Sabtu, 28 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (5)

Di sebuah sekolah menengah di London, seorang guru olahraga bikin lomba lari. Tapi alih-alih semua murid start dari garis yang sama, doski mulai dengan kasih perintah:
“Langkahkan dua langkah ke depan kalau orang tuamu lulusan perguruan tinggi.”
“Dua langkah lagi kalau kamu nggak pernah khawatir soal makanan.”
“Dua langkah ke depan kalau kamu selalu punya Wi-Fi di rumah.”
Begitu selesai, beberapa murid udah mendekati garis akhir—padahal lombanya belum dimulai. Sementara yang lain masih berdiri di belakang, belum melangkah sama sekali.
Lalu sang guru ngomong, “Sekarang kita mulai larinya. Tapi ingat, kalian enggak semua mulai dari tempat yang sama.”
Saat lomba dimulai, yang di depan tinggal lari santai dan menang, sedangkan yang di belakang ngos-ngosan ngejar. Setelah selesai, sang guru bilang, “Inilah dunia nyata. Kita sering nyebut hidup ini adil, tapi kalau titik awalnya beda, ya enggak adil juga namanya.”
Pelajaran hari itu lebih nempel di kepala murid-murid dibanding semua poster motivasi atau pidato bendera tiap Senin. Ini bukan sekadar pelajaran olahraga—itulah pelajaran cepat soal empati, privilege, dan makna "equality" yang sesungguhnya.

"Equality" atau kesetaraan, itu intinya kayak bilang: “Semua manusia itu setara nilainya, bro —enggak peduli loe lahir di istana atau di gang sempit.” Bukan berarti semua orang harus punya mobil yang sama, rumah yang sama, atau followers yang sama banyak. Bukan, tapi setidaknya, gak ada yang ditindas cuma karena beda warna kulit, beda agama, beda gaya hidup, atau beda isi dompet.

Kalau dilihat dari kacamata politik, equality itu kayak jaminan bahwa semua orang punya hak yang sama buat nyalonin diri, milih, didengar, dan dapet perlakuan yang adil di depan hukum. Bukan yang satu bisa bebas karena punya “orang dalam,” sementara yang satu dijeblosin cuma karena miskin dan enggak punya kuasa.

Dalam karya legendarisnya, A Theory of Justice (1971, Harvard University Press), John Rawls enggak mendefinisikan equality sebagai semua orang harus punya barang yang sama, bakat yang sama, atau hasil hidup yang sama. Doski justru nawarin konsep equality yang lebih dalam dan terstruktur, yang disebutnya sebagai “equality as fairness” —kesetaraan yang berangkat dari keadilan.Rawls mendefinisikan keadilan sebagai “fairness”—alias keadilan itu ya soal adil beneran, bukan cuma soal ikut aturan atau kasih hukuman. Buat Rawls, masyarakat yang adil itu bukan yang rapi doang, tapi yang beneran nganggap semua orang itu penting dan layak dihormati, terlepas dari lahir di mana, siapa orang tuanya, atau gimana kondisi awal hidupnya.
Buat ngebuktiin idenya, Rawls bikin eksperimen pikiran yang cerdas: bayangin loe disuruh bikin aturan hidup, tapi loe belum tahu loe bakal lahir sebagai siapa—miskin, kaya, difabel, jenius, perempuan, minoritas, atau apapun. Kondisi ini disebutnya sebagai “veil of ignorance”. Dalam keadaan ini, orang cerdas pasti bakal bikin aturan yang adil buat semua, karena enggak ada yang mau jadi pihak yang dirugikan.
Dari situ, Rawls nyusun dua prinsip keadilan. Pertama, semua orang harus punya hak dan kebebasan dasar yang setara. Kedua, kesenjangan boleh ada, tapi cuma kalau itu bikin hidup orang paling susah jadi lebih baik, dan peluangnya terbuka buat semua orang secara adil.
Dengan kata lain, Rawls enggak bilang semua orang harus sama rata. Tapi dia bilang, kalau mau ada perbedaan, perbedaan itu harus bisa dibela secara moral, alias enggak boleh cuma nguntungin yang udah di atas. Buat Rawls, equality bukan tujuan akhir, tapi landasan utama supaya keadilan bisa beneran hidup di tengah masyarakat demokratis.

Waktu Rawls bilang semua orang harus punya hak dan kebebasan dasar yang setara, doski sebenarnya lagi nyindir keras sistem yang cuma ngasih “kebebasan” ke mereka yang udah punya kuasa. Buat Rawls, hak-hak ini bukan hadiah, bukan bonus loyalitas, dan jelas bukan fasilitas buat kalangan elite doang. Hak dasar itu kayak oksigen—harus otomatis dimiliki semua orang semata karena mereka itu manusia, titik.
Yang doski maksud dengan “kebebasan dasar” itu misalnya: hak bicara, bebas punya keyakinan, bebas berkumpul, hak buat milih pemimpin, bisa nyalonin diri, dan dilindungi hukum secara adil. Dan Rawls enggak mau semua itu cuma berlaku di spanduk kampanye—doski maunya semua itu beneran bisa diakses ama siapa aja, tanpa terkecuali. Bukan cuma yang punya duit, koneksi, atau marga tertentu yang bisa bersuara, sementara yang lain cuma bisa nonton dari pinggir.
Menurut Rawls, hak-hak ini bukan sekadar tempelan, tapi prinsip utama dari keadilan—bahkan lebih penting dari urusan ekonomi atau pertimbangan untung rugi. Negara enggak bisa nyebut dirinya adil kalau masih ada kelompok yang dibungkam, dibatasi, atau dianggap enggak cukup penting buat didengar. Keadilan sejati baru bisa mulai kalau semua warga berdiri di garis yang sama, punya suara yang sama keras, dan bisa ikut bikin aturan main dalam kehidupan bersama.
Rawls ngajak kita main imajinasi: bayangin loe bikin aturan hidup, tapi loe enggak tahu nanti bakal lahir jadi siapa—miskin atau kaya, cowok atau cewek, cerdas atau biasa-biasa aja. Di kondisi yang doi sebut "veil of ignorance", orang rasional pasti bakal bikin aturan yang ngelindungin yang paling lemah. Dari situ lahir dua prinsip penting tersebut
Menurut Rawls, equality itu bukan bikin semua orang jadi seragam, tapi bikin sistem yang adil dan inklusif, dimana yang paling rentan pun tetap punya peluang buat maju. Equality itu bukan bonus, tapi pondasi. Bukan hadiah akhir, tapi titik awal keadilan. Ini bukan teori buat anak-anak debat doang—ini semacam peta moral buat dunia yang beneran pengin lebih manusiawi.

Justice as Fairness: A Restatement” semacam versi “remaster” dari karya legendaris Rawls “A Theory of Justice”, yang bisa dibilang kitab sucinya para pemikir politik abad ke-20. Dalam karyanya ini, Rawls nyederhanain teorinya—biar makin relatable, tapi tetap nendang.
Rawls bilang, keadilan itu nggak selalu soal semua orang diperlakukan sama, tapi soal sistem yang dirancang biar yang paling lemah sekalipun tetep punya peluang buat hidup layak. Doski punya ide jenius yang disebut “original position”: bayangin loe disuruh bikin aturan hidup, tapi loe belum tahu bakal lahir jadi siapa—anak pejabat, anak petani, kaya, miskin, sehat, atau sakit. Dari situ, loe bakal bikin aturan yang adil buat semua, karena bisa aja loe yang nanti kena dampaknya.
Buat Rawls, equality politik itu bukan cuma hak buat nyoblos atau bikin KTP. Tapi juga bikin sistem pendidikan, pajak, dan layanan publik yang beneran ngasih semua orang peluang buat naik kelas. Teorinya udah jadi pondasi perdebatan soal negara kesejahteraan, pajak progresif, dan tanggungjawab negara ke rakyat—bukan cuma basa-basi kampanye.

Dari kacamata filsofis, equality itu bukan sekadar jargon sosial atau janji manis politik saat musim kampanye. Konsep ini konsep moral yang dalam banget, yang berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia punya nilai yang sama sebagai manusia. Para filsuf, dari zaman Aristoteles sampai era sekarang, terus debat soal satu hal: gimana sih caranya memperlakukan semua orang secara setara?
Inti dari equality versi filosofi yalah: nggak ada manusia yang secara bawaan lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Semua layak diperlakukan dengan hormat, tanpa syarat.
Dalam dunia filosofi, equality punya banyak wajah. Ada kesetaraan moral—artinya setiap orang, mau tukang parkir atau profesor, berhak atas rasa hormat yang sama. Ada juga kesetaraan politik, dimana tiap warga punya hak suara yang setara. Lalu ada kesetaraan kesempatan—nggak boleh ada orang yang dibikin susah maju cuma karena lahir dari keluarga susah, beda gender, atau beda warna kulit.
Tapi perdebatan klasiknya begini: apakah equality itu artinya hasil akhirnya harus sama rata buat semua orang? Atau cukup kesempatannya yang setara, sedangkan hasilnya tergantung usaha dan bakat masing-masing? Filsuf kayak John Rawls bilang, gap boleh ada, asal gap itu bikin yang paling bawah ikut naik, bukan makin tenggelam.
Pada akhirnya, equality dalam filsafat bukan tentang semua orang harus sama persis, tapi soal adil, manusiawi, dan enggak ada yang dianggap kurang layak cuma karena dirinya “berbeda”.

Salah satu rujukan paling jujur dan tajam soal equality dari sisi filosofi adalah “Equality and Partiality” karya Thomas Nagel, terbit tahun 1991. Buku ini bukan cuma ngasih teori di atas awan, tapi ngebahas pergulatan batin yang real banget: gimana caranya kita tetep sayang ama keluarga kita, tapi juga adil ke orang lain yang enggak kita kenal?
Nagel bilang, equality itu bukan sekadar bagi-bagi hak atau barang biar rata. Tapi berangkat dari gagasan etis yang dalam: kalau kita keluar dari ego pribadi dan lihat dunia dari sudut pandang netral, kita harus memperlakukan semua orang dengan nilai moral yang sama. Nah, dari sini muncul pertanyaan gawat: loe cinta anak loe, tapi anak orang lain juga punya hak buat dicintai—jadi gimana dong?
Nagel gak kasih solusi instan. Doi justru ngajak kita masuk ke konflik moral antara "sudut pandang pribadi" (yang penuh cinta, identitas, dan loyalitas) dan "sudut pandang impersonal" (yang adil tapi dingin). Karya ini jujur banget: equality itu bukan barang gampangan. Tapi tetep harus diusahakan, karena inilah panggilan moral yang enggak bisa kita cuekin.

Sebelum kita lanjut, mari kita bahas dulu soal Partiality (Keberpihakan).
Partiality itu, kalau pakai bahasa filosofis, artinya kecenderungan alami manusia buat lebih peduli atau kasih perhatian lebih ke orang-orang yang dekat secara emosional atau sosial. Kita cenderung mikirin duluan “orang kita”—kayak keluarga, sahabat, kampung halaman, atau negara sendiri—ketimbang orang asing yang enggak kita kenal. Dan itu bukan karena kita udah mikir logika moral rumit, tapi karena ada rasa, ikatan, dan loyalitas di situ.
Para filsuf enggak nganggap partiality itu dosa atau salah mutlak. Justru, inilah bagian dari kita sebagai manusia. Inilah alasannya kenapa seorang ibu rela ngelindungin anaknya apapun yang terjadi, atau kenapa kita lebih sedih waktu teman kita meninggal, dibanding dengar berita ribuan orang wafat di tempat jauh. Partiality bikin dunia moral kita jadi hangat, personal, dan penuh rasa—karena hidup enggak cuma soal prinsip, tapi juga soal hubungan.
Taapii, di sisi lain, partiality sering bentrok ama prinsip imparsialitas moral—yaitu keyakinan bahwa semua orang seharusnya diperlakukan setara, tanpa pandang bulu. Di sinilah konflik batinnya: gimana caranya kita adil buat semua orang, sementara hati kita lebih duluan mikir soal “yang kita kenal dan kita sayang”?
Intinya, partiality bukan kesalahan moral. Ini kenyataan emosional dan etis. Partiality ngingetin kita bahwa meskipun kita pengin adil buat semua, hidup kita dibangun di atas rasa memiliki, cinta, dan keberpihakan.

Dalam bukunya Partiality (2013, Princeton University Press), Simon Keller ngajak kita mikir ulang soal hal-hal yang sering kita anggap wajar: kayak sayang banget ama keluarga, bela negara, loyal ama sahabat, atau cinta mati ama pasangan. Doski gak asal bilang itu salah, tapi doski nanya balik: emang benar ya kita boleh bersikap beda ke orang cuma karena mereka “dekat” ama kita?
Keller ngebahas ini dari sudut pandang filosofi moral yang serius, kayak ngajak kita duduk bareng Socrates di kafe sambil ngopi dan debat soal etika. Doi bilang, banyak dari sikap kita yang “berpihak” (alias partial) itu bisa bentrok ama prinsip moral yang adil dan netral. Misalnya, pas kita bela negara mati-matian padahal negara kita sendiri mungkin lagi ngelakuin hal yang nggak adil ke orang lain—apa itu tetap bisa dibenarkan?
Buat Keller, perasaan cinta atau loyalitas itu memang kuat dan manusiawi, tapi bukan berarti otomatis benar secara moral. Kita harus siap untuk mempertanyakan: apakah kita lagi sayang beneran, atau cuma ikut-ikutan norma sosial? Doski nggak bilang kita harus jadi robot tanpa perasaan, tapi doski ngajak kita supaya gak semudah itu ngerasa semua bentuk keberpihakan itu pasti baik.
Intinya, Keller itu kayak teman yang tiba-tiba nanya, “Loe cinta ibu loe karena dia ibu loe, atau karena doi orang baik?” Nah, dari situ doski mulai buka diskusi soal apakah cinta dan loyalitas bisa bertahan kalau diuji pakai moral universal.

Kalo loe suka nonton film yang bikin mikir kayak Black Mirror atau The Good Place, buku ini tuh setipe—bikin loe mikir, “Eh, jangan-jangan selama ini gue salah paham soal cinta dan loyalitas.”
Dalam Bab Pertama bukunya, Partiality, Simon Keller tuh kayak pembuka film drama yang pelan tapi dalam. Doski ngajak kita ngelihat kenyataan sehari-hari yang sering banget kita anggap biasa aja: bahwa wajar banget kalau kita lebih mikirin keluarga, teman deket, atau negara sendiri dibanding orang lain. Kayak, ya udahlah, masa iya orang tua nggak boleh belain anaknya? Atau sahabat nggak boleh nutupin kesalahan temennya?
Tapi di sinilah Keller mulai “nusuk”. Doi ngelempar satu pertanyaan mendasar: kalau kita percaya bahwa semua manusia harus diperlakukan sama, lalu kenapa kita boleh berpihak cuma karena hubungan pribadi? Gimana bisa kita nerima prinsip keadilan universal tapi sekaligus ngerasa oke-oke aja jadi ‘team keluarga’ atau ‘team negara’?
Keller nunjukin betapa dalemnya keberpihakan ini udah nempel di hidup kita. Rasanya bukan cuma manusiawi, tapi juga bermoral—kayak cinta, kesetiaan, solidaritas. Tapi di sisi lain, sikap yang sama bisa jadi alasan orang nepotisme, pilih kasih, bahkan jadi kejam ke yang dianggap “bukan bagian dari kita”.
Bab ini gak ngasih jawaban—nggak kayak dosen yang langsung ngasih kesimpulan. Justru doi ngasih ruang buat mikir, buat ngerasain dilema moralnya. Doi bikin kita nanya ulang: “Apa bener gue selalu jadi orang baik cuma karena sayang keluarga atau bela sahabat?” Atau jangan-jangan, kita cuma nyamannya aja berpihak, tapi lupa mikirin keadilannya?
Pokoknya, Bab I ini tuh semacam undangan dari Keller buat ikut dalam perjalanan filosofis yang bakal bikin kita mikir ulang soal siapa yang pantas kita bela… dan kenapa.

Di Bab II, Keller mulai nyentuh titik yang lebih pribadi dan emosional: hubungan antarmanusia. Doi bahas kenapa hubungan kita sama orang-orang terdekat—keluarga, sahabat, pacar, pasangan—bisa bikin kita ngerasa wajar banget ngelakuin hal-hal yang mungkin nggak adil kalau kita lakuin ke orang asing. Intinya, bab ini tuh ngebedah: apakah cinta dan hubungan dekat itu bisa jadi alasan moral buat berpihak?
Keller bilang, cinta itu bukan cuma soal rasa, tapi juga bisa jadi “alasan” buat bertindak. Kalo loe sayang seseorang, loe bukan sekadar pengen nolong doi, tapi loe ngerasa loe berhak atau bahkan harus nolong doi—meskipun itu artinya loe jadi nggak adil ke orang lain. Nah, di sinilah Keller mulai nyelidikin: benarkah hubungan pribadi bikin kita punya "aturan moral" sendiri? Atau jangan-jangan itu cuma cara halus kita buat belain ego?
Yang menarik, Keller nggak langsung nyinyir atau sinis. Doi tahu kok, hubungan dekat itu penting banget buat hidup manusia—bikin kita bahagia, ngerasa hidup punya makna. Tapi doi ngelempar pertanyaan tajam: emang cinta dan loyalitas itu udah cukup buat jadi alasan moral? Atau kita tetep butuh pembenaran dari prinsip keadilan yang lebih luas?
Bab ini jadi kayak persimpangan jalan filsafat. Keller ngajak kita mikir: kalau kita bilang hubungan itu sendirinya cukup jadi alasan moral, kita bisa aja ngerusak prinsip keadilan buat semua orang. Tapi kalau kita bilang hubungan itu nggak cukup, rasanya kita jadi dingin dan kehilangan makna cinta.
Bab II ini tuh semacam momen "galau filsafat"—di mana kita mulai sadar, mungkin nggak semua hal yang terasa benar… itu benar secara etika.

Di Bab III, Keller ngebongkar habis soal loyalitas—sesuatu yang sering banget kita anggap keren dan mulia, tapi sebenernya punya sisi gelap yang nggak banyak orang mau bahas. Buat Keller, loyalitas itu bukan cuma soal rasa setia, tapi soal tindakan: kita sering ngerasa wajib ngebela, nurutin, atau nutupin kesalahan orang—entah itu teman, keluarga, bos, bahkan negara—demi dibilang “loyal.” Tapi pertanyaannya: emang itu bener secara moral?
Keller mulai dengan ngingetin kita bahwa loyalitas tuh selalu dipuji. Orang yang setia sama sahabatnya atau negaranya biasanya dipuja bak pahlawan. Tapi doi nyuruh kita berhenti sebentar dan mikir: sebenernya, apa sih yang kita puji? Apa loyalitas itu baik karena bikin hubungan jadi kuat? Atau justru kadang bikin kita tutup mata dari kesalahan dan ketidakadilan?
Keller ngasih contoh-contoh yang bikin mikir: kayak orang yang tetap bela temennya walaupun temennya salah, atau karyawan yang tutup mulut soal praktik curang kantor karena “udah loyal.” Nah, Keller ngajak kita buat nanya: ini loyalitas atau pembelaan buta? Doi mempertanyakan apakah loyalitas itu punya nilai moral sendiri, atau cuma bernilai kalau kita loyal ke hal yang memang benar?
Bab ini tuh semacam alarm buat kita yang suka bangga dibilang “setia.” Keller nggak bilang loyalitas itu buruk, tapi doi nyuruh kita waspada: jangan-jangan, di balik kata “loyal,” kita lagi ngelindungin hal yang salah. Karena kalau kita tetep setia ke hal yang busuk, ya kita ikut busuk juga.
Bab III ini ngajak kita buka mata: kadang yang kelihatan kayak kesetiaan sejati… sebenernya cuma cara sopan buat jadi penonton diam saat yang salah menang.

Di Bab IV, Keller masuk ke ranah paling panas dan sensitif: patriotisme. Di sini doski ngebongkar habis apakah cinta tanah air itu beneran mulia—atau sebenernya cuma bentuk lain dari fanatisme yang dibungkus kata-kata indah. Doi ngajak kita mikir, bisa nggak sih kita cinta negara sendiri tanpa jadi munafik secara moral?
Keller mulai dari kenyataan yang udah umum banget: patriotisme itu dipuji setinggi langit. Politisi suka ngebakar semangat rakyat pake jargon nasionalisme, tentara dianggap pahlawan karena rela mati buat negara, dan kita semua sering diajarin kalau jadi warga negara yang baik tuh harus cinta tanah air. Tapi Keller ngerem semua itu. Doi nanya, “Bentar deh, emang masuk akal ya kita ngebela negara sendiri hanya karena itu negara kita, padahal kita juga percaya semua manusia itu setara?”
Lewat argumen filosofis yang tajam dan contoh dunia nyata, doski kupas satu per satu alasan yang sering dipake buat ngebela patriotisme: mulai dari budaya, sejarah bersama, identitas nasional, sampai rasa terima kasih. Tapi menurut doi, banyak dari alasan itu rapuh. Kalau kita bisa kritik rasisme atau nepotisme karena milih-milih orang tanpa alasan yang adil, kenapa kita malah ngebolehin patriotisme yang juga milih “kubu” cuma berdasarkan batas negara?
Keller nggak sok idealis juga. Doski ngerti kok, identitas nasional itu punya daya tarik emosional yang kuat. Tapi doi tetep minta kita buat mikir jernih: kapan rasa cinta negara itu bikin kita tutup mata dari ketidakadilan, atau ngerasa lebih hebat dari orang negara lain? Jangan-jangan, patriotisme itu kayak seragam yang rapi—padahal isinya bisa aja kebanggaan kosong.
Bab ini tuh semacam kritik elegan buat nasionalisme yang suka pakai moralitas sebagai tameng. Keller nggak nyuruh kita jadi anti-negara, tapi doski ngajak kita buat lebih jujur: kadang yang kita sebut “cinta tanah air” itu cuma alasan halus buat cuek ama penderitaan orang lain.

Di Bab V, Keller ngajak kita ke titik panas dari seluruh debat moral: bisa nggak sih kita jadi orang baik, tapi tetep berpihak? Di sini doi nabrakin dua dunia: dunia teori moral yang netral dan adil buat semua orang—kayak utilitarianisme atau etika Kantian—lawan dunia nyata kita yang penuh cinta, kesetiaan, dan loyalitas ke orang-orang terdekat. Dan hasilnya? Pertanyaan yang bikin kita garuk kepala: emangnya moralitas itu harus selalu adil buat semua, sampai-sampai kita nggak boleh pilih “orang kita”?
Keller mulai dengan ngasih dua contoh teori moral yang keras kepala. Utilitarianisme bilang kita harus bikin kebahagiaan sebanyak mungkin, tanpa peduli siapa yang kita bantu. Etika Kantian bilang kita harus perlakukan semua orang sebagai tujuan, bukan cuma alat buat bantu keluarga atau teman. Tapi coba lihat hidup nyata: kita rela bolos kerja buat bantu adik pindahan, atau bela sahabat walau doi salah. Nah, Keller nanya: ini tanda kita gagal secara moral? Atau justru teorinya yang kelewat kaku dan nggak nyambung ama kenyataan?
Keller nggak langsung ngasih jawaban. Keller kayak hakim yang sabar—dengerin semua argumen, timbang kanan-kiri. Doski buka ruang buat mikir: jangan-jangan teori moral itu terlalu “dingin”, terlalu ideal, sampai lupa gimana rasanya jadi manusia. Tapi bisa juga, rasa hangat dari cinta dan kesetiaan itu cuma ilusi moral—cara kita ngerasa baik padahal lagi pilih kasih.
Di akhir bab ini, Keller kayak ngajak kita berdiri di depan kaca dan nanya: “Kalau loe mau konsisten secara moral, loe siap nggak kehilangan semua hal yang bikin hidup loe berarti?” Doi nggak kasih akhir yang rapi, tapi doi maksa kita buat jujur: moral yang sempurna mungkin butuh pengorbanan yang nggak semua orang siap lakuin.
Bab ini tuh semacam reality check: loe mau jadi orang yang adil ke semua, atau orang yang hangat buat sebagian? Dan… bisa nggak dua-duanya jalan bareng?

Dalam Equality and Partiality, Thomas Nagel ngajak kita ngadepin kenyataan hidup yang pahit-manis: partiality alias keberpihakan itu bukan musuhnya equality, tapi partner yang selalu ribut dalam satu rumah.
Buat Nagel, partiality itu naluri alamiah kita buat lebih peduli sama orang-orang terdekat—keluarga, sahabat, geng kita, bahkan diri sendiri. Itu muncul dari sudut pandang personal, yang dibentuk ama cinta, kesetiaan, dan identitas. Dan Nagel enggak nyalahin itu. Justru doi bilang, itu bagian penting dari jadi manusia—tempat kita nemuin makna, bangun hubungan, dan ngerti siapa kita.
Namun, di sisi lain, ada yang doi sebut “sudut pandang impersonal”—alias melihat dunia dari posisi netral, dimana semua orang harus diperlakukan setara, tanpa peduli siapa mereka buat kita.
Partiality bukanlah lawan langsung dari equality. Justru partiality itu yang bikin equality jadi perjuangan berat. Kita ditarik dua arah: satu sisi pengen ngebela “orang kita,” sisi lain merasa wajib adil ke semua orang. Nagel enggak maksa kita milih salah satu. Doi malah ngajak kita mikir: gimana caranya hidup di tengah tarik-ulur ini—bisa setia sama yang kita sayang tanpa ninggalin rasa keadilan buat orang lain.
Pesan Nagel sederhana tapi dalem: jadi manusia seutuhnya itu ya soal bisa seimbang antara cinta dan keadilan, antara hati dan prinsip, antara urusan pribadi dan tanggungjawab sosial.

Dari sudut pandang filosofi, equality itu bukan soal bikin semua orang hidupnya sama, bajunya seragam, atau impiannya kembar. Bukan juga utopia polos dimana semuanya rata kayak permukaan meja. Equality itu komitmen moral buat ngakuin bahwa setiap manusia punya nilai yang sama, mau lahir di istana atau di gang sempit, punya gelar atau enggak, bisa lari cepat atau pakai kursi roda.
Para filsuf melihat equality itu kayak kompas moral sekaligus tantangan politik. Inilah sikap etis yang bilang: “Lihat semua orang sebagai manusia penuh martabat, layak didengar, dan berhak punya kesempatan.” Tapi di saat yang sama, mereka sadar: hidup itu enggak hitam putih. Kita punya keluarga, sahabat, geng, nostalgia—yang bikin kita mustahil jadi 100% netral. Makanya kayak yang dibilang Thomas Nagel, equality itu bukan soal ngapus rasa sayang pribadi, tapi ngimbangin itu dengan rasa adil buat semua.

Equality dalam filosofi ngajak kita ngelakuin hal paling manusiawi: sayang ama yang dekat, tapi tetep peduli ama yang jauh. Enggak harus cinta semua orang sama rata, tapi kita semestinya bangun dunia dimana gak ada orang yang diperlakukan kayak doi itu lebih rendah derajatnya.
Equality bukan surga impian. Equality tuh lebih kayak arah moral—cara jalanin hidup di dunia yang ruwet dan enggak adil ini, dengan mata terbuka dan hati yang masih mau ngerasa.


[Bagian 6]
[Bagian 4]