Sewaktu berkunjung ke desa terpencil di Malawi, Afrika, sekitar awal 2000-an, Jeffrey Sachs ketemu ama kepala desa yang wajahnya udah tampak letih banget. Bukan karena malas, tapi karena tiap tahun desanya dihajar kemarau dan lahannya udah capek kayak baterai 1% terus. Nggak ada air bersih, pupuk, puskesmas, apalagi sekolah. Warganya kerja keras, nanem jagung tiap musim, tapi tetep aja panennya nihil. Anak-anak kurus, ibu-ibu sakit, dan masa depan? Nggak kelihatan.Lalu sang kepala desa bilang ke Sachs, “Kami tahu cara bertani. Tapi kami nggak sanggup beli pupuk buat bikin lahan ini hidup lagi.”Kalimat sederhana itu nancep banget di kepala Sachs. Bukan karena mereka bodoh atau malas. Tapi karena dunia membiarkan mereka hidup tanpa alat yang paling dasar.Sepulang dari sana, Sachs nggak tinggal diam. Doski dan timnya mulai proyek Millennium Villages—bantuan langsung yang fokus ke pertanian, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur di desa-desa termiskin. Beberapa tahun kemudian? Hasil panen jagung di desa itu dua kali lipat. Anak-anak mulai rajin sekolah. Ibu-ibu melahirkan tanpa harus pilih antara hidup atau mati. Gara-gara satu hal: dunia berhenti bertanya “Kenapa mereka miskin?” dan mulai bertanya “Apa yang kurang?”Cerita ini jadi semacam simbol perjuangan Sachs: bahwa kemiskinan ekstrem itu bukan takdir. Kalau alatnya cukup dan empatinya nyata, perubahan bukan cuma bisa—tapi terbukti.Dalam karyanya The End of Poverty (2005), Jeffrey Sachs bilang: kemiskinan ekstrem itu bukan kutukan abadi—bisa kok diberantas dalam satu generasi, asal negara-negara kaya nggak pelit dan benar-benar serius bantu. Doi bilang, yang bikin orang kejebak dalam kemiskinan ekstrem bukan semata karena malas atau korup, tapi karena mereka udah kejeblos dalam “lingkaran setan”: miskin → nggak bisa investasi di kesehatan, pendidikan, pertanian → nggak produktif → tetpp aja miskin terus. Kayak game yang stuck di level 1 karena loe nggak punya cukup ‘gold’ buat beli senjata atau upgrade.Nah, orang-orang ini terlalu kismin buat bisa nabung atau investasi. Maka, solusinya: negara-negara kaya kudu tepati janji—sisihkan minimal 0.7% dari pendapatan nasionalnya buat bantu negara miskin, bukan buat formalitas G7 doang, tapi benar-benar jalan. Duitnya dipakai buat hal-hal vital: irigasi, sekolah, rumah sakit, air bersih, jalan desa. Kalau dibantu secara serius, kata Sachs, masyarakat miskin bisa bangkit dan berdiri sendiri dalam satu generasi.Tapi, bantuan aja nggak cukup. Harus ada kombinasi: pemerintahan yang bener, ilmu pengetahuan yang relevan, dan keterlibatan warga lokal. Sachs kasih contoh: dulu Eropa porak-poranda gara-gara Perang Dunia II, tapi bisa bangkit lewat Marshall Plan. Jadi, kalau dunia mau, dunia bisa.Intinya? Kita punya semua alat buat nyelesein ini: duit ada, teknologi ada, strategi ada. Yang belum ada cuma satu: niat politik dan keberanian buat peduli. Kalau negara kaya niatnya kayak orang kasmaran—nggak cuma janji tapi juga aksi—kemiskinan ekstrem bisa tinggal sejarah.Negara miskin tuh biasanya bisa dikenali dari minimnya akses ke hal-hal dasar: air bersih susah, sekolah bagus langka, apalagi rumah sakit yang layak. Ekonominya cuma bergantung ke satu-dua komoditas murahan—misal sawit doang atau tambang nikel—yang gampang anjlok kalo harga dunia goyah atau cuaca lagi rese. Jalanan amburadul, listrik byar-pet, sinyal internet kayak main petak umpet—semua bikin susah gerak dan susah berkembang. Mayoritas rakyatnya kerja serabutan, gaji harian, gak ada jaminan sosial, apalagi mimpi naik kelas. Pemerintahannya? Kadang kayak sinetron: penuh drama, tapi minim solusi. Institusi kelembagaannya letoy, korupsinya bisa nular, dan hukum lebih tajam ke bawah. Negara kayak gini sering terjebak di lingkaran setan: makin miskin, makin kacau; makin kacau, makin miskin. Jadi ya, susah banget buat beneran maju.
Sebuah negara itu jadi miskin bukan karena satu sebab doang, tapi karena campuran banyak hal yang udah numpuk dari masa ke masa. Dulu dijajah—sumber daya diangkut, lembaga dibuat lemah, peta wilayah dicoret-coret semaunya penjajah tanpa mikir suku atau budaya—hasilnya? Konflik dalam negeri yang gak kelar-kelar. Setelah merdeka pun, banyak negara salah urus: korup, cuma mikirin jangka pendek, kekuasaan dikuasai segelintir elit yang cuma mikir perutnya dewek.Ekonominya juga rapuh, tergantung ama ekspor satu-dua barang mentah yang harganya gampang goyang kalo pasar dunia lagi drama. Negara ini juga jarang banget investasi ke rakyatnya—pendidikan setengah hati, fasilitas kesehatan seadanya, infrastruktur bolong di mana-mana. Tambahin lagi dengan politik yang kayak roller coaster dan hukum yang gak bisa diandalkan, rakyat makin gak punya suara. Dan kalau rakyat gak punya kuasa, ya makin miskin, dan makin miskin bikin makin gak punya kuasa. Muter di situ-situ aja.Negara itu gak langsung jatuh miskin dalam semalam. Ini hasil dari sejarah panjang—dijarah, salahurus, ditinggalin, dan kesempatan yang terus-terusan lewat gitu aja.Dalam karyanya Development as Freedom (1999), Amartya Sen ngajarin kita cara mikir yang beda soal kemiskinan. Katanya, kemiskinan itu bukan cuma soal duit yang pas-pasan, tapi soal hidup yang minim pilihan. Orang miskin itu sering gak punya akses buat sekolah yang bener, berobat kalau sakit, ngomong di ruang politik, atau bahkan hidup dengan tenang dan bermartabat.Negara-negara miskin sering kali gagal ngasih kebebasan dasar tersebut ke rakyatnya. Akibatnya, orang-orang bukan cuma terjebak dalam kekurangan materi, tapi juga gak bisa ambil keputusan penting buat hidup mereka sendiri. Bayangin aja: anak gak bisa sekolah, ibu gak bisa berobat, suara rakyat kecil gak kedengeran—itu semua bikin masyarakatnya jalan di tempat. Jadi, masalahnya bukan cuma soal ekonomi, tapi soal kebebasan hidup yang dirampas sistem.Menurut Sen, pembangunan yang sejati bukan cuma soal naikin angka GDP atau narik investor asing, tapi soal ngasih kuasa ke rakyat—biar mereka bisa hidup lebih bebas, lebih bermakna, dan lebih manusiawi. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi doang gak bakal cukup buat mutusin rantai kemiskinan.Berikut adalah lima negara termiskin di dunia berdasarkan PDB per kapita, beserta penjelasan mengapa mereka miskin dan seperti apa kehidupan rakyatnya.
Di tahun 2025, posisi negara termiskin di dunia jatuh ke tangan South Sudan, dengan GDP per kapita (PPP) cuma US $716. Ekonominya porak-poranda: perang terus, inflasi galau, infrastruktur amburadul—rakyatnya banyak yang cuma bisa berharap dari bantuan kemanusiaan .
Di posisi kedua ada Burundi, sekitar US $1,015. Ekonominya cuma ngandelin pertanian seadanya, penduduk tambah banyak, tanah makin sempit, pemerintah lemah, investasi buat sekolah dan rumah sakit? Gak ada. Jadi warganya cuma cukup makan seadanya .
Republik Afrika Tengah (CAR) punya GDP per kapita sekitar US $1,330. Padahal punya sumber daya kaya berlian dan kayu, tapi perang berkepanjangan, korupsi, dan layanan publik ambrol bikin rakyatnya gak punya akses ke sekolah, klinik, atau listrik .
Yaman sekitar US $1,675 per orang. Perang saudara bikin ekonomi dan infrastruktur hancur, kelaparan menyebar, wabah kolera mewabah, air bersih dan layanan kesehatan langka—jutaan hidup tiap hari seperti perjuangan mati-hidup .
Mozambique berada di posisi kelima, sekitar US $1,730. Padahal punya cadangan batubara dan gas, tapi setelah perang sipil, korupsi mendera, infrastruktur nggak memadai, dan siklon sering datang. Warga pedesaan? Layanan dasar masih jauh banget.
Kalo sebuah negara atau bangsa hidup dalam kemiskinan yang lama, dampaknya gak cuma soal dompet tipis—tapi rusaknya seluruh isi rumah tangga bangsa. Anak-anak tumbuh kurus, gak sekolah, gampang sakit. Impian jadi dokter atau insinyur? Kalah ama kenyataan: yang penting hari ini bisa makan. Generasi muda gak punya ruang buat berkembang—bakat kebuang, ide mati sebelum lahir, karena hidup cuma soal bertahan.Kemiskinan yang berkepanjangan juga bikin rakyat ilfeel ama pemerintah. Ganti presiden, ganti janji, tapi nasib tetep gitu-gitu aja. Lama-lama orang mikir, “Ngapain percaya?” Dari situ muncul rasa apatis, trus jadi amarah, trus bisa membuncah: demo, rusuh, atau konflik horizontal. Rasa jadi bagian dari bangsa luntur, karena negara sendiri kayak gak peduli.Negara miskin juga jadi rapuh banget. Investor takut masuk, sistem kesehatan ringkih, bencana alam bisa bikin lumpuh total. Jadi miskin itu bukan cuma soal gak punya duit—tapi soal hidup yang gampang roboh kapan aja. Dan makin lama dibiarkan, makin susah buat bangkit lagi.Di bidang pendidikan, kemiskinan panjang bikin anak-anak gak masuk sekolah atau buru-buru putus karena harus bantu cari nafkah. Sekolahnya? Sempit, guru kurang, bukunya sobek-sobek, bangkunya udah miring. Hasilnya? Banyak yang lulus tapi gak bisa baca tulis dengan baik, apalagi siap kerja. Sekolah jadi hak orang berduit, bukan hak semua orang. Akibatnya, jurang sosial makin lebar, yang kaya makin naik, yang miskin makin kejebak di bawah. Negara pun kekurangan tenaga terampil, akhirnya cuma bisa ngandelin kerja kasar atau ekspor bahan mentah.
Secara politik, kemiskinan yang gak kelar-kelar bikin orang putus asa sama sistem. Udah nyoblos berkali-kali, tapi nasib gak pernah berubah. Rakyat jadi males peduli, atau gampang dimanfaatin ama politisi yang bawa amplop. Korupsi makin jadi budaya, karena elitnya main licik sementara rakyatnya gak punya suara. Lama-lama, kondisi ini bisa meledak: demo, kerusuhan, bahkan munculnya pemimpin otoriter yang datang bawa janji palsu sambil ngebungkam lawan politik. Demokrasi? Tinggal slogan.
Secara sosial, kemiskinan panjang itu kayak bom waktu. Ketimpangan jadi hal biasa, dan warga saling sikut karena rebutan yang sedikit. Kriminalitas naik, bukan karena jahat, tapi karena kepepet. Anak muda yang kehilangan harapan bisa nyasar ke narkoba, geng, atau ideologi ekstrem. Jadi, bukan cuma miskin secara materi, tapi juga rapuh secara moral dan sosial. Masyarakat jadi gampang retak, penuh curiga, dan rawan disusupi dari luar.
Rujukan yang cocok banget buat ngedukung argumen ini adalah “Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty” karya Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo (2011, PublicAffairs). Dua ekonom pemenang Nobel ini nulis bukunya bukan cuma dari balik meja, tapi dari riset lapangan langsung di negara-negara miskin.Mereka nunjukin gimana kemiskinan yang terus-menerus bikin anak-anak gak sekolah atau dapet pendidikan yang kualitasnya payah—akhirnya keterbelakangan jadi warisan turun-temurun. Mereka juga bahas gimana kemiskinan bikin rakyat gak percaya lagi sama negara. Kalau rakyat ngerasa pemerintah gak pernah bantu, ya mereka jadi ogah mikirin politik, atau malah gampang dibodohi sama janji-janji populis. Di masyarakat yang miskin banget, solidaritas gampang pecah, dan perilaku menyimpang muncul bukan karena rusak moral, tapi karena bertahan hidup.Intinya, menurut mereka, orang miskin itu bukan bodoh atau malas—mereka cuma jalan di dunia yang penuh jebakan. Kalau pendidikan, kepercayaan publik, dan kesempatan hidup gak dibenahi, maka kemiskinan bakal diwariskan terus, kayak kutukan tak berujung.Biar rakyatnya gak nyangkut terus di jurang kemiskinan, negara tuh gak cukup cuma ngejar pertumbuhan ekonomi gede—yang kaya makin kaya, yang miskin tetep nyungsep. Negara harus pastiin pertumbuhan itu bisa dinikmatin bareng-bareng, bukan cuma numpang lewat di TV nasional.Caranya? Bangun pondasi dari bawah: pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang bisa diakses, air bersih, dan prasarana yang bukan cuma buat kota besar. Karena kemiskinan itu seringkali bukan karena gak kerja, tapi karena gak punya akses. Gak punya pintu masuk ke dunia yang lebih baik.Negara juga mestinya invest manusianya, dari kecil. Anak-anak jangan cuma dikasih nasi bungkus pas kampanye, tapi dijamin gizinya, sekolahnya, kesehatannya. Dan ketika orang jatuh, harus ada jaring pengaman—bukan buat bikin manja, tapi biar bisa bangkit lagi. Bansos itu bukan belas kasihan, tapi investasi. Bansos itu buat rakyat, bukan buat 'Mas Wapres' yang ngebet jadi pemeran utama 2029. Lagian, AI sekarang udah bisa bikin buku kok—tinggal tunggu diundang talkshow bareng presenter kondang!Selain itu, negara wajib ngatur ulang sistem. Jangan biarin cuma orang kaya yang bisa main di lapangan. Rakyat kecil butuh pegangan: hak atas tanah, pekerjaan yang dilindungi, dan pajak yang adil. Soalnya kalau sistem cuma nguntungin elite, kemiskinan jadi penyakit turun-temurun.Dan yang paling penting: korupsi harus diperlakukan kayak wabah nasional. Karena tiap rupiah yang dikorup, itu sekolah yang nggak jadi dibangun, puskesmas yang kosong, dan masa depan anak-anak miskin yang remuk. Mereka tekor dua kali—hidup yang keras, dan potensi yang hilang.Intinya? Negara semestinya berhenti nganggep kemiskinan itu kayak efek samping. Perlakukan sebagai sistem yang harus dibongkar dari akarnya. Karena kalau kemiskinan itu buatan manusia, berarti bisa dibongkar manusia juga.Rasulullah ﷺ pernah bersabda:“Kemiskinan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran.”– Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam Shu’ab al-Iman (No. 5883), juga disebutkan maknanya dalam riwayat lain.Kalimat ini bukan sekadar peringatan, tapi pengakuan jujur dari Rasulullah ﷺ bahwa kemiskinan itu bukan cuma soal perut kosong, tapi bisa menghancurkan harga diri dan iman seseorang. Bukan berarti orang miskin pasti sesat, tapi kalau hidup terus dihimpit, makan susah, dihina, dan gak ada harapan, bisa aja hati mulai goyah—meragukan keadilan hidup, bahkan putus asa pada rahmat Allah. Ini bukti bahwa Rasulullah ﷺ bukan cuma mikirin akhirat, tapi paham banget bahwa manusia juga butuh sandang, pangan, dan rasa aman di dunia.
Rasulullah ﷺ pernah berdoa:“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kemiskinan.”– Diriwayatkan oleh Abu Dawud (No. 1543), dinyatakan sahih oleh al-Albani.Doa ini menunjukkan betapa Rasulullah ﷺ ngerti bahwa kemiskinan bukan sekadar “gak punya uang,” tapi bisa jadi pintu ke hal-hal yang mengguncang iman dan keteguhan hidup. Beliau minta perlindungan dari dua hal ini karena sadar: hati dan perut itu gak bisa dipisahin.Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin pernah bilang bahwa kemiskinan, kalo dibiarin, bisa bikin orang curang, nyolong, bahkan ninggalin sholat—bukan karena jahat, tapi karena kepepet. Beliau gak nyalahin orang miskin, tapi nyalahin masyarakat yang cuek ama penderitaan mereka.Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari juga bilang, doa Rasulullah ﷺ ini nunjukin betapa beliau mikirin keseimbangan antara dunia dan akhirat. Memang sih, kemiskinan bisa jadi ujian yang berpahala kalau disabarin. Tapi kalau disiksa terus tanpa bantuan, bisa jadi cobaan yang bikin jiwa rebak.Syaikh Abul Hasan Ali Nadwi, ulama besar abad 20, sering ngomong soal kemiskinan di dunia Islam. Kata beliau, “kemiskinan umat Islam itu bukan cuma lapar perut, tapi lapar keadilan.” Artinya, ini bukan sekadar ekonomi, tapi masalah martabat yang diinjak-injak. Dan kalau dibiarin, bisa menjadi benih ekstremisme dan keputusasaan.Dr. Tariq Ramadan, seorang pemikir kontemporer, juga punya kalimat makjleb, “Orang lapar gak bakalan dengerin ceramah.” Buat Dr Tariq, keadilan sosial itu inti dari ajaran Islam. Bantu orang miskin bukan sekadar sedekah—itu usaha buat benerin ketimpangan yang udah rusak dari awal.Kemiskinan itu bukan cuma soal dompet kosong—tapi soal harapan yang pelan-pelan dicuri, potensi yang dikebiri, dan sistem yang lebih sibuk melayani segelintir orang ketimbang seluruh rakyat. Ia gak muncul dengan sendirinya; ia dibikin dan dipelihara lewat kebijakan yang salah, ekonomi yang pilih kasih, dan pemimpin yang gak berani lawan ketimpangan. Kalau kita beneran mau lawan kemiskinan, jangan anggap ini urusan amal—anggap ini urusan Keadilan.Ukuran sejati kemegahan sebuah negara itu bukan seberapa tinggi gedungnya, tapi seberapa manusiawi ia memperlakukan warganya yang paling rentan. Negara yang berani ngangkat rakyat kecil, justru negara yang naik level. Menghapus kemiskinan bukan bentuk kasihan, tapi pernyataan: inilah kami, dan beginilah kami memperjuangkan nilai hidup. Orang miskin nggak minta dikasihani—mereka minta kesetaraan, akses, dan alat untuk mandiri.Selama masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan, kita semua belum benar-benar merdeka. Kemanusiaan kita belum utuh kalau masih ada yang tertinggal. Kita harus pilih masa depan dimana kesempatan bukan cuma hak orang beruntung, tapi milik semua. Mengakhiri kemiskinan itu bukan mimpi, tapi keputusan. Dan itu keputusan yang harus kita ambil—bareng-bareng.Dan saat tirai perlahan tertutup, lagu Another Day in Paradise-nya Phil Collins mengalun pelan—seolah mengingatkan kita, dalam hening namun tegas: masih banyak yang tak tertampakkan, yang gak pernah masuk tayangan prime time,She calls out to the man on the street [Wanita itu memanggil seseorang di jalan]"Sir, can you help me? ["Tuan, bisa bantu diriku?]It′s cold, and I've nowhere to sleep. [Dingin dan kutak punya tempat buat tidur]Is there somewhere, you can tell me?" [Adakah suatu tempat yang bisa dikau tunjukkan?"]He walks on, doesn′t look back [Orang tersebut ngacir aja, gak mau noleh ke belakang]He pretends he can't hear her [Doski pura-pura gak dengerin omongan wanita itu]Starts to whistle as he crosses the street [Mulai bersiul sambil nyeberang jalan]Seems embarrassed to be there [Sepertinya merasa terusik berada di situ]