperasi itu bisa terjun ke banyak bidang produksi dan perdagangan, mutuals biasanya fokus pada layanan tertentu seperti asuransi, keuangan, atau kesehatan—semuanya untuk kepentingan para anggotanya sendiri.Menurut para penulis, mutuals dimiliki dan dijalankan oleh para anggotanya, yang sekaligus menjadi pengguna jasa tersebut. Tujuan utamanya bukan cari untung besar, tapi memberikan perlindungan dan kesejahteraan timbal balik bagi sesama anggota. Dalam model ini, kepercayaan dan tanggung jawab bersama jadi pondasi utama, bukan kompetisi dan kerakusan seperti dalam logika kapitalisme murni.Bajo dan Roelants juga menegaskan bahwa mutuals, sama seperti koperasi, menghadirkan model ekonomi yang lebih manusiawi. Mereka menunjukkan bahwa mutuals lebih tahan banting saat krisis finansial global karena mereka tidak ikut-ikutan main spekulasi, melainkan fokus menjaga stabilitas dan keamanan anggota. Jadi, mutuals bisa dibilang bukti nyata bahwa ekonomi berkelanjutan bisa tumbuh dari gotong royong, bukan dari kerakusan pasar.Para penulis menegaskan bahwa koperasi bukan sekadar badan usaha, tapi juga aktor sosial dan politik yang hidup di tengah pusaran kapitalisme. Mereka berargumen bahwa koperasi lahir bukan cuma untuk bersaing di pasar, tapi untuk menantang logika ekonomi dominan—sistem yang menuhankan laba, memuja akumulasi, dan lupa pada manusia.Menurut mereka, koperasi punya “dua wajah”: satu sisi harus tetap beroperasi dalam sistem pasar yang keras, menghadapi harga, persaingan, dan tekanan finansial; tapi di sisi lain, koperasi tetap memegang teguh nilai-nilai seperti demokrasi, solidaritas, dan kepemilikan bersama, yang menentang egoisme dan hirarki khas kapitalisme. Jadi, koperasi itu seperti “anak baik” yang terjebak di rumah penuh kapitalis, tapi diam-diam sedang belajar mengganti aturan mainnya.Para penulis juga menyoroti bahwa dari kacamata ekonomi politik, koperasi adalah bentuk nyata dari redistribusi kekuasaan ekonomi. Dengan memberikan kendali kepada para anggota dan pekerja atas keputusan serta hasil usaha, koperasi mendemokratisasi kehidupan ekonomi, dan menawarkan model tatakelola alternatif—yang kalau dikembangkan serius, bisa menyeimbangkan kembali relasi antara modal, tenaga kerja, dan masyarakat.Para penulis menyoroti Koperasi Penyelam dan Nelayan Pulau Natividad sebagai contoh menarik bagaimana koperasi kecil yang digerakkan oleh komunitas dapat mengelola sumber daya alam untuk menghasilkan kekayaan secara berkelanjutan. Terletak di lepas pantai Baja California, Meksiko, Pulau Natividad adalah pulau kecil yang tandus dengan sekitar 400 penduduk, sebagian besar bergantung pada perikanan tradisional untuk mata pencaharian mereka. Koperasi ini, yang secara resmi dikenal sebagai Sociedad Cooperativa de Producción Pesquera Buzos y Pescadores de Baja California, memegang konsesi dari pemerintah yang memberi mereka hak eksklusif untuk mengeksploitasi area laut di sekitarnya.Kegiatan utama koperasi ini melibatkan penangkapan abalon, kerang langka dan bernilai tinggi. Penyelam menggunakan sistem hookah, menghabiskan empat hingga lima jam setiap hari di bawah air, dibantu oleh rekan-rekan mereka di perahu kecil. Metode ini memungkinkan penyelam memperoleh penghasilan yang substansial, dengan beberapa di antaranya menghasilkan hingga US$10.000 per bulan, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional. Keberhasilan koperasi ini disebabkan oleh pemerintahan demokratis, kepemilikan kolektif, dan komitmen kuat terhadap praktik perikanan berkelanjutan.Model ekonomi koperasi disini menekankan distribusi keuntungan yang adil di antara anggota, mendorong rasa kebersamaan dan tanggungjawab bersama. Dengan mengendalikan seluruh rantai produksi—dari penangkapan hingga pemasaran—koperasi memastikan bahwa manfaat dari usaha mereka tetap berada dalam komunitas. Pendekatan ini tak hanya meningkatkan stabilitas ekonomi tetapi juga memperkuat kohesi sosial, karena anggota bekerja sama untuk memelihara dan meningkatkan sumber daya bersama mereka.Menyadari kerentanannya terhadap ekosistem laut, koperasi telah menerapkan langkah-langkah untuk memastikan kelangsungan jangka panjang area penangkapan mereka. Mereka telah mendirikan cagar laut dan melakukan pemantauan rutin untuk menilai kesehatan kehidupan laut. Inisiatif ini didukung oleh organisasi ilmiah seperti Comunidad y Biodiversidad A.C. (COBI) dan Reef Check Foundation, yang menyediakan pelatihan dan sumber daya untuk pengumpulan dan analisis data. Pendekatan proaktif terhadap pengelolaan lingkungan ini telah berkontribusi pada ketahanan operasi koperasi, bahkan di tengah tantangan seperti perubahan iklim dan penangkapan ikan berlebihan.Meskipun telah mencapai banyak keberhasilan, koperasi ini menghadapi tantangan yang terus-menerus, termasuk dampak perubahan iklim, fluktuasi permintaan pasar, dan kebutuhan untuk investasi berkelanjutan dalam praktik yang ramah lingkungan. Koperasi telah beradaptasi dengan mendiversifikasi aktivitas mereka, mengeksplorasi spesies alternatif untuk budidaya, dan terlibat dalam upaya konservasi berbasis komunitas. Strategi-strategi ini tidak hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan kapasitas koperasi untuk merespons perubahan lingkungan dan ekonomi.Koperasi Penyelam dan Nelayan Pulau Natividad menunjukkan bagaimana organisasi berbasis komunitas skala kecil dapat mengelola sumber daya alam secara efektif untuk menghasilkan kekayaan dan menggalakkan kesejahteraan sosial. Melalui struktur tatakelola yang demokratis, praktik berkelanjutan, dan rasa kebersamaan yang kuat, koperasi ini telah menciptakan model yang menyeimbangkan kesuksesan ekonomi dengan tanggungjawab lingkungan dan sosial. Pengalaman mereka menawarkan wawasan berharga bagi komunitas lain yang ingin mengembangkan mata pencaharian berkelanjutan sambil melestarikan warisan alam mereka. [Agar lebih memahami tantangan dan solusi yang dihadapi oleh komunitas ini, dikau dapat menonton video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=t4zJKKca5Dc]Akhirnya, para penulis mengirim pesan utama: bisnis bisa sukses tanpa harus mengorbankan tanggungjawab sosial, tatakelola demokratis, atau pelestarian lingkungan. Mereka bilang, krisis finansial global membongkar kelemahan perusahaan kapitalis biasa yang cuma ngejar untung cepat dan spekulasi, tapi lupa soal keberlanjutan jangka panjang dan kesejahteraan masyarakat. Lewat studi kasus koperasi, termasuk Koperasi Penyelam dan Nelayan Pulau Natividad, mereka menunjukkan bahwa model ekonomi alternatif—berbasis kepemilikan kolektif, partisipasi anggota, dan nilai etis—bisa menghasilkan uang sambil tetap melindungi orang dan alam.Pesan besar buku ini: koperasi itu bukan sekadar hal minor atau lucu-lucuan, tapi alternatif nyata dan bisa dikembangkan yang nunjukin kalau pasar bisa jalan seirama dengan masyarakat. Dengan menyoroti ketahanan koperasi, kerangka etisnya, dan komitmen terhadap keberlanjutan, penulis menantang anggapan bahwa laba harus selalu mengorbankan kebaikan sosial. Pada akhirnya, mereka mendorong paradigma ekonomi dimana tanggungjawab bersama, pengambilan keputusan demokratis, dan pemikiran jangka panjang jadi panduan bisnis, membuktikan bahwa ekonomi yang berpusat pada manusia bukan cuma mungkin, tapi penting banget di dunia modern.
[Bagian 5]