Rabu, 25 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (2)

Di sebuah desa kecil di tepi laut yang makin sering dihantam badai, warga dulu milih pemimpin cuma karena yang paling rame pas pesta kampung. Siapa yang paling lucu, paling jago orasi, paling sering bagi-bagi kaos—itu yang menang. Selama cuaca masih cerah dan ikan masih banyak, gak ada yang protes.
Tapi lama-lama laut makin ganas, badai makin sering datang, dan pasar ikan makin dikacauin ama harga global yang gak masuk akal. Pas krisis beneran datang, orang-orang gak lagi nyari yang suaranya paling kenceng, tapi nyari sang kakek nelayan pendiam yang dulu sering dicuekin. Doskilah yang dari dulu udah ingetin soal perubahan ombak. Doski gak cuma ngomong, tapi juga bikin perahu yang kuat, ngajarin anak muda cara bertahan di laut yang liar.
Sekarang, desa itu masih berdiri bukan karena pemimpinnya jago nyanyi waktu kampanye, tapi karena ada yang siap mikir sebelum badai datang. Anekdot ini jadi pengingat: di zaman dunia yang makin ruwet—ekonomi goyang, iklim ngaco, politik meletup—kita butuh pemimpin yang gak sekadar rame, tapi punya ilmu dan keberanian buat ambil keputusan pahit sebelum semuanya ambruk.

Ngukur stabilitas sebuah negara di level internasional itu gak cukup pake perasaan nasionalis atau janji kampanye. Dunia luar punya banyak alat ukur yang ngebongkar: negara ini beneran stabil, atau cuma kelihatan adem di TV tapi dalemnya udah keropos.

Salah satu yang paling sering dipake adalah Fragile States Index (FSI) yang tiap tahun dirilis oleh Fund for Peace. Mereka ngeliat negara dari banyak sisi: pemerintahannya sah atau kagak, ketimpangan ekonominya gimana, layanan publiknya jalan gak, ada campur tangan asing atau enggak, dan rakyatnya guyub apa gampang ribut. Semakin tinggi skornya, artinya negara makin rawan ambyar.
Kalo loe ngira negara loe yang paling banyak drama, tunggu dulu sampai lihat daftar negara paling rapuh di dunia versi Fragile States Index 2024. Di puncak daftar ada negara-negara yang kayaknya udah langganan krisis—bukan cuma karena ekonomi yang ambruk, tapi juga karena perang yang gak kunjung selese, pemerintah yang gak berfungsi, dan rakyat yang tiap hari harus bertahan hidup di tengah kekacauan.
Ambil contoh Somalia. Bayangin negara yang udah lebih dari 30 tahun hidup dalam perang saudara. Pemerintah pusatnya lemah kayak sinyal Wi-Fi di ujung kampung, dan kelompok militan Al-Shabaab masih berkeliaran seenaknya di banyak wilayah. Layanan publik? Ekonomi? Jangan ditanya. Udah kayak rumah kosong yang ditinggalin puluhan tahun.
Lalu ada Yemen, negeri yang dari luar tampak seperti halaman sejarah yang macet di bab perang. Sejak 2011, mereka tenggelam dalam konflik sipil yang makin parah gara-gara adu gengsi dua raksasa kawasan: Arab Saudi dan Iran. Yang jadi korban? Rakyat. Mereka kelaparan, kehilangan rumah, dan hidup di tengah reruntuhan negara yang dulu pernah berdiri.
Sudan Selatan juga gak kalah tragis. Baru aja resmi jadi negara tahun 2011, tapi harapan untuk hidup damai langsung dibungkam oleh perang antar etnis. Pemerintahannya rapuh kayak bangunan tua belum direnovasi, jutaan orang terpaksa mengungsi, dan soal makanan? Gak semua orang bisa makan tiap hari.
Lanjut ke Republik Demokratik Kongo. Negara ini ibarat rumah mewah yang dikelilingi ladang ranjau. Kaya banget sumber daya—emas, kobalt, minyak—tapi pemerintahnya gak bisa ngatur wilayah timur yang udah dikuasai para milisi bersenjata. Hidup di sana? Serem tiap hari, kayak film action tapi tanpa sutradara.
Dan terakhir, ada Suriah. Lebih dari sepuluh tahun perang bikin negara ini kayak kota hantu yang ditinggal penghuninya. Infrastruktur luluh lantak, jutaan orang lari ke luar negeri atau ke pengungsian dalam negeri, dan pemerintah pusat? Masih belum bisa bikin negara ini berdiri lagi kayak dulu.
Semua negara ini punya benang merah yang sama: konflik berkepanjangan, pemerintah yang kehilangan kendali, layanan publik yang tinggal nama, dan intervensi asing yang bikin suasana makin kacau. Mereka terjebak dalam lingkaran setan krisis, kemiskinan, dan trauma kolektif. Stabilitas? Itu sekarang cuma mimpi yang jauh dari kenyataan.

Skor terbaru Indonesia di Fragile States Index 2024 dari Fund for Peace ternyata 63,7 dari 120, sedikit turun dari angka 65,6 di tahun 2023. Artinya, kita masih di zona “warning”—gak terlalu parah kayak negara konflik berat, tapi gak bisa santai-santai juga.
Penurunan skor ini dipengaruhi beberapa hal positif: perlambatan kemerosotan ekonomi, layanan publik yang makin berfungsi, dan stabilitas politik yang mulai adem. Tapi jangan seneng dulu, ada dua isu yang masih bikin kita rada rawan: elite yang masih gampang pecah, tekanan penduduk makin tinggi, dan masalah hak asasi manusia yang belum sepenuhnya tertangani.
Indeks ini dihitung dari 12 indikator, mulai dari militer dan polisi, distribusi ekonomi, pengangguran otak (brain drain), penegakan hukum, sampai intervensi dari luar negeri. Meskipun Indonesia udah mulai bangkit di beberapa sektor, skala dan kerumitan negara kepulauan ini tetap jadi tantangan berat. Jadi, skor 63,7 itu menggambarkan dua hal: kita tahan banting, tapi masih banyak PR—terutama soal memperkuat institusi dan merajut kembali kepercayaan sosial, apalagi di tengah dunia yang makin gak menentu.

Di indeks Human Flight & Brain Drain 2024, Indonesia dapet skor 5,4 dari maksimal 10, padahal rata-rata dunia cuma 4,73. Di Asia Tenggara sendiri, posisi Indonesia cukup tinggi—menempati urutan keempat setelah Laos (6,3), Myanmar (6,0), dan Kamboja (5,7), jauh di atas Thailand (3,4), Malaysia (4,2), atau “juara hidup nyaman” Singapore (1,0).
Skor tinggi ini menunjukkan kalau Indonesia masih sering “digerogoti” oleh migrasi talenta—orang-orang pintar dan terampil pindah ke luar negeri buat nyari duit lebih gedhe, lingkungan kerja lebih oke, atau sekadar kehidupan yang lebih aman dan stabil. Walau pemerintah udah nyoba berbagai cara (kayak rencana dua kewarganegaraan), tetap aja godaan gaji di negara lain masih berat .
Kalau dibandingin ama tetangga, Singapura hampir gak ada brain drain-nya—ya kan negaranya kecil tapi lengkap fasilitas dan pendapatan tinggi. Malaysia dan Thailand ada di tengah, kalau dibilang tinggi banget, gak juga sih. Sedangkan Indonesia? Skornya nunjukin ada kekosongan talenta yang serius—ini bisa ngerem di sektor kesehatan, pendidikan, dan teknologi. Secara global, kita di atas rata-rata, tapi kalau mau bener-bener jadi negara yang stabil dan maju, kita harus kerja keras buat narik dan nahan orang-orang terbaik tetep di dalam negeri.

Terus ada juga Worldwide Governance Indicators (WGI) dari Bank Dunia, yang ngukur stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, dan hukum yang ditegakkan atau enggak. 

Kalau ngomongin soal tatakelola negara terbaik di dunia menurut Worldwide Governance Indicators (WGI) Bank Dunia, biasanya nama-nama kayak Denmark, Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss yang nongkrong di atas terus . Mereka mencetak skor nyaris +2,0 dari skala -2,5 sampai +2,5—artinya bagus banget dari sisi demokrasi, hukum, regulasi, dan bersih dari korupsi.
Negara-negara ini gak sekadar bikin undang-undang keren, tapi juga patuh sama aturan itu. Pelayanan publiknya lancar, regulasinya jelas dan adil, rakyat bisa kritik pemerintah tanpa takut, dan korupsi minim. Karena itu, mereka punya kepercayaan sosial tinggi, investasi lancar, dan kehidupan warga yang stabil serta sejahtera.

Sementara itu, Indonesia posisinya ada di tengah-tengah—bukan buruk, tapi juga belum masuk level atas. di satu sisi, kita punya nilai voice and accountability yang cukup tinggi, berarti kebebasan sipil dan partisipasi warga lumayan oke—terbaik di ASEAN, bahkan. Pelayanan publik dan birokrasi sudah makin rapi, tapi masih sering setengah-setengah.
Sayangnya, dua hal yang masih jadi PR besar adalah kontrol korupsi dan penegakan hukum. Belum konsisten, banyak celah, dan toleransi terhadap penyalahgunaan kekuasaan masih tinggi. Jadi, meski Indonesia punya fondasi demokrasi yang kuat, masih butuh bantingan kebijakan biar punya tatakelola seprima negara-negara top tadi.

Dari sisi ekonomi, lembaga kayak Moody’s, S&P, dan Fitch ngasih rating soal utang negara, inflasi, dan iklim investasi. Sementara itu, badan-badan keamanan dunia mantau ancaman kayak terorisme, mafia, dan konflik sipil—apakah negara itu beneran aman, atau cuma aman buat elitnya doang.

Kalau ngomong soal utang negara, inflasi, dan iklim investasi, ini lima negara paling ramai dibahas:
Jepang jadi negara dengan rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia—sekitar 234–252%, karena puluhan tahun ngutang demi subsidi dan stimulus pas bubble ekonomi . Sudan malah baru aja nyalip ke puncak dengan rasio hampir 252%, gara-gara perang yang berkepanjangan dan struktur fiskal yang rapuh. Singapura juga masuk lima besar dengan utang sekitar 175%, tapi mereka pakai modal itu secara strategis buat bangun pasar finansial, bukan buat nutup defisit . Italia punya utang sekitar 137%, indikasi dari krisis anggaran dan politik mereka . Dan Amerika Serikat berada di kisaran 120–123% utang terhadap GDP, akibat defisit yang terus-menerus, pengeluaran pandemi, dan ketahanan militer .
Argentina sekarang sedang ngalamin inflasi gila, lebih dari 200% per tahun, karena rupiah mereka jatuh parah dan kebijakan fiskal kacau balau. Ada juga kasus ekstrem di Zimbabwe atau Venezuela, tapi Argentina sekarang jadi sorotan paling panas.
Di tahun 2025 ini, China, Brasil, dan Korea Selatan lagi jadi magnet investor karena pasar negara berkembang mereka mulai stabil dan mata uang dollar melemah . Dari negara maju, Jerman, Swiss, Kanada, Australia, dan Singapura tetap jadi favorit karena regulasi yang jelas dan politik yang adem ayem dan aman . Singapura paling mencolok—bukan cuma utangnya gede, tapi mentalnya memang buat jadi pusat investasi global .

Indonesia punya posisi ekonomi yang cukup oke buat level negara berkembang:
Soal utang, kita cuma punya utang sekitar 39 persen dari GDP—masih jauh di bawah batas aman, yaitu 60 persen. Ini bikin rating kredit kita dapat grade investable, artinya negara dianggap layak utang oleh investor global .
Pada 2023, utang publik Indonesia mencapai sekitar 39,6% dari PDB, naik lagi menjadi sekitar 40,2% di 2024, dan diproyeksikan bakal stay di kisaran 39–40% hingga akhir 2025. Lonjakan utang ini muncul karena pemerintah terus ngutang buat bangun infrastruktur dan funding program sosial gede-gedean.
Dampaknya? Dua sisi. Di satu sisi, utang relatif kecil dan rating layak investasi bikin negara tetep dipercaya pasar. Ini bikin biaya pinjaman murah dan anggaran bisa fleksibel. Tapi di sisi lain, para kritikus ngingetin: kalau utang terus naik, apalagi saat bunga global naik juga, biaya bunga bakal kian menekan—sudah kok, sekitar 20% dari pendapatan negara sekarang habis buat bayar utang . Kalau gak ada strategi jelas buat balikin pinjaman atau generate growth, bisa-bisa anggaran publik dan investasi swasta justru kena imbasnya.

Beberapa analis bilang pemerintah kelihatan terlalu tergantung utang tanpa rencana solid buat ngelunasin. Para kritikus sampe warning: pembayaran bunga makin nguras kas negara, dan itu jadi tanda tanya besar soal bagaimana menjaga anggaran sehat di jangka panjang .
Meski utang Indonesia masih terkendali dan aman untuk sekarang, laju terus menuju batas aman dan beban bunga yang makin berat bikin kita perlu ekstra hati-hati. Solusinya? Pengelolaan utang yang bijak, belanja yang disiplin, dan kebijakan prospektif supaya ekonomi Indonesia tetep stabil dan tahan banting.
Singkatnya, posisi utang Indonesia masih dapat dikelola dan berkelanjutan dalam jangka pendek, tetapi tren peningkatan yang mengkhawatirkan dan meningkatnya komitmen bunga menggarisbawahi perlunya tata kelola fiskal yang hati-hati, pengeluaran yang disiplin, dan kebijakan strategis untuk memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Untuk inflasi, kita aman adem. Angkanya stabil di 1,5–3,5 persen, bahkan di akhir tahun 2024 cuma 1,6 persen —yang inti (core) kenaikannya sedikit lebih tinggi di 2,26 persen. Ini bikin rakyat bisa nabung dan belanja dengan tenang tanpa takut harga naik mendadak.

Nah, soal iklim investasi, kita lagi ngetop. Tahun 2023 tercatat lebih dari US$47 miliar investasi asing masuk—terutama dari sektor tambang dan infrastruktur
. Undang‑undang omnibus, regulasi yang disesuaikan, dan kehadiran sovereign wealth fund seperti Danantara bikin investor mulai percaya, walaupun saat pertama diluncurin masih sepi peminat, mungkin masih keraguan dari investor. Tapi ya, masih ada PR, kayak birokrasi yang masih ribet, masalah pengadaan lahan, sama isu korupsi yang belum mau 'ilang.
Iya, Indonesia lagi kebanjiran investasi asing, tapi ada drama di balik layar yang bikin investor mikir dua kali. 
Di kuartal pertama 2025, Indonesia dapet IDR 230,4 triliun (US$13,67 miliar) dari investasi asing, naik 12,7% dibanding tahun lalu. Tapi, ini pertumbuhan paling pelan dalam lima kuartal terakhir. Sektor yang jadi primadona antara lain pertambanganpeleburan logaminfrastruktur, dan logistik, dengan investor dari SingapuraChinaHong KongMalaysia, dan Jepang .
Apalagi, industri nikel jadi sorotan setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel sejak 2020. Kebijakan ini bikin investor tertarik bangun pabrik smelter dan baterai kendaraan listrik .
Tapi, meski angka investasi kelihatan oke, ada yang bikin khawatir. Di awal 2025, investor asing net jual IDR 2,48 triliun saham Indonesia, bikin kepemilikan asing di IHSG turun ke 2,9%, terendah sejak 2011.
Para kritikus bilang, meski angka FDI di headline kelihatan oke, tapi di baliknya masih ada masalah struktural yang mendorong modal kabur dari sektor-sektor tertentu—kayak kebijakan yang kadang gak konsisten dan infrastruktur yang kurang memadai. Jadi, cerita investasi di Indonesia itu gak murni naik terus, tapi dinamis: ada sektor yang tumbuh, sementara yang lain masih bikin investor was-was. Intinya, iklim investasi Indonesia lagi berubah, tapi tantangan-tantangan lama masih ada dan butuh reformasi berkelanjutan serta kebijakan strategis supaya kepercayaan investor bisa lebih merata dalam jangka panjang. 
Gak sedikit perusahaan multinasional yang malah mengecilkan operasi atau mutusin buat pindah pabrik ke negara lain. Alasannya? Biaya tenaga kerja yang naik, ketidakpastian kebijakan yang masih bikin gemeter, dan masalah rantai pasokan lokal yang ribet, sehingga sebagian investor memutuskan untuk cut loss dan pindah keluar.

Lalu ada Corruption Perceptions Index dari Transparency International, Global Peace Index, dan Human Development Index (HDI) buat liat apakah negara itu damai, adil, dan enak ditinggalin.
Menurut Laporan Pembangunan Manusia dari PBB yang paling anyar, lima negara dengan peringkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi adalah Swiss, Norwegia, Islandia, Hong Kong (SAR), dan Australia. Tapi jangan kira ini sekadar deretan angka. Di balik skor tinggi mereka, ada cerita panjang soal kebijakan yang adil, budaya yang egaliter, dan kepercayaan sosial yang bikin iri banyak negara berkembang.
Swiss jadi juara karena punya sistem demokrasi langsung yang bikin warganya merasa dilibatkan, bukan cuma dijanjiin. Pelayanan kesehatan merata dan pendidikan berkualitas bikin hidup rakyatnya nyaman dan berdaya. Norwegia sih memang punya "bonus minyak", tapi mereka nggak ugal-ugalan. Dana hasil minyak diatur transparan buat menopang layanan publik. Islandia? Walau kecil, negara ini serius banget urusan kesetaraan gender dan jaminan sosial—semacam komunitas besar yang saling jaga dan dorong maju bareng.
Hong Kong, meski penuh dinamika politik, masih unggul dalam sistem pendidikan dan layanan publik yang cekatan. Sedangkan Australia, dengan semangat multikulturalisme dan akses pendidikan tinggi yang luas, jadi tempat di mana banyak orang merasa punya peluang untuk sukses, bukan sekadar hidup dari gaji ke gaji.

Menurut Laporan Pembangunan Manusia PBB 2023/2024, Indonesia menempati peringkat ke-117 dari 193 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), masuk kategori "Pembangunan Manusia Tinggi"—tapi ya, masih di papan bawah. Skornya 0,720, lebih rendah dari Malaysia dan Thailand, yang berarti masih ada banyak PR soal kualitas pendidikan, akses layanan kesehatan, dan pemerataan penghasilan. Walau angka kemiskinan pelan-pelan turun dan harapan hidup meningkat, Indonesia masih dihantui ketimpangan lama—antara desa dan kota, antara Jawa dan luar Jawa.

Di Indonesia, akses buat sekolah, berobat, bicara di ruang politik, dan hidup tenang dengan harga diri itu bisa dibilang,"Sudah tapi belum!", kayak jalan tol yang masih dibangun—papan petunjuknya udah ada, tapi jalannya masih tambal-sulam. Sekolah sih ada hampir dimana-mana, tapi kualitas belajarnya? Banyak yang masih kayak kelas kosong dengan guru honorer yang dibayar seadanya. Pemerintah memang bangga soal anggaran dan platform digital, tapi para pengamat bilang, “Percuma sekolah gratis kalau anak-anaknya lulus tapi bingung baca peta atau bikin surat lamaran kerja.”
Soal kesehatan pun begitu. Program BPJS awalnya bikin rakyat seneng, tapi realitasnya kadang bikin frustrasi. Antrean panjang, dokter yang kewalahan, dan pelayanan yang nggak konsisten bikin orang lebih stres daripada sembuh. Di pelosok, ada yang harus jual kambing buat bisa “berobat gratis.” Salah satu LSM bahkan nyeletuk, “Akses kesehatan nggak ada artinya kalau rakyat kecil harus ngutang buat beli obat.”
Bicara politik? Di atas kertas, sih, bebas. Tapi coba kritik pemerintah, langsung bisa dipanggil polisi pakai pasal ITE. Aktivis, mahasiswa, dan warga biasa makin sering kena intimidasi, disadap, bahkan dibungkam dengan alasan “stabilitas nasional.” Ruang diskusi makin sempit—mirip rumah kaca: dari luar kelihatan transparan, tapi di dalam semua dikontrol dan dibingkai ulang sesuai selera penguasa. Tapi, gini lho, pas era rezim Mulyono itu emang full banget pembungkaman. Kritikus dikit-dikit langsung masuk bui. Ada nyinyir dikit, langsung diserbu buzzer-buzzer bayaran yang gercep banget. Nah, belakangan ini, semenjak Presiden Prabowo jadi nomor satu, so far so good, belum ada aktivis yang diciduk. Memang sih, masih ada anak kuliahan yang digaruk pas lagi demo panas dan heboh soal kepala babi buat Tempo.  Ini sih kayaknya Presiden Prabowo punya skill dewa buat urusan 'ekspresi di ruang publik' karena otaknya encer ama pengalamannya udah level veteran.
Dan soal hidup bermartabat? Banyak orang Indonesia masih sibuk mikirin hal-hal dasar: kerjaan yang cukup gaji, rumah yang nggak bocor tiap hujan, dan ngomong tanpa takut dilaporin. Kata para pegiat hak asasi, “Nggak usah ngomong soal martabat deh, kalau perut rakyat masih kosong dan suara mereka nggak didengar.”
Peringkat IPM Indonesia mencerminkan negara yang sedang tumbuh—punya potensi besar, tapi juga masih berkutat dengan birokrasi lamban, korupsi, layanan publik yang belum maksimal, dan kesenjangan yang menyakitkan. Anggaran pendidikan memang naik, tapi hasil belajar siswa masih kayak naik roller coaster. Fasilitas kesehatan makin banyak, tapi aksesnya belum merata, apalagi di Indonesia Timur. Dan meski ekonomi tumbuh, pertumbuhan itu belum benar-benar menyentuh akar rumput—uang masih numpuk di kalangan atas, sementara rakyat kecil masih ketinggalan kereta.
Posisi IPM Indonesia adalah potret cermin dari "masa puber" bangsa ini—bermimpi besar, punya semangat, kadang lari kencang, tapi masih sering kesandung batu-batu lama: birokrasi ribet, ketimpangan tajam, dan infrastruktur yang belum kuat-kuat amat.

Singkatnya, IPM bukan cuma data statistik, tapi cerminan: apakah sebuah negara memilih investasi di manusia atau semata mengejar untung, apakah ia menebar kesetaraan atau memperkuat jurang, menjaga martabat atau sekadar membiarkan warganya bertahan hidup.

Semua kerangka-kerangka takaran ini, dipake diplomat, investor, sampe LSM buat nentuin: negara ini layak dijadiin mitra, dikasih bantuan, atau malah ditandain merah. Tapi di luar angka dan grafik, stabilitas paling nyata itu keliatan dari wajah rakyatnya—apakah mereka bisa tidur nyenyak, bisa bersuara tanpa takut, dan punya harapan buat masa depan.

[Bagian 3]
[Bagian 1]