Di tahun-tahun terakhir kekuasaannya, seorang presiden yang udah lama menjabat—sebut saja “Sang Pembangun”—jadi terobsesi membangun monumen. Ia perintahkan patung emas dirinya didirikan di tiap kota, jalanan dinamai dari nama anak-anaknya, dan parade besar disiarkan di TV dimana rakyat—yang dibayar dan dilatih—berdiri melambai bendera di bawah terik matahari. Tapi di dalam istana, mulai beredar bisik-bisik: Sang Pembangun batuk—batuk berat, panjang, dan terus menggema di lorong-lorong marmer.Dokternya bo'ong. Menteri-menterinya senyum bo'ongan. Wartawannya ngedit audionya. Tapi rakyat sadar: sang presiden gak pernah muncul di publik tanpa makeup tebal dan jaket gendut, bahkan saat musim panas. Bisikan di pasar dan halte makin keras: “Doski lagi sakit.” Tapi yang lebih menyakitkan bukan batuknya, tapi kepercayaan yang udah membusuk, uang negara yang hilang, dan dapur-dapur rakyat yang gak lagi ngepul.Lalu datanglah pidato di televisi—niatnya buat menenangkan rakyat. Tapi di tengah-tengah, suaranya hilang. Doi batuk gak berhenti, wajahnya pucat, dan akhirnya dituntun turun panggung. Itulah kali terakhir rakyat melihatnya secara langsung. Sebulan kemudian, ekonomi ambruk. BBM langka. Sekolah tutup. Dan patung yang katanya berlapis emas, yang dulu dielu-elukan sekarang berkarat, jadi sarang burung merpati di bahu pria yang udah gak bisa ngomong apa-apa.Selama bertahun-tahun, penyakit tubuhnya disembunyikan—seperti utang negara, kemiskinan, dan korupsi. Tapi ketika tubuhnya tumbang, ilusi ikut roboh. Yang sakit bukan cuma presidennya. Ternyata yang sakit, sejak lama, adalah negaranya.Ketika seorang pemimpin jatuh sakit—dengan cara yang memalukan, menyedihkan, atau bahkan menjijikkan—terutama setelah bertahun-tahun berkuasa tanpa kontrol, sejarah dan kenangan rakyat acapkali menafsirkannya sebagai "balasan yang lebih dalam." Penyakit itu gak dilihat cuma sebagai nasib sial atau sekadar urusan medis, tapi sebagai gejala dari kezaliman yang udah terlalu lama dipendam rakyat. Seakan-akan tubuh sang pemimpin akhirnya ikut menjerit karena selama ini doi cuek saat rakyatnya merintih dalam kemiskinan.Kemiskinan di bawah rezim seperti itu bukan kecelakaan—tapi hasil dari kekuasaan yang terlalu dipeluk erat, sistem yang dirusak dari dalam, dan ketidakpedulian terhadap rakyat kecil. Sekolah rusak, rumah sakit sekarat, dan kepercayaan publik hancur—sementara sang pemimpin hidup mewah dikelilingi para penjilat dan panggung-panggung palsu. Ironis banget: rakyat ngais sisa nasi, pemimpin pesta anggur. Maka saat penyakit datang, yang membusuk bukan cuma tubuh, tapi semua yang udah lebih dulu busuk di dalam sistem negara.Dalam hati rakyat, tubuh sang pemimpin jadi papan karma tempat semua luka bangsa dituliskan. Luka kulitnya, tubuhnya yang melemah, kejatuhannya di depan publik—semuanya dianggap sebagai metafora dari kemiskinan yang tiap hari rakyat telan dalam diam. Ini bukan balas dendam politis, tapi semacam “pengadilan semesta.” Seakan-akan sejarah bilang: "Yang tak mau kau rasakan dari penderitaan rakyat, sekarang tubuhmu harus merasakannya sendiri."Dalam catatan sejarah, banyak pemimpin yang akhirnya jatuh sakit seusai masa jabatannya, ternyata sebelumnya menjalankan kekuasaan dengan penuh tipu daya dan agenda tersembunyi. Selama mereka di puncak, mereka ahli banget bikin pertunjukan politik—penuh janji-janji manis, proyek simbolik, dan drama yang bikin rakyat sibuk tepuk tangan sambil lupa kalau negara pelan-pelan dikuras dari dalam. Mereka bicara soal “pembangunan” dan “kemakmuran,” padahal anggaran disedot ke kantong pribadi, proyek strategis dioper ke kroni, dan posisi penting diisi orang-orang yang loyal, bukan yang kompeten.Para pemimpin ini juga sering memakai narasi ketakutan dan taklid nasionalisme murahan buat ngebungkam kritik. Siapa yang gak setuju, langsung dicap pengkhianat. Kemiskinan dianggap “pengorbanan,” ketimpangan disebut “fase tumbuh.” Sementara rakyat disuruh ngirit, para elit pesta pora. Dana kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial malah lari ke vila-vila pribadi, rekening luar negeri, atau senjata buat jaga kekuasaan sendiri.Dan saat penyakit akhirnya datang—biasanya setelah lengser atau dijatuhkan—ironi pun terasa. Pemimpin yang dulu tampil gagah, penuh aura, dan dianggap nabi, mendadak rapuh dan hancur. Tapi rakyat jauh lebih dulu sakit—karena mereka sudah lama dihajar kemiskinan yang bukan datang dari takdir, tapi dari pengkhianatan mereka-mereka yang seharusnya jadi pelindung.Salah satu contoh paling mencolok adalah Nicolae Ceaușescu, diktator komunis Rumania. Selama kekuasaannya (1965–1989), doi membangun citra bak dewa, maksa rakyat hidup irit parah sementara doski dan kroninya hidup mewah. Rakyat makin miskin, kelaparan, dan beku di musim dingin, tapi rezimnya tetap pamer “kemandirian” dan “kekuatan ekonomi.” Usai digulingkan dan dihukum mati tahun 1989, terungkap bahwa Ceaușescu menderita diabetes akut dan penyakit jantung, tapi takut diobati karena paranoid—mirip dengan bagaimana doski abaikan penderitaan rakyatnya.Lalu ada Ferdinand Marcos, penguasa Filipina dari 1965 sampai 1986. Ia korup habis-habisan—nyedot dana negara, mendirikan rezim militer, dan memperkaya keluarga. Di akhir kekuasaannya, Marcos menderita lupus erythematosus, penyakit autoimun yang bikin tubuhnya lemah dan wajahnya berubah drastis. Tahun-tahun terakhirnya di pengasingan bukan kisah pengampunan, tapi drama tubuh yang hancur, yang bagi banyak warga Filipina dianggap lambang dari kehancuran moral dan ekonomi yang ditinggalkannya.Contoh lain: Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Turki modern. Meski dikenal sebagai reformis besar, Atatürk juga terkenal otoriter, menekan simbol-simbol agama, dan gemar minum alkohol. Saat wafat tahun 1938, ia mengalami sirosis hati parah akibat kebiasaan minumnya. Meski tak “menghina” secara publik, penyakitnya sering disebut sebagai simbol kontradiksi dalam tubuh sang pemimpin modernis—kuat di luar, rapuh di dalam.Mustafa Kemal Atatürk—pendiri Republik Turki modern—mengalami penyakit parah di akhir hayatnya. Memang bukan penyakit kulit mistis ala film horor, tapi penyakitnya, sirosis hati, bikin perubahan fisik yang nyata banget, termasuk kulitnya. Atatürk ini dikenal sebagai peminum berat, dan kebiasaannya itu akhirnya bikin hatinya rusak total. Wajahnya jadi bengkak, kulitnya menguning kayak lilin karena penyakit kuning, dan katanya, doski mulai pakai make-up tebal demi nutupin gejala yang mulai bikin publik resah.Beberapa teori pinggiran sempat ngomongin soal penyakit kulit aneh atau kutukan-kutukan lain, tapi sejauh ini itu cuma desas-desus yang nggak ada bukti medisnya. Yang jelas, pada akhir 1930-an, kondisi kesehatannya udah kayak rahasia umum. Gaya sang “Bapak Bangsa” yang biasanya tajam, kuat, dan penuh karisma berubah jadi lemah, lelah, dan murung. Banyak orang mulai lihat perubahan itu, dan diam-diam mulai bertanya-tanya: apakah ini cuma penyakit biasa, atau semacam ganjaran dari sejarah?Buat para pendukungnya, Atatürk tetap sosok revolusioner yang luar biasa. Tapi bagi sebagian kelompok religius yang dulu menolak sekularisasi ekstrem—kayak penghapusan khilafah, larangan pakaian Islam, dan pembungkaman simbol-simbol agama—penyakitnya jadi kayak "peringatan langit." Simbol bahwa siapa pun yang coba-coba main-main sama agama bisa kena karmanya.Terlepas dari tafsir mistis atau medis, sakitnya Atatürk tetap jadi bab penutup yang dramatis. Sosok yang dulu mengubah wajah Turki, akhirnya perlahan-lahan dikikis oleh tubuhnya sendiri. Bisa dibilang, di ujung hidupnya, tubuhnya jadi cermin dari revolusi besar yang ia bangun—berani, penuh gejolak, dan tak lepas dari harga yang harus dibayar.Dalam Atatürk: The Rebirth of a Nation (1964) karya Lord Kinross, kita diajak menyaksikan sebuah drama tragis—bukan tentang perang atau revolusi, tapi tentang tubuh seorang pemimpin yang perlahan membusuk dari dalam. Atatürk, sang pendiri Republik Turki, digambarkan Kinross sebagai sosok yang makin tahun makin ringkih karena konsumsi alkohol yang brutal dan nyaris tanpa jeda.Tubuhnya mulai memberi sinyal bahaya di pertengahan 1930-an. Wajahnya bengkak, kulitnya berubah jadi kekuningan kayak lembaran perkamen tua, dan sorot matanya kehilangan kilau khas sang jenderal. Semua ini adalah gejala jelas dari sirosis hati yang udah parah. Tapi Atatürk, layaknya aktor utama dalam panggung kekuasaan, tetap tampil prima di depan publik. Ia berdiri gagah, mengenakan jas terbaiknya, seolah-olah tubuhnya tidak sedang rusak pelan-pelan dari dalam. Padahal kadang ia nyaris gak bisa bediri tanpa bantuan.Kinross nggak ngegambarin ini hanya sebagai cerita medis. Ini simbol: tubuh pemimpin sebagai cermin dari kekuasaan yang rentan. Semakin Atatürk menyembunyikan penyakitnya, semakin kentara bahwa kekuatan yang ditampilkannya itu hanya façade—topeng yang menutupi retakan besar di belakang layar. Tubuh yang membusuk itu bukan cuma tubuh biologis, tapi juga tubuh simbolik kekuasaan yang mulai runtuh—pelan-pelan, diam-diam, tapi fatal.Jadi, di balik narasi megah tentang “kelahiran kembali” bangsa Turki, Kinross menyisipkan subplot yang getir—tentang seorang pahlawan nasional yang mati perlahan, bukan di medan perang, tapi di medan sepi, dikejar oleh bayangan kecanduan dan tubuh yang tak lagi bisa diselamatkan.Dalam esainya yang berjudul "Islam and Modernity in Turkey" (1993, Oxford University Press) dalam Turkey in Transition: New Perspectives, Binnaz Toprak mengungkap hal yang menarik—yakni bagaimana kelompok Islam di Turki merespons sekularisasi ekstrem yang dilakukan oleh Atatürk, bukan cuma sebagai kebijakan politik, tapi sebagai serangan spiritual. Bagi banyak Muslim konservatif, kebijakan seperti penghapusan Khilafah, penutupan madrasah, pelarangan fez, perubahan huruf Arab ke Latin, hingga pembungkaman ekspresi keagamaan, bukan sekadar reformasi—tapi terasa seperti penghinaan terhadap iman itu sendiri.Karena suara mereka dibungkam secara politik dan institusinya dicabut akar-akarnya, reaksi kelompok Islam seringkali nggak lewat demo besar-besaran atau artikel opini, tapi lewat simbol, mitos, dan bisik-bisik di lorong masjid. Di tengah masyarakat yang merasa terpinggirkan, muncul narasi: penyakit parah yang diderita Atatürk dan kematiannya yang pelan dan menyakitkan bukan kebetulan, melainkan semacam “kutukan” Ilahi—azab bagi pemimpin yang dianggap mencabut akar ruhani bangsanya sendiri.Tubuh Atatürk yang makin menguning, lemas, dan memburuk dijadikan semacam kisah moral: lihatlah, katanya, inilah akhir dari mereka yang menindas agama. Bukan cuma sekadar nyinyiran religius, tapi bentuk simbolik bagaimana komunitas yang kehilangan panggung politik berusaha merebut kembali panggung moral.Menurut Toprak, jasad Atatürk sendiri berubah jadi medan makna: bagi kalangan sekuler, ia pahlawan modernitas yang gugur karena kerja keras membangun bangsa; bagi sebagian kelompok Islam, ia peringatan hidup—atau tepatnya, peringatan mati—bahwa siapa pun yang melawan nilai Ilahi akan dikalahkan dari dalam.Dengan kata lain: Atatürk mungkin menang di atas kertas, tapi tubuhnya—yang remuk perlahan—dianggap sebagai “catatan kaki dari langit.” Sebuah penutup yang tak ditulis oleh sejarawan, tapi oleh Sang Khaliq.Satu contoh besar lainnya: Joseph Stalin, penguasa Uni Soviet yang dikenal sebagai simbol kekuasaan mutlak. Masa kekuasaannya penuh dengan pembersihan brutal, kelaparan akibat kolektivisasi, dan ketakutan massal. Dia tampil seolah-olah kebal segalanya—“Manusia Baja.” Tapi di masa tuanya, Stalin mengalami arteriosklerosis parah, penyakit yang menyerang otak dan pikirannya. Sejarawan menyebut bahwa paranoia dan kekejaman ekstremnya di akhir masa jabatan adalah efek dari kesehatan yang menurun. Ironisnya, saat dia kena stroke dan tergeletak, para pembantunya ketakutan untuk membantu. Mesin ketakutan yang dia bangun seperti balik menyerang dirinya sendiri.Lalu ada Mobutu Sese Seko, diktator Zaire (sekarang Kongo) yang memerintah lebih dari 30 tahun. Mobutu memperlakukan negaranya seperti ATM pribadi, ngambil miliaran dolar sementara rakyat hidup sengsara. Setelah dijatuhkan tahun 1997, dia meninggal di pengasingan di Maroko karena kanker prostat stadium lanjut—sepi, malu, dan ditinggalkan. Tubuhnya yang kalah oleh kanker serasa mencerminkan negaranya yang udah lama lumpuh karena kerakusannya.Jangan lupa juga Adolf Hitler, pemimpin Nazi yang mengobarkan Perang Dunia II. Di akhir hidupnya, Hitler udah jauh dari sosok kuat yang dulu berapi-api. Dia mengidap Parkinson, tubuhnya gemetar terus-menerus, tergantung obat-obatan, dan diliputi paranoia. Rezim yang katanya bakal bertahan seribu tahun hancur dalam belasan tahun. Tubuhnya yang memburuk di bunker bawah tanah jadi panggung tragis kejatuhan moral dan spiritual dari rezim yang haus darah.Usai lengser dari takhta Konoha, mantan presiden Mulyono, kini katanya ikutan kena penyakit autoimmune macem Presiden Marcos, yaitu lupus erythematosus! Alias, mukanya jadi ikutan 'berubah', kek efek samping filter beauty yang lagi error gitu loh. Ajudannya sih bilang katanya ini gara-gara alergi kulit pas pulang dari Vatikan. Tapi kok makin parah ya? Jangan-jangan Vatikan dijadiin kambing hitam challenge TikTok doang kali ya?"
Rontoknya raga para pemimpin ini setelah masa kekuasaan panjang dan penuh kontroversi, seringkali dipandang bukan sekadar tragedi pribadi, tapi juga semacam pengadilan sejarah—dimana tubuh mereka akhirnya mencerminkan luka yang sudah lama ditanggung rakyat mereka.Contoh-contoh ini punya pola yang sama: semakin pemimpin itu jauh dari kebenaran, keadilan, dan rakyat, semakin keras tubuhnya potol ketika kekuasaan pergi. Penyakit yang mereka alami serasa jadi bisikan terakhir dari sejarah—pengakuan diam-diam dari mereka yang semasa hidupnya tak pernah mau dimintai pertanggungjawaban.Seluruh argumen yang udah dijabarkan sebelumnya—dari hubungan simbolis antara penyakit dan kekuasaan, runtuhnya moral pemimpin otoriter, memanipulasi rakyat buat kepentingan pribadi, sampai tubuh pemimpin yang akhirnya mencerminkan luka bangsa—itu gak asal ngomong. Ada banyak literatur yang mendukung penuh, ditulis oleh tokoh penting dari dunia politik, psikologi, dan sejarah.Yang paling utama adalah “In Sickness and in Power” karya David Owen (2008, Methuen Publishing). Owen ini mantan Menteri Luar Negeri Inggris dan juga dokter. Bukunya menunjukkan bahwa saat tubuh pemimpin mulai melemah—dan itu disembunyikan atau diabaikan—biasanya negara juga lagi ringkih-ringkihnya. Doski ngasih contoh dari Roosevelt sampai Stalin, bahwa penyakit pemimpin bisa nyeret negara ke krisis.Owen nunjukin bagaimana penyakit diam-diam membentuk, membelokkan, bahkan kadang menghancurkan jalannya kekuasaan para pemimpin besar dunia. Pesan utamanya? Para penguasa dunia juga manusia biasa—bisa sakit, bisa rapuh—dan penyakit mereka kadang ikut ngacak-acak sejarah dunia... tanpa rakyat tahu apa-apa.Owen nggak sekadar nyebutin diagnosa medis. Doi nyeritain soal psikologi, ambisi politik, dan sejarah dunia jadi satu paket yang mencekam. Dari Roosevelt yang lumpuh dan kena gagal jantung, Kennedy yang diem-diem pakai steroid dan obat kuat, sampai Stalin yang pelan-pelan makin halu gara-gara stroke berulang—semua diceritain dengan detail yang bikin kita mikir: “Wah, ternyata keputusan besar tentang perang atau perdamaian bisa diambil sama orang yang lagi nahan nyeri atau setengah teler.”Yang paling bikin merinding adalah konsep “sindrom hubris”—penyakit mental akibat kelamaan duduk di kursi kekuasaan. Owen bilang, kekuasaan itu bisa bikin otak berubah secara fisik. Pemimpin jadi makin arogan, impulsif, dan denial. Dan dari situ, penyakit mereka bukan cuma masalah pribadi, tapi bisa jadi krisis negara. Badan pemimpin yang awalnya jadi simbol kekuatan bangsa, malah bisa jadi celah masuknya kekacauan.Dari sisi psikologisnya, ada juga “The Wounded Leader: How Real Leadership Emerges in Times of Crisis” karya Ackerman & Maslin-Ostrowski (2002, Jossey-Bass). Mereka ngebahas gimana pemimpin yang gak mau ngaku lemah atau sakit, malah bikin suasana politik makin toksik—penuh penyangkalan, drama kekuasaan, dan instansi yang gak sehat. Mereka jelasin bahwa ketika pemimpin menyembunyikan kelemahan atau sakitnya, terutama dalam situasi krisis, mereka justru merusak sistem yang mereka pimpin. Alih-alih memperkuat lembaga dan berbagi tanggungjawab, pemimpin yang “terluka” cenderung mengunci kekuasaan, menghindari delegasi, dan membuat semuanya bergantung pada dirinya sendiri. Akibatnya, lembaga menjadi rapuh dan tidak siap menghadapi perubahan.Dalam konteks negara miskin atau rapuh, dimana gaya kepemimpinan seringkali mengidolakan kekuatan mutlak dan pencitraan, pemimpin yang sedang sakit malah makin tertutup dan paranoid. Bukannya memberi ruang bagi regenerasi atau kolaborasi, mereka justru menjadikan sistem seperti panggung tunggal, dimana hanya mereka yang boleh bicara. Akibatnya? Begitu sang pemimpin tumbang—baik karena penyakit atau krisis lain—sistem ikut ambruk, karena ga ada yang disiapin buat menggantikan atau mengelola.Gaya kepemimpinan seperti ini bikin negara kayak tim sepak bola yang cuma bergantung sama satu striker tua yang udah cedera, tapi nggak pernah mau diganti. Begitu doi cedera total, timnya langsung kalah telak karena nggak ada plan B.Jadi intinya, menyembunyikan sakit demi pencitraan bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi juga bikin lembaga dan negara jadi “ringkih secara struktural.”Satu lagi yang spesifik ngebahas penyakit dan transisi kekuasaan: “When Illness Strikes the Leader” karya Robert E. Gilbert (2008, Lexington Books). Isinya bahas gimana sakit pemimpin yang disembunyikan itu bisa ngerusak pemerintahan dan bikin rakyat jadi kehilangan kepercayaan total.Terakhir, ada “The Politics of Illness in the Middle East” (2022, Routledge), disunting Esmail Nashif dan Helga Tawil-Souri. Buku ini ngasih contoh nyata pemimpin-pemimpin sakit yang justru menjadi simbol dari sistem negara yang udah lama sakit juga. Dari Timur Tengah ke Afrika Utara, penyakit pemimpin itu kayak panggung buat menunjukkan kerusakan politik yang udah lama dipendam.
Teks-teks ini menggabungkan biografi politik, psikologi, dan analisis sejarah untuk memvalidasi argumen inti: bahwa penyakit dalam kepemimpinan—terutama ketika mengikuti rezim eksploitasi—seringkali mencerminkan bukan hanya kondisi medis, tetapi luka tersembunyi suatu bangsa yang akhirnya muncul melalui sosok yang pernah mengabaikannya.
Sejarah seringkali hanya menyorot yang kuat—raja dengan pedang tajam, pidato yang bikin geger, atau pemimpin yang tampil tanpa ragu. Tapi kalau kita gali lebih dalam, di balik kemegahan cerita-cerita itu, ada kisah yang lebih senyap—dan jauh lebih menggugah: tentang orang-orang yang memulai perjalanan mereka justru dari sakit, dari keterbatasan, bahkan dari titik paling rendah, dan entah gimana caranya, mereka malah jadi legenda.
Lihat aja Franklin D. Roosevelt. Waktu polio menyerangnya tahun 1921, ia bintang politik yang lagi naik daun—kaya, ganteng, dan ambisius. Tapi penyakit itu bikin doi lumpuh. Di masa itu, cacat fisik dianggap aib—kayak sinyal kalau loe udah kalah sebelum mulai. Banyak yang nyangka doski bakal mundur dari panggung. Tapi Roosevelt malah gaspol. Doi belajar tampil tegar tanpa harus berdiri. Doi gak cuma ngomong manis, tapi nunjukin keteguhan hati yang solid. Pas Amerika dilanda Depresi Besar dan Perang Dunia II, rakyat justru memilih duduk di belakang pria berkursi roda ini. Bukan karena kakinya, tapi karena jiwanya gak bisa digoyang. Doi gak sembunyiin lukanya—doi olah jadi kisah ketangguhan.
Dalam Franklin D. Roosevelt: A Political Life (2017) karya Robert Dallek, diceritakan bahwa polio bukanlah "penghalang" bagi FDR, melainkan semacam kawah panas—tempat ia “ditempa” jadi pemimpin baja. Kena penyakit itu di tahun 1921, FDR lumpuh dari pinggang ke bawah. Buat orang yang sebelumnya dikenal aktif, sporty, dan flamboyan, ini jelas pukulan telak. Tapi alih-alih menyerah atau jadi depresif, FDR justru mengalami “evolusi karakter.”Menurut Dallek, perjuangan panjang FDR untuk menyesuaikan diri—dari terapi menyakitkan, belajar jalan pakai penyangga, sampai tampil seolah-olah sehat di depan publik—nggak cuma membentuk fisiknya, tapi juga membentuk jiwanya. Dari situ lahirlah kedisiplinan, kerendahan hati, dan ketahanan mental yang luar biasa. Dan yang paling penting: empati. Bukan empati basa-basi, tapi empati dari orang yang pernah merasa nggak berdaya secara nyata.Nilai-nilai ini kemudian jadi inti gaya kepemimpinannya. Saat Amerika dilanda depresi hebat dan perang dunia menggila, FDR tampil bukan sebagai pemimpin yang berkoar-koar atau sok heroik, tapi tenang, sabar, dan menyentuh rakyat lewat suara. Lewat Fireside Chats, ia berbicara bukan dari podium megah, tapi dari “ruang tamu radio”—dan orang merasa didengar, dikuatkan, ditemani. Ia bukan cuma presiden; ia semacam teman dalam badai.Dallek menegaskan, penyakit itu bukan jalan memutar dari kebesaran, tapi justru jalan tol menuju kebesaran. Polio mungkin merampas kekuatan kakinya, tapi memberinya sesuatu yang jauh lebih kuat: bobot moral, keteguhan batin, dan koneksi emosional yang bikin jutaan rakyat rela dipimpin olehnya, bahkan dalam kondisi terburuk.Kalau pakai istilah zaman sekarang, FDR itu kayak superhero yang kehilangan kekuatan supernya, tapi justru jadi manusia paling kuat karena doi tahu rasanya jatuh dan bangkit lagi.Mundur jauh ke zaman Romawi, ada Julius Caesar. Beberapa sejarawan bilang doski punya kondisi mirip epilepsi. Kadang-kadang, doi tiba-tiba roboh di depan publik. Tapi alih-alih dicap lemah, doi malah makin disegani. Dalam budaya Romawi yang percaya takdir dan pertanda, sakitnya Caesar malah dianggap sakral. Seolah tubuhnya bilang, “Aku manusia biasa, tapi ditandai oleh dewa.” Dan dari situ, doi bangun kekaisaran. Jenius strateginya, tajam pikirannya, dan tekadnya bikin sejarah berubah arah. Justru karena kelemahannya, auranya jadi makin terasa.
Dalam Julius Caesar: Life of a Colossus (2006, Yale University Press) karya Adrian Goldsworthy, dijelaskan bahwa kelemahan fisik Caesar—termasuk dugaan epilepsi dan beberapa gangguan kesehatan lainnya—bukannya bikin citranya luntur, malah bikin auranya makin melegenda. Di dunia Romawi yang doyan memuja tubuh ideal dan kekuatan fisik ala gladiator, Caesar justru tampil beda: tubuhnya ringkih, tapi tekad dan ambisinya bikin dunia tunduk.Goldsworthy bilang, Caesar bukan tipe yang ngumpetin kelemahan. Justru, momen-momen ketika doski jatuh atau kolaps di depan umum—baik di Senat atau di medan perang—jadi semacam teater politik. Sakitnya itu nyata, tapi reaksinya selalu dramatis dan penuh pesan: “Lihat, aku manusia seperti kalian… tapi tetap tak terkalahkan.”Yang bikin gendheng, menurut Goldsworthy, kemenangan Caesar justru karena doski gak sempurna. Bukannya jadi dewa karena bebas dari kelemahan, tapi karena meski punya kelemahan, doi tetep bisa menjungkirbalikkan republik. Bagi rakyat biasa, ini bikin doski relatable—bukan cuma penguasa yang jauh di atas, tapi orang yang jatuh dan bangkit. Tapi bagi elite politik, ini mengerikan: orang yang “rapuh” tapi bisa ngerebut segalanya.Intinya, Caesar bukan dewa karena gak pernah jatuh—tapi karena tiap kali jatuh, doi bangkit lebih megah, dan bikin jatuh semua lawannya. Goldsworthy menyimpulkan bahwa inilah paradoks yang bikin kekuasaan Caesar begitu solid: lelaki yang tubuhnya gak sempurna, tapi tekadnya bikin sejarah tunduk.
Jenderal Sudirman, Panglima Besar pertama TNI, gak semata jadi simbol perlawanan karena senjatanya, tapi justru karena beliau tetap memimpin di tengah sakit parah. Saat Indonesia lagi jungkir balik melawan Belanda, Jenderal Sudirman kena TBC akut. Berat badannya turun drastis, tubuhnya lemah, batuk berdarah, tapi beliau nggak mau berhenti berjuang.Yang bikin perjuangannya legendaris bukan cuma karena beliau tetap bergerilya sambil sakit—tapi karena literally dipanggul di atas tandu, dibawa keliling hutan dan gunung sambil tetap ngasih komando. Pasukannya setia banget, bukan cuma karena hormat, tapi karena mereka ngeliyat: "Kalau Panglima segini sakitnya aja nggak nyerah, masa kita mau nyerah?"Perjuangan Jenderal Sudirman bukan sekadar ngelawan Belanda, tapi juga ngelawan tubuhnya sendiri. Dan beliau menang. Bukan karena penyakitnya sembuh, tapi karena semangatnya nggak bisa dikalahin. Sama kayak Indonesia waktu itu: ringkih, belum siap, tapi tekad yang bikin penjajah kalang kabut.Beliau bukan cuma jenderal. Beliau ikon bahwa merdeka itu bukan soal badan kuat, tapi hati yang nggak mau tunduk.
Cerita-cerita ini ngajarin kita satu hal penting: kekuatan gak selalu bentuknya otot atau suara lantang. Kadang, kekuatan itu ada di balik diamnya penderitaan, di dalam tubuh yang gak sempurna, di jiwa yang harus terus menyesuaikan diri. Jadi pemimpin itu bukan soal gak pernah lemah—tapi soal terus melangkah walau tahu kelemahan itu nyata.Kita hidup di zaman yang amat tergila-gila oleh kesempurnaan. Semua kudu flawless, fit 100%, gak boleh kelihatan capek, apalagi rapuh. Tapi sejarah punya bisikan lain. Orang-orang yang mengubah dunia justru seringkali orang-orang yang dulu pernah rapuh. Dan mereka gak jadi hebat karena mereka gak pernah sakit—mereka jadi hebat karena mereka gak nyerah walau udah jatuh.So, kalo loe lagi ngerasa kalah ama batasanmu sendiri—entah itu tubuh, masa lalu, atau rasa takut—ingatlah kursi roda Roosevelt. Ingat kejang-kejangnya Caesar. Kebesaran mereka gak lahir di luar luka, tapi justru dari dalamnya.Sejarah ngajarin kita satu hal penting: kekuasaan yang dipakai buat nyakitin rakyat, pada akhirnya bakal balik nyakitin sang pemimpin itu sendiri. Banyak pemimpin yang kelihatannya gagah di masa jabatannya—omongannya tinggi, tindakannya keras—tapi setelah masa kekuasaan habis, yang tersisa cuma penyakit, kesepian, dan kehancuran simbolis. Kadang tubuh mereka ikut “protes,” seolah semua penderitaan rakyat numpuk dan meledak dari dalam. Penyakitnya bukan sekadar medis, tapi kayak karma yang dikasih label diagnosis.Sebaliknya, ada juga pemimpin yang awalnya diremehkan—dianggap lemah, terlalu lembut, atau nggak karismatik. Tapi justru dari situlah muncul kekuatan sejati. Karena mereka nggak sibuk ngatur citra, tapi sibuk mikirin gimana rakyat bisa makan, sekolah, hidup tenang. Niat mereka bukan buat disembah, tapi buat melayani. Kekuatannya nggak meledak-ledak, tapi tahan banting. Mereka mungkin nggak viral, tapi mereka dikenang.Pada akhirnya, ukuran keagungan sejati seorang pemimpin bukan dari seberapa keras ia memerintah, tapi seberapa dalam ketulusannya, mau melayani.
[Bagian 6]