Media itu punya peran yang gokil banget buat demokrasi yang bener. Doski kayak jembatan antara pemerintah sama kita semua, ngasih info yang akurat, jujur, dan cepet soal urusan politik dan kebijakan, biar kita rakyat jelanta ini gak asal comot tapi ngerti jalan ceritanya. Selain itu, media juga jadi penjaga, ngawasin pemerintah jangan sampai korupsi atau bikin ulah, biar mereka tetep harus tanggungjawab ke rakyat. Media juga nyediain tempat buat debat dan ngobrol bareng, bikin suara-suara beda bisa nyambung dan demokrasi makin warna-warni. Tapi yang paling penting, media harus tetep bebas dan gak boleh dikuasain sama politik atau duit, biar perannya dalam jagain demokrasi nggak hilang di tengah jalan. Pokoknya, media itu jantungnya demokrasi yang sehat!
Pada tanggal 27 September 2025, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas Pers Istana milik jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia. Pencabutan ini terjadi setelah Diana mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dinilai oleh pihak Istana sebagai alasan pencabutan kartu tersebut. Pencabutan kartu ini dilakukan dengan pengambilan langsung ID Pers di kantor CNN Indonesia pada pukul 19.15 WIB.
Keputusan pencabutan kartu pers ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dewan Pers menilai tindakan ini dapat menghambat kebebasan pers dan meminta agar akses liputan Diana Valencia segera dipulihkan agar ia dapat kembali menjalankan tugas jurnalistiknya di Istana. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, meminta Biro Pers Istana memberikan penjelasan agar tidak menghambat pelaksanaan tugas jurnalistik serta mengingatkan semua pihak untuk menghormati kebebasan pers yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menanggapi peristiwa ini dengan mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan kepada Biro Pers untuk mengomunikasikan dan mencari jalan keluar terbaik terkait pencabutan kartu identitas pers tersebut.
Secara umum, kasus ini dianggap sebagai isu penting yang menyangkut kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi, dengan desakan agar pihak Istana memberikan klarifikasi resmi dan membuka dialog konstruktif dengan insan pers untuk mencegah hambatan terhadap tugas jurnalistik di masa mendatang.
Andaikata pencabutan kartu pers itu memang kehendak Presiden Prabowo, rasanya susah banget dipercaya, soalnya, ngeliat cara beliau ngejawab waktu wawancara; santai aja, gak ada tanda-tanda marah atau kesel. Tapi ngomongin reaksi publik, netizen dan kelompok pers tuh pada ngamuk, ngecam keras pemerintah karena dianggap ngekangin kebebasan pers. Apalagi pertanyaan sang jurnalis itu soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang lagi heboh gara-gara ada kasus keracunan makanan, jadi mestinya pertanyaan kayak gitu malah penting buat publik.
Dewan Pers sama organisasi jurnalis kayak PWI dan IJTI pada komplain abis-abisan soal ini. Mereka bilang kerjaan jurnalis ya buat nanya-nanya ke pejabat publik, jangan sampe ada sensor atau hukuman begituan. Publik juga ngerasa Presiden Prabowo udah jawab dengan tenang dan siap tindak lanjut, jadi pencabutan kartu pers itu malah berlebihan banget.
Mereka bilang, seharusnya bukan cara ngebatesin pertanyaan, tapi bikin aturan biar waktu jurnalis bisa diatur tanpa ngilangin akses dan hak mereka. Kasus ini nunjukin kekhawatiran soal transparansi pemerintah dan penghormatan ke pers di Indonesia. Akhirnya muncullah tuntutan supaya akses sang jurnalis dipulihin lagi dan pemerintah ngasih penjelasan resmi kenapa bisa cabut kartu pers tersebut.
Di sosial media, reaksi soal pencabutan kartu pers buat wartawan CNN Indonesia tuh ramai banget dan banyak yang enggak setuju. Netizen dan jurnalis pada heboh nge-post pakai hashtag yang nyuarain soal kebebasan pers dan pentingnya wartawan buat ngontrol pejabat publik. Di Twitter (X) sampai viral banget hashtag yang bahas soal kebebasan pers dan transparansi pemerintah. Banyak yang kesel dan curiga sama alasan pemerintah, apalagi si jurnalis cuma nanya soal program MBG yang emang penting buat rakyat.
Banyak forum jurnalis dan kelompok pemred juga dukung reporter CNN ini dan minta Biro Pers Istana jelasin kenapa bisa cabut kartu itu. Mereka bilang kalau ngeblok pertanyaan wartawan sama aja ngejek prinsip demokrasi dan hak publik dapet info.
Para tokoh dan komentator media juga bilang kalau jawaban Presiden Prabowo waktu itu santai dan profesional, jadi nggak ada alesan buat ngasih sanksi ke wartawan. Netizen banyak yang bilang ini kayak sensor, bukan prosedur resmi yang masuk akal.
Intinya, di sosial media malah makin banyak suara yang nyalahin pemerintah karena dianggap mau ngekang kebebasan pers dan minta kartu persnya dikasih balik supaya demokrasi tetep berjalan lancar.
Kejadian pencabutan kartu pers baru-baru ini di Istana Presiden bisa banget dikaitkan ama fenomena budaya yang dalam banget, yaitu ungkapan "Asal Bapak Senang." Frasa ini artinya kira-kira "yang penting bos senang," dan nunjukin sikap yang udah menyebar luas di dunia politik dan birokrasi Indonesia, dimana bawahan lebih mementingkan manjain atasan ketimbang transparansi, kebenaran, dan akuntabilitas. Dalam kasus pencabutan kartu pers, mentalitas budaya ini kelihatan dari usaha membungkam pertanyaan kritis wartawan, yang nunjukin lebih pilih kontrol dan kepatuhan daripada keterbukaan dan dialog yang konstruktif. Jadi, kejadian ini nggak cuma soal kebebasan pers, tapi juga contoh nyata gimana dinamika patron-klien ngefek ke pemerintahan dan wacana publik di Indonesia.
Ungkapan "Asal Bapak Senang" asalnya dari nama band zaman Presiden Soekarno. Lama-lama jadi idiom yang dipake buat ngejek budaya laporan atau perilaku yang cuma buat manjain bos atau pejabat, tanpa peduli fakta atau integritas. Maknanya negatif, yaitu ngelakuin apapun buat bikin atasan senang, walau harus nutupi kebenaran. Sumber primer yang menyebut band "Asal Bapak Senang" (ABS) berasal dari kesaksian sejarah dan buku autobiografi orang-orang yang dekat dengan Presiden Soekarno dan pasukan pengawal beliau. Band ini dibentuk oleh Detasemen Kawal Pribadi (DKP) pimpinan Mayor Polisi Iskandar Winata dan Komandan Mangil Martowidjojo untuk menghibur Presiden Sukarno saat menari di istana, terutama tari lenso dan cha-cha. Sukarno sangat menyukai musik dari band ini yang dikenal dengan singkatan ABS, meskipun beliau dikabarkan gak tahu kepanjangan nama itu dan kadang menyebutnya sambil bercanda sebagai "Brul Apen."
Sumber penting yang menyebut ini termasuk autobiografi Sukarno, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams, dan kesaksian dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno karya Bambang Widjanarko, ajudan Sukarno. Wawancara dengan sejarawan, keturunan tokoh terkait, dan artikel di beberapa situs web juga menjelaskan detail ini sebagai narasi primer atau hampir primer. Jadi, asal usul "Asal Bapak Senang" sebagai nama band sudah terdokumentasi dengan baik dalam kesaksian sejarah dan literatur terkait era Sukarno, menjadikannya sumber primer yang kredibel.
Seiring waktu, frasa ini berkembang menjadi ungkapan yang menggambarkan perilaku bawahan yang menjilat atau hanya menyampaikan kabar menyenangkan kepada atasan tanpa memperhatikan kebenaran. Walaupun bermula pada masa Soekarno, makna negatif dan budaya politik birokratis ini menjadi sangat populer dan melekat pada era Orde Baru di bawah Soeharto. Pada masa tersebut, mentalitas "Asal Bapak Senang" semakin dalam sebagai strategi bertahan untuk menyenangkan penguasa dan menghindari konsekuensi.
Meskipun asal usul frasa tersebut berasal dari masa Sukarno sebagai nama band, konotasi negatifnya yang metaforis dan lebih luas sebagai budaya politik dan birokrasi menjadi populer dan mengakar selama rezim Orde Baru. Fenomena budaya inilah yang berkembang dari anekdot sejarah yang berkaitan dengan lingkaran Soekarno, tetapi memperoleh makna dan penggunaan politiknya yang utuh, seringkali kritis, pada masa Soeharto.
Ungkapan
“asal bapak senang” itu berarti model kerja “yang penting bos senyum, urusan hasil belakangan.” Biasanya dipakai buat ngegambarin bawahan yang rajin ngasih laporan indah-indah ke atasan, padahal kenyataannya amburadul. Intinya, selama pimpinan happy, data bisa dipoles, masalah bisa disembunyikan, bahkan realita bisa dibikin ala sinetron happy ending. Ungkapan ini udah jadi sindiran klasik buat budaya ABS alias
asal bapak senang, dimana yang dijaga bukanlah kualitas kerja atau tanggungjawab, tapi mood sang bos. Akhirnya sistem kayak gini rapuh, karena yang ditonjolin cuma pencitraan, bukan substansi—mirip kayak akun medsos artis yang penuh filter tapi aslinya beda jauh.
Baik di Inggris maupun Amerika, makna dari “asal bapak senang” tuh relatable banget—cuman cara ngungkapinnya aja yang beda gaya. Dalam British English, orang biasanya bilang “just to please the boss,” kayak “ya udah nurut aja biar atasan seneng,” gitu. Kalau mau rada lebih halus tapi tetep nyindir, mereka pakai “to curry favour with the boss”—kesannya kayak carmuk, tapi pakai bumbu formal. Nah, kalau udah masuk mode ngatain, istilah “brown-nosing” muncul. Ini udah level ngejilat yang gak pake malu-malu, kayak pegawai yang rela jadi karpet merah demi pujian bos.
Dalam versi Amrik, vibe-nya mirip tapi lebih blak-blakan. “Just to please the boss” tetep dipakai, tapi yang paling nendang tuh “to suck up to the boss.” Ini udah kayak gaya sinetron kantor—ada yang rela jadi yes-man demi naik jabatan. “Curry favor” juga dikenal di sana, tapi kagak sepopuler “suck up.” Intinya sih, dua-duanya ngerti maksudnya, cuman kalau Inggris bilang “brown-nosing,” Amerika ngejawabnya “sucking up.” Sama-sama ngejilat, beda aksen aja.
Ungkapan “asal bapak senang” itu bukan sekadar kelakuan lucu—terma ini nempel ke dalam struktur insentif dan kode sosial yang nentuin gimana organisasi dan masyarakat ngomong, ngambil keputusan, dan bagi-bagi pujian. Intinya: kalo yang paling penting cuma bikin bos happy, kebenaran, kritik, atau pemikiran jangka panjang, kerap jadi korban.
Dari sisi kebudayaan, “asal bapak senang” muncul dari gabungan rasa hormat terhadap hierarki dan nggak mau ributin suasana. Di banyak masyarakat kolektivis, jaga muka dan harmoni sosial itu wajib, makanya orang belajar nyaringin kritik dan nyajiin masalah dengan cara yang gak ngerendahin atasan. Lama-lama ini jadi kebiasaan: staf bawahan siap-siap membingkai informasi sesuai selera atasan, ritual hormat—bahasa halus, laporan yang sudah dipoles, pesta peresmian—ngegantiin diskusi jujur. Efeknya? Kohesi jangka pendek terjaga, tapi budaya keterbukaan dan keingintahuan yang bikin organisasi maju jadi terkikis.
Dari sudut politik, terma ini nunjukin gimana patronase dan manajemen pencitraan bisa ngerusak akuntabilitas. Kalau pemimpin lebih ngehargai loyalitas dan menghukum berita gak enak, pejabat bakal punya insentif kuat buat ngelaporinnya rapi-rapi atau buatin prestasi yang syutingnya bagus ketimbang beresin masalah nyata. Jadinya, kebijakan bisa lebih tergencet soal tampilan daripada bukti, proyek yang “instagramable” jadi prioritas atas proyek yang beneran nguntungin publik. Yang lebih parah, “asal bapak senang” bisa melahirkan korupsi, institusi yang dikendalikan, dan politik panggung yang penuh sandiwara.
Secara sosial, praktik ini ngerubah cara orang percaya dan ngomong dalam publik. Kalau warga atau rekan kerja udah tahu keputusan didorong buat nyenengin orang berkuasa, mereka bisa jadi sinis atau mundur dari partisipasi. Jaringan informal tukar-favor merajalela, orang dalam diuntungin, yang nggak punya patron jadi tersingkir. Di sisi lain, konformitas nyiptain ilusi kesepakatan yang mematikan suara minoritas—baru kelihatan bahayanya waktu krisis ngebuka betapa jauh jurang antara citra dan realita.
Dari segi ekonomi, “asal bapak senang” bakal nyeret alokasi sumber daya, pengambilan risiko, dan produktivitas organisasi ke arah yang keliru. Perusahaan atau birokrasi yang ngutamain bikin bos seneng, bisa jadi nggak nginvestasi ke sistem pengawasan, ngeabaiin tanda bahaya dini, atau ngebiarin duit ngalir ke proyek yang ciamik di foto tapi miskin nilai. Akibatnya: modal dan talenta salah tempat, inovasi direm, moral hazard meningkat karena ukuran suksesnya deket ama penguasa, bukan hasil nyata. Lama-lama, ekonomi yang kebanyakan budaya begitu bisa kena growth rendah dan institusi rapuh.
Kalo ngomongin solusi, itu bukan berarti soal nyalahin orang doang, tapi merombak insentif. Cara-cara yang berhasil antara lain nyediain kanal aman buat kritik, lindungi whistleblower, bikin metrik kinerja transparan, dan rotasi evaluator biar penghargaan nggak cuma buat yang pandai cari muka. Budayakan feedback yang konstruktif, belajar dari kegagalan, dan cek-and-balance institusional supaya panggung “asal bapak senang” makin sempit—diganti budaya kerja yang nyata, bertanggungjawab, dan tahan banting.
Ungkapan “asal bapak senang” punya akar dari kultur hierarki yang udah lama melekat dalam birokrasi, militer, maupun dunia kerja Indonesia. Istilah ini mulai menguat di abad ke-20, terutama pas zaman Orde Baru di bawah Suharto, dimana loyalitas ke atasan lebih penting daripada ngomong apa adanya. Dalam suasana seperti itu, bawahan paham betul: yang dinilai bukan hasil nyata, tapi laporan yang bisa bikin “bapak”—istilah yang nunjukin otoritas patriarkis sekaligus kepemimpinan paternalistik—merasa puas. Data dipoles, masalah disapu di bawah karpet, dan prestasi dilebih-lebihkan selama bikin atasan senyum.
Popularitasnya muncul dari pengalaman sehari-hari. Rakyat biasa ngeliat sendiri gimana pejabat, pegawai negeri, bahkan karyawan swasta suka ngeganti gaya dan ucapan demi jaga muka di depan bos. Akhirnya lahir sindiran “asal bapak senang” buat ngegambarin jurang antara cerita resmi yang indah-indah dan realita lapangan yang berantakan. Istilah ini jadi semacam satire sosial, yang sampai sekarang masih dipakai buat ngekritik gaya kepemimpinan, birokrasi, maupun budaya kerja yang lebih mentingin penampilan ketimbang substansi.
Di era demokrasi sekarang pun, istilah ini belum basi. Di kantor-kantor, masih banyak yang enggan ngasih kritik karena takut gangguin harmoni sama manajemen. Dalam politik, panggung pencitraan, event yang serba wah, dan narasi di media acapkali lebih utama ketimbang kebijakan yang bener-bener efektif. Bahkan di medsos, budaya “asal bapak senang” bisa kelihatan jelas: banyak akun rame-rame bikin narasi manis buat gembosin kritik, intinya lebih mikirin nyenengin penguasa daripada jujur ke publik.
Des, “asal bapak senang” masih hidup sampai sekarang, dan relevansinya justru makin kelihatan di dunia modern yang serba tampil. Ungkapan ini ngingetin kita kalau kemajuan sejati butuh keberanian buat ngerombak sistem yang masih kasih hadiah buat pencitraan, tapi ngehukum orang yang ngasih masukan jujur. Selama budaya ini belum berubah, terma ini bakal terus dipakai, baik sebagai satire maupun sebagai cermin sosial.
Nah, kalau dibawa ke Indonesia masa kini, istilah “asal bapak senang” makin kelihatan jelas dalam praktik sehari-hari. Dalam politik, gampang banget dicontohin lewat proyek infrastruktur yang dikebut biar bisa gunting pita sebelum masa kampanye. Jalan tol, bandara, sampai ibukota baru dijual lewat drone shot megah dan pidato bombastis. Tapi di balik itu, sering muncul kabar kalau proyeknya masih bolong sana-sini, biaya bengkak, atau perencanaannya gak matang. Itu persis “asal bapak senang”: yang penting bos bisa senyum di depan kamera, soal detailnya belakangan.
Di birokrasi juga sama. Banyak laporan kinerja yang tampilannya kece—penuh grafik warna-warni, jargon motivasi, sampai kata-kata manis—tapi isinya lebih banyak kamuflase ketimbang transparansi. Data kemiskinan atau pengangguran kadang dipoles biar kelihatan sukses, meski rakyat di lapangan kagak ngerasain apa-apa. Para bawahan ngerti, kalau ngomong apa adanya bisa dimarahin atau diasingkan, jadi mending ngasih laporan yang manis-manis ajah.
Dunia korporat pun nggak kebal. Di BUMN, misalnya, banyak kasus dimana pegawai enggak berani laporin risiko keuangan atau kelemahan desain proyek, takut ngacoin suasana rapat direksi. Akhirnya masalah numpuk, whistleblower diabaikan, dan skandal baru meledak pas sudah telat banget. Lagi-lagi pola “asal bapak senang” yang bikin penyakit kecil jadi krisis besar.
Di era digital, istilah ini malah punya versi baru. “Bapak” bukan cuma atasan nyata, tapi juga simbol pemimpin, bos korporasi, bahkan selebgram. Pasukan buzzer siap ngebanjirin timeline dengan puja-puji terstruktur rapi, sampai kritik hilang tenggelam. Hasilnya, publik dapat citra sukses serba wah, padahal realitanya jauh banget.
Jadi jelas, “asal bapak senang” bukan cerita masa lalu Orde Baru aja. Ungkapan ini masih relevan di zaman demokrasi, bisnis modern, bahkan jagat medsos. Selama sistem kita masih lebih suka pencitraan ketimbang kejujuran, istilah ini bakal terus dipakai, jadi pengingat pedas betapa gampangnya realita dikorbanin demi bikin yang berkuasa tetep sumringah.
[Bagian 2]