Di sebuah vila yang sepi, jauh dari hiruk pikuk ibukota, duduklah seorang lelaki yang dulu pernah menggenggam nasib jutaan rakyat di tangannya. Sekarang doski nonton berita malam bukan karena pengin tahu—tapi karena doi masih ngitung langkah. Baju kebesaran kepresidenan memang udah dilipat rapi dalam lemari, fotonya juga udah diganti di gedung-gedung negara. Tapi suaranya masih bergaung di lorong-lorong kekuasaan.Doski memang udah gak tanda tangan keputusan, tapi anak buahnya yang sekarang tanda tanganin. Doi gak duduk di rapat kabinet, tapi orang-orangnya ada di kursi utama. Rakyat ngira kepemimpinan udah ganti, tapi mesin kekuasaan baru nyala kalau doi yang ngedipin mata—entah lewat makan malam privat, WA malam-malam, atau kode rahasia di media.Ini bukan adegan fiksi politik distopia, tapi ritme nyata di banyak negara: mantan pemimpin yang gak pernah benar-benar pensiun. Kadang karena ambisi belum kelar, kadang karena takut kehilangan perlindungan, kadang karena bisnis butuh dijaga. Buat mereka, demokrasi bukan estafet yang harus diserahin, tapi remote TV yang harus tetap mereka pegang diam-diam. Dan saat kekuasaan udah kayak properti pribadi, rakyat cuma dikasih ilusi perubahan—padahal naskahnya masih ditulis oleh tangan yang sama.Ada hubungan yang dalem banget (dan ngeselin) antara kemiskinan yang terus-terusan nempel di sebuah negara dengan kelakuan para pemimpin yang gak mau move on dari kekuasaan—meskipun udah lengser—atau yang sejak awal memang pakai jabatan cuma buat ngurus bisnis pribadi. Kemiskinan di banyak tempat tuh bukan sekadar “gara-gara ekonomi lemah” atau “nasib buruk.” Banyak banget yang sebenarnya dipelihara dan dirancang rapi oleh elite politik yang nyaman banget di balik sistem yang mereka ciptain sendiri.Waktu seorang mantan pemimpin masih cawe-cawe, ngatur dari balik layar, atau nitip boneka politik, itu bukan cuma soal “gak rela turun.” Itu tanda kalau doski (dan jaringan loyalisnya) takut kehilangan akses dan impunitas. Yang mereka lindungi bukan rakyat, tapi aset, koneksi bisnis, dan reputasi pribadi. Dan selama sistem kayak gini terus jalan, anggaran buat rakyat bakal disedot buat nyuapin kroni. Jalan gak dibangun, rumah sakit mangkrak, sekolah bobrok—bukan karena negaranya miskin, tapi karena duitnya dihisap elite.Lebih parahnya lagi, kemiskinan itu kadang dipake sebagai alat politik. Selama rakyat lapar, gak punya kerjaan, dan hidup pas-pasan, mereka gampang dikontrol. Kasih sembako, kasih proyek fiktif, atau janji kerja jadi alat buat beli suara. Dalam sistem kayak gini, kemiskinan bukan musuh yang mau diberantas—tapi senjata yang dipake buat bertahan agar tetap di atas.Makanya, kemiskinan jangan cuma dilihat sebagai soal ekonomi. Ini soal masa depan yang digarong, suara yang dibungkam, dan janji negara yang dikhianati. Ketika seorang pemimpin—entah masih menjabat atau udah lengser tapi gak mau pensiun dari ngatur—menganggap kekuasaan sebagai alat dagang atau warisan kekayaan, yang dikorbankan adalah harapan jutaan rakyat kecil.Dari zaman kerajaan sampai era demokrasi digital, dunia ini gak pernah kekurangan sosok pemimpin yang udah turun dari kursi kekuasaan tapi gak mau benar-benar pergi. Jabatan boleh lepas, tapi pengaruh masih nempel di mana-mana. Mereka ini kayak bayangan yang gak bisa hilang, kayak mantan yang masih ngintip IG story. Ada yang ngatur lewat orang kepercayaannya, ada yang balik lagi secara dramatis, dan ada juga yang walaupun udah sakit, masih ngotot pengin kendali—biar gak bisa nyetir, tapi tetap mau pegang setir.
Salah satu contoh paling legendaris? Napoleon Bonaparte. Setelah dibuang ke Pulau Elba tahun 1814, dia bukannya pensiun manis, malah kabur dan balik ke Prancis, langsung ngambil alih lagi selama "100 Hari" yang ikonik itu. Baru setelah kalah di Pertempuran Waterloo, doski bener-bener dipaksa minggir. Tapi kisah itu nunjukin satu hal: orang yang ngerasa dirinya ditakdirkan buat memimpin, gak bakal gampang disuruh pensiun.
Di zaman modern, ada Deng Xiaoping dari Cina. Walaupun dia secara resmi udah lepas semua jabatan di akhir 1980-an, dia tetap jadi otak di balik layar. Bahkan waktu sakit dan gemetar karena Parkinson, dia masih sempet bikin “tur selatan” tahun 1992 yang ngidupin lagi reformasi pasar Cina. Para penggantinya cuma kayak figuran dalam panggung besar yang Deng masih sutradarain.Meskipun udah mundur dari jabatan resmi sejak tahun 1980-an, Deng Xiaoping tetap jadi "sutradara utama" politik China sampai dekade 1990-an. Seperti yang dijelasin Ezra F. Vogel dalam buku Deng Xiaoping and the Transformation of China (2011, Harvard University Press), Deng tuh kayak bos mafia yang gak butuh jabatan buat bikin keputusan penting. Gak punya gelar resmi? Bukan masalah. Karisma revolusionernya, kecerdikan politiknya, dan jaringan loyalis di lingkaran elite bikin dia tetap jadi kingmaker sejati. Walau kesehatannya makin menurun, Deng masih aktif "mengatur plot" dari balik layar. Contohnya, tur ke Selatan tahun 1992 yang dilakukannya meski gak pegang jabatan apapun, sukses banget buat ngedorong kembali agenda reformasi ekonomi dan ngegas lawan-lawan konservatifnya. Vogel ngelukisin Deng kayak grandmaster catur politik: diem-diem gerakin bidak, nentuin siapa jadi penerus, dan bikin ekonomi China ngebut sembari ngepastiin partai tetep megang kendali mutlak.Contoh lain yang gak kalah ngegas: Vladimir Putin. Tahun 2008, doski “turun” dari posisi Presiden ke Perdana Menteri, dan kasih kursi panas itu ke Medvedev. Tapi satu Rusia tahu: Putin gak ke mana-mana. Medvedev kayak penjaga kursi doang, dan bener aja, tahun 2012 Putin balik lagi jadi Presiden. Ini bukan pensiun—ini cuma cuti sambil ngatur skenario.Dalam The Return of the Strongman: Populism, Nationalism, and the Rise of Authoritarian Leaders (2022, Other Press), Gideon Rachman bilang, salah satu ciri khas rezim kuat zaman sekarang adalah kemampuan buat ngatur transisi kekuasaan yang kelihatannya demokratis, padahal sebenernya kamuflase doang. Bukannya pakai kudeta atau senjata, mereka pakai celah hukum, boneka politik, dan panggung pencitraan yang rapi.Contoh paling ciamik? Ya Vladimir Putin. Tahun 2008, masa jabatannya sebagai Presiden Rusia udah mentok. Tapi alih-alih benar-benar mundur, doski “turun pangkat” jadi Perdana Menteri, sementara kursi presiden dikasih ke temennya sendiri, Dmitry Medvedev. Di mata dunia, ini kelihatan kayak suksesi damai. Tapi di Rusia sendiri, semua orang tahu: Putin tetep bosnya. Medvedev cuma kayak “joki” yang ngejalanin titipan kebijakan dari balik layar.Selama “pensiun pura-pura” itu, Putin masih yang ngatur segalanya—dari dalam negeri sampai urusan luar negeri. Dan bener aja, tahun 2012 dia balik lagi jadi Presiden, seolah-olah dia cuma rehat bentar, bukan benar-benar pergi. Menurut Rachman, ini bukan transisi kekuasaan, tapi "ilusi demokrasi"—tampilan boleh beda, tapi dalang tetep sama.Model ini, kata Rachman, jadi inspirasi buat banyak pemimpin lain yang pengin terlihat demokratis di mata dunia, tapi tetep mau megang semua tombol kendali. Ini strategi jitu: panggung demokrasi tetep bediri, tapi naskahnya masih ditulis orang lama. Jadi yang berubah cuman wajah di depan kamera—sementara tangan yang narik benang tetep itu-itu juga.Di Indonesia juga punya ceritanya. Suharto, setelah turun tahun 1998, masih dikelilingi oleh loyalis dan anak-anaknya yang main di belakang layar. Walaupun kesehatannya menurun dan akhirnya gak banyak muncul, "Orde Baru-nya" gak benar-benar bubar. Banyak tokoh, gaya politik, bahkan gurita bisnisnya tetap berdenyut sampai bertahun-tahun setelahnya. Dalam Suharto: A Political Biography (2001, Cambridge University Press), R. E. Elson ngejelasin gimana Suharto itu udah puluhan tahun bangun kerajaan dalam bentuk jaringan militer loyal, konglomerat tajir, dan keluarga inti yang ikut main di panggung kekuasaan. Sistemnya dibikin kayak klub eksklusif: siapa yang setia, dikasih akses ke kekuasaan, proyek, dan harta karun. Dan pas Suharto turun tahta, jaringan itu gak bubar—malah masih aktif jagain kepentingannya dari balik layar. Elson ngegambarin Suharto bukan cuma sebagai mantan presiden, tapi sebagai arsitek sistem patronase yang canggih banget, sampai-sampai negaranya kayak gak bisa move on. Walau udah pensiun, Suharto tetap kayak "shadow boss" yang nunjukin kalau warisan kekuasaannya lebih bandel dari masa jabatannya.
Sama juga dengan Fidel Castro. Tahun 2006 dia serahin jabatan ke adiknya Raúl karena sakit, tapi tetap aktif nulis opini dan kasih wejangan ke partai dan rakyatnya. Udah kayak pensiunan yang jadi penasehat spiritual negara.
Para pemimpin ini, ngasih kita satu pelajaran: buat sebagian orang, kekuasaan itu bukan jabatan, tapi “jiwa”. Kayak roh yang belum tenang walau udah gak duduk di singgasana. Mereka mungkin udah gak tanda tangan resmi, tapi kebijakan tetap jalan atas nama mereka. Bahkan saat tubuh udah lemah, pikiran buat tetap ngatur gak ikutan pensiun.
Dalam dunia ideal, pemimpin itu pelayan rakyat—orang yang dipercaya buat ngurusin sumber daya negara demi kesejahteraan bersama. Tapi realitanya? Sepanjang sejarah, banyak banget pemimpin yang lebih mirip CEO perusahaan pribadi ketimbang negarawan sejati. Buat mereka, negara itu bukan rumah rakyat, tapi lapak usaha. Pemerintahan jadi alat dagang, dan kekuasaan cuma branding buat ngedongkrak bisnis.Contoh paling gila datang dari Afrika: Mobutu Sese Seko, penguasa Zaire (sekarang Kongo) dari tahun 1965 sampai 1997. Ini orang bener-bener mendirikan kerajaan korupsi. Duit negara nyatu ama rekening pribadinya. Rakyat kelaparan, doi bangun istana mewah dan punya properti di Eropa. Bahkan pesawat negara dipakai buat belanja pribadi. Bantuan luar negeri yang harusnya buat pembangunan, malah nyasar ke bank-bank Swiss. Di tangan Mobutu, negara berubah jadi ATM pribadi.Lanjut ke gaya Eropa yang lebih “necis”: Silvio Berlusconi di Italia. Awalnya doski itu raja media, lalu masuk politik dan jadi Perdana Menteri. Tapi lucunya, selama berkuasa dia nggak pernah bener-bener pisah dari bisnisnya. Banyak undang-undang yang kayak sengaja dibikin buat ngelindungin atau nguntungin perusahaan-perusahaannya. Doski pegang media, tapi juga ngatur badan pengawas medianya sendiri. Kritik keras waktu itu bilang: Italia udah berubah jadi ‘Berluscoland’—negaranya doi, TV-nya doski, aturannya juga dirinya.Terakhir, ada kisah kontemporer dari Amerika: Donald Trump. Doski kampanye bawa jargon “drain the swamp” alias bersihin korupsi. Tapi begitu duduk di kursi presiden, justru bikin orang bingung: mana negara, mana brand? Hotel-hotel Trump jadi tempat nongkrongnya diplomat asing dan pejabat, sementara doi tetep pegang bisnis properti. Banyak yang bilang, selama empat tahun pemerintahan periode pertamanya itu, Amerika kayak jadi panggung buat iklan besar: Trump Tower versi pemerintahan.Dalam The System: Who Rigged It, How We Fix It (2020, Alfred A. Knopf), Robert B. Reich ngebongkar gimana demokrasi modern—terutama di Amerika Serikat—udah dibajak sama orang-orang super kaya. Reich bilang, sistem politik dan ekonomi udah kayak papan monopoli yang dimodif buat selalu dimenangin oleh segelintir elite. Mereka pakai duit segunung buat ngatur undang-undang, ngontrol narasi publik, dan pastiin hasilnya tetap menguntungkan mereka, siapa pun presidennya.Donald Trump di mata Reich bukan cuma tokoh kontroversial, tapi semacam cerminan dari sistem yang udah busuk duluan. Reich nunjukin gimana Trump nyampur aduk bisnis pribadi dengan urusan negara—jadi presiden tapi mikirin brand sendiri, bukan rakyat. Lewat kekuasaan, Trump lebih fokus jaga kekayaan pribadinya, naikin nilai bisnisnya, bahkan ngatur pasar demi kepentingan keluarganya. Dalam sistem kayak gitu, kebijakan publik makin hari makin kelihatan kayak katalog promo buat orang-orang super kaya—bukan buat kesejahteraan umum.Akhirnya, Reich bilang demokrasi yang seharusnya jadi suara rakyat malah jadi panggung elit. Publik makin gak percaya, dan institusi negara berubah jadi alat buat cari cuan pribadi.
Kisah-kisah ini nunjukin satu hal penting: kalau pemimpin udah mikir kayak pebisnis, rakyat bisa jadi korban pasar. Anggaran negara jadi laporan keuangan pribadi. Kebijakan publik dikemas kayak promo diskon. Pemimpin udah gak mikir visi, tapi mikir cuan dan kontrol.Dalam sejarah, banyak banget pemimpin yang walaupun udah resmi lengser, tapi masih aja ngatur dari balik layar—kayak dalang yang udah pensiun, tapi masih megang wayang di balik kelir. Mereka pura-pura pensiun, tampil bijak di depan kamera, tapi sebenernya masih narik benang-benang kekuasaan lewat boneka politiknya. Biasanya bonekanya itu loyalis lama, mantan ajudan, atau malah anaknya sendiri.Kalau mau lihat contohnya dari zaman dulu, ada Augustus Caesar di Romawi Kuno. Secara formal dia ngelepas beberapa jabatan dan kasih kesan kekuasaan dibagi-bagi, tapi pada kenyataannya, semua keputusan penting tetap lewat dia. Dia bahkan nyiapin “co-ruler” dari keluarga sendiri, dan bikin sistem yang kelihatan kayak republik, padahal sebenernya udah berubah jadi dinasti.Contoh lain yang rada "halus tapi nyata" adalah Lee Kuan Yew di Singapura. Secara resmi dia pensiun dari Perdana Menteri tahun 1990, tapi tetap jadi “Senior Minister” dan “Minister Mentor.” Kedengeran kayak titel penghormatan, tapi pengaruhnya masih super kuat. Pemerintahan Goh Chok Tong bahkan sampai era anaknya, Lee Hsien Loong, masih bergerak di orbit kebijakan dan visi LKY. Banyak yang salut karena dia bikin Singapura maju, tapi ada juga yang bilang: "ini bukan transisi kekuasaan, tapi estafet keluarga."Deket-deket sini juga ada kok: Mulyono. Setelah masa jabatannya berakhir tahun 2024, anak-menantunya, kroni bisnis, serta mantan jenderal dan polisinya tetep eksis di panggung politik dan ekonomi.. Arsitektur rezimnya—jaringan kekuasaan dan kendali—tetep hidup melalui "keturunan politiknya.",Peran mantan Presiden Mulyono dalam politik Indonesia sekarang tuh kayak bayangan yang gak pernah benar-benar hilang. Secara resmi sih udah lengser, masa jabatan dua periode juga udah selesai, tapi kenyataannya, pengaruh Mulyono masih nempel dimana-mana—bukan karena dia ngeyel balik jadi presiden, tapi karena dia nempatin pion-pionnya dengan sangat strategis.Yang paling kelihatan jelas? Ya tentu aja, anak kandungnya sendiri: Mas Wapres, yang sekarang duduk manis sebagai Wakil Presiden. Ini bukan sekadar bapak bangga sama anak—ini langkah serius buat bikin fondasi dinasti. Banyak yang bilang, ini udah bukan demokrasi murni lagi, tapi udah mulai mirip kerajaan kecil yang diwariskan. Bukan soal kompetensi, tapi soal siapa anak siapa.Dan ceritanya gak berhenti di situ. Para kroni Mulyono, partner bisnis, dan loyalis politiknya masih bercokol di pemerintahan. Dari posisi menteri sampai komisaris BUMN, banyak yang tetep nangkring, seolah Mulyono masih duduk di singgasana. Doski mungkin udah gak di Istana, tapi kerangka kekuasaannya masih berdetak.Yang bikin makin runyam, kondisi kayak gini bisa bikin kontrol rakyat makin lemah. Kalau kekuasaan udah kayak urusan keluarga, kritik bisa dianggap serangan pribadi. Lawan politik gampang disingkirkan, sementara yang pinter tapi gak punya hubungan darah, bisa-bisa cuma jadi penonton. Demokrasi yang dulu susah payah dibangun dengan keringat Reformasi, sekarang malah keliatan kayak berubah baju doang—namanya ganti, tapi polanya sama.Mulyono mungkin keliatannya udah mundur, tapi sebenernya doi cuma mundur setengah langkah—masih berdiri di belakang layar, sambil ngatur arah panggung. Dan kita sebagai rakyat? Perlu waspada: jangan sampai kita dikasih pertunjukan reformasi, padahal yang main itu-itu lagi, dari keluarga yang sama.
Semua kisah ini bikin kita nyadar: gak semua yang pensiun itu beneran pensiun. Kadang, lengser itu cuma strategi untuk bertahan lebih lama, lewat tangan orang lain. Politik jadi kayak warisan keluarga—bukan karena pantas, tapi karena terencana. Dan rakyat? Lagi-lagi cuma penonton.Kalau seorang pemimpin—katakanlah presiden—udah selesai masa jabatannya tapi masih aja cawe-cawe dalam pemerintahan, akibatnya gak cuma soal etika politik. Ini bisa ngebengkokin sistem demokrasi, bikin pemimpin baru kayak figuran, dan yang paling parah, rakyat jadi gak tahu siapa yang harus mereka pertanggungjawabkan. Tampang boleh beda, tapi keputusan masih dari tangan yang sama.Kondisi ini bikin pemerintahan macet. Pemimpin baru seringkali cuma “dipilih” atau “disponsori” sama mantan bosnya, jadi gak berani atau gak bisa bikin terobosan nyata. Birokrasi pun lebih setia ama tokoh, bukan ama konstitusi. Negara jadi kayak stuck di fase puber politik—gak pernah dewasa, karena selalu dikendalikan dari belakang layar.Yang paling kasihan siapa? Rakyat miskin. Karena ketika kekuasaan cuma dipakai buat jagain pengaruh dan bisnis lama, anggaran negara gak turun ke bawah—tapi muter di kalangan elite. Korupsi merajalela, layanan publik makin payah, dan jurang antara kaya dan miskin makin nganga. Soalnya, selama kekuasaan gak bener-bener lepas, reformasi cuma jadi tempelan.Dalam situasi kek gini, kemiskinan malah dijadiin alat politik. Rakyat dikasih cukup buat bertahan hidup, tapi gak cukup buat mandiri. Bantuan sosial dan proyek populis dijadiin umpan, bukan solusi. Miskin itu dijaga—biar gampang disetir, gampang dibeli, dan gak banyak nuntut. Dan selama itu berjalan, mantan penguasa tetap main dari belakang, pakai negara kayak properti pribadi.Jika mantan pemimpin masih ngatur di balik layar setelah lengser, dampaknya tuh gak cuma bikin drama politik jangka pendek—tapi juga ngerusak sistem dalam jangka panjang. Di awal-awal, yang kelihatan adalah kekacauan: siapa sih sebenernya yang pegang kendali? Presiden baru gak bisa gerak bebas, menteri bingung harus nurut yang mana, dan keputusan jadi serba lambat, serba takut salah. Semua kayak hidup dalam bayang-bayang: ada bos resmi, tapi ada juga “sutradara lama” yang masih bisik-bisik di belakang.Efek dominonya? Kebijakan mandek. Reformasi ekonomi jadi setengah jalan. Kasus korupsi bisa ditunda, atau malah hilang ditelan waktu. Investor pun mikir dua kali—siapa sih yang sebenernya mereka hadapi? Gak ada yang mau berurusan dengan negara yang masih “dikuasai hantu mantan penguasa.” Rakyat yang tadinya berharap perubahan, pelan-pelan balik ke mode: "Ah, paling juga sama aja."Nah, yang serem justru dampak jangka panjangnya. Ketika kekuasaan gak pernah benar-benar diserahin, rakyat mulai anggap demokrasi itu cuma sandiwara. Mereka gak percaya lagi sama pemilu, gak percaya sama institusi, bahkan gak percaya kalau perubahan itu mungkin. Rasa kecewa jadi kebiasaan, dan akhirnya jadi budaya: budaya cuek, budaya nyerah, budaya “yang penting selamat.”Kalo ini dibiarin, demokrasi kita jadi kopong. Yang naik ke atas bukan orang baik, tapi orang licik. Yang tulus akan kehabisan energi atau dipaksa minggir. Yang dipelihara bukan keadilan, tapi kroni dan kepentingan. Sampai satu titik, rakyat berhenti nanya “Siapa pemimpinnya?” dan mulai mikir, “Ngapain juga milih, toh ujung-ujungnya gitu lagi?”Dan itulah momen paling berbahaya: saat rakyat berhenti berharap. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka terlalu sering dikecewakan. Dan ngebangun kembali harapan yang udah patah itu gak cukup lima tahun—bisa makan waktu satu generasi.Bilamana kekuasaan udah jadi barang pribadi yang gak mau dilepas-lepas, maka kemiskinan itu bukan lagi akibat—tapi bagian dari rencana. Di negara-negara dimana mantan pemimpin masih main cawe-cawe, pemerintahan bukan lagi alat untuk melayani rakyat, tapi berubah jadi benteng buat jagain pengaruh, kroni, dan harta. Dan kemiskinan? Itu bukan kegagalan kebijakan, tapi hasil dari keputusan-keputusan yang disengaja.Anggaran negara gak lagi difokuskan buat ngurangin ketimpangan, tapi buat bagi-bagi kue ke yang setia dan bikin hidup susah bagi yang berani bersuara. Bukannya bangun sekolah atau lapangan kerja, uang negara malah dipakai buat proyek pencitraan, kontrak BUMN buat teman-teman dekat, atau program populis jangka pendek yang sekilas kelihatan keren tapi gak nyentuh akar masalah. Dalam dunia semacam ini, kemiskinan dijaga rapat-rapat—karena rakyat yang lapar lebih gampang dikendalikan. Yang penting mereka antre, bukan memberontak.Pemimpin yang gak mau pensiun beneran sering pakai kemiskinan sebagai panggung. Mereka tampil kayak pahlawan—bagi-bagi sembako dengan wajah mereka di plastiknya, kasih bantuan sambil bisik-bisik “ingat siapa yang bantu.” Tapi sebenernya, bantuan itu gak ngebebasin—cuma bikin rakyat makin tergantung. Rakyat gak diberdayakan, tapi dikelola. Dari harga diri jadi jadi data pemilih.Selama tujuannya bukan perbaikan sistem tapi pelestarian kekuasaan, kemiskinan bakal terus diwariskan. Anak-anak yang lahir miskin, besar juga dalam miskin, bukan karena mereka bodoh, tapi karena sistemnya sengaja bikin mereka susah naik kelas. Korupsi makin dalam, kepercayaan publik makin pudar, dan ketimpangan makin keras kepala. Sementara itu, mantan penguasa masih ngatur dari balik tirai, dan rakyat kecil yang menanggung beban sejarah mereka—bukan di buku teks, tapi di piring kosong dan sekolah-sekolah yang terbengkalaikan.
[Bagian 4]