Kamis, 26 Juni 2025

Renungan di Gerbang 1447 H

Di bawah langit tenang membiru,
Bulan sabit hadir perlahan merayu.
Tiada pesta, sorak, hura,
Hanya jejak sunyi sang pendobrak era.

Rasulullah (ﷺ) melangkah dalam malam sunyi,
Dengan iman sebagai pelita sejati.
Tinggalkan dunia yang dulu dicinta,
Demi janji Rabb yang lebih bermakna.

Ini bukan kisah tahta megah,
Tapi hati yang pasrah dan tabah.
Tinggalkan takut, rangkul harapan,
Menuju ridha dalam keikhlasan.

Maka biarlah tahun ini dibuka doa,
Dengan hati tunduk, jiwa yang lega.
Dari ego ke bakti, dari gelap ke terang,
Hijrah jadi pelita sepanjang petang.

Di antara sekian banyak kisah menakjubkan dalam kehidupan Rasulullah ﷺ, terdapat satu yang tak semata berbicara tentang keberlimpahan yang langka, tapi juga tentang keyakinan yang melampaui angka dan logika. Inilah kisah tentang panci yang tak pernah habis.
Suatu hari, Rasulullah ﷺ memanggil Abu Hurairah, radhilyallahu 'anhu, dan memintanya mengundang kaum miskin dari kalangan Muhajirin—orang-orang yang telah meninggalkan segalanya di Mekkah demi berhijrah ke Madinah. Saat mereka datang, Rasulullah ﷺ mempersilahkan mereka makan dari sebuah panci yang secara kasat mata hanya berisi makanan amat sederhana. Namun, satu demi satu kelompok datang dan makan sampai kenyang, dan anehnya, makanan itu tak berkurang sedikit pun. Makanan terus mengalir, seolah tak punya akhir.
Lalu, Rasulullah ﷺ memberi arahan lembut namun dalam kepada Abu Hurairah: “Jangan buka tutupnya, dan jangan hitung isinya.” Itu bukan sekadar instruksi teknis—melainkan pesan spiritual. Karena ketika kita mulai menghitung, mengukur, dan mencurigai, barokah—berkah dari Allah—perlahan menghilang. Inilah pelajaran iman: rezeki tak semata tentang seberapa banyak yang terlihat, tapi seberapa besar rahmat yang tersembunyi di baliknya.
Panci itu terus menghidupi banyak orang, bukan hanya semasa hidup Rasulullah ﷺ, tapi juga sepanjang masa Abu Bakar, Umar, hingga awal pemerintahan Utsman, radhiyallahu 'anhum. Ini bukan sihir dalam makna sensasional. Inilah keajaiban barokah—penambahan ilahiah yang hadir ketika kita menyambut rezeki dengan rendah hati, tak serakah, dan penuh keyakinan.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam masa-masa sulit—entah secara ekonomi, lingkungan, atau batin—keberlimpahan sejati bisa jadi bukan terletak pada menimbun dan mengontrol, tapi pada keyakinan, berbagi, dan tak tergoda mengintip terlalu jauh ke dalam hal-hal yang kita kira bisa kita kuasai. Karena, kadang, iman justru dimulai saat kita tak membuka tutup pancinya.
Ini bukan pelajaran soal dapur—ini pelajaran tentang tawakkal.

Tawakkal bukan pasrah tanpa usaha. Tapi seni berjalan maju tanpa tahu dimana ujungnya, hanya karena yakin siapa yang menuntun jalannya. Tawakkal itu meyakini bahwa yang tak terlihat belum tentu kosong, dan yang tersembunyi dari kita bukan berarti dilupakan oleh Allah. Arahan Rasulullah ﷺ—agar tak mengintip ke dalam—bukan soal makanan, tapi soal dorongan keingintahuan manusia, soal mencurigai, soal mengontrol. Padahal tawakkal itu justru saat kita berkata: “Aku tak melihatnya, tapi aku meyakininya.”

Dalam Stoisisme maupun Islam, terdapat prinsip yang amat selaras: bahwa manusia hendaknya hanya memfokuskan diri pada hal-hal yang berada dalam kendalinya. Kaum Stoik, khususnya Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, meyakini bahwa jalan menuju ketenangan batin adalah dengan menyadari batas antara apa yang bisa dan tak bisa kita kendalikan. Bagi mereka, penilaian, pilihan, dan reaksi kita berada dalam wilayah kuasa diri, sementara kejadian-kejadian eksternal—seperti nasib, pujian, kematian, atau pendapat orang lain—hendaknya dihadapi dengan penerimaan yang kalem.
Dalam Islam, konsep serupa ditemukan dalam ajaran tawakal, yang sering disalahpahami sebagai sikap pasrah tanpa usaha. Padahal, tawakal justru merupakan puncak dari upaya aktif yang disertai dengan kepercayaan spiritual. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah kepada Allah." Perumpamaan ini menggambarkan dengan jelas etika Islam: seseorang hendaknya berikhtiar sekuat tenaga terlebih dahulu, barulah menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada kehendak Allah. Hasil akhir dari sebuah tindakan, pada akhirnya, bukanlah kuasa manusia—melainkan bagian dari hikmah dan kasih sayang Sang Khaliq.
Walaupun baik Stoisisme maupun Islam sama-sama mengajarkan sikap melepaskan diri dari keterikatan terhadap hasil, motivasi dan dasar metafisiknya berbeda. Kaum Stoik mendekati sikap lepas ini melalui akal dan keinginan akan ketenangan; mereka berusaha tetap tak tergoyahkan oleh nasib lewat disiplin berpikir. Islam, sebaliknya, menanamkan sikap ini melalui keimanan kepada kehendak Allah. Seorang Muslim menerima hasil bukan hanya dengan tenang, tetapi juga dengan ridha—hati yang lapang terhadap segala ketetapan Allah, meyakini bahwa kekecewaan pun bisa menyimpan rahmat yang tersembunyi.
Jika kaum Stoik meletakkan kepercayaannya pada rasio dan pengendalian diri, seorang Muslim menaruh keyakinannya pada hikmah dan kasih sayang Ilahi. Keduanya mengajak pada ketenangan jiwa, namun yang satu berpaling ke dalam diri, sementara yang lainnya menengadah kepada Sang Pemelihara alam semesta.

Saat bulan sabit Muharram perlahan muncul di langit dan menyambut tahun 1447 Hijriah, kita diingatkan bahwa permulaan baru dalam Islam tak ditandai dengan pesta meriah atau countdown bising, melainkan dengan niat, ingatan, dan seni bertawakkal. Dalam suasana seperti ini, kisah Rasulullah ﷺ dan panci ajaib yang tak habis-habis itu menjadi simbol dalam: beginilah seharusnya kita menyambut tahun baru Hijriah.
Tahun baru Hijriah adalah momen kita punya panci itu sendiri. Tapi bukan untuk dilihat seberapa banyak isinya, melainkan seberapa besar niat kita, seberapa tulus berbagi, dan seberapa yakin kita melangkah ke depan walau kabut masa depan belum tersingkap.
Di dunia yang sibuk mengukur segalanya—dari saldo rekening, views, hingga like—tahun ini mengajak kita agar jalan pelan, tapi pasti. Kita tak tahu 1447 H akan bawa apa—perang mungkin masih ada, kemiskinan belum pergi, para pemimpin masih mengecewakan, dan bumi mungkin tetap terengah-engah. Tapi kisah panci itu mengajarkan kita bahwa berkah tak datang dari berapa banyak yang kita punya, tapi dari bagaimana cara kita percaya dan berbagi, bahkan ketika isi panci belum kelihatan.
Saat kita menjejak langkah ke tahun 1447 Hijriah, mari bawa pelajaran dari kisah panci ini. Mulailah tahun ini bukan dengan bertanya “punya apa” atau “sampai kapan”, melainkan dengan bertanya “seberapa tulus” dan “seberapa yakin”. Karena bisa jadi, itulah satu-satunya ukuran yang benar-benar penting.

Saat kita masuk ke tahun 1447 H, banyak dari kita memikul pertanyaan yang tak punya jawaban pasti. Akankah perang berakhir? Akan munculkah keadilan? Akahkah hidup lebih tenang, pemimpin lebih bijak, bumi lebih utuh? Jawabannya: kita tak tahu. Tapi kita juga tak diwajibkan untuk tahu. Yang kita diwajibkan yalah melangkah, berbuat, dan yakin.
Di zaman yang sibuk menebak dan mengontrol segalanya, Hijrah mengajak kita kembali ke ritme suci: berserah-diri. Mengingatkan bahwa rezeki dari Allah tak bergantung pada file Excel, dan waktu-Nya tak tunduk pada jam tangan kita.

Tahun ini, mari kita mulai bukan dengan rasa takut, tapi dengan tawakkal. Mari biarkan tutup panci tetap tertutup, tahan hasrat untuk menghitung, dan perkenankan barokah mengalir dengan cara-cara yang tak kita sangka. Mari memberi meski dalam kekosongan. Bertindak meski hasil belum pasti. Dan ingatlah, tawakkal bukan pilihan terakhir—justru itulah langkah yang paling awal dan paling baik.

Semoga 1447 Hijriah jadi tahun dimana hati kita tenang bukan karena tahu, tapi karena yakin. Saat kita mulai berhenti menghitung dan mulai yakin. Sesuatu yang tak terlihat jadi kekuatan kita. Dan tutup panci yang tak kita buka, jadi gerbang menuju keberkahan yang tak pernah kita sangka-sangka. Wallahu a'lam.

English