Rabu, 25 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (1)

Sebelum kita nyemplung ke topik utama, yuk kita resapin dulu anekdot berikut ini. Siapa tahu nyambung banget ama obrolan kita nanti, kan? Bisa relate abis!

Dalam serial TV aslinya, The Lone Ranger adalah kisah koboi sejati: jagoan bertopeng yang menegakkan keadilan dengan pistol perak dan hati bersih. Di sampingnya selalu ada Tonto—partner setia, pemberani, dan nggak pernah cari panggung. The Lone Ranger terjun ke dalam bahaya, Tonto jadi penyeimbang, penolong diam-diam saat peluru habis. Ini kisah soal persahabatan, loyalitas, dan misi bersama membersihkan The Wild West dari kebusukan.
Tapi, itu di TV.
Di Negeri Konoha, ceritanya beda total.
Di sini, di negeri ni, Lone Ranger-nya pontang-panting kerja dewean—bukan karena doi sok jagoan, tapi karena Tontonya ogah kotor-kotoran dan kagak ngerti mesti ngapain buat nolongin sang jagoan. The Lone Ranger berupaya lawan korupsi, bencana, dan bandit politik siang-malam, sedangkan Tonto sibuk nyusun feed Instagram. Aktivitas utamanya? Bagi-bagi skincare dan kunjungan yang gak ada juntrungan, kampanye pakai tagline “Kinclong Demi Keadilan” dan “Cantik Di Hadapan Perpolitikan.”
Tonto versi Konoha nggak pengin tangkap penjahat—doi pengin tangkap suara pemilih. Dan itu udah bukan rahasia lagi. Doski bahkan udah nerbitin buku mewah—tapi kok kertasnya dari bungkus kacang goreng ya?—berjudul "Tonto for the Next Lone Ranger", penuh foto aesthetic, kata-kata motivasi setengah matang, dan narasi yang lebih mirip endorsement brand ketimbang visi negara.
Latar belakangnya? Kabur kayak kabut pagi. Sebenernya doi sekolah dimana sih? Lulus atau cuma numpang selfie? Banyak yang bilang ijazahnya mungkin satu pabrik dengan tim editing videonya.
Anehnya, cerita ini deja vu banget. Dulu Presiden Konoha, namanya Mulyono, juga penuh teka-teki soal ijazah terbitan Pojokan Pramuka. Gaya kepemimpinannya juga serba misterius, lebih cocok main sulap daripada memimpin negara. Sama seperti Tonto, Mulyono nggak naik kuda aksi—doi numpang viral, berkat dukungan para buzzer dan survei etok-etok.
Menjelang 2029, Tonto makin percaya diri. Nyengir, lambaikan tangan, ngomong soal “melanjutkan perjuangan.” Tapi pertanyaan yang menghantui rakyat Konoha adalah: perlukah Tonto abal-abal ini diganti dengan Tonto sejati? Tentu doong, soalnya ... Mosok sih, orang yang nggak pernah pegang pedang, mau mimpin perang? 

Di dunia ekonomi yang penuh drama dan jebakan batman, gak ada yang lebih susah daripada jaga keseimbangan tiga hal sakral: stabilitas, kesetaraan, dan lapangan kerja. Hal tersebut bukan teori doang—ia inti dari gimana negara bisa bertahan hidup, bagi-bagi rezeki dengan adil, dan ngasih rasa aman buat warganya.
Stabilitas dapat dibahas lewat teori makroekonomi kayak model IS-LM sama urusan siklus ekonomi—biar ekonomi gak kayak roller coaster tiap tahun.
Kesetaraan muncul pas ngomongin soal distribusi pendapatan, dan debat klasik antara efisiensi vs keadilan. Ini kayak diskusi panas netizen soal subsidi: adil buat siapa?
Lapangan kerja jadi topik penting banget ala Keynesian—pengangguran, permintaan agregat, dan cara negara bisa bantu nyiptain kerjaan.
Jadi meskipun gak resmi disebutin secara gamblang, tiga topik ini, kita sebut Tiga Isu Besar Ekonomi, udah kayak trio Avengers-nya ekonomi: diam-diam tapi ngaruh banget.

Sebenernya, ada satu lagi isu ekonomi yang amat penting: lingkungan hidup. Ini tuh masuknya lewat konsep kegagalan pasar alias market failure. Gampangnya gini: pabrik ngebuang polusi, tapi nggak bayar sepeser pun buat dampak rusaknya udara sama air kita. Nah, ini bikin pasar jadi enggak adil dan nggak efisien. Pemerintah kudu turun tangan buat ngatur ini, misalnya lewat pajak polusi, kuota emisi, sampai aturan-aturan yang kelihatannya ribet tapi penting banget buat masa depan bumi kita.
Kalo dipikir-pikir sih, lingkungan bisa nyambung ke stabilitas (soalnya kalo alam rusak, ekonomi bisa chaos, bukan karena ijazah palsunya Mulyono), dan bisa juga ke kesetaraan (karena yang paling kena dampak biasanya rakyat kecil). Tapi tetep aja, paling enak sih ngebahas lingkungan hidup itu sebagai bagian tersendiri, yang makin ke sini makin sentral banget buat cara kita mikir soal ekonomi zaman now.

Apa sih stabilitas itu? Kalo dilihat dari kacamata politik, stabilitas itu soal seberapa kuat dan dipercaya sistem politik di suatu negara. Negara yang stabil secara politik bukan berarti gak ada demo atau kritik, tapi cara ngadepin konflik dilakukan lewat debat, hukum, dan pemilu, bukan lewat tembakan gas air mata tiap minggu. Stabilitas politik bikin negara bisa ngambil kebijakan yang konsisten, gak berubah tiap ganti presiden kayak ganti tema medsos.

Dalam The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, diterbitkan tahun 2011 oleh Farrar, Straus and Giroux, Francis Fukuyama bilang bahwa negara yang stabil itu bukan soal siapa yang paling kaya atau punya pasukan terbanyak, tapi soal tiga hal sakti: negara yang kuat, aturan hukum yang adil, dan elite yang bisa dikontrol rakyatnya.
Menurut Fukuyama, negara yang stabil itu punya kekuasaan untuk bikin tertib dan nyediain layanan publik, tapi kekuasaan itu gak boleh semena-mena. Negara harus punya sistem birokrasi yang rapi, bisa narik pajak dengan tertib, dan jaga keamanan dalam negeri. Tapi yang lebih penting: kekuasaan itu harus dibatasi oleh hukum, bukan berdasarkan suka-suka pemimpinnya.
Trus, biar gak jadi kerajaan yang dikuasai segelintir orang, para penguasa juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Gimana caranya? Ya lewat sistem politik yang bikin suara rakyat bisa masuk ke ruang kekuasaan. Kalau negara cuma dikuasai elite yang itu-itu aja, ya akhirnya rakyat cuma jadi penonton. Fukuyama nunjukin gimana China punya negara kuat sejak awal, tapi karena gak ada rule of law dan akuntabilitas, jadinya otoriter terus-terusan. Sementara Eropa yang jalannya lambat malah bisa bangun sistem yang lebih seimbang.
So, stabilitas itu bukan soal bikin semua orang diam, tapi soal gimana konflik bisa dikelola lewat aturan yang adil dan proses yang inklusif. Buat Fukuyama, negara yang stabil itu bukan yang paling kenceng gebukannya, tapi yang bisa kuat tanpa sewenang-wenang, taat hukum, dan mau dengerin rakyat.

Dalam karya legendarisnya, Political Order in Changing Societies (1968, Yale University Press), Samuel P. Huntington ngegas banget ke asumsi lama yang bilang “kalau negara makin kaya, makin stabil dong.” Kata Huntington: nggak segampang itu, Ferguso.
Buat doski, stabilitas itu bukan berarti negara adem ayem tanpa konflik. Stabilitas adalah kemampuan sistem politik buat ngatur dan nampung konflik secara rapi dan terstruktur. Jadi, kalau ada demo, perubahan, atau gejolak, sistemnya tetap berdiri, gak langsung ambruk.
Huntington bilang: negara bisa rusuh bukan karena rakyatnya kismin, tapi karena rakyat makin sadar, makin pintar, makin nuntut—tapi institusinya kagak siap. Loe bayangin, rakyatnya udah melek politik, kuliah, main medsos, tapi partai politik masih kayak warung kelontong, birokrasi lamban, pengadilan bisa dibeli. Nah, jadilah frustrasi kolektif. Meledak deh.
Stabilitas menurut Hunington itu bukan soal nahan-nahan orang biar gak protes, tapi soal gimana sistem bisa kuat dan lentur. Ada partisipasi rakyat? Bagus. Tapi harus ada institusi yang bisa nampung itu semua—partai yang beneran kerja, aparat yang netral, hukum yang jalan. Tanpa struktur, partisipasi bisa berubah jadi kekacauan.
Huntington ngajarin kita: stabilitas bukan tentang damai palsu, tapi tentang sistem yang cukup tangguh buat bertahan dalam badai. Negara gak perlu takut perubahan, asalkan punya fondasi politik yang gak rapuh.

Dari sisi sosial, stabilitas itu soal ikatan masyarakat—apakah orang-orang ngerasa aman, dihargai, dan punya harapan. Ini bukan berarti semua orang hidup sama rata, tapi minimal rakyat percaya sistemnya gak curang. Mereka yakin keadilan itu keniscayaan, dan masa depan gak ditentukan cuma karena loe lahir dari keluarga siapa atau berasal dari suku mana. Kalau kepercayaan ini hilang, masyarakat gampang terpecah—muncul radikalisme, kebencian, bahkan bisa meletus jadi konflik.

The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, karya legendaris ini terbit tahun 1966 dari Anchor Books, hasil karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, topiknya tentang ilmu pengetahuan dalam perspektif sosiologi, tapi bagian yang paling gokil adalah penjelasannya tentang gimana stabilitas sosial itu dijaga. Mereka bilang, stabilitas itu dibentuk lewat interaksi sehari-hari: kita belajar peran sosial, kebiasaan, dan nilai-nilai bareng-bareng, sampai akhirnya sistem itu jadi kekal, kayak default setting kehidupan.
Kalau loe tiap hari ngulang ritual itu terus—ngurus anak, kerja kantoran, antre di ATM—lama-kelamaan semuanya jadi terasa wajar, bahkan sakral. Stabilitas itu bukan tiba-tiba muncul, tapi dibentuk terus-menerus oleh semua orang yang "ikut skrip" secara otomatis. Kalau tiba-tiba yang satu aja berubah peran—misalnya semua pegawai kantor memutuskan kerja dari pantai—ya runtuh dah sistemnya. Intinya, reality itu bukan alamiah, tapi sebuah bangunan sosial yang rapuh—yang bisa berdiri kokoh selama kita main bareng.
Berger dan Luckmann ngajak kita mikir ulang soal stabilitas. Buat mereka, stabilitas itu bukan hasil dari aturan keras dari atas, tapi justru lahir dari aktivitas harian yang kita lakuin bareng-bareng. Mereka bilang: hidup ini kayak panggung, dan kita semua aktornya. Kita mainin peran—sebagai murid, bos, ibu rumah tangga, satpam, konten kreator—dan seiring waktu, semua itu jadi terasa wajar, kayak “emang udah seharusnya begitu.”
Stabilitas muncul saat kita terus-terusan ngulang peran dan ekspektasi yang sama. Lama-lama, rutinitas itu jadi terinstitusi—alias, gak perlu lagi dipertanyakan. Guru ya ngajar, sopir ya nyetir, bos ya nyuruh. Bukan karena mereka mikir keras tiap hari, tapi karena masyarakat udah nyusun skripnya, dan kita semua ngejalanin tanpa sadar.
Buat Berger dan Luckmann, “kenyataan sosial” itu dibentuk oleh kesepakatan tak tertulis. Jadi stabilitas sosial itu bukan benda mati, tapi hasil dari kerja sama bareng, dari kita semua yang nurutin alur yang udah disepakati. Sistem kayak agama, hukum, bahkan sekolah pun—itu semua buatan manusia yang jadi stabil karena kita percaya dan ulang terus setiap hari.
Intinya: stabilitas versi Berger dan Luckmann bukan datang dari atas, tapi dari bawah—dari obrolan kecil, kebiasaan sehari-hari, dan aksi kolektif yang bikin dunia terasa stabil. Kita semua penulis naskah, sutradara, dan pemain di panggung realitas sosial yang kita bikin sendiri.

Dalam Social Theory and Social Structure, terbit pertama kali tahun 1949 oleh The Free Press, karya Robert K. Merton ini bener-bener ngubah cara kita mikir tentang stabilitas sosial. Merton ngenalin ide macam fungsi nyata dan fungsi tersembunyiteori menengah, dan disfungsi sosial
 . Kalau mau bikin masyarakat stabil, Merton bilang institusi harus jalan sesuai peran mereka, dan jangan sampai fungsi tersembunyi yang negatif bikin sistem goyang. Stabilitas gak cuma soal peraturan, tapi soal keseimbangan halus antar peran dan struktur yang bikin semuanya tetap terkendali.
Merton bikin gebrakan besar di dunia sosiologi. Salah satu konsep paling ikonik yang ia kenalin adalah soal fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Fungsi nyata itu tujuan utama yang kelihatan jelas dari suatu kegiatan sosial. Contohnya? Ya, sekolah. Fungsi nyatanya: ngajarin ilmu dan nyiapin orang buat kerja. Tapi fungsi tersembunyi? Nah, itu yang gak selalu disadari—kayak bikin pertemanan, atau malah secara gak langsung ngelompokin orang berdasarkan kelas sosial.
Lalu, Merton juga ngenalin konsep keren banget: teori jangkauan menengah (middle-range theory). Doi nyinyir dikit ke dua kubu di sosiologi waktu itu: yang satu terlalu ngawang (kayak teori besar-besaran ala Marx), yang satu lagi terlalu sempit dan cuma ngitung data doang. Teori jangkauan menengah itu ada di tengah-tengah. Gak terlalu luas sampai gak jelas, tapi juga gak terlalu kecil sampai gak guna. Contohnya kayak teori tentang kenakalan remaja, konflik peran, atau birokrasi. Teori-teori ini bisa diuji, bisa dipake buat analisis nyata.
Terakhir, Merton ngenalin istilah yang kadang bikin orang gak nyaman: disfungsi sosial. Doi ngajuin efek samping negatif dari institusi atau struktur sosial. Waktu itu, banyak sosiolog mikir semua bagian masyarakat itu saling ngedukung biar tetep stabil. Tapi Merton bilang: gak semua hal itu baik-baik aja. Contohnya, sistem hukum. Tujuannya jelas: cegah kejahatan. Tapi dalam praktiknya, bisa aja sistem itu malah nyasar ke kelompok tertentu terus-menerus. Itu contoh disfungsi.
Intinya, Merton ngajak kita buat gak langsung percaya sama “niat baik” institusi. Kadang yang niatnya bantu, malah bikin masalah. Masyarakat itu kompleks banget, penuh efek samping dan lapisan makna. Jadi jangan cuma lihat permukaannya—lihat juga dampak tersembunyi yang mungkin gak kita sadari.

Foundations of Social Theory, terbit tahun 1990 lewat Belknap Press, karya James S. Coleman ini pake pendekatan rasional-choice buat ngejelasin gimana aksi individu bisa ngebentuk stabilitas sosial. Coleman bilang kalau stabilitas itu tercipta saat norma, aturan, dan jaringan masyarakat bikin kita—yang dasarnya egois—malu salah sendiri. Kita ikut aturan bukan karena harus, tapi karena lebih nguntungin. Jadi, stabilitas itu muncul dari koordinasi yang dibangun dari hitungan untung-rugi setiap individu. Ribuan pilihan kecil bikin masyarakat jadi aman dan terkendali, persis kayak game strategi berjilid-jilid.

Nah, kalo dari sudut pandang budaya, stabilitas itu soal identitas—gimana suatu bangsa bisa berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Budaya yang stabil bukan berarti gak boleh berubah, tapi bisa nyerap hal-hal baru tanpa jadi amnesia sejarah. Dalam masyarakat yang beragam, stabilitas budaya butuh saling hormat, ruang buat semua suara, dan gak gampang nge-cap budaya lain sebagai ancaman. Soalnya kalo enggak, yang muncul malah politik identitas dan rasa asing di negeri sendiri.

The Invention of Tradition (1983, Cambridge University Press) karya Eric Hobsbawm dan Terence Ranger ini nge-bahas satu hal keren: bahwa stabilitas budaya itu sering dibangun lewat ritual dan simbol yang kelihatannya kuno, padahal sebenernya baru dibuat belakangan. Mereka bilang banyak tradisi—kayak upacara kerajaan, lagu kebangsaan, atau seragam adat—sebetulnya sengaja “diciptakan” supaya masyarakat merasa punya sejarah panjang. Walaupun baru lahir di era modern, lambat laun jadi kayak “warisan nenek moyang” karena diulang terus.
Hobsbawm dan Ranger tunjukin bahwa niatnya bukan cuma soal nostalgia, tapi juga cara cerdik buat perkuat kekuasaan, bikin orang ngerasa klop dalam kelompok, dan kasih rasa “gue bagian dari sesuatu”. Jadi, stabilitas budaya itu dibentuk dari sesuatu yang sengaja disusun dan disimbolkan, bukan sesuatu yang tumbuh alami sejak zaman baheula. Tapi hati-hati: kestabilan semacam ini gampang retak kalau orang mulai mempertanyakan atau capek ngikut skripnya.
Intinya, The Invention of Tradition ngajarin kita bahwa stabilitas budaya itu bukan karena budaya udah tua banget, tapi karena ada strategi buat bikin budaya itu terlihat nyata dan abadi—padahal di baliknya ada tim riset, ritual formal, dan repetisi yang sengaja disusun.

Kesimpulannya, stabilitas itu bukan berarti segalanya harus tenang kayak danau tanpa riak. Tapi soal gimana caranya sebuah negara atau masyarakat bisa bergerak, berubah, dan tumbuh—tanpa harus remuk. Stabilitas itu kayak beat dalam musik: loe boleh improvisasi, tapi kalau beat-nya 'ilang, tembangnya ambyar. 

Dari sudut pandang ekonomi, stabilitas ekonomi itu kayak suasana pasar yang adem: harga gak loncat-loncat, kerjaan masih ada, nilai tukar gak bikin jantungan, dan ekonomi tumbuh pelan tapi pasti. Ini kondisi dimana sistem ekonomi jalan lancar, gak gampang goyah kalau ada gonjang-ganjing politik, krisis global, atau ulah elite. Intinya, kalau ekonomi stabil, orang bisa mikir jangka panjang: buka usaha, investasi, nyicil rumah, dan negara pun bisa bikin kebijakan tanpa drama dadakan.
Nah, dalam teori pertumbuhan ekonomi, stabilitas itu ibarat lahan datar buat nanem pohon. Gak ada pertumbuhan yang sehat tanpa kestabilan. Mau bangun prasarana, riset teknologi, atau cetak SDM unggul—semuanya butuh kondisi yang stabil. Model pertumbuhan kayak Solow Growth Model aja ngasih garis bawah: pertumbuhan butuh akumulasi modal dan teknologi, tapi semua itu gak bisa berkembang kalau ekonomi lagi jungkir balik.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, stabilitas itu kayak rem dan gas sekaligus. Kapitalisme itu seru—penuh inovasi dan kompetisi—tapi juga rawan crash. Lihat aja krisis finansial 2008: pasar terlalu bebas, terlalu rakus, akhirnya meledak. Makanya meskipun kapitalis, negara tetap butuh wasit: bank sentral yang atur bunga, lembaga yang ngawasin pasar, dan aturan buat cegah pasar jadi arena gladiator.
Sementara dalam ekonomi liberal—baik klasik maupun versi neolib—stabilitas itu dianggap muncul dari pasar bebas yang gak digangguin. Kata mereka, kalau pasar dibiarkan kerja sendiri, hukum supply-demand bakal bikin segalanya stabil dan efisien. Tapi kenyataannya gak semanis teori. Pasar bebas tanpa rem sering bikin jurang ketimpangan makin dalam, dan bisa juga bikin sistem goyang kalau ada shock besar.
Kesimpulannya, stabilitas ekonomi itu bukan cuma “tenang-tenang aja”, tapi justru fondasi buat segalanya: pertumbuhan bisa jalan, kapitalisme gak ngawur, dan impian ekonomi liberal gak berubah jadi mimpi buruk. Stabilitas harus dijaga, bukan ditunggu. Soalnya kalau pasar itu mobil balap, stabilitas adalah bannya. Tanpanya, secepat apapun, bisa nabrak juga.

Dalam The Illusion of Economic Stability, Eli Ginzberg ngegebrak mitos bahwa pasar bisa stabil dengan sendirinya. Katanya, ekonomi kapitalis itu sebenernya gampang goyah karena faktor kayak teknologi baru, psikologi manusia, dan perebutan kekuasaan antara korporasi, buruh, ama petani . Makanya menurut Ginzberg, kalau gak ada intervensi aktif dari pemerintah—kayak aturan ketat, kebijakan moneter, dan belanja negara—stabilitas ekonomi itu cuma angan-angan. Doski buktikan lewat bukunya, dari krisis tahun 1930-an sampe periode berikutnya, bahwa kalau negara mikirin pasar doang tanpa kontrol, ya jadinya ambruk. Intinya, doi bilang: stabilitas itu bukan bawaan pasar, tapi harus dibangun oleh negara.
Eli Ginzberg ngasih judul bukunya The Illusion of Economic Stability bukan asal-asalan—tajuk itu sengaja dibuat menohok buat nantangin kepercayaan mainstream bahwa pasar bisa nyetir dirinya sendiri ke arah stabilitas. Lewat judul itu, Ginzberg ngegas ke anggapan bahwa ekonomi kapitalis itu bisa stabil asal gak diganggu. Doi bilang, stabilitas yang keliatannya adem-adem aja tuh sering cuma penampakan doang. Di baliknya, banyak bom waktu tersembunyi: ketimpangan, spekulasi finansial, kejutan teknologi, sampai kebijakan yang telat tanggap.
Buat Ginzberg, stabilitas ekonomi itu bukan ilusi mutlak, tapi juga bukan hadiah gratisan dari sistem kapitalis. Stabilitas cuma bisa tercapai kalau negara turun tangan—ngatur, ngawasin, dan bikin kebijakan publik yang ngarahin pasar biar gak liar. Jadi, yang doski sebut "ilusi" itu bukan konsep stabilitasnya, tapi mitos bahwa pasar bebas bisa kasih stabilitas otomatis.
Artinya, Ginzberg bukan bilang stabilitas itu gak mungkin, tapi doi ngingetin: jangan tertipu ama keadaan tenang yang palsu. Soalnya, kalau kita udah terlalu yakin semuanya stabil padahal banyak masalah ngendap, nanti pas krisis beneran datang, kita semua bakal kejedot kenyataan.

Stabilitas ekonomi itu bisa diartiin sebagai kondisi dimana ekonomi jalan mulus: pertumbuhan stabil, harga gak naik-turun kayak mood mantan, pengangguran bisa dikendalikan, dan pasar gak heboh tiap minggu. Dalam situasi ini, pebisnis bisa nyusun rencana jangka panjang tanpa takut krisis mendadak, masyarakat tenang belanja, dan pemerintah bisa fokus ngambil kebijakan yang tahan lama, bukan sibuk tambal sulam.
Dari kacamata sosialis, stabilitas ekonomi bukan cuma soal grafik ekonomi yang landai, tapi juga tentang keadilan sosial dan perlindungan kolektif. Bagi kaum sosialis, sistem kapitalisme itu sering bikin ekonomi labil: kadang booming, kadang jeblok, dan di balik itu semua, yang kaya makin kaya, yang miskin makin kepepet. Makanya mereka dorong peran negara yang lebih kuat—mengatur pasar, mengelola sektor penting, dan nyediain jaring pengaman buat rakyat. Buat mereka, ekonomi baru bisa dibilang stabil kalau semua orang punya rasa aman, bukan cuma yang punya saham doang.
Nah, dari sisi komunisme, terutama versi Karl Marx, stabilitas ekonomi dalam sistem kapitalis itu cuma ilusi sementara. Katanya, sistem kapitalis itu emang dasarnya gak stabil karena penuh konflik antara pekerja dan pemilik modal. Dalam logika komunis, stabilitas sejati baru tercapai kalau kelas-kelas sosial udah gak ada, kepemilikan pribadi atas alat produksi dihapus, dan ekonomi dikelola secara kolektif buat kebutuhan semua, bukan buat ngejar cuan semata.
Jadi, kalau di ekonomi liberal stabilitas itu fokusnya biar pasar tenang dan investor bahagia, dalam pandangan sosialis dan komunis, stabilitas itu harus dibangun lewat perubahan struktural—dari sistem yang adil, setara, dan menjamin semua orang bisa hidup tanpa takut besok makan apa.

Kenapa sih stabilitas ekonomi itu penting?