[Bagian 4]Ada satu anekdot lama yang sering diceritakan ekonom buat nunjukkin pentingnya stabilitas ekonomi. Awal tahun 2000-an, di sebuah kota kecil Asia Tenggara, ada dua pedagang yang tiap pagi buka toko jam 8 teng. Yang satu jual beras, satunya lagi jual barang elektronik. Lalu datanglah masa krisis—rupiah goyang, inflasi datang tiba-tiba, politik juga panas. Toko elektronik gulung tikar dalam hitungan bulan: harga barang gak jelas, stok susah, cicilan macet. Toko beras masih bertahan, walau pelanggannya mulai beli cuma seperempat liter.Bertahun-tahun kemudian, seseorang nanya ke penjual beras itu, “Gimana bisa bertahan, padahal semua pada tutup?” Doi jawab, “Karena tiap pagi gua tahu harga beras gak bakal melonjak dua kali lipat dalam semalam. Gua masih bisa percaya sama pasar... ya cukup buat buka toko.” Kalimat itu jadi quote ikonik: stabilitas bukan soal pertumbuhan mewah, tapi soal ketenangan yang bikin orang biasa bisa terus berencana, berproduksi, dan bertahan.Stabilitas ekonomi itu kayak oksigen. Waktu ada, gak ada yang sadar. Tapi begitu hilang, semua orang langsung megap-megap.Stabilitas ekonomi itu penting banget sebab menjadi fondasi utama kehidupan bernegara yang waras. Bayangin kalau harga-harga stabil, kerjaan ada, pasar gak heboh tiap minggu—orang jadi tenang, bisa belanja, buka usaha, atau nabung buat masa depan. Perusahaan pun lebih pede investasi. Pemerintah juga bisa fokus bangun jalan, sekolah, dan rumah sakit tanpa harus terus-terusan matiin kebakaran ekonomi.Tapi kalau gak ada stabilitas? Hidup jadi kayak naik rollercoaster tiap hari. Harga naik gila-gilaan, PHK dimana-mana, pasar saham jeblok. Uang yang ditabung bisa habis cuma buat beli cabai. Yang paling kecekik? Ya masyarakat kecil. Mereka gak punya tabungan, gak ada pelampung. Instabilitas bikin stres sosial, konflik politik, dan bikin kepercayaan ke sistem jadi anjlok.Lebih jauh lagi, stabilitas bikin negara bisa mikir panjang: bangun jangka panjang, bukan cuma jaga citra tiap pemilu. Bikin dunia kerja adil, bikin orang bisa rencanain hidup, bisa tumbuh dan berkembang. Singkatnya: stabilitas itu bukan cuma urusan ekonomi—ini soal kemanusiaan. Gak ada stabilitas, gak bakal ada kedamaian atau kemajuan.Dalam Stabilizing an Unstable Economy (1986; reissued 2008, Yale University Press), Hyman P. Minsky ngasih gambaran nyata kalau ekonomi kapitalis itu sejatinya di jalur rollercoaster karena siklus utang, pinjaman, dan spekulasi kena banget. Doski bilang kalau pasar finansial dibiarkan bebas bebas aja, tanpa kontrol, ujung-ujungnya bikin gelembung ekonomi yang kemudian meledak dan bikin krisis. Makanya, stabilitas ekonomi itu cuma bisa dicapai kalau negara turun tangan: lewat regulasi ketat, kebijakan fiskal yang bijak, dan bank sentral yang waspada. Menurut Minsky, ekonomi gak bakalan stabil sendiri—harus dibangun dan dijaga dengan arsitektur negara yang kuat.Hyman P. Minsky, John Maynard Keynes, dan Milton Friedman sama-sama ngomongin stabilitas ekonomi, tapi cara mikir dan solusinya beda-beda banget—kayak nonton debat tiga genre: horor, drama politik, dan film dokumenter.Minsky itu kayak tokoh yang skeptis banget ama sistem. Doski bilang: kapitalisme itu dari sononya udah bawa benih kehancuran. Pas ekonomi lagi cakep-cakepnya, orang jadi makin nekat minjem duit buat spekulasi. Lama-lama sistemnya jadi kayak bom waktu—tinggal nunggu meledak. Buat Minsky, pasar itu gak bakal bisa ngerem sendiri. Harus ada negara gede yang turun tangan—ngatur, ngawasin, dan ngerem para spekulan yang doyan main api.Keynes, yang hidup di masa Depresi Besar, juga gak percaya sama pasar bebas. Tapi doi fokusnya ke permintaan. Katanya, ekonomi bisa mandek kalau orang gak belanja. Jadi negara harus ikutan main: bangun jalan, bikin proyek, kasih kerjaan—biar duit muter lagi. Doi gak ngebahas terlalu dalam soal utang spekulatif kayak Minsky, tapi dua-duanya sepakat bahwa negara harus aktif.Friedman? Nah ini beda jalur. Doi percaya pasar itu pinter dan bisa sembuh sendiri. Menurutnya, krisis kayak Depresi dulu itu gara-gara bank sentral gak becus, bukan salah sistem. Solusinya? Bank sentral cukup ngatur uang beredar dengan aturan yang jelas, gak usah ikut campur sana-sini. Friedman itu tim “jangan terlalu banyak tangan negara”.Kesimpulannya: Minsky bilang sistemnya sendiri udah rusak dan butuh dikendalikan, Keynes fokus ke daya beli dan lapangan kerja, sedangkan Friedman percaya pasar bisa pulih sendiri asal negara gak bikin kacau. Tiga pendekatan ini kayak pilihan strategi: mau negara yang super aktif, yang fleksibel, atau yang diem-dieman aja sambil mantau dari jauh.Berikut ini, tiga studi kasus—krisis utang Yunani, model perpajakan Skandinavia, dan transisi energi Jerman—yang masing-masing menyoroti ketegangan antara prioritas ekonomi yang saling bersaing.
Usai krisis keuangan global 2008, Yunani jadi contoh nyata betapa kerasnya benturan antara stabilitas ekonomi dan lapangan kerja. Demi dapet utang talangan dari Uni Eropa dan IMF, Yunani harus nurut sama resep “obat pahit” alias austerity: gaji PNS dipotong, pensiun dipangkas, pajak dinaikin. Ekonomi sih jadi “stabil” di atas kertas, tapi di lapangan? Pengangguran meroket, rakyat susah makan, banyak yang kehilangan harapan. Selama dunia tepuk tangan ngeliat grafik defisit menurun, warga Yunani justru ngerasa kayak ditenggelamkan. Kasus ini buktiin bahwa stabilitas makro kadang dibayar mahal banget—dengan nyawa dan masa depan rakyat kecil.
Berbeda jauh, di Skandinavia—kaya Swedia, Norwegia, Denmark—kita lihat duel antara pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara ini narik pajak gede-gedean, tapi balasannya juga gede: kesehatan gratis, pendidikan berkualitas, jaminan sosial komplit. Dulu banyak yang skeptis: katanya pajak segede itu bakal matiin semangat bisnis. Tapi ternyata gak juga. Justru karena pajaknya jelas dan manfaatnya balik ke rakyat, ekonomi mereka tetap ngebut. Skandinavia ngajarin kita bahwa keadilan sosial dan pertumbuhan itu bukan musuh bebuyutan—asal manajemennya bener, bisa saling ngangkat.
Lanjut ke Jerman, negara ini lagi gencar menjalani Energiewende—transisi energi ke arah yang lebih hijau. Nuklir dihentikan, batubara dikurangi, investasi besar-besaran ke angin dan matahari. Tapi langkah ini bikin dilema: jaga iklim atau jaga lapangan kerja? Banyak pekerja di tambang dan industri lama ketar-ketir. Pemerintah pun harus cari cara buat ngebalikin keseimbangan: dari ngasih pelatihan ulang sampai subsidi buat daerah terdampak. Kasus Jerman ini nunjukin kalau mau hijrah ke masa depan yang hijau, gak cukup modal niat dan teknologi—harus ada strategi biar orang-orang gak jatuh di tengah jalan.
Stabilitas ekonomi dan politik itu kayak sahabat karib yang gak bisa jauh-jauhan—kalau satu goyang, yang lain ikut oleng. Politik yang stabil bikin investor tenang, aturan bisa dijalankan, dan kebijakan ekonomi bisa jalan mulus. Sebaliknya, kalau ekonomi stabil—harga gak naik-turun, pengangguran rendah, pasar tenang—masyarakat juga gak gampang demo, dan pemerintah lebih dihormati.Urutan mana yang lebih penting tergantung situasi. Kalau ekonomi lagi amburadul—kayak krisis moneter, inflasi gila-gilaan, atau jutaan orang kehilangan kerja—pemerintah biasanya lebih fokus ngejar stabilitas ekonomi dulu. Contohnya pas krisis keuangan global 2008, banyak negara Barat ngorbanin stabilitas politik (protes, ketidakpuasan rakyat) demi nyelametin ekonomi lewat bailout dan stimulus jumbo.Sebaliknya, kalau politik lagi labil—kayak masa pemilu, kudeta, atau habis perang—pemerintah bisa milih ngejaga stabilitas politik dulu, meski harus nunda reformasi ekonomi. Di negara demokrasi rapuh, pemerintah sering takut ambil langkah impopuler (kayak naikin harga BBM), karena khawatir ditinggal rakyat. Di rezim otoriter, kontrol politik malah diperketat atas nama “demi kestabilan dan pembangunan jangka panjang.”Intinya, gak bisa milih satu dan buang yang lain. Ekonomi tanpa legitimasi politik itu rapuh, sedangkan politik tanpa keadilan ekonomi itu bikin rakyat muak. Negara yang paling tahan banting itu yang bisa menyeimbangkan keduanya—ngasih makan dan ngasih suara.Satu buku keren yang jelasin kalau stabilitas ekonomi dan politik itu dua sejoli yang saling membutuhkan adalah The Political Economy of International Relations karya Robert Gilpin (2001, Princeton University Press). Gilpin pintar banget nyambungin dua ranah ini, bilang kalau negara gak bisa makmur cuman dengan ekonomi yang oke tanpa politik yang stabil. Begitu juga, politik gak bakal awet kalau ekonominya amburadul.Doi jelasin gimana sistem ekonomi—entah pasar bebas atau negara kesejahteraan—gak bisa jalan kalau institusi politiknya keropos. Tanpa hukum yang dihormati, aturan properti yang pasti, dan pengadilan yang netral, investor kabur, perdagangan kena dampak, dan lama-lama bisa meledak jadi kerusuhan. Sebaliknya, kalau politiknya bobrok, korupsi merajalela, dan kelembagaan lemah, ya ekonomi susah tumbuh dan krisis makin dalam.Intinya, The Political Economy of International Relations ngegambarin bahwa stabilitas itu bukan tujuan terpisah—melainkan dua pilar yang saling menopang. Kepercayaan pasar butuh politik yang prediktabel, dan kedamaian politik ngebutuhin performa ekonomi yang nyata.Tris, siapa yang tanggungjawab atas stabilitas ekonomi?Jawaban soal siapa yang tanggung jawab atas stabilitas ekonomi, gak bisa nunjuk satu orang atau satu lembaga doang—karena ini tanggungjawab keroyokan, alias rame-rame tapi terstruktur.Pertama tentu aja pemerintah pusat—mulai dari Kementerian Keuangan sampai Bappenas. Mereka yang ngatur anggaran, narik pajak, ngurus utang, dan ngatur duit negara supaya pertumbuhan tetap jalan dan rakyat gak makin kere. Tapi itu baru setengah cerita.Bagian lainnya dipegang ama bank sentral kayak Bank Indonesia, Bank of England, atau The Fed. Mereka ngatur suku bunga, jaga inflasi, dan pastiin duit di pasar gak kebanyakan atau kekurangan. Walaupun mereka “independen”, perannya krusial banget biar ekonomi gak demam atau kedinginan.Tapi jangan lupa, pelaku swasta juga punya peran besar. Dari korporasi, investor, sampe bank-bank gede—mereka yang ngatur harga, gaji, investasi. Kalau mereka spekulasi ugal-ugalan kayak sebelum krisis 2008, ya ambyar juga tuh ekonomi. Makanya, regulasi dan etika bisnis itu bukan pajangan—itu rem daruratnya.Terus ada juga peran lembaga internasional kayak IMF dan World Bank. Mereka bantu negara yang lagi krisis, kasih utang, konsultasi, dan kadang bikin resep ekonomi (sering diprotes juga sih). Tapi suka atau gak, pengaruh mereka bisa nahan ekonomi global dari terjun bebas.Dan terakhir, kita semua—rakyat jelata juga punya suara. Lewat pilihan politik, gaya konsumsi, atau protes di jalan, publik bisa bantu arahkan ekonomi. Karena stabilitas itu bukan soal teknis doang—tapi juga soal rasa percaya dan rasa punya bareng-bareng.Karya keren yang ngobrolin soal siapa yang pegang kendali atas stabilitas ekonomi adalah Balance of Power: Central Banks and the Fate of Democracies karya Éric Monnet (2023, Chicago University Press). Monnet bilang, selama ini bank sentral yang dipandang sebagai penanggung jawab utama—yang ngatur tingkat suku bunga, meredam inflasi, dan nyediain duit di pasar. Tapi katanya, kekuasaan bank sentral sekarang udah kelewat gede, bisa ngatur pasar obligasi negara sampai urusan iklim. Nah, doi ngingetin: kalau bank sentral terlalu jadi boss abadi, akuntbilitas demokrasi bisa digerogoti. Makanya, harus ada penyeimbang antara teknokrat dan politik.Buat Monnet, stabilitas ekonomi itu bukan tugas satu orang atau lembaga doang. Ini kerja tim: bank sentral buat kontrol inflasi dan resesi, pemerintah buat ngatur anggaran dan investasi publik, dan swasta—bank, korporasi, rakyat—buat bikin roda ekonomi muter. Kalau salah satu dari tiga pilar ini goyah, negara bisa goyah kayak bangunan tanpa pondasi.Kapan stabilitas ekonomi gampang ambyar?Stabilitas ekonomi itu mulai goyang ketika fondasi kepercayaan, tatakelola, dan produktivitas mulai keropos—kayak bangunan megah yang tiba-tiba retak dari dalam. Biasanya terjadi pas politik lagi gonjang-ganjing, pemerintahnya plin-plan atau malah sibuk drama ketimbang bikin keputusan ekonomi yang masuk akal. Begitu investor mulai ragu—karena korupsi, kebijakan yang suka berubah-ubah, atau gara-gara perang dan konflik luar—uang bisa kabur, nilai tukar jeblok, harga-harga naik. Terus, kalau jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar sampai mayoritas rakyat cuma bisa nonton ekonomi dari pinggir, daya beli ngedrop, dan potensi kerusuhan sosial tinggal tunggu waktu. Tambah parah lagi kalau negara cuma mengandalkan satu sektor doang—kayak minyak, pariwisata, atau pabrik—begitu sektor itu kena masalah, seluruh ekonomi bisa gemetar kayak domino. Bahkan bencana alam atau pandemi, kalau nggak siap, bisa bikin ekonomi yang tadinya adem ayem langsung jungkir balik.Kalau mau aman, negara kudu terus bangun pondasi yang kuat—bukan cuma bangunan pencakar langit, tapi juga kepercayaan rakyat dan kebijakan yang tahan banting.Salah satu karya yang paling nendang dan nyambung banget sama argumen ini adalah Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012, Crown Publishing). Duo ekonom top ini bilang kalau stabilitas ekonomi itu nggak bisa dipisahin dari kondisi politik. Kalau kekuasaan cuma dikuasai segelintir elit yang bikin kebijakan buat ngamanin dompet dan tahta mereka sendiri, ya jelas aja ekonomi jadi rapuh. Inovasi mandek, ketimpangan melebar, dan rakyat bisa sewaktu-waktu meledak karena merasa dimiskinkan sistem.
Trus ada lagi yang cukup "berani" bertajuk Globalization and Its Discontents karya Joseph E. Stiglitz (2002, W.W. Norton & Company). Sang profesor adalah peraih Nobel Ekonomi, dan doi terang-terangan mengkritik gimana kebijakan liberalisasi dan deregulasi yang dipaksain ke negara berkembang malah sering bikin ekonomi berantakan. IMF dan kawan-kawan dianggap kayak dokter yang kasih obat sama semua pasien tanpa ngelihat kondisi tubuhnya—hasilnya, banyak negara malah masuk UGD ekonomi: pengangguran naik, rakyat ngamuk, dan stabilitas pun rontok.Stiglitz ngegas banget soal kebijakan ekonomi yang sering dipaksain ke negara berkembang oleh lembaga-lembaga seperti IMF. Katanya, pas negara-negara ini disuruh buru-buru buka pasar, cabut aturan main, dan ngirit mati-matian lewat penghematan anggaran, hasilnya, bukannya ekonomi naik kelas—malah ambruk total. Janjinya sih keren: pertumbuhan ekonomi, banjir investasi, dan jadi negara maju. Tapi kenyataannya, malah jadi kisah patah hati nasional: kemiskinan naik, ekonomi berantakan, rakyat makin nggak percaya.Liberalisasi yang dipaksakan—kayak tiba-tiba ngebuka pasar buat produk luar tanpa proteksi buat UMKM lokal—bisa bikin pengusaha dalam negeri langsung KO sebelum sempat nafas. Deregulasi juga bisa bikin sektor keuangan jadi ladang spekulan, korupsi, dan krisis bank, apalagi kalau hukum di negaranya masih lemah. Nah, austerity alias penghematan gila-gilaan itu, biasanya bikin subsidi dicabut, rumah sakit dan sekolah kekurangan dana, dan PNS kena PHK—yang kena duluan pastilah rakyat kecil.Alih-alih bikin stabil, kebijakan "terapi kejut" ini malah bikin ekonomi makin bergolak. Stiglitz bilang, pendekatan “satu resep untuk semua” ini bukan karena jenius ekonomi, tapi karena keras kepala ideologi. Menurutnya, pembangunan ekonomi sejati harus disesuaikan dengan kondisi lokal, pakai institusi yang kuat, dan kebijakan yang nggak cuma mikirin pasar, tapi juga melindungi manusia.
[Bagian 2]