Jumat, 19 September 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (3)

Di kota Rochdale, Inggris—yang kabutnya tebal dan udaranya beraroma batubara—sekitar tahun 1844, ada dua puluh delapan orang kelas pekerja yang udah muak banget. Mereka tukang tenun, dan hidup mereka makin kejepit. Gaji makin kecil, harga kebutuhan makin menggila. Parahnya lagi, toko-toko setempat jual barang abal-abal dengan harga selangit. Kaya, loe lapar? Nih, gue tepu sekalian.
Akhirnya, mereka patungan dari gaji yang pas-pasan dan nyewa toko kecil di gang bernama Toad Lane. Barang yang mereka jual? Cuma empat: tepung, gula, mentega, dan gandum. Tapi itu hasil kerja jujur. Mereka semua jadi pemilik sekaligus pembeli. Mereka giliran jaga toko, catat keuangan transparan, dan untungnya dibagi rata. Nama mereka: Rochdale Society of Equitable Pioneers.
Waktu itu sih nggak kelihatan keren. Tapi langkah kecil mereka—kagak mau lagi ditindas ekonomi—malah jadi api yang nyala sampai ke seluruh dunia. Dari peternak susu di Kenya, nelayan di Filipina, koperasi simpan pinjam di Amerika, sampai pasar rakyat di Indonesia—semangat Rochdale terus hidup.
Kisah mereka menjadi jawaban hidup atas pertanyaan: kenapa koperasi itu ada? Karena kadang, revolusi paling hebat itu enggak selalu dimulai dengan demo atau kerusuhan. Tapi dari tepung, gula, mentega, dan gandum yang dibeli bareng, dimiliki bareng-bareng.

Kenapa sih koperasi itu ada? Jawabannya gak bisa terlepas dari kisah masa lalu ekonomi kita. Koperasi itu bukan ide keren yang lahir dari ruang rapat ber-AC atau dari CEO yang sok visioner. Koperasi lahir dari keringat buruh pabrik, dari lumpur sawah petani, dan dari obrolan receh para pedagang kecil di pasar. Koperasi lahir bukan karena gaya-gayaan, tapi lantaran kebutuhan hidup yang mendesak—karena kalau gak gotong royong, bisa kelindes sistem.
Di zaman awal kapitalisme, pekerja digaji murah, disuruh kerja gila-gilaan, dan dianggap cuma roda gigi yang bisa diganti kapan aja. Petani dikerjain tengkulak, pedagang kecil dibantai ama korporasi gede. Nah, di tengah realita getir ini, koperasi muncul bak angin segar. Doi ngasih ruang dimana martabat manusia lebih penting daripada sekadar cari cuan.
Koperasi itu pada dasarnya bentuk perlawanan. Teriakan bareng-bareng dari orang biasa yang muak jadi penonton di drama ekonomi yang cuma dimainin segelintir orang. Mereka patungan—modal kecil, tenaga, lahan—dan bikin usaha yang mereka miliki dan kelola bareng. Di sini, suara setiap anggota dihargai, bukan cuma pemegang saham doang yang bisa ngomong.
Tapi koperasi bukan cuma soal melawan ketimpangan. Doi juga tentang harapan. Tentang mimpi kalau ekonomi bisa adil, inklusif, dan solid. Koperasi itu bukti bahwa kita bisa bikin sistem ekonomi yang gak buas, tapi tetap kreatif, berkelanjutan, dan manusiawi.
Koperasi ada karena ada sekelompok orang yang nekat percaya: ekonomi itu seharusnya ngelayanin manusia, bukan manusia yang jadi budak ekonomi.

Kalau mau ngomongin koperasi, jangan cuma mikir Rochdale doang—itu baru intro. Di balik layar sejarahnya, banyak karakter keren dari berbagai belahan dunia yang ikut bikin koperasi jadi gerakan global!
Di Inggris, ada Robert Owen, boss pabrik tapi anti kapitalis sadis. Doi kayak Tony Stark versi sosial: punya duit, tapi pengen dunia yang adil. Doski bikin komunitas ideal di New Harmony, Amerika—sayangnya gagal secara bisnis, tapi idenya bikin orang melek soal pentingnya punya bareng dan hidup manusiawi. Trus ada William King yang bisa dibilang kayak konten kreator zaman dulu: bikin The Co-operator di tahun 1828, ngasih tips realistis soal buka koperasi di level lokal. Tapi yang bikin gebrakan nyata ya geng Rochdale—28 buruh yang nyusun aturan main koperasi modern, kayak “kode etik superhero ekonomi rakyat.”
Lanjut ke Amerika Serikat, koperasi muncul pas petani kepepet lawan sistem ekonomi yang nyiksa. Mereka bikin lumbung bareng dan credit union buat nolong sesama. Ada juga tokoh keren bernama Edward Filene dari Boston, sang pemilik department store yang mikir, “Kenapa konsumen gak punya toko sendiri?” Doi juga bantu banget lahirnya gerakan credit union sampai akhirnya ada undang-undangnya.
Di Eropa, ada Raiffeisen dari Jerman yang bener-bener ngegas sistem koperasi kredit buat petani desa. Filosofinya kayak prinsip anime shounen: self-help, self-rule, self-responsibility. Dan di Italia, koperasi sosial muncul bukan cuma buat bisnis, tapi juga buat bantu orang difabel dapet kerja dan hidup layak—kayak gabungan NGO dan startup sosial!
Nah, di negara-negara Selatan Global, koperasi jadi senjata ngelawan kolonialisme dan kemiskinan. Di India, tokoh kayak Laxmanrao Inamdar dan Verghese Kurien (yang ngeboost produksi susu via Amul) bikin koperasi bukan cuma solusi ekonomi, tapi revolusi rakyat kecil!
Intinya, “koperasi” itu dulunya eksperimen antikapitalis di Inggris, tapi sekarang jadi movement global. Mau itu di Rochdale, Boston, Milan, atau Mumbai—semangatnya tetep sama: gotong-royong, kepemilikan rakyat, dan kekuatan dari bawah. Koperasi itu kayak Avengers ekonomi: beda negara, beda gaya, tapi satu misi—melindungi yang lemah dan melawan yang tamak!

Dulu tuh, Koperasi kayak tongkrongan orang kampung yang sepakat buat urunan beras atau duit, biar hidup gak terlalu berat di zaman yang pelit. Gak ada drama CEO-CEO-an, cuma warga yang nyari cara biar bisa bareng-bareng survive.
Terus, di Inggris tahun 1844, ada geng tenun—bukan geng motor ya—bikin Koperasi resmi, namanya Rochdale. Mereka gak cuma jualan barang murah, tapi juga bikin aturan main yang adil: semua boleh ikut, semua punya suara, dan gak ada yang disuruh ngemis buat masuk. Ini kayak blueprint-nya Koperasi sejati.
Seiring dunia makin ribet dan kapitalis makin galak, Koperasi juga upgrade. Jadi koperasi simpan pinjam, koperasi perumahan, sampai perusahaan gede yang peduli lingkungan. Tapi ciri khasnya tetep: punya sendiri, diurus rame-rame, gak ada bos besar yang ngatur seenaknya.
Zaman sekarang, Koperasi udah bisa nongkrong di digital—punya app sendiri, bisa jualan online, dan bikin gebrakan sosial. Di tengah dunia yang makin individualis dan korporatis, Koperasi tuh kayak warung kopi di ujung gang: tempat aman, tempat ngobrol, tempat bareng-bareng ngatur masa depan.

Bayangin dunia ini kayak festival film internasional, dan Koperasi tuh bintang utamanya! Di Amerika, kota kayak Minneapolis dan Madison tuh kayak indie film yang kuat di cerita—komunitasnya solid, koperasi makanan dan perumahan tumbuh dari semangat warga yang gak mau kalah sama kapitalisme.
Di Prancis, Paris dan Lyon tuh kayak drama sosial yang dapet penghargaan—koperasi pekerja dan asuransi mutual udah jadi bagian dari budaya, kayak baguette dan bersepeda. Jerman? Frankfurt dan Munich tuh kayak film dokumenter yang fokus ke koperasi bank—mereka bantu UMKM dan bikin ekonomi lokal tetap hidup.
Jepang, dengan Tokyo dan Osaka, kayak anime slice of life yang relatable banget—koperasi konsumen di sana ngurus belanjaan sampai kesehatan, semua serba kolektif. Belanda, terutama Amsterdam, tuh kayak film sci-fi ramah lingkungan—koperasi energi di sana bikin warga bisa jadi pahlawan energi terbarukan.
Italia? Bologna dan Milan tuh kayak film humanis yang bikin nangis bahagia—koperasi sosial di sana bantu orang-orang yang biasanya diabaikan, biar bisa kerja dan punya makna hidup.
Sektor-sektor yang jadi panggung utama tuh beragam: pertanian, asuransi, ritel, keuangan, perumahan, sampai energi hijau. Tapi yang bikin Koperasi jadi favorit penonton bukan cuma omzetnya—tapi karena ceritanya tentang kebersamaan, demokrasi, dan dampak sosial jangka panjang.

Evolusi koperasi itu kayak kisah band indie yang terus survive dari zaman kaset sampai era streaming digital—penuh jatuh bangun, tapi tetap punya jiwa.
Awalnya, di abad ke-19, pas dunia lagi keranjingan pabrik dan revolusi industri, hidup orang kecil makin sulit. Buruh kerja kayak robot, harga barang selangit, dan kota penuh kemiskinan. Nah, di sinilah lahir koperasi pertama, kayak geng ROC(H)DALE 1844—buruh-buruh keren yang mutusin buat patungan belanja bareng biar dapet harga adil. Mereka bawa konsep gila: semua punya suara, semua dapat untung sama rata. Itu kayak plot twist di tengah film kapitalisme gelap.
Masuk abad ke-20, koperasi mulai naik daun. Petani bikin koperasi supaya nggak terus dibohongi tengkulak. Orang kota bikin koperasi perumahan biar nggak disuruh ngontrak seumur hidup. Bahkan lahir koperasi kredit, semacam “bank rakyat” biar orang biasa bisa pinjam uang tanpa drama bunga mencekik. Waktu itu, banyak negara mulai ngasih legalitas dan dukungan serius buat koperasi. Ini era di mana koperasi kayak superhero baru buat ekonomi rakyat.
Setelah Perang Dunia II, koperasi sempat menikmati masa kejayaan. Orang lagi semangat bangun dunia baru, dan koperasi jadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Tapi masuk akhir abad 20, datang badai globalisasi dan ekonomi neoliberal yang nyuruh semua bisnis “bermain keras atau minggir.” Banyak koperasi yang tutup, merger, atau harus profesional banget kalau mau tetap hidup.
Tapi jangan sedih. Di abad 21 ini, koperasi lagi bangkit kayak serial lama yang tiba-tiba di-reboot jadi viral. Sekarang ada koperasi energi terbarukan, koperasi digital, sampai koperasi berbasis platform yang ngelawan model ekonomi eksklusif. Di tengah ketimpangan, krisis iklim, dan kecewa sama sistem kapitalis lama, koperasi hadir sebagai jawaban yang nggak cuma idealis, tapi juga realistis.
Intinya? Koperasi itu bukan fosil ekonomi. Dia kayak seniman yang terus berevolusi—dulu nulis pakai mesin tik, sekarang bikin podcast, tapi pesannya tetap sama: “Ekonomi itu harus buat semua orang, bukan segelintir elite.”

Kalau jenis-jenis koperasi itu kayak playlist Spotify, tiap lagu punya genre dan vibe-nya sendiri. Dulu, koperasi tuh kayak lagu folk—sederhana, jujur, dan penuh semangat gotong royong. Petani dan warga kampung bareng-bareng jual hasil panen atau beli barang kebutuhan, biar gak dimakan harga pasar yang kejam.
Lama-lama, muncul genre baru! Koperasi pekerja tuh kayak band indie yang ngatur panggung sendiri—pegawai jadi pemilik, semua punya suara, gak ada bos yang sok kuasa. Terus ada koperasi perumahan, kayak lagu lo-fi buat healing—penghuni punya saham, gak cuma ngontrak, bisa ikutan ngatur aturan kompleks.
Koperasi simpan pinjam alias credit union? Itu kayak lagu pop yang relatable—ngasih akses keuangan buat yang biasanya ditolak bank. Koperasi produsen? Mirip kolaborasi musisi lokal—petani, pengrajin, dan UMKM gabung biar bisa tampil di panggung nasional.
Koperasi konsumen tuh kayak fanbase loyal—pembeli punya saham di toko, bisa request lagu alias produk yang dijual. Dan sekarang, ada koperasi multi-pemangku kepentingan—kayak festival musik yang nyatuin semua genre: pekerja, pembeli, investor, semua duduk bareng di meja mixing.
Sektor koperasi sekarang udah kayak playlist campur sari: pertanian, keuangan, perumahan, energi, kesehatan, pendidikan—semua ada. Tapi yang bikin koperasi tetap hits bukan cuma genre-nya, tapi karena liriknya selalu tentang kebersamaan, keadilan, dan masa depan yang bisa dinyanyiin bareng.

Koperasi itu, walau dasarnya keren banget karena menjunjung solidaritas sama demokrasi, seringnya tetep aja ngikutin DNA budaya tempat mereka nongkrong. Bayangin koperasi itu kayak karakter utama di sinetron lintas negara—di tiap episode, doski punya gaya dan logat yang beda, tergantung latar budayanya!
Di negara yang guyub banget kayak Jepang, Kenya, atau Bolivia, koperasi tuh kayak “ibu RT” yang ngurus semua: dari belanja harian, pinjam duit, sampai urusan pemakaman. Semua warga ikut, bukan karena wajib, tapi karena udah jadi bagian dari hidup. Keputusan diambil rame-rame, kayak rapat warga yang gak pernah selese tapi semua tetep sabar.
Tapi di negara yang lebih individualis kayak Amerika atau Jerman, koperasi tuh kayak startup kece—ada rapat, ada voting, ada laporan keuangan yang rapi. Anggotanya ikut karena mikir untung rugi, bukan karena tetangga ngajak. Koperasi di sini lebih mirip “investasi sosial” daripada “tongkrongan warga.”
Sektor koperasi juga beda-beda tergantung budaya. Di Swedia, koperasi perumahan tuh kayak apartemen impian—semua diatur bareng, tapi tetap nyaman. Di Kenya, SACCOs tuh kayak dompet digital versi lokal—penting banget buat warga desa. Di Jepang? Koperasi tuh kayak minimarket plus klinik plus biro jodoh—serba ada!
Jadi, meskipun koperasi punya prinsip yang sama di seluruh dunia, cara mereka beroperasi tuh kayak remix budaya—tiap negara punya versi yang unik, sesuai nilai dan kebiasaan lokal.

Secara umum, koperasi itu konsepnya simpel tapi keren: orang-orang ngumpul bareng buat ngatasin kebutuhan bersama lewat organisasi yang mereka miliki dan atur bareng-bareng. Tujuannya bukan nyariin cuan buat investor luar, tapi buat kepentingan anggota sendiri. Bisa soal sembako, tempat tinggal, modal usaha, atau produksi barang—intinya koperasi itu soal keadilan, kebersamaan, dan saling bantu. Ini sistem yang bilang: “Ekonomi itu harusnya bisa dimiliki rame-rame, bukan buat segelintir orang aja.”
Nah, versi lama dari koperasi itu vibes-nya kayak gerakan akar rumput. Muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kerasnya kapitalisme zaman revolusi industri. Bentuknya kecil-kecil, kadang informal, dan didorong sama nilai-nilai solidaritas dan keadilan sosial. Koperasi jadul ini kayak komunitas orang-orang yang pengen hidup adil tanpa harus tunduk sama sistem yang gak adil. Mereka bukan pengusaha elite—mereka petani, buruh, atau tetangga yang bilang, “Daripada kita ditindas, mending kita bikin sistem sendiri.”
Sedangkan versi modernnya, koperasi udah evolve. Sekarang, koperasi bisa gede, punya kantor kece, pakai aplikasi, bahkan punya manajer profesional. Tapi walau tampilannya lebih bisnis, jiwanya masih sama: satu anggota satu suara, untung buat semua, dan keputusan diambil bareng. Koperasi modern itu kayak superhero yang dulu pake baju seadanya, sekarang udah punya kostum dan teknologi canggih—tapi tetap bela rakyat.
Koperasi dulu itu semangat rakyat kecil yang idealis. Koperasi sekarang itu semangat yang sama, tapi udah naik level: siap bersaing, tapi tetep manusiawi. Keduanya tetap satu tujuan—ekonomi yang adil, merata, dan penuh rasa gotong royong.

[Bagian 4]
[Bagian 2]