Senin, 23 Juni 2025

Mari Bicara Soal Kemiskinan (6)

Bayangin sebuah negara kecil, penuh dengan generasi muda yang semangatnya meletup-letup. Jalanan rame ama anak sekolah, kampus padat, dan job fair penuh sama pencari kerja yang bawa map merah berisi mimpi. Di ruang seminar dan laporan media, para ekonom senyum lebar, “Negara ini masuk fase bonus demografi! Ini jendela emasnya!”
Tapi di balik layar, sistemnya amburadul. Sekolah kekurangan guru, kualitas pengajar seadanya. Sarjana jadi pengangguran terdidik. Lapangan kerja baru lambat tumbuh, dan yang dapet malah “orang dalam.” Anggaran pelatihan kerja entah lari kemana. Semua yang muda akhirnya nunggu. Ada yang kerja serabutan, ada yang nyemplung ke dunia gig economy, banyak yang merantau alias #kaburajadulu, dan sebagian mulai kehilangan harapan—jadi apatis atau malah nyasar ke arah ekstrem.
Suatu hari, seorang remaja perempuan—juara kelas—nanya ke ibunya sambil ngerjain PR, “Bu, katanya negara kita punya bonus demografi. Tapi kenapa kita tetep kismin?”
Ibunya, yang dulu sempet semangat pas musim kampanye, cuman bisa narik napas panjang, “Anakku sayang, itu ibarat kita punya kereta api cepat penuh anak muda cemerlang, udah siap melaju kencang... tapi ujuk-ujuk mereka nyadar ... gak ada yang inget ngebangun relnya.”

Hubungan antara kemiskinan dan bonus demografi (sering dirujuk sebagai demographic dividend) ibarat pedang bermata dua—bisa menjadi peluang emas, bisa juga menjadi bencana berdarah dingin. Bonus demografi itu artinya negara lagi punya banyak banget penduduk usia produktif dibanding yang tua atau anak-anak. Di atas kertas, ini jackpot: tenaga kerja banyak, ekonomi bisa tancap gas.
Tapi kalau kemiskinan masih ngakar dan merata, bonus ini malah bisa menjadi beban. Generasi muda yang miskin, gak punya akses ke pendidikan bagus, kerjaan layak, atau kesempatan naik kelas, lama-lama jadi generasi frustrasi. Bukannya jadi mesin pertumbuhan, mereka malah nyangkut di pekerjaan informal, kerja serabutan, atau malah jadi korban sistem. Janji sejahtera berubah jadi realita bertahan hidup.
Bila pemerintah cuma bangun jargon tapi gak bangun sistem—gak invest prasarana, pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja—bonus demografi berubah jadi bom waktu. Generasi besar yang miskin dan kecewa bukan cuma jadi beban ekonomi, tapi juga ancaman politik. Amarah mengendap, demo makin sering, kepercayaan ke negara makin tipis. Singkatnya: kemiskinan ngeracunin bonus ini sebelum sempat mekar.
Biar bonus demografi berhasil, gak bisa jalan bareng kemiskinan massal. Butuh visi, strategi, dan kemauan politik buat bikin tangga naik, bukan sekadar spanduk janji. Kalau enggak, momen emas ini cuma jadi kereta lewat yang gak pernah kita tumpangi—dan jutaan rakyat cuma bisa berdiri di peron, nunggu harapan yang gak pernah datang.

Bonus demografi itu bukan slogan politik atau jargon ekonomi kosong. Secara sederhana, inilah masa emas dalam siklus demografis ketika jumlah penduduk usia produktif (sekitar 15–64 tahun) jauh lebih banyak dibanding anak-anak dan orang tua. Fenomena ini terjadi saat angka kelahiran menurun setelah ledakan populasi, dan negara tiba-tiba punya lebih banyak tangan untuk bekerja dan lebih sedikit mulut yang harus diberi makan.
Tapi, jangan salah kaprah—bonus demografi bukan hadiah yang otomatis bikin negara kaya. Ia baru jadi bonus beneran kalau generasi produktif itu sehat, terdidik, dan punya pekerjaan yang layak. Ciri-ciri negara yang sedang mengalami bonus demografi biasanya antara lain:
– Banyak banget anak muda dan dewasa usia kerja
– Rasio tanggungan makin kecil (sedikit anak-anak atau lansia per orang dewasa kerja)
– Kebutuhan pendidikan, lapangan kerja, dan rumah makin mendesak
– Ada potensi pertumbuhan ekonomi besar kalau SDM-nya bener-bener dimaksimalkan
Kalau negara cuma punya statistik doang tanpa investasi nyata—pendidikan buruk, pengangguran tinggi, akses kerja timpang—bonus ini bisa berubah jadi mimpi buruk: generasi frustrasi, demo dimana-mana, dan potensi yang mubazir. Intinya: bonus demografi itu bukan hadiah—tapi PR besar.

Banyak banget karya keren yang ngupas tuntas gimana ruwetnya hubungan antara kemiskinan, perubahan jumlah penduduk, sama kesempatan ekonomi. Dari situ, kita jadi tahu kalau bonus demografi itu nggak bakal datang tiba-tiba kayak sulap.
Justru, bonus demografi itu kudu banget dijemput lewat kebijakan yang pas, investasi gede-gedean, sama inklusi yang merata. Kalau nggak, perubahan jumlah penduduk ini malah bisa bikin kemiskinan makin parah, bukannya makin mending. Jadi, intinya: bonus demografi itu harus diaktifkan, bukan ditungguin doang! Kalau enggak, perubahan demografis justru bisa memperparah kemiskinan, bukan ngatasin.

Yang pertama wajib banget dibaca adalah “The Demographic Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change” karya David E. Bloom, David Canning, dan Jaypee Sevilla (2003, RAND Corporation). Karya ini terang-terangan bilang: negara yang serius ngurus pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja bisa dapet ledakan ekonomi dari anak muda. Tapi kalau gak digarap serius? Ya jadi “bonus demografi ecek-ecek”—cuman ramai di statistik, tapi sepi di perut rakyat.
Mereka bilang begini: kalau negara punya banyak anak muda, itu ibarat mesin turbo—tapi cuma bisa ngebut kalau dikasih bensin yang tepat. Bensin di sini maksudnya investasi di pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Kalau anak-anak muda itu dikasih akses sekolah yang oke, tubuh yang sehat, dan kerjaan yang layak, mereka bisa jadi tulang punggung ekonomi. Tapi kalau negara cuek, apalagi yang udah miskin atau timpang, ya udah—bukan bonus demografi, tapi jadi beban demografi. Anak muda jadi nganggur, frustrasi, dan ujung-ujungnya malah nyusahin ekonomi. Intinya, punya banyak anak muda itu belum tentu untung, kecuali pemerintahnya sigap dan cerdas bikin kebijakan.

The Demographic Dividend and the Power of Youth (2021, Anthem Press) bilang gini: anak-anak muda tuh bukan cuma penonton, tapi aktor utama yang bisa bikin negara makin keren. Yang ngurusin buku ini, Eirliani, ElsaMarie, dan Sonja, ngumpulin cerita dari penjuru dunia tentang bagaimana kaum milenial dan Gen Z sekarang justru pertahanin sistem lewat pendidikan, kesehatan, kerja, dan partisipasi politik. Kalau pemerintah cuma ngomong soal bonus demografi tanpa ngajak anak muda ngomong, ya cuma omong kosong belaka.
Salah satu bagian paling greget itu di Sub-Sahara Afrika, yang nge’-highlight pentingnya investasi di cewek-cewek usia prenatal—antara 10–14 tahun. Judith Bruce bilang, kalau nggak digarap, itu sama aja “planned poverty” alias bikin kemiskinan secara disengaja. Jadi kalau cewek muda dilatih, sekolah, sehat, dan dibebasin untuk jadi leader, efeknya bukan cuma buat mereka, tapi bikin keluarga dan negara makin on fire!
Lalu ada cerita keren soal anak muda di favela Rio, desa-desa Gambia, hingga kota-kota besar di India atau Meksiko yang pakai media sosial, komunitas diaspora, dan gerakan lokal buat fight kekerasan dan perubahan iklim. Mereka bukan cuma siap kerja, tapi jalanin perubahan nyata. Intinya: bonus demografi cuma jalan kalau anak muda diberi mic dan panggung!
Karya ini nyambung langsung ama konsep bonus demografi—tapi dengan pendekatan yang jauh lebih segar dan berani. Kalau teori bonus demografi biasanya fokus ke soal ekonomi doang (kayak naiknya PDB atau banyaknya tenaga kerja), buku ini bilang: “Eh, jangan salah! Anak muda itu bukan cuma mesin kerja, tapi pemimpin masa depan, bro!”
Para editor—Eirliani, ElsaMarie, dan Sonja—ngeh banget kalau anak muda gak dikasih tempat buat bersuara, dididik secara adil, dan disertakan dalam politik, ya hasil ekonominya paling-paling cuma bentaran doang. Bonus demografi bisa jadi PHP kalau nggak dibarengin ama keadilan sosial.
Karya ini ngerombak makna bonus demografi dari yang biasanya cuma angka statistik jadi cerita nyata—dari remaja cewek di Afrika sampai aktivis muda di India. Pesannya jelas: kalau negara pengen dapet untung dari populasi muda, jangan cuma siapin kerjaan. Siapin juga ruang buat mereka ngambil alih panggung. Soalnya, bonus demografi itu bukan soal ekonomi doang, tapi proyek politik-sosial yang butuh keberanian dan kepercayaan pada generasi muda.

Dalam "Demographic Dividends: Emerging Challenges and Policy Implications", yang diedit ama Roberta Pace dan Roberto Ham-Chande ini, ngebahas kenapa sih beberapa negara bisa sukses manfaatin bonus demografi, padahal yang lain masih keteteran meskipun struktur penduduknya udah keliata menjanjikan.
Para editornya bilang, nggak cukup cuma nurunin angka kelahiran dan bikin orang makin produktif di usia tua. Kunci suksesnya itu ada di kebijakan-kebijakan pelengkap yang bisa ngebentuk ekosistem biar bonus demografi bisa beneran muncul. Mereka ngenalin tiga tipe bonus demografi: Populasi usia produktif tumbuh lebih cepet dari total penduduk; generasi yang udah menua tapi masih aktif bisa investasikan tabungannya secara produktif; dan ada keseimbangan antara populasi muda dan tua dengan struktur usia yang beda-beda.
Yang paling penting, karya ini juga ngasih contoh kasus dari berbagai negara dan kawasan, kayak Amerika Latin, negara-negara BRICS, Sub-Sahara Afrika, Mediterania, Meksiko, sampe Selandia Baru. Hasilnya? Macem-macem banget!
Mereka nekenin banget, investasi awal di pembangunan sosial—contohnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan gender—nggak cuma bikin transisi angka kelahiran jadi lebih mulus, tapi juga ngebangun tenaga kerja yang siap nyambut pertumbuhan ekonomi. Contohnya di India, negara bagian selatan yang udah investasi di infrastruktur sosial duluan, bisa ngerasain bonus demografinya, sementara negara bagian utara malah ketinggalan.
Intinya, karya ini negasin kalau buat manfaatin bonus demografi, kita butuh paket kebijakan yang terintegrasi: mulai dari pelatihan tenaga kerja, pendidikan, layanan kesehatan, perencanaan keluarga, sampe sistem keuangan kayak asuransi kesehatan dan skema tabungan. Tanpa semua itu, bonus demografi bisa lenyap gitu aja, atau lebih parah lagi, malah jadi beban demografi!

Kalau pengin sudut pandang global, ada juga “Population and Development” karya Tim Dyson (2010, Zed Books). Dyson ngingetin: punya banyak anak muda bukan jaminan negara jadi maju. Tanpa keadilan, pemerataan, dan transparansi, bonus ini bisa berubah jadi beban sosial dan bom waktu.
Menurut Dyson, struktur penduduk—apakah banyak anak kecil, banyak orang usia kerja, atau banyak lansia—sangat menentukan nasib negara. Doski bilang, manakala sebuah negara turun dari era kelahiran dan kematian tinggi ke era baru itu, bukan hanya jumlah penduduk yang berubah, tetapi juga rentang usianya dan distribusi kota-desa. Kalau negara itu masuk ke fase dimana orang usia kerja lebih banyak dibanding anak dan lansia, bisa muncul “bonus demografi”—artinya banyak yang sekolah, kerja, dan nabung, yang bisa bikin ekonomi ngebut .
Tapi Dyson ngasih peringatan keras: punya banyak anak muda saja nggak cukup. Kalau pemerintah enggak ngurus soal ketimpangan, korupsi, dan enggak buka akses pendidikan, kesehatan, dan kerja buat semua, wajah dari bonus ini bisa jadi beban demografi. Di negara miskin yang kesenjangannya besar, youth bulge malah bisa jadi bom waktu: bikin kemiskinan kota makin parah, pengangguran tinggi, dan bikin masyarakat resah. Intinya, tanpa institusi yang bagus, tata kelola baik, dan akses adil ke layanan, struktur penduduk yang menguntungkan itu bisa malah bikin negara macet dan bergejolak .

Dalam buku The Economics of Poverty (2016, Oxford University Press), Martin Ravallion ngebahas panjang lebar gimana kemiskinan nyambung banget ama dunia kerja, pembangunan, dan kebijakan negara. Doski bilang, kalau penduduk usia kerja makin banyak, bisa menjadi mesin pengurang kemiskinan—tapi cuma kalau pemerintah tanggap. Kalau lapangan kerja dibuka lebar, pendidikan dijangkau semua, dan layanan kesehatan diperkuat, maka gap antara si kaya dan si miskin bisa makin tipis.
Taapiii, kalo kebijakannya setengah hati dan pertumbuhan ekonomi cuma dinikmatin segelintir orang, bonus demografi malah bikin pengangguran naek, makin banyak kerja informal, dan jurang kemiskinan makin dalam. Ravallion ngingetin: kemiskinan tuh bukan nasib, tapi hasil dari distribusi peluang yang timpang. Kadang ekonomi kelihatan tumbuh, tapi rakyatnya tetap rentan karena gak ada perubahan struktural buat lindungi yang paling lemah. Di negara berkembang yang jumlah penduduknya terus meledak, bonus demografi cuma bisa jadi berkah kalau pemerintah bener-bener niat bikin kebijakan yang nyentuh akar masalah.

Demographic dividend itu bukan hadiah yang datangnya gratis—tapi jendela sempit yang penuh potensi dan penuh tuntutan. Sekadar punya banyak penduduk usia produktif gak bakal ngubah nasib kalau mereka masih hidup dalam kemiskinan, minim pendidikan, dan gak punya kerjaan tetap. Bonus ini baru nyata kalau negara bener-bener invest ke manusianya, bangun sistem yang adil, dan bikin rel yang bisa bawa jutaan orang bergerak maju bareng-bareng.
Kalau kesempatan ini disia-siakan atau disalahkelola, bonus demografi bisa cepet banget berubah jadi beban demografi. Generasi muda yang frustrasi dan gak punya arah hidup bisa menjadi sumber masalah sosial dan politik. Bukannya jadi mesin inovasi, mereka malah bisa nyasar ke sinisme, populisme, atau bahkan kekacauan. Yang bikin beda antara kemajuan dan kemacetan bukan jumlah penduduk—tapi kepemimpinan, kejujuran, dan visi jangka panjang.
Akhirnya, bonus demografi bukan cuma soal ekonomi, tapi juga tentang seberapa besar negara ini menghargai anak mudanya. Apakah mereka dianggap aset yang harus ditumbuhkan, atau cuma angka di laporan statistik? Negara yang berhasil bukan yang nunggu masa depan datang—tapi yang bikin masa depan itu, latih SDM-nya dari sekarang, dan invest sebelum waktu habis.

[Bagian 7]
[Bagian 5]