Jumat, 27 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (4)

Di sebuah kota kecil pinggir laut di selatan Inggris, ada toko roti keluarga yang udah buka lebih dari 40 tahun. Pemiliknya, Bu Whitmore, hafal nama-nama pelanggannya, dan tiap hari hujan suka ngasih scone gratis ke anak-anak. Pas krisis finansial 2008 datang, toko-toko lain banyak yang tutup. Tapi toko roti itu tetep buka. Bukan karena sakti, tapi karena orang percaya ama doi. Pemerintah waktu itu ngasih bantuan darurat buat usaha kecil, bank nurunin bunga, dan warga pun milih belanja di situ daripada ke supermarket gede. “Ini bukan cuma soal roti,” kata Bu Whitmore, “tapi tentang ngerasa masih ada yang bikinin sesuatu buat loe, pas dunia rasanya amburadul.” Kehangatan dari roti-roti itu jadi lambang kestabilan. Dan secara nggak langsung, roti Bu Whitmore nggak cuma ngenyangin perut, tapi juga ngasih harapan kalau badai pasti reda.

Stabilitas ekonomi itu kayak soundtrack latar dalam film—nggak selalu kelihatan, tapi ngatur suasana segalanya. Ia berlaku dimana-mana: dari gedung-gedung pencakar langit para investor di kota besar sampai ke warung kopi di pojok desa. Kalau harga-harga stabil, lapangan kerja ada, dan ekonomi nggak labil-labil amat, hidup jadi lebih tenang. Pemerintah bisa fokus bangun jalan dan sekolah, bukan sekadar padamkan kebakaran. Anak muda bisa mikir jangka panjang—mau kuliah jurusan apa, mau kerja di mana, atau bahkan berani ambil cicilan rumah. Perusahaan juga bisa bikin rencana bisnis tanpa takut besok tiba-tiba krisis. Tapi kalau stabilitas itu hilang? Semua jadi kayak sinetron dadakan—penuh drama, panik, dan ujung-ujungnya, banyak yang kejebak utang sebelum sempet mulai. 

"The Global Minotaur: America, Europe and the Future of the Global Economy" (2011, Zed Books) oleh Yanis Varoufakis, mantan menteri keuangan Yunani yang lebih cocok jadi pemeran film noir karena gaya nulisnya tajam dan penuh analogi liar. Doski jelasin gimana ekonomi dunia pasca-Perang Dunia II dibangun di atas stabilitas dan kepercayaan, dan begitu fondasi itu retak, krisis demi krisis pun datang kayak sequel film horor. Intinya, ekonomi itu nggak bisa asal jalan—harus ada panggung yang stabil biar semua aktor bisa mainin peran dengan aman. Tanpa itu? Drama-nya bukan fiksi lagi.
Varoufakis ngejelasin ekonomi dunia pasca-Perang Dunia II dengan gaya nyentrik dan berani. Doski bilang, Amerika Serikat jadi pusat ekonomi dunia bukan cuma karena kekuatan militernya atau pabrik-pabriknya, tapi karena mereka rela “nyerap” ekspor dari seluruh dunia, lalu muterin uangnya lagi ke negara-negara lain lewat investasi dan sistem keuangan. Sistem ini doi samain dengan Minotaur dari mitologi Yunani—monster yang minta upeti terus-menerus biar dunia tetap seimbang.
Menurut Varoufakis, sistem “Minotaur Global” ini bikin ekonomi dunia relatif stabil selama beberapa dekade. Tapi pas sistem ini mulai goyah di awal 2000-an, efeknya kayak domino: krisis keuangan di mana-mana, ekonomi jadi gampang oleng, dan dunia jadi kayak kapal tanpa nahkoda.

Minotaur, menurut Varoufakis, merupakan simbol sistem ekonomi global pasca 1971 yang berpusat pada Amerika Serikat. Setelah sistem Bretton Woods ambruk, AS jadi negara pemakan defisit—ngabisin lebih banyak dari yang diproduksi, tapi tetap diguyur modal dari seluruh dunia buat biayain gaya hidupnya. Varoufakis ambil inspirasi dari mitologi Yunani, dimana Minotaur itu monster yang dikurung di labirin dan tiap tahun harus dikasih “upeti” dari Atena. Nah, dalam analogi ini, ekonomi AS adalah Minotaur-nya, yang makan surplus dagang negara lain lewat Wall Street, sistem petrodollar, dan kekuatan militernya.
Buat Varoufakis, Minotaur ini bukan penjahat, tapi peran sistemik yang AS ambil demi nyetabilin ekonomi dunia. Negara-negara seperti China, Jepang, dan Jerman ngandelin ekspor ke pasar AS, lalu duitnya diputer lagi ke saham atau obligasi Amerika. Selama siklus ini jalan terus, ekonomi dunia relatif stabil—meski timpang banget. Tapi pas krisis 2008 nyerang dan aliran modal macet, Minotaur-nya “luka parah”, dan sistem pun runtuh kayak menara Jenga disundul angin.
Yang bikin karya ini beda dari buku ekonomi biasa adalah caranya ngegabungin mitos, sejarah, dan teori ekonomi jadi satu cerita yang hidup dan penuh kritik. Varoufakis nggak sekadar bilang “kapitalisme itu rusak”—doski kasih tahu gimana aturan mainnya dari awal udah dibikin buat nguntungin segelintir orang. Dan waktu si “Minotaur” ini tumbang, dunia nggak cuma kehilangan stabilitas—tapi juga kehilangan ilusi bahwa sistem ini bisa jalan terus tanpa revisi.

Varoufakis ngasih tahu kalau krisis itu sebetulnya kayak lab ilmiah—tempat uji coba masa depan dimulai. Doski balik ke zaman purba, gimana kelaparan bikin manusia mikir keras dan akhirnya nemuin pertanian. Dari sana baru ada surplus, baru bisa bikin peradaban.
Lanjut ke zaman modern: doski bilang, pas 1929 ekonomi runtuh, itu bukan cuma malapetaka, tapi semacam workshop d mana sistem lama dihancurin biar bisa dibangun ulang dengan aturan baru—misalnya, sistem keuangan pasca‑Perang Dunia II . Jadi, krisis bukan akhir cerita, tapi titik balik eksperimental—bisa bikin sesuatu yang brilian, atau malah bikin masalah makin runyam kalau salah kelola. Makanya, krisis itu bukan cuma bencana—itu bisa menjadi kesempatan epik kalau cara ngadepinnya jenius.

Varoufakis ngejelasin gimana sesudah Perang Dunia II, AS bikin semacam “sistem operasi global” biar ekonomi dunia nggak rontok lagi. Idenya datang dari konferensi Bretton Woods tahun 1944: mereka bikin aturan main mata wang—dollar dipatok ke emas—bangun lagi industri di Jerman dan Jepang, dan sisanya dari surplus dagang AS diputer balik sebagai investasi ke seluruh dunia, termasuk lewat IMF dan Bank Dunia .
Para pemimpin AS, yang masih trauma ama Depresi Besar dan tahu perang bisa menjadi jalan keluar ekonominya, mikir, “kita harus bikin payung global.” Harapannya sih payung itu bikin ekonomi Soekarno gak gampang roboh dan bikin Uni Sovyet gerah liatnya. Tapi yang terjadi malah ada efek samping keren: perang Korea dan Vietnam bikin negara-negara Asia Timur melek industri, tumbuh pesat, dan akhirnya malah bantu jalin “Global Plan.” Sayang, biaya perang Vietnam malah bikin kas negara AS kebobolan—dan boom—sistem Bretton Woods jebol tahun 1971 .
The Global Plan itu bukan cuma perjanjian mata uang doang: ini strategi geopolitik dan ekonomi global yang bikin roda dunia bisa jalan, sebelum akhirnya retak gara-gara perang dan kebocoran duit di sana-sini.

Varoufakis kemudian ngegambarin gimana dunia ekonomi berubah abis sistem Bretton Woods tumbang tahun 1971. AS yang tadinya kreditur malah jadi negara berutang, dan doi mainkan peran si “Minotaur Global”—monster yang doyan makan surplus negara lain buat nutupi defisit sendiri. Dollar jadi mata wang cadangan dunia, minyak dibayar pake dollar, biaya tenaga kerja AS murah, ditambah pengaruh geopolitik Amerika, bikin investor dari seluruh dunia terus nyuntik modal ke Wall Street. Dengan begitu, Amerika bisa terus tampung surplus global sambil jalanin defisitnya.
Tapi, sistem ini rapuh banget karena tergantung pada aliran modal konstan. Pas krisis 2008 datang, aliran itu mampet. Si Minotaur pun kena luka parah—dan efeknya? Ekonomi dunia jadi goyah. Jadi, Varoufakis mau bilang: jangan heran kalo sistem kayak gini bisa karmanya mundur, bukan maju.

Varoufakis jelasin juga gimana Minotaur Global itu dapet “bodyguard” super kuat yang bantuin doski tetep eksis: mulai dari Wall Street yang mainken trik keuangan, Walmart yang jualan murah tapi bayar karyawan ala kadarnya, politik ala Reagan dan Thatcher yang omongnya sih biar rakyat sejahtera tapi ujung‑ujungnya buat elite, sampai ekonomi supply-side yang buka pintu lebar buat hutang, merger, dan siasat pasar liar . Semua ini bikin uang negara eksportir tetep ngalir ke defisit Amerika, kayak suntikan energi buat pasokan Minotaur.
Tapi pas krisis 2008 datang, Minotaur kena luka parah—tapi handmaidens-nya malah tetep jalan. Akhirnya dunia tetap penuh utang, jurang kaya-miskin makin lebar, dan gelembung spekulasi makin tebal—tapi tanpa fungsi nyeimbangin surplus kayak zaman dulu Minotaur. Jadinya sih global tetap kayak digerakkan sama mesin tapi tanpa grounding, alias gampang oleng dan rapuh.
Varoufakis ngomong soal gimana si Minotaur Global—sistem ekonomi dunia pasca-1971 itu—diterjang keras saat krisis finansial 2007–2008. Selama puluhan tahun Amerika Serikat nyedot surplus ekspor global dan masukin ke pasar modal mereka, tiba-tiba balon pinjaman Wall Street meledak dan bikin semua jeblok.

Varoufakis ngomong soal gimana si Minotaur Global—sistem ekonomi dunia pasca-1971 itu—diterjang keras saat krisis finansial 2007–2008. Selama puluhan tahun Amerika Serikat nyedot surplus ekspor global dan masukin ke pasar modal mereka, tiba-tiba balon pinjaman Wall Street meledak dan bikin semua runtuh.
Doski gambarin scene-nya kayak menara balok yang dibangun terlalu tinggi, lalu tiba-tiba ambrol: bank besar kayak Bear Stearns, UBS, Lehman Brothers ambles satu-satu, nunjukin betapa rapuhnya sistem yang dibangun di atas hutang spekulatif . Bayangkan anak-anak nyusun balok, terus tiba-tiba semuanya roboh—tapi bukannya ketawa, yang ada cuma panik dan kecewa . Lalu bank sentral buru-buru ngepompa likuiditas biar nggak meledak, tapi ternyata cuma bisa gertak genting, bukan nyembuhin si Minotaur yang udah koyak parah .

Varoufakis lanjut bilang kalau crash itu bukan cuma bikin sistem goyah—tapi bikin Minotaur-nya mati. Dengan hilangnya sirkulasi surplus global ke defisit AS, dunia pun terjebak di fase “bankruptocracy”—politik jadi makin runyam dan ekonomi jadi makin fragil
. Dan dia peringatkan: kalau nggak ada pengganti sistem ulang yang bisa atur surplus global, dunia bakal terus dibayang-bayangi krisis yang lebih dalam dan ketidakpastian brutal.
Setelah Minotaur Global—sistem ekonomi dunia pasca-1971 itu—ambruk kena krisis 2008, justru “penjaganya” alias handmaidens malah balik lagi dan makin kuat. Mulai dari bank-bank gede di Wall Street yang bikin aksi ambil-alih perusahaan masal, masuk ke fase baru inovasi keuangan, terus disokong pakai duit rakyat lewat bailout ala Geithner–Summers dan quantitative easing.
Nggak cuma itu, toko retail raksasa kayak Walmart juga tetep eksis, tetep tumpang tindih tenaga kerja dan supplier supaya untung makin gede. Politik ala trickle-down juga balik ngegas, didukung teori ekonomi supply-side—yang doi sebut “toxic economics”—yang dikudeta jadi bahan legit buat deregulasi dan utang gede-gedean . Jadi meski Minotaur-nya terluka parah, para penjaganya malah nge-main balik, bikin ekonomi global tetap penuh gelembung utang dan jurang kesenjangan—cuma sistem imbang yang dulu dipakai sudah lenyap.

Minotaur Global udah tumbang pas krisis 2008, dan Varoufakis ngajak kita liat reruntuhannya dari sudut pandang dunia. Pertama, doi nunjuk ke the “dimming sun (matahari yang meredup) alias Jepang. Dulu negaranya booming pasca perang, jadi simbol kemajuan. Tapi sekarang? Stagnan, penduduk menua, dan ekonominya kayak orang kaya yang udah pensiun tapi bingung mau ngapain tanpa pelanggan tetap dari Amerika.
Trus, geser ke the “wounded tigers” (harimau-harimau yang terluka) dari Asia Timur dan Tenggara—macam Korea Selatan, Thailand, Malaysia. Dulu mereka terbang tinggi lewat ekspor, tapi sejak krisis Asia 1997 dan kemudian hilangnya Minotaur, mereka kayak kehilangan arah. Aliran modal yang dulunya ngalir dari Wall Street udah mampet. Sekarang? Mereka terapung di laut spekulasi dan utang, tanpa jangkar yang jelas.
Terus muncul “Eropa yang galau”, maksudnya eurozone. Negara-negara selatan Eropa disuruh minjem dan belanja, sementara Jerman rajin ekspor dan nabung. Begitu krisis dateng dan modal nggak ngalir lagi, negara kayak Yunani dan Spanyol ambruk. Kelihatan jelas deh: uni mata uang tanpa rasa saling bantu cuma bikin lubang makin dalam.
Akhirnya, Varoufakis bahas “sang naga yang gelisah”—yakni China. Setelah Minotaur mati, China ngambil alih posisi surplus global. Mereka gas proyek infrastruktur, pinjemin duit ke negara lain, tapi konsumsi dalam negeri tetap lemah. Model pertumbuhan mereka masih nempel banget ama pasar Barat yang udah keok. Jadi meski kelihatan kuat, si naga ini masih ragu dan bingung: siap nggak sih jadi pengatur dunia baru?
Tanpa “Minotaur” baru, dunia kayak kapal pecah yang masih jalan tapi nggak tau ke mana. Sistem lama udah mati, yang baru belum lahir, dan kita semua terombang-ambing di tengah lautan ketidakpastian.

Varoufakis ngajak kita mikir: setelah sang Minotaur Global tumbang, dunia bakal gimana? Doski bilang, walau krisis 2008 nggak bikin defisit AS berhenti—malah nambah gara-gara stimulus—kemampuan mereka nyedot surplus global bener-bener ambruk. Artinya, Amerika tetep utang, tapi duit asing nggak ngucur ke Wall Street seperti dulu, dan orang juga nggak belanja impor sebanyak sebelumnya.
Nah, tanpa si Global Surplus Recycling Mechanism (GSRM)—sistem lama yang bikin surplus negara lain ngalir ke kantong defisit AS—ekonomi dunia jadi kayak sinetron tanpa sutradara: semua jalan, tapi nggak jelas tujuannya.
Varoufakis kasih beberapa plot twist masa depan. Bisa aja AS balik bikin sistem baru, bareng Eropa dan Asia, kayak reuni geng lama. Bisa juga dunia berubah jadi multi-polar, dimpin sama Cina atau juga blok-blok regional yang punya sistem sendiri—tapi semuanya masih abu-abu. Intinya, tanpa sistem baru, dunia siap-siap terus-terusan merana: jalan di tempat, bergantung utang, dan politiknya bisa mendadak dramatis.
Sekarang Minotaur-nya udah mati, masyarakat harus siap bikin sistem baru buat nyelametin ekonomi global—kalau nggak? Siap-siap aja hidup penuh retakan, ragu, dan ekonomi jalan santai tanpa arah.

Varoufakis ngajak dunia buat bikin sistem baru—karena sistem lama (Minotaur) udah bobrok—tapi ini bukan propaganda "New World Order" ala teori konspirasi yang sering nyambungin ekonomi global sama elit rahasia atau penguasa dunia. Kagak, doi gak ngajakin bikin “pemerintahan dunia satu pintu” atau dominasi elit.
Terma New World Order udah lama jadi bahan bakar imajinasi dan ketakutan khalayak, apalagi di ranah teori konspirasi. Dalam versi ini, NWO bukan tentang kerja sama antarnegara atau kedamaian dunia, tapi dianggap sebagai rencana gelap segelintir elite global buat bikin pemerintahan tunggal otoriter yang ngatur seluruh umat manusia. Katanya sih, dalangnya adalah campuran antara bankir internasional, bos teknologi, keluarga kerajaan, perkumpulan rahasia, dan lembaga dunia kayak PBB. Targetnya? Ngapus batas negara, ngerontokin demokrasi, dan bikin satu sistem kontrol total.
Akar ketakutan soal New World Order mulai tumbuh sejak awal abad ke-20, waktu lembaga-lembaga global dibentuk setelah Perang Dunia. Liga Bangsa-Bangsa, terus jadi PBB, bagi sebagian orang kayak sinyal ada kekuatan dunia yang pelan-pelan nyusup. Tapi hype-nya meledak tahun 1990, waktu Presiden AS George H. W. Bush bilang “new world order” dalam pidato soal perdamaian global setelah Perang Dingin. Buat para penganut teori, itu bukan pidato diplomatis biasa—itu kode keras.
Sejak saat itu, teori NWO makin liar dan bercabang. Ada yang bilang ini ulah Illuminati. Ada yang nuding PBB lagi jalankan agenda globalis ala sosialis. Ada juga yang percaya semua ini nyambung ke proyek pengawasan massal, cuci otak lewat media, bahkan kontrol populasi lewat vaksin atau microchip. Meski teori ini sering saling bertolakbelakang, tetep aja laku keras—karena kasih jawaban gampang buat masalah rumit, dan bikin para elite dunia keliatan kayak dalang bayangan.
Tapi ya, sampai sekarang nggak ada bukti yang valid kalau semua ini benar-benar nyata. Sebagian besar politisi pakai istilah “tatanan dunia baru” cuma buat nunjuk perubahan arah diplomasi atau ekonomi dunia—bukan rencana jahat ala film distopia George Orwell.

Yang  Varoufakis maksud tuh simpel: dunia perlu aturan main baru biar negara-negara yang kelebihan duit bisa bantu muterin ekonomi ke negara yang lagi seret, dan sebaliknya—biar nggak terus-terusan krisis, utang meledak, dan rakyat kecil jadi korban spekulasi pasar bebas.
Varoufakis sih lebih deket ke semangat kayak Bretton Woods setelah Perang Dunia II—kerjasama antarnegara, sistem transparan, dan ekonomi yang nggak dimonopoli Wall Street. Jadi, yang doski perjuangin itu bukan dominasi, tapi keseimbangan.

Stabilitas ekonomi itu kayak ngebalance hidup: nggak bisa asal ngebut, tapi juga nggak boleh stagnan. Caranya? Ya, pemerintah kudu bisa ngatur duitnya—bukan cuma irit, tapi juga investasi ke hal-hal yang bikin rakyat makin kuat, kayak pendidikan dan kesehatan. Bank sentral juga harus kayak wasit yang adil: nggak bisa ikutan main, tapi harus jaga agar inflasi nggak liar dan sistem keuangan tetep waras. Hukum harus tegas dan pasar harus ada aturan main yang fair—biar nggak cuma konglomerat yang bisa menang.
Tapi intinya sih bukan cuma aturan, melainkan kepercayaan rakyat. Kalau orang merasa sistemnya adil, suara mereka didengar, dan negara hadir saat krisis, mereka lebih berani ambil langkah—mau nabung, buka usaha, atau sekadar nyicil rumah tanpa takut besok ekonomi ambruk. Jadi, stabilitas itu bukan soal angka-angka doang, tapi suasana hati bersama: tenang, yakin, dan siap jalan bareng ke depan, meski cuaca ekonomi kadang mendung.

Kalau mau baca karya yang nyentuh logika dan nurani, coba deh baca "Good Economics for Hard Times" karya Banerjee dan Duflo. Mereka pemenang Nobel yang bilang, ekonomi stabil itu nggak cukup cuma pakai teori pasar atau jurus hemat-hemat kayak anak kos akhir bulan. Solusinya harus nyambung sama realitas hidup masyarakat. Misalnya, kasih jaring pengaman sosial yang masuk akal, investasi di pendidikan dan kesehatan, dan bikin kebijakan berdasarkan riset, bukan asumsi elite. Kalau rakyat merasa aman dan didukung, ekonomi juga ikut tenang.
Para penulis ngajak kita introspeksi soal ekonomi: jangan sampai kita kejebak sama ide-ide loh biasa yang terdengar keren tapi zonk di lapangan. Mereka bilang ekonomi itu kayak memasak; kalau asal buang bumbu tanpa resep, rasanya bisa gosong atau hambar. Nah, good economics itu pakai resep yang udah diuji—nggak malu bilang “salah”, dan siap sesuaikan bahan sesuai lidah pasar lokal.
Mereka mengecam bad economics—yang resepnya cuma satu: “pertumbuhan terus!”, atau “imigran itu musuh!”, padahal belum ada data akurat. Mereka mengajak kita lihat fakta lengkap: gimana belanja publik, pajak, distribusi kekayaan, dan fleksibilitas sosial bisa bikin ekonomi nggak cuma tumbuh, tapi juga adil dan tahan banting .
Intinya, karya ini tereak: udah waktunya ekonomi jadi ilmunya wong cilik, bukan sekadar jargon elite. Ekonomi boleh canggih, tapi harus bisa nyelesain masalah nyata—kayak anak kos yang pengen makan enak tapi isi dompet tipis. Good economics itu solusi ngepas; bukan janji manis buat nutup kenyataan pahit.

Terus ada juga "The Spirit Level" dari Wilkinson dan Pickett. Karya ini ngasih bukti bahwa negara yang lebih setara (alias nggak timpang-timpang amat) lebih stabil secara ekonomi dan sosial. Nggak cuma bikin orang lebih sehat dan bahagia, tapi juga bikin masyarakat lebih rukun dan produktif. Intinya? Kalau ekonomi mau stabil, jangan biarin jurang kaya-miskin makin nganga. Biar nggak cuma gedung pencakar langit yang berdiri kokoh—tapi juga masa depan warganya.
Para penulis ngebahas dengan gaya yang tajam dan penuh data bahwa semakin merata distribusi kekayaan di suatu negara, semakin baik pula kualitas hidup masyarakatnya—nggak cuma buat si miskin, tapi juga buat si kaya. Mereka nunjukin kalau negara yang terlalu timpang bakal lebih banyak warganya stres, sakit, bunuh diri, masuk penjara, dan saling gak percaya. Pesannya: kalau loe pengen hidup di dunia yang nggak bikin gila, yang penuh rasa aman, sehat, dan waras, ya jurang antara yang tajir dan yang pas-pasan mesti dikecilin. Mau lo tinggal di Jakarta, Manchester, atau Texas, pesannya sama: kesetaraan bukan sekadar wacana moral—itu fondasi buat hidup bareng tanpa saling tikam di jalanan.