[Bagian 7]Kejelasan moral itu bukan buah dari renungan dalam keheningan, melainkan lahir dari percakapan. Ia tak tumbuh dalam diam yang merasa paling benar, tapi muncul dari gesekan gagasan—tempat keyakinan diuji dan empati disadarkan. Kebenaran jarang ditemukan dalam kesendirian; ia menampakkan diri dalam pencarian makna yang dilakukan bersama.Ada cerita klasik dari kelas etika di sebuah perguruan tinggi yang pas banget buat tema ini. Suatu hari, dosen etika ngasih soal ujian akhir yang kelihatannya simpel: “Bisakah berbohong itu dibenarkan?” Ia berharap para mahasiswa bakal nulis esai panjang lebar soal benar dan salah. Tapi ada satu mahasiswa yang cuma ngumpulin selembar kertas kosong dengan satu kalimat: “Tergantung—yuk kita obrolin!”Awalnya sang dosen sempet kepikiran mau ngasih nilai nol karena itu jelas bukan esai. Tapi makin dipikirin, makin doski sadar kalau jawaban itu justru kena banget. Kejelasan moral itu sering lahir bukan dari mikir sendirian di kamar, tapi dari ngobrol bareng, debat sehat, dan dengerin sudut pandang orang lain. Nilai-nilai hidup itu sering bentrok, dan justru di sanalah percakapan jadi penting.Akhirnya mahasiswa itu lulus. Bukan karena jawabannya lengkap, tapi karena jawabannya jujur dan berani. Ia jadi pengingat buat seluruh kelas: belajar etika itu bukan soal ngafalin aturan, tapi soal rembukan: belajar dengerin, nanya balik, dan mikir bareng-bareng sampai nemu makna yang lebih dalem.Gagasan bahwa kejelasan moral itu sering muncul dari percakapan, bukan dari mikir sendirian di kamar, merupakan bagian penting dari tradisi demokrasi deliberatif. Intinya, buat ngerti mana yang benar dan adil, kita enggak cukup cuma merenung sendirian kayak filsuf sok sibuk. Kita butuh ngobrol—dengerin orang lain, argumen kita ditantang, dan berani buka pikiran buat perspektif yang beda. Di situlah nurani kita diuji dan dilatih, kayak otot yang makin kuat tiap diajak diskusi.Salah satu rujukan yang ngebahas ini adalah “Democracy and Its Critics” karya Robert A. Dahl (1989). Doski bilang, demokrasi itu bukan cuma soal milih pemimpin tiap lima tahun, tapi tentang ruang obrolan publik yang sehat, dimana nilai-nilai bisa diperdebatkan secara terbuka. Terus ada juga “The Idea of Public Reason Revisited” dari John Rawls (1997), yang bilang bahwa di masyarakat yang majemuk, keputusan politik itu harus bisa dijelasin pake alasan yang bisa diterima orang lain—bukan cuma berdasarkan keyakinan pribadi doang, tapi lewat nalar bersama.Intinya: pas kita ngobrol dan tukar pikiran, kita enggak cuma dengerin pandangan orang lain—kita juga bisa nemu sisi dari diri kita sendiri yang belum pernah kita sadari. Percakapan enggak selalu bikin semua orang langsung setuju, tapi bisa bikin cara kita mikir soal benar dan salah jadi lebih dalam dan jernih. Dan seringkali, itu jauh lebih penting daripada jawaban cepat.Skarang, kuy kita balik ke topic Equality.Kesetaraan, kalau dilihat dari sisi sosial dan budaya, itu soal bagaimana semua orang diperlakukan setara—bukan cuma di mata hukum, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, gak ada tuh yang dipandang lebih rendah atau lebih tinggi hanya karena warna kulitnya, agamanya, gender-nya, orientasi seksualnya, asal budayanya, atau status sosialnya. Dalam dunia sosial, kesetaraan bukan sekadar aturan di atas kertas, tapi bagaimana bikin lingkungan yang bikin semua orang ngerasa dihargai, bisa bersuara, dan identitasnya diakui. Nah, dari sisi budaya, kesetaraan itu soal menghargai keberagaman tradisi dan gaya hidup—jadi tiap budaya punya tempat yang sama untuk diungkapkan, tanpa takut dipinggirkan atau didiskriminasi. Intinya bukan bikin semua orang jadi sama, tapi bikin semua orang diperlakukan dengan adil dan bermartabat.Kesetaraan sosial itu maksudnya kondisi dimana semua orang dalam masyarakat punya hak, tanggungjawab, dan peluang yang sama—tanpa peduli latarbelakang atau identitas sosial mereka. Jadi, entah kaya atawa miskin, dari suku mana pun, agama apa pun, atau gender apa pun, semua orang berhak dapat akses pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, dan bisa ikutan ngambil bagian dalam politik. Bukan berarti semua orang harus hidup sama percis atau sukses bareng-bareng, tapi sistemnya enggak boleh memihak satu kelompok doang. Yang dikejar itu ngilangin tembok-tembok yang bikin orang susah maju, dan bikin pembagian kekuasaan, sumber daya, sama peluang jadi adil. Intinya, biar tiap orang punya ruang buat berkembang dengan bermartabat dan bebas.
Salah satu rujukan keren dan berpengaruh yang ngebahas soal kesetaraan sosial secara mendalam ialah “The Spirit Level: Why More Equal Societies Almost Always Do Better” karya Richard Wilkinson dan Kate Pickett (2009). Dalam karya ini, dua penulisnya nunjukin kalau negara-negara yang tingkat kesenjangan ekonominya rendah—alias lebih setara—cenderung punya kualitas hidup yang jauh lebih baik. Mulai dari pendidikan, tingkat kejahatan, kesehatan mental, sampai rasa saling percaya antar warga, semuanya lebih positif. Mereka pakai data dan riset yang padat buat ngebuktiin bahwa ketimpangan itu bukan cuma soal duit doang, tapi soal bagaimana masyarakat hidup bareng secara sosial. Karya ini udah jadi rujukan wajib buat banyak pembuat kebijakan, guru, sampai aktivis yang lagi cari cara bikin dunia lebih adil. Intinya sih: negara yang sukses itu bukan yang paling kaya, tapi yang bisa membagikan hasil kekayaannya secara adil, merata ke seluruh rakyatnya.Rujukan lain yang juga punya pengaruh gede dalam bahas kesetaraan sosial adalah “Justice: What’s the Right Thing to Do?” karya Michael J. Sandel (2009). Buku ini ngajak pembacanya mikir soal apa itu keadilan, apa itu kebaikan bersama, dan gimana struktur sosial serta kebijakan bisa nentuin apakah hidup orang-orang berjalan setara dan bermartabat. Walau bahasannya banyak ngulik filosofi politik, Sandel tetep ngebawa topik ini ke level kehidupan nyata dengan gaya yang relatable. Doi ngajak kita bertanya: sebagai sesama warga dalam satu masyarakat, sebenarnya kita punya tanggungjawab apa satu sama lain? Sandel juga ngebantah gagasan bahwa keadilan cuma soal kebebasan pribadi atau keadilan pasar. Menurutnya, masyarakat yang adil itu yang bisa ngasih ruang, hormat, dan kesempatan buat semua orang, apalagi yang sering disingkirkan sistem. Jadi, buku ini tuh semacam peta moral buat ngebayangin ulang dunia yang benar-benar setara.Sandel mulai dengan cerita klasik yang bikin mikir, namanya "trolley problem". Bayangin ada kereta tanpa masinis melaju kencang ke arah lima orang yang terikat di rel. Tapi loe lagi bediri deket tuas yang bisa ngarahin kereta ke rel lain—masalahnya, di rel satunya ada satu orang yang juga bakal ketabrak. Nah, loe bakal tarik tuasnya apa enggak? Ini bukan sekadar soal logika, tapi soal nurani dan nilai moral.Sandel pakai dilema ini buat ngenalin dua aliran besar dalam filosofi moral. Yang pertama, utilitarianisme, yang bilang keputusan terbaik itu yang ngasih manfaat paling besar buat paling banyak orang. Yang kedua, etika deontologis, yang pegang teguh prinsip moral, meski hasilnya mungkin enggak menguntungkan. Sandel enggak ngasih jawaban pasti, tapi ngajak kita mikir: sebenernya, adil itu yang kayak gimana, sih?Sandel nunjukin bahwa keadilan itu enggak cuma urusan hukum atau politik, tapi bagian dari pilihan hidup sehari-hari. Doi ngajak kita bukan cuma nanya, “Apa yang harus gue lakuin?”, tapi juga “Kenapa gua judu bgelakuin itu?”, dan “Nilai apa yang sebenarnya gua pegang?”Menurut Sandel, keadilan itu bukan cuma soal nurut aturan atau ngejalanin hukum doang; tapi soal gimana kita, sebagai masyarakat, ngobrol bareng dan mikir bareng buat mutusin apa yang secara moral itu benar. Buat Sandel, keadilan itu bukan cuma tentang “gue bebas ngelakuin apa aja” atau “hak gue harus dijaga”, tapi lebih luas lagi: soal kebaikan bersama.Sandel bilang, masyarakat yang adil itu bukan yang tiap orang sibuk urus dirinya sendiri, tapi yang warganya mau terlibat, dikusikan nilai-nilai, dan bareng-bareng nentuin apa yang penting buat hidup bareng. Keadilan sejati enggak netral, enggak pura-pura objektif—justru menuntut kita buat mikir soal tanggungjawab ke orang lain, dan berani bersuara kalau ada yang enggak beres secara moral. Keadilan itu soal memperlakukan orang dengan bermartabat, bikin sistem yang adil, dan nyiptain ruang dimana semua orang bisa berkembang—bukan sebagai individu yang sendirian, tapi sebagai bagian dari komunitas yang punya nurani.Liberalism and the Limits of Justice adalah salah satu karya Michael J. Sandel yang paling serius dan berpengaruh, pertama terbit tahun 1982. Dalam karyanya ini, Sandel ngebongkar habis pemikiran liberal John Rawls, terutama ide Rawls soal “keadilan sebagai keadilan yang adil” dari karyanya yang legendaris A Theory of Justice. Sandel ngegas bahwa cara Rawls memandang manusia—sebagai individu rasional yang bebas, netral, dan terlepas dari nilai-nilai atau komunitasnya—itu terlalu abstrak dan jauh dari realita.Sandel ngejelasin inti dari filosofi politik liberal—terutama versi yang dipopulerkan sama John Rawls. Menurut pandangan liberal ini, negara yang adil itu bukan negara yang maksa warganya buat hidup dengan satu definisi “hidup yang baik.” Sebaliknya, tugas negara adalah ngasih kebebasan seluas mungkin ke rakyatnya buat milih sendiri nilai, tujuan, dan keyakinan hidup mereka, tanpa tekanan atau paksaan buat hidup dengan cara tertentu.Makanya, aturan dan prinsip hukum dalam masyarakat harus netral. Mereka enggak boleh berpihak atau ngasumsikan satu pandangan agama, moral, atau budaya itu lebih unggul dari yang lain. Keadilan, dalam kacamata liberal, harus lepas dari anggapan tentang hidup yang bermakna atau mulia. Netralitas ini dimaksudkan buat ngejaga kebebasan individu dan bikin hidup bareng jadi damai di tengah keberagaman.Tapi sepanjang karyanya, Sandel ngajak kita mikir ulang: netralitas kayak gitu bener-bener mungkin enggak sih? Atau jangan-jangan justru bermasalah? Doski bilang, rasa benar dan salah kita itu enggak lahir dari ruang kosong, tapi dari komunitas dan nilai-nilai tempat kita tumbuh. Jadi meskipun kutipan ini nunjukin cita-cita mulia liberalisme—yakni adil lewat sikap netral—Sandel ngajak kita nanya: apa netral itu cukup buat bikin masyarakat yang benar-benar adil dan bermakna?Menurut Sandel, kita tuh enggak hidup dalam ruang hampa yang bisa milih moral kayak milih menu makan siang. Kita udah kebentuk dari kecil oleh sejarah, budaya, keluarga, dan komunitas yang bikin nilai-nilai kita punya makna. Jadi, kalau mau bangun masyarakat yang adil, enggak cukup cuma ngandelin kebebasan individu doang. Harus ada pengakuan bahwa kita hidup bareng, terikat sama orang lain lewat hubungan moral dan budaya. Karya ini nendang banget buat para pemikir dan aktivis karena ngajak mikir ulang: keadilan itu enggak bisa netral total, dan manusia bukan robot rasional yang bisa dilepas dari akar sosialnya.Karya ini punya hubungan erat sama konsep kesetaraan, walaupun dibahas dari sudut pandang filosofi, bukan sekadar ekonomi atau hukum. Sandel ngasih kritik tajam ke ide liberal yang bilang semua orang bisa diperlakukan setara kalau dianggap sebagai individu yang netral dan bebas—kayak karakter game yang baru di-klik.Buat Sandel, kesetaraan sejati enggak cukup cuma ngasih hak dan peluang yang sama ke semua orang. Kita juga harus ngakuin bahwa hidup manusia itu dibentuk oleh komunitas, nilai, sejarah, dan identitas moral mereka. Jadi, kalau mau adil, kita enggak cuma perlu bagi-bagi sumber daya secara merata, tapi juga harus ngerti latarbelakang orang dan apa yang bikin pilihan mereka bermakna.Pandangan komunal ini bilang, kesetaraan enggak bisa berdiri di atas anggapan bahwa semua orang itu sama dan lepas dari konteks sosial. Sandel ngajak kita buat ngeliat kesetaraan bukan sebagai ilusi netralitas, tapi sebagai penghargaan atas realitas hidup orang—siapa mereka, dari mana mereka, dan nilai apa yang mereka bawa.Sandel ngajak kita mikir, bukan cuma “Apanya yang adil?”, tapi juga “Kita mau hidup dalam masyarakat yang kayak gimana, sih?” Buat Sandel, keadilan sejati itu enggak bisa dilepas dari refleksi moral dan keterlibatan warga. Keadilan harus mikirin nilai-nilai yang nyatuin kita, tanggungjawab sosial yang kita punya satu sama lain, dan semangat gotong royong yang jadi fondasi hidup bareng. Buat doski, keadilan itu bukan cuma soal hak individu atau efisiensi sistem, tapi soal bikin masyarakat di mana kebaikan bersama itu diperjuangkan, dan orang diperlakukan bukan sebagai konsumen doang, tapi sebagai warga yang punya harga diri dan makna hidup.Nah, secara budaya, equality itu menghormati perbedaan—bukan malah ngejudge. Jadi, loe gak bisa bilang budaya loe paling keren, terus ngehina yang lain cuma karena makan pakai tangan, pakai bahasa daerah, atau punya cara sendiri nunjukin cinta. Equality budaya itu kayak pesta rakyat: tiap suku, tiap bahasa, tiap cara hidup punya tempat buat tampil—enggak perlu nyamain gaya, yang penting saling ngangkat.Kesetaraan budaya itu soal ngasih pengakuan, rasa hormat, dan perlakuan adil ke semua identitas budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Maksudnya, enggak ada tuh budaya yang dianggap paling “beradab” atau paling “modern”, sementara yang lain dikesampingkan. Semua orang berhak nunjukin jati diri budayanya—entah itu lewat bahasa, nilai-nilai, cara berpakaian, sampai cara beribadah—tanpa takut dikucilkan atau didiskriminasi.Kesetaraan budaya bukan berarti semua budaya kudu disama-samain, tapi justru semua budaya dikasih ruang yang setara buat bersuara dan tampil di ruang publik. Ini tantangan buat budaya dominan yang suka merasa paling benar sendiri. Kesetaraan budaya ngajarin kita kalau keberagaman itu bukan masalah yang harus diberesin, tapi kekayaan yang harus dirayakan. Intinya sih, soal rasa punya tempat—biar semua orang, dari mana pun asalnya, bisa ngerasa diakui, dihargai, dan diterima di rumah besar yang kita sebut “masyarakat”.Dalam “Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights” (1995, Oxford University Press), Will Kymlicka bilang bahwa keadilan dalam masyarakat yang beragam itu enggak cukup cuma ngasih hak individu yang sama ke semua orang. Kita juga harus ngasih pengakuan dan perlindungan khusus buat kelompok-kelompok budaya minoritas, biar mereka bisa tetap melestarikan bahasa, tradisi, dan jati diri mereka di tengah masyarakat yang lebih besar. Buat Kymlicka, kesetaraan budaya itu bukan soal nyamaratakan semua orang, tapi soal ngasih ruang yang adil buat semua perbedaan bisa hidup dan tumbuh.Kymlicka ngenalin konsep politik multikulturalisme buat ngadepin tantangan yang muncul di negara demokrasi liberal yang isinya masyarakat beragam budaya. Doski bilang, liberalisme klasik yang cuma fokus ke hak individu yang setara seringkali enggak cukup buat ngelindungin kebutuhan dan kerentanan kelompok minoritas—apalagi masyarakat adat dan kelompok nasional minoritas.Nah, yang dimaksud politik multikulturalisme oleh Kymlicka adalah pengakuan bahwa keadilan itu kadang enggak bisa disamain ke semua orang. Harus ada yang namanya hak yang berbeda berdasarkan kelompok—kayak hak istimewa secara hukum atau politik yang dikasih ke kelompok budaya minoritas, biar mereka bisa tetap jaga identitas, bahasa, dan cara hidup mereka. Contohnya bisa kayak otonomi pendidikan, pengakuan atas tanah adat, atau perlindungan bahasa minoritas di institusi publik.Menurut Kymlicka, hak-hak ini bukan keistimewaan, tapi alat buat ngasih kesetaraan yang nyata. Soalnya kalau enggak ada, kelompok minoritas sering dipaksa buat nyatu ke budaya dominan dan akhirnya kehilangan ciri khas dan harga diri mereka. Jadi, politik multikulturalisme itu ajakan buat mikir ulang soal kesetaraan—bukan sebagai pemaksaan kesamaan, tapi sebagai penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan.Pandangan Will Kymlicka soal hak individu dan hak kolektif jadi ciri khas banget dari teori kewarganegaraan multikultural miliknya. Dia bilang, dua jenis hak ini sebenarnya enggak harus saling tabrakan—malah justru harus jalan bareng kalau kita serius mau bikin keadilan di masyarakat yang beragam.Menurut Kymlicka, demokrasi liberal selama ini terlalu fokus ke hak individu: kayak kebebasan berpendapat, beragama, atau hak ngatur hidup sendiri. Tapi, kalau konteksnya masyarakat yang isinya beragam budaya, fokus ini bisa diam-diam ngebela budaya mayoritas dan nge-press minoritas.Makanya, Kymlicka ngenalin konsep group-differentiated rights alias hak kolektif khusus buat komunitas minoritas. Hak ini bisa bentuknya otonomi wilayah, perlindungan bahasa, atau pengakuan hukum yang unik—intinya buat bantu minoritas bertahan dan berkembang di tengah dominasi budaya mainstream. Tapi Kymlicka juga tegas: hak kolektif ini enggak boleh nginjak hak individu di dalam kelompok itu. Justru sebaliknya, hak kolektif seharusnya jadi fondasi yang bikin orang bisa lebih bebas dan bermakna secara pribadi—karena budaya itu tempat orang nemu jati diri.Kymlicka percaya bahwa kalau dirancang dengan hati-hati dan adil, hak kolektif bisa jadi pelengkap, bukan musuh, dari hak individu. Hak kolektif itu semacam jembatan—yang bikin kebebasan pribadi dan rasa memiliki budaya bisa jalan bareng, tanpa harus saling meniadakan.Buat Kymlicka, liberalisme itu enggak harus dibuang, tapi perlu banget direvisi—biar nyambung ama kenyataan masyarakat yang isinya campur aduk budaya. Doski enggak anti-liberalisme, tapi doi kritik keras liberalisme klasik yang terlalu ngejar netralitas dan nganggep semua orang itu kayak individu lepas yang identik, tanpa akar budaya atau identitas. Masalahnya, dunia nyata tuh enggak sesimpel itu. Ada kelompok minoritas dan masyarakat adat yang sejak awal udah berat start-nya, karena sistemnya enggak ngasih ruang yang adil.Kymlicka ngajak kita mikir ulang: jangan-jangan, kalau liberalisme mau bener-bener adil, harus berhenti pura-pura buta warna dan buta budaya. Alih-alih nyamaratakan semua orang, liberalisme versi baru harus ngakuin bahwa budaya itu penting banget buat nentuin siapa kita, apa yang kita anggap penting, dan pilihan hidup kita.Menurut Kymlicka, memperbarui tradisi liberal bukan berarti mengkhianati prinsip dasarnya. Justru sebaliknya—dengan ngasih hak-hak khusus untuk kelompok yang memang perlu perlindungan, liberalisme bisa bener-bener nunjukin komitmennya ke kebebasan dan kesetaraan. Jadi, doski bukan ngajak ngebuang liberalisme, tapi ngajak naikin levelnya: dari sekadar netral jadi benar-benar inklusif dan sadar budaya.Kymlicka percaya banget kalau kebebasan dan budaya itu enggak bisa dipisahin. Menurutnya, orang enggak bisa benar-benar bebas kalo gak punya konteks budaya yang ngasih makna buat pilihan-pilihan hidupnya. Dalam pikiran liberal klasik, kebebasan itu sering dianggap sebagai “bebas milih apa aja tanpa gangguan.” Tapi Kymlicka ngegas: milih itu enggak sekadar soal punya opsi, tapi soal ngerti apa arti dari tiap pilihan itu—dan itu cuma bisa terjadi kalau kita punya latar budaya yang hidup.Doski bilang, manusia gak pernah ngambil keputusan dari ruang kosong. Cara kita mikir, ngerasa, dan nentuin arah hidup semuanya kebentuk dari budaya tempat kita dibesarkan. Jadi kalau budaya minoritas ditekan atau dibiarkan punah, yang hilang bukan cuma adat atau bahasa—tapi juga fondasi buat bisa ngerasa merdeka secara utuh.Buat Kymlicka, melindungi budaya itu bukan berarti budaya enggak boleh berubah. Justru sebaliknya—budaya harus bisa berkembang, tapi dalam kondisi dimana orang-orangnya punya ruang aman buat memilih, mempertahankan, atau bahkan menolak warisan budaya mereka sendiri. Kebebasan yang sejati, katanya, bukan berarti hidup dari nol, tapi punya rumah budaya sebagai titik awal buat menjelajah hidup.Bagi Kymlicka, keadilan dan hak-hak minoritas itu kayak dua sisi koin yang enggak bisa dipisahin. Menurutnya, masyarakat yang adil itu bukan cuma yang ngasih perlakuan sama ke semua orang, tapi juga yang sadar bahwa tiap kelompok punya kebutuhan dan kerentanan yang beda—terutama kelompok minoritas budaya. Buat Kymlicka, keadilan itu bukan buta terhadap perbedaan, tapi justru harus melek dan peka sama perbedaan itu.Kymlicka bilang, kalau kita cuma fokus ke perlakuan “sama rata”, itu bisa jadi jebakan. Soalnya, kenyataannya enggak semua orang punya akses yang sama ke pengakuan budaya, kekuatan sosial, dan suara di ruang publik. Hasilnya? Yang mayoritas makin dominan, yang minoritas makin ke pinggir.Makanya Kymlicka bilang keadilan itu harus ngasih hak-hak khusus buat kelompok minoritas—kayak masyarakat adat, kelompok etnis nasional, dan komunitas imigran. Ini bukan soal ngasih “keistimewaan”, tapi soal bikin kondisi yang adil biar mereka bisa hidup dengan martabat, jaga jati diri, dan punya tempat sejajar di kehidupan publik.Teorinya jadi kritik tajam buat liberalisme model lama yang maunya serba seragam. Kymlicka ngajak kita mikir ulang: keadilan yang sebenarnya itu bukan soal nyamain semua orang, tapi soal dengerin siapa yang selama ini enggak didengar, terus ngasih ruang supaya semua bisa berkembang—bukan sekadar bertahan.Kymlicka yakin banget bahwa ngasih ruang bicara buat kelompok minoritas itu syarat mutlak kalau kita serius mau bangun masyarakat yang demokratis dan adil. Doski bilang, di negara-negara majemuk, suara minoritas sering banget kehalang—not karena mereka enggak punya gagasan atau kualitas, tapi karena suara mereka ketelan sistem yang dikuasai budaya mayoritas: dari bahasa resmi, institusi politik, sampai norma sosial yang enggak nge-representasiin mereka.Makanya, menurut Kymlicka, sekadar ngasih hak pilih atau kebebasan ngomong tuh enggak cukup. Harus ada perubahan struktural: misalnya keterwakilan politik khusus, hak bahasa, sampai otonomi komunitas. Ngasih suara ke minoritas itu artinya bikin panggung yang setara, tempat mereka bisa nyuarain keresahan, identitas, dan cita-cita hidup versi mereka—bukan cuma numpang lewat. Dan penting juga diingat: kalau mereka diam, bukan berarti mereka setuju—bisa jadi itu sisa luka dari sejarah panjang dibungkam.Buat Kymlicka, demokrasi sejati itu bukan cuma soal suara terbanyak, tapi soal dialog yang inklusif. Kalau minoritas enggak diajak ngomong bareng dari awal, itu bukan demokrasi, tapi formalitas kosong. Memberi mereka suara bukan soal kasih keistimewaan, tapi soal ngebenerin ketimpangan yang udah lama dibiarin.Kymlicka punya pandangan yang tajam soal toleransi—doi ngerti banget pentingnya, tapi juga sadar betul batasnya. Doski bilang, toleransi itu prinsip dasar dalam demokrasi liberal, apalagi dalam masyarakat yang penuh keragaman budaya. Tapi doski juga ngingetin: jangan samain toleransi dengan keadilan. Kadang-kadang, “mentoleransi” itu cuma kedok buat cuek, ngeremehin, atau malah ngejauhkan kelompok lain dari ruang publik.Menurut Kymlicka, cuma sekadar “membiarkan” minoritas ada itu belum tentu adil. Keadilan multikultural yang sejati itu butuh lebih dari sekadar enggak ganggu—harus ada pengakuan aktif, kebijakan nyata, dan dukungan struktur yang bikin kelompok minoritas bisa tetap jadi diri mereka dan ikut berperan dalam kehidupan bersama.Tapi Kymlicka juga enggak asal peluk semua perbedaan. Doi jelasin, ada batas-batas toleransi—terutama kalau praktik budaya tertentu melanggar hak asasi manusia atau menindas anggotanya sendiri, kayak perempuan atau anak-anak. Buat Kymlicka, multikulturalisme enggak boleh jadi tameng buat pembiaran terhadap ketidakadilan. Masyarakat yang adil itu harus berani bilang “stop” kalau budaya dijadiin alasan buat nyakitin yang lemah.Toleransi menurut Kymlicka itu bukan terima semua hal mentah-mentah, tapi bentuk penerimaan yang pakai prinsip dan akal sehat—seimbang antara hormat sama budaya dan memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan.Kymlicka ngeluarin konsep “the ties that bind” karena doi ngerasa ada yang janggal banget dalam filsafat politik liberal klasik. Liberalisme tradisional sering banget nganggep manusia itu kayak individu lepas yang bisa nyusun ulang hidupnya kapan aja, tanpa peduli latarbelakang budayanya. Tapi Kymlicka nyadar: pandangan ini enggak nyambung sama realita orang-orang yang tumbuh dan hidup dalam konteks budaya, sejarah, dan komunitas tertentu.Menurutnya, liberalisme yang sok netral soal budaya justru tanpa sadar ngehapus makna identitas dan rasa kebersamaan dalam hidup orang. Dan latar belakang Kymlicka yang ngulik teori politik sambil nyemplung di isu-isu minoritas bikin dia ngerti betul: banyak kelompok—kayak masyarakat adat, etnis nasional, dan imigran—itu bukan kurang hak, tapi sistemnya sendiri yang enggak ngasih tempat buat ikatan budaya mereka.Makanya, doi ngeluarin ide “the ties that bind” buat mindahin liberalisme dari yang sok netral dan steril, jadi versi yang lebih inklusif dan sadar budaya. Doski pengen nunjukin bahwa ikatan budaya bukan penghalang kebebasan, tapi justru sumber dari makna kebebasan itu sendiri. Karya-karyanya lahir dari gabungan kritik filsafat dan panggilan moral buat buka mata masyarakat demokratis yang sering enggak sadar: suara minoritas itu pelan bukan karena mereka enggak penting, tapi karena mereka terus-menerus diredam.Buat Kymlicka, konsep “ikatan yang menyatukan kita” itu bukan penghalang kebebasan, tapi justru fondasi yang bikin kita tahu siapa diri kita. Doski bilang, manusia itu bukan robot independen yang hidup di ruang kosong. Kita dibentuk oleh budaya, bahasa, sejarah, dan komunitas tempat kita tumbuh. Ikatan-ikatan itu bukan rantai yang bikin kita terpenjara—tapi akar yang ngasih makna, arah, dan rasa pulang.Kymlicka ngebantah keras anggapan liberal klasik yang bilang keadilan harus netral total terhadap identitas budaya orang. Menurutnya, kalau kita mau adil beneran, kita justru harus mengakui dan mendukung ikatan-ikatan itu—terutama buat kelompok minoritas, supaya mereka bisa tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya mereka sendiri.Buat Kymlicka, hak-hak multikultural bukan pengecualian aneh, tapi alat penting buat ngejaga ikatan itu dari ancaman penyeragaman budaya. Kalau ikatan yang menyatukan kita dibiarkan hilang, kita bakal kehilangan sebagian besar dari kemanusiaan kita sendiri.Dalam "Culture and Equality: An Egalitarian Critique of Multiculturalism” (2001, Harvard University Press), Brian Barry serius ngebahas cara bikin masyarakat yang adil di tengah keragaman budaya. Doski bilang, kesetaraan budaya itu harus melibatkan akses universal ke hak dan sumber daya, dan budaya enggak boleh dijadiin alesan buat mempertahankan ketidakadilan sosial. Karya ini ngajak kita mikir lebih dalam soal gimana caranya budaya dan keadilan bisa jalan bareng tanpa saling nabrak.Barry ngangkat istilah abuse of culture atau “penyalahgunaan budaya” buat nyentil keras cara sebagian orang pakai alasan budaya buat nutup-nutupin praktik yang sebenarnya enggak adil—bahkan bisa dibilang berbahaya. Menurut Barry, ada kelompok yang ngaku-ngaku minta “hak budaya,” tapi ternyata cuma buat ngebela perilaku yang, kalau dilihat dari luar budaya, udah jelas-jelas enggak bisa diterima—kayak ketimpangan gender, intoleransi agama, atau bahkan kekerasan terhadap anak.Buat Barry, budaya enggak boleh dijadikan zona suci yang bebas kritik. Kalau budaya dijadiin tameng yang enggak bisa disentuh, itu rawan banget dipakai buat bungkam suara-suara kritis dari dalam komunitas sendiri dan malah ngelindungin mereka yang punya kuasa sambil ngorbanin yang lemah. Barry juga kritik keras para pemikir liberal yang saking pengennya keliatan toleran, malah jadi permisif terhadap praktik yang jelas-jelas melanggar nilai-nilai hak asasi.Barry pengen multikulturalisme yang tetap nyambung sama nilai-nilai dasar liberalisme: dimana keberagaman budaya disambut, tapi enggak boleh ngalahin prinsip kesetaraan, hak individu, dan akuntabilitas demokratis. Menurutnya, penyalahgunaan budaya itu terjadi saat kita nyamain “menghormati” dengan “membiarkan apa pun atas nama tradisi.”Barry bilang bahwa kalau kita mau bikin masyarakat yang adil di tengah keragaman budaya, kuncinya bukan kasih perlakuan khusus ke tiap kelompok, tapi bikin sistem yang setara buat semua orang. Buat Barry, keadilan itu berdiri di atas tiga hal: hak yang sama, peluang yang sama, dan tanggung jawab sipil yang sama—terlepas dari kamu dari budaya apa.Doski gak sejalan ama pemikir multikultural yang minta hak-hak khusus berdasarkan kelompok budaya. Menurut Barry, kalau negara mulai bikin aturan beda-beda tergantung budayanya, itu bisa ngerusak solidaritas dan bikin masyarakat jadi terpecah. Doski percaya bahwa yang bikin hidup orang makin adil itu bukan pengakuan budaya doang, tapi akses nyata ke hal-hal penting kayak pendidikan yang bagus, layanan kesehatan yang layak, dan pekerjaan yang adil.Buat Barry, memperjuangkan keadilan itu soal ngangkat semua orang sebagai individu yang setara, bukan sebagai “wakil budaya” yang harus diperlakukan beda. Doi gak bilang budaya itu enggak penting—tapi doi ngewanti-wanti jangan sampai budaya dijadikan kacamata utama buat menilai keadilan.Cara bikin masyarakat yang adil menurut Barry itu simpel tapi berani: aturan yang sama buat semua, perlindungan yang sama buat semua, dan peluang yang sama buat semua—tanpa ngelihat loe datang dari suku mana, ngomong bahasa apa, atau pakai baju adat apa.
[Bagian 5]