Senin, 30 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (7)

Di sebuah kota kecil pinggiran laut, pemerintah daerah mau ngebangun tembok penahan ombak buat ngatasin naiknya air laut. Tim insinyur udah bikin rencana, ekonomnya ngitung anggaran, proyek langsung disetujui. Tapi pas mulai dibangun, warga ngamuk. Para nelayan protes karena akses ke laut ketutup, orangtua ngomel karena bising dan nggak diajak ngomong dulu, dan komunitas adat marah karena tembok itu ngebelah situs leluhur yang sakral.
Akhirnya, proyek dihentikan dulu. Pemerintah ngajak semua kelompok duduk bareng—tokoh adat, nelayan, anak muda, pengusaha lokal. Desain ulang pun dibuat. Temboknya tetep dibangun, tapi kali ini dengan jalan akses buat nelayan, bagian yang ganggu situs adat dipindah, bahkan temboknya dihias dengan seni tradisional.
Hasilnya? Kota itu nggak cuma aman dari banjir, tapi juga punya tembok yang jadi lambang persatuan, penghormatan, dan keputusan yang nggak asal cepet tapi benar-benar inklusif.

Melihat equality dari banyak sudut pandang—politik, ekonomi, sosial, dan budaya—itu kayak ngeliat dunia pakai kacamata 360 derajat pas lagi ngambil kebijakan. Dari sisi politik, semua orang harus punya suara yang didengar, bukan elite doang. Dari sisi ekonomi, keputusan yang adil bisa cegah yang kaya makin kaya, yang miskin makin kejebak. Dari sisi sosial, kita jadi nggak gampang diskriminatif, karena ngerti pentingnya saling hormat dan perlakuan yang setara. Dan dari sisi budaya, kita jadi sadar bahwa tiap tradisi, bahasa, dan cara hidup itu punya nilai, bukan buat diseragamkan atau dihapus.
Kalau semua perspektif ini disatukan, keputusan yang diambil jadi lebih bijak, adil, dan nyambung sama kenyataan hidup banyak orang. Nggak cuma mikirin segelintir, tapi merangkul semua, dari kampung sampai kota, dari minoritas sampai mayoritas.

Dalam konteks sosial, equality atau kesetaraan itu kayak semua orang bisa duduk di bangku yang sama di bioskop kehidupan—tanpa dibeda-bedain karena warna kulit, agama, gender, atau dari mana mereka berasal. Intinya, semua orang punya hak yang sama buat dapat pendidikan, layanan kesehatan, keadilan, dan ruang untuk berkembang, tanpa harus merasa "kurang berharga" hanya karena identitas mereka.

Sedangkan dalam dunia ekonomi, equality itu mirip kayak game yang fair—semua pemain punya kesempatan yang seimbang buat menang. Bukan berarti semua orang harus punya uang yang sama, tapi sistemnya harus adil: yang kerja keras bisa naik kelas, bukan malah ketahan karena dia lahir dari keluarga miskin atau nggak punya koneksi. Ini soal bikin ekonomi yang nggak cuma nguntungin segelintir orang, tapi bikin semua orang punya peluang buat hidup layak.
Economic equality itu ibarat semua orang ikut lomba lari, tapi garis start-nya sejajar dan sepatunya juga layak. Bukan kaya sekarang, yang satu pakai sepatu robek, satunya lagi naik mobil sambil ngupdate Instagram.
Dalam masyarakat yang ekonominya adil, anak tukang parkir sama anak bos besar bisa sekolah di tempat yang bagus, punya akses dokter yang oke, dan dapet kesempatan kerja yang masuk akal. Bukan karena semuanya digaji sama, tapi jaraknya enggak jauh-jauh amat antara yang paling miskin dan paling kaya, sampai-sampai yang satu makan mie instan terus dan yang satu buang-buang makanan di restoran bintang lima.
Intinya, ekonomi yang adil itu bukan mimpi indah, tapi kebutuhan biar hidup bareng nggak saling sikut. Pemerintahnya bantu yang kesulitan, bukan cuma jagain yang udah tajir melintir. Karena kalau ketimpangan makin gila, masyarakatnya bisa bubar, kayak game yang enggak imbang — ujung-ujungnya, yang kalah keluar duluan.

"Income and Influence: Social Policy in Emerging Market Economies" karya Ethan B. Kapstein dan Branko Milanovic, diterbitkan oleh W.W. Norton & Company tahun 2003, ngebahas soal tarik ulur antara uang dan kekuasaan di negara-negara berkembang. Intinya, para penulis bilang: ekonomi boleh tumbuh, tapi kalau kebijakan sosialnya dikendalikan ama yang punya kuasa (alias elite), ya rakyat biasa tetep aja kecele.
Kapstein dan Milanovic buka-bukaan tentang gimana globalisasi itu kayak pedang bermata dua—satu sisi kasih peluang, sisi lain ninggalin banyak orang. Mereka tunjukin lewat data dan studi kasus bahwa walau ekonomi negara berkembang naik, ketimpangan malah bisa makin gila kalau politiknya cuma nurutin suara kelas atas dan investor luar. Kebijakan sosial pun jadi kayak tempelan, bukan alat perlindungan nyata.
Mereka juga sindir demokrasi yang katanya dari rakyat untuk rakyat, tapi kenyataannya sering disetir sama yang punya duit. Di banyak negara, yang bisa "beli" pengaruh, ya mereka yang bisa nyusun aturan. Akhirnya, sistem kesejahteraan cuma menguntungkan segelintir orang, sementara jutaan lainnya cuma nonton dari pinggir. Buku ini ngajak kita mikir ulang: di dunia yang makin terkoneksi, masa iya kita biarin sistem sosial kita diatur kayak acara TV yang sponsornya punya kuasa penuh?
Kalau loe peduli soal keadilan sosial di era global, ini bukan cuma bacaan akademik, tapi alarm yang kenceng.

Dalam“The Price of Inequality” (2012), ekonom pemenang Nobel Joseph E. Stiglitz ngasih tamparan keras ke sistem ekonomi yang makin timpang. Diterbitkan sama W.W. Norton & Company, karya ini ngomong banter alias tereak: ketimpangan ekonomi yang ekstrem itu bukan cuma bikin orang miskin makin sengsara, tapi juga ngerusak demokrasi, ngelemahkan ekonomi, dan ngebubarin kontrak sosial antar warga negara.
Stiglitz tegas banget—ketimpangan yang terjadi sekarang bukan efek samping kemajuan, tapi hasil dari kebijakan-kebijakan yang sengaja disusun buat nguntungin orang-orang superkaya. Mereka yang di puncak pakai duit mereka buat ngatur aturan main, dari undang-undang sampai opini publik. Demokrasi jadi ilusi, karena suara rakyat kecil kalah sama suara donatur kampanye. Yang terjadi? Orang jadi males ikut pemilu, ngerasa semua udah diatur “orang dalam.”

Stiglitz nyindir habis-habisan gimana kapitalisme zaman now udah dibajak ama elit superkaya. Menurut doski, sistem ekonomi modern udah nyasar jauh dari jalurnya. Harusnya, kapitalisme itu ngasih penghargaan buat kerja keras, ide brilian, dan inovasi. Tapi kenyataannya sekarang? Justru yang paling diuntungkan adalah mereka yang jago "main belakang", alias nyari untung lewat akal-akalan sistem, bukan lewat karya nyata.
Stiglitz bilang, orang-orang paling tajir dan korporasi gede bukan cuma tajir karena usaha, tapi karena mereka bisa beli pengaruh politik, bikin aturan yang nguntungin diri sendiri, matiin pesaing, dan pelihara monopoli. Mereka sibuk nyari subsidi pemerintah, ngakal-ngakalin pajak, dan beli-beli aset buat dapet cuan tanpa kerja. Bukannya investasi buat bikin hal baru, mereka lebih milih main aman dan cuan instan. Hasilnya? Yang muda, yang kreatif, dan yang gak punya modal malah gak dikasih ruang buat tumbuh.
Lebih parah lagi, Stiglitz bilang kalau sistem terus kayak gini—di mana trik keuangan lebih dihargai dari penemuan ilmiah, dan warisan lebih menentukan dari usaha—kapitalisme bukan lagi jalan buat keadilan, tapi jadi alat buat ngunci kekuasaan orang kaya. Ini bikin ekonomi jadi ogah-ogahan, politik makin kotor, dan rakyat makin kesel. Kapitalisme, katanya, udah berubah dari arena kompetisi sehat jadi panggung teater buat yang udah punya segalanya.

Secara ekonomi, Stiglitz bilang ketimpangan bikin ekonomi jalan di tempat. Kenapa? Karena kalau duit numpuk di orang kaya, belanja jadi seret. Orang tajir biasanya nabung, bukan ngabisin duit kayak kelas menengah. Dan karena pemerintah kurang investasi di pendidikan, infrastruktur, dan layanan publik, peluang buat rakyat kecil buat naik kelas makin tipis. Inovasi pun jadi macet. Jadi ini bukan cuma masalah moral, tapi juga bikin ekonomi buntu.
Yang paling bahaya, kata Stiglitz, ketimpangan itu ngerobek kontrak sosial. Rasa percaya sama sistem hancur, harapan buat naik kelas ilang, orang mulai nyari pelarian ke ekstremisme politik. Solidaritas berubah jadi saling curiga. Semua orang mikir, “yang kaya makin kaya, kita cuma figuran.” Makanya, kerya Stiglitz ini kayak alarm darurat: kalau kita gak cepet-cepet beresin sistem ini, yang rusak bukan cuma ekonomi, tapi juga keutuhan bangsa itu sendiri.

Economic equality itu penting bukan karena semua orang harus dapet gaji yang sama, tapi karena kalau pembagian harta dan sumber daya terlalu timpang, masyarakat mulai retak dari dalam. Bayangin: segelintir orang punya segalanya, sementara jutaan orang sibuk mikirin besok makan apa. Akibatnya? Rasa percaya ke negara luntur, harapan buat naik kelas sosial mandek, dan kemarahan diam-diam tumbuh subur. Orang jadi mikir: “Ngapain kerja keras, toh sistemnya udah milih siapa yang boleh menang.”
Dalam ekonomi yang super timpang, orang miskin dan orang kaya enggak cuma beda isi dompet. Mereka beda akses rumah sakit, sekolah bagus, tempat tinggal yang aman—bahkan beda seberapa keras suara mereka didengar di politik. Ini bikin banyak orang ngerasa asing di negara sendiri, kayak nonton pesta dari luar pagar. Jadi, economic equality itu bukan cuma soal uang—tapi soal harga diri, kesempatan, dan rasa jadi bagian dari negeri ini.
Lagian, negara yang ekonominya lebih setara biasanya lebih damai, sehat, saling percaya, dan aktif secara sosial. Jadi bukan cuma benar secara moral, tapi juga pintar secara praktis. Masyarakat yang lebih setara bukan cuma adil, tapi juga jauh lebih kuat dan tahan banting.

Nakarin economic equality itu bukan cuma soal ngitung duit, tapi soal seberapa adil peluang, kekayaan, dan rasa aman dibagi ke seluruh rakyat. Salah satu alat yang paling sering dipakai adalah Gini coefficient—angka antara 0 sampai 1. Nol itu artinya semua orang punya penghasilan sama, dan satu itu artinya satu orang nguasain semua, sisanya nol besar. Makin dekat ke nol, makin setara ekonominya.

Berdasarkan data Bank Dunia dan basis data statistik terkini, lima negara dengan koefisien Gini tertinggi—yang menunjukkan kesenjangan pendapatan ekstrem—adalah:

  • Afrika Selatan punya skor Gini 63,0—kebangeten nih soal kesenjangan
  • Namibia nggak jauh di belakang, dengan skor 59,1
  • Suriname di urutan ketiga dunia, Gini-nya 57,9
  • Zambia masuk lima besar, dengan skor 55,9
Eswatini (dulunya Swaziland) punya skor 54,6

Negara-negara ini sering jadi sorotan karena jurang kaya-miskin mereka yang lebar banget.

Di sisi lain, negara-negara dengan koefisien Gini terendah—yang menunjukkan kesetaraan ekonomi yang tinggi—adalah:

  • Norwegia masuk daftar paling adil—skor Gini cuma 22,7
  • Slovakia di posisi dua, Gini 23,2
  • Slovenia juga keren: 24,0
  • Belarus lumayan setara, Gini 24,4
  • Ukraina di kisaran 25,6

Negara-negara di Eropa Timur dan Utara ini umumnya punya sistem distribusi ekonomi yang lebih seimbang.

Pada Maret 2024, Gini ratio pengeluaran rumah tangga di Indonesia tercatat 0,379, sedikit membaik dari 0,388 di Maret 2023 dan 0,381 di akhir 2022. Kalau pakai hitungan pendapatan dari survei World Bank, Gini Indonesia di 2023 adalah 0,361—lebih tinggi dari rata-rata sepanjang sejarah (0,334), tapi masih di bawah rata-rata dunia (sekitar 0,44) .
Angka-angka ini bikin Indonesia masuk kategori ketimpangan sedang: bukan ekstrem kayak Afrika Selatan, tapi juga belum mendekati negara yang super setara seperti Norwegia atau Slovenia. Tapi kenaikan Gini di awal 2020-an—terutama waktu pemulihan pasca-pandemi—ngasih tanda kalau yang kaya semakin cepet maju, sementara kelas menengah dan nyaman makin susah ngejar.
Secara nyata, Gini sekitar 0,36–0,38 artinya uang dan gaya hidup masih tersebar tidak merata. Yang tajir makin tajir, yang biasa aja makin ngos-ngosan buat nambah standar hidup. Ini bukan catatan merah yang harus bikin panik, tapi jelas alarm kecil: kalau nggak dicegah, ketimpangan ini bisa retakkan solidaritas sosial, bikin anak-anak miskin sulit naik kelas, dan bikin kampung-kampung tertentu macet dalam kemiskinan.

Tapi angka aja gak cukup. Buat beneran ngerti, kita mesti lihat kehidupan nyata: siapa yang bisa sekolah bagus? Siapa yang bisa ke rumah sakit tanpa mikir tagihan? Siapa yang tinggal di lingkungan aman? Siapa yang kerjanya tetap dan punya jaminan? Dan yang penting juga: anak dari keluarga miskin, bisa enggak naik kelas sosial dengan kerja kerasnya? Itu yang disebut mobilitas sosial.

Menurut data terbaru dari UNDP, angka indeks Pendidikan hingga 2024, Islandia jadi juara dunia dengan skor nyaris sempurna: 0,960. Ikut menyusul di belakangnya ada Jerman (0,957), Norwegia (0,937), Inggris (0,936), dan Denmark (0,933). Negara-negara ini unggul di banyak aspek—dari jumlah anak PAUD yang masuk sekolah, skor PISA yang tinggi, sampai tingkat kelulusan yang adil dari SD hingga perguruan tinggi.
Di sisi lain, negara-negara di Sub‑Sahara Afrika dan kawasan perang menempati posisi terbawah karena masih banyak anak yang tidak sekolah, tingkat putus sekolah tinggi, angka buta aksara parah, dan minimnya fasilitas atau kondisi aman untuk belajar. Negara seperti Nigeria, Republik Afrika Tengah, Chad, Afghanistan, dan Sudan jadi contoh nyata dalam daftar ini.

Saat ini, Education Index Indonesia berada di angka sekitar 0,68 berdasarkan data terbaru (2022), jadi kita termasuk di kelas menengah secara global—di belakang negara top seperti Australia (1,01) atau Jerman (0,96), tapi masih lebih tinggi dari banyak negara berkembang lainnya . Angka ini muncul karena rata-rata warga Indonesia sekolah sekitar 8 tahun, dan anak-anak kini diharapkan bisa sekolah hingga 13 tahun—itu kabar baik.
Tapi posisi ‘cukup’ ini juga bikin tanda tanya. Meski SD hampir semua anak masuk (hampir 100 %), banyak yang berhenti di SMP/SMA, dan yang lanjut ke kuliah termasuk yang paling rendah di Asia-Pasifik . Perbedaan antara kota dan desa masih mencolok, dan hasil siswa Indonesia dalam tes internasional kaya PISA masih di bawah rata-rata —ini tandanya akses aja nggak cukup, kualitas juga harus naik level.
Singkatnya, Indeks Pendidikan Indonesia ini nunjukin bahwa negara kita lagi bangun fondasi pendidikan yang luas, tapi masih berat buat naik kelas dalam hal mutu, tingkat kelulusan, dan keadilan distribusinya. Angka ini membawa harapan, tapi juga nge-remind kita bahwa banyak pekerjaan rumah tersisa untuk bikin pendidikan dasar berubah jadi kualitas dunia untuk semua.

Saat ini, Education Index Indonesia berada di angka sekitar 0,68 berdasarkan data terbaru (2022), jadi kita termasuk di kelas menengah secara global—di belakang negara top seperti Australia (1,01) atau Jerman (0,96), tapi masih lebih tinggi dari banyak negara berkembang lainnya
. Angka ini muncul karena rata-rata warga Indonesia sekolah sekitar 8 tahun, dan anak-anak kini diharapkan bisa sekolah hingga 13 tahun—itu kabar baik.
Tapi posisi ‘cukup’ ini juga bikin tanda tanya. Meski SD hampir semua anak masuk (hampir 100 %), banyak yang berhenti di SMP/SMA, dan yang lanjut ke kuliah termasuk yang paling rendah di Asia-Pasifik . Perbedaan antara kota dan desa masih mencolok, dan hasil siswa Indonesia dalam tes internasional kaya PISA masih di bawah rata-rata —ini tandanya akses aja nggak cukup, kualitas juga harus naik level.
Indeks Pendidikan Indonesia ini nunjukin bahwa negara kita lagi bangun fondasi pendidikan yang luas, tapi masih berat buat naik kelas dalam hal mutu, tingkat kelulusan, dan keadilan distribusinya. Angka ini membawa harapan, tapi juga nge-remind kita bahwa banyak pekerjaan rumah tersisa untuk bikin pendidikan dasar berubah jadi kualitas dunia untuk semua.

Menurut data terbaru, sekitar 1,3 juta anak dari 25% keluarga termiskin di Indonesia tidak bersekolah, walaupun pendidikan wajib sampai umur 15 tahun—yang artinya mereka seharusnya sudah selesai SMP. Ini bukan sekadar angka, tapi bukti nyata bahwa banyak anak yang seharusnya bersekolah, malah justru berhenti karena harus menopang keluarga dengan bantu-bantu kerja, beli seragam, bayar transportasi, atau bahkan kena kawin dini.
Ini bukan cuma masalah satu-dua keluarga—tapi cermin dari kegagalan sistemik. Meski pemerintah sudah berhasil memastikan hampir semua anak SD masuk sekolah, banyak yang berhenti saat SMP. Anak-anak dari keluarga miskin berisiko putus sekolah 5 kali lebih tinggi dibanding anak dari keluarga kaya . Di daerah 3T seperti Papua, bahkan ada hingga 22% anak usia 13–15 tahun yang tidak bersekolah.
Jadi, intinya: lebih dari sejuta anak yang punya hak untuk sekolah, kini terancam keluar dari sistem pendidikan—bukan karena gurunya gak ada, tapi karena hidup mereka terlalu sulit untuk duduk di kelas.

Rendahnya skor PISA untuk Indonesia bukan karena warga kita bener‑bener “goblok”, tapi karena sistem pendidikan kita yang sering lemah. Pertama, jam sekolah efektif itu pendek banget, cuma sekitar 555 jam setahun pas SD—bandingin ama negara OECD yang nyentuh 774 jam—dan sayangnya, jam itu lebih banyak buat hapalan dan tes ketimbang mikir kritis.
Kedua, kualitas guru masih amburadul. Apalagi di pelosok, guru jarang dapat pelatihan, enggak up‑to‑date, dan ironisnya lebih dari 60 % siswa bilang guru mereka jarang bantu kalau kesulitan belajar. Jadinya siswa paham sedikit, tapi enggak bisa mikir dalam.
Ketiga, fasilitas juga parah: masih banyak sekolah kekurangan ruang kelas, buku, lab, WC, dan kadang listrik pun enggak ada .
Terakhir, ketimpangan ekonomi bikin jurangnya makin lebar. Siswa miskin bisa jauh tertinggal—di soal matematika aja, selisih nilainya bisa sampai 34 poin dibanding teman sekelas di kota .

Gabungan faktor ini bikin sistem pendidikan kita jadi tempat yang bahagia tapi kurang efektif. Muridnya enjoy, tapi saat dites bikin soal kompleks, banyak yang mentok—makanya skor kita belakang banget di Asia Tenggara.

Indeks pendidikan UNDP yang tinggi itu bukan sekadar pencapaian teknis—ia sinyal kalau suatu negara benr-bener niat membangun rakyatnya. Indeks ini, yang jadi bagian penting dari HDI (Human Development Index), nunjukin seberapa merata dan luas akses pendidikan di negeri itu. Doi ngitung hal-hal kayak rata-rata lama sekolah orang dewasa dan harapan tahun sekolah anak-anak, jadi bisa kelihatan tuh, pendidikan kita masa kini dan masa depan kayak apa.
Kalau suatu negara skornya tinggi, itu artinya anak-anak bukan cuma masuk sekolah, tapi besar kemungkinan tamat dan dapet pendidikan yang bermutu—entah itu tinggal di kota besar atau desa terpencil, lahir dari keluarga kaya atau sederhana, atau berasal dari kelompok mayoritas maupun minoritas. Ini juga nunjukin bahwa belajar itu bukan hak istimewa, tapi hak semua orang, dan sistemnya mendukung literasi, logika kritis, dan ilmu yang bikin orang bisa jadi warga negara yang aktif dan sadar.
Indeks pendidikan yang tinggi berarti negara itu lagi nabung masa depan lewat kepala warganya. Bukan cuma biar mereka bertahan hidup, tapi biar mereka bisa mikir, berempati, dan jadi pemimpin yang peka.

Perbedaan ini, gak cuman nyorotin peringkat—perbedaan ini mencerminkan seberapa besar pendidikan mempengaruhi peluang hidup. Di negara-negara dengan kinerja terbaik, warga negara dapetin manfaat dari dukungan awal, pembelajaran seumur hidup, dan kesetaraan sosial. Dalam kasus terburuk, seluruh masyarakat kesulitan untuk sekadar membaca dan menulis, apalagi untuk berkembang.

Menurut berbagai indeks global seperti Legatum dan laporan Expatriate Group (2025), Jepang paling unggul soal akses layanan kesehatan: dari dokter, rumah sakit, hingga hasil medis—semuanya top. Nggak jauh di belakang adalah Singapura, Korea Selatan, Norwegia, dan Taiwan. Negara-negara ini punya harapan hidup tinggi, dokter dan ranjang rumah sakit melimpah, asuransi universal, dan akses mudah ke layanan medis dasar maupun tingkat lanjut.
Di sisi lain, beberapa negara masih jauh dari ideal: fasilitas medis minim, obat langka, dan angka kematian yang sebetulnya bisa dicegah tinggi banget. El Salvador tercatat paling reyot—peringkat paling buruk di antara 110 negara—karena rumah sakit jarang, dokter sedikit, dan kematian preventable tinggi. Nigeria nggak jauh beda, infrastrukturnya amburadul, utamanya untuk layanan dasar . Lalu, Pakistan berada di posisi 124 dari 190 negara soal akses dan mutu kesehatan menurut WHO. Di Haiti, mayoritas penduduk di pedesaan hampir nggak punya fasilitas medis sama sekali . Dan uniknya, Oman punya masalah soal ketersediaan dan harga obat paling buruk di tahun 2024.

Sejak diluncurkannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014, Indonesia mampu mencakup lebih dari 83% penduduk di tahun 2021 lewat BPJS Kesehatan. Menurut laporan WHO 2023, indeks service coverage (akses layanan pokok seperti ibu & anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, dan infrastruktur kesehatan) naik dari 42 (2010) ke 56 (2019), tapi turun tipis ke sekitar 55 di 2021. Meski pengeluaran yang sangat besar karena kesehatan menurun dari 0,9% ke 0,4% rumah tangga (2017–2018), nyatanya lebih dari sejuta orang masih terjerembab miskin karena biaya medis tiap tahunnya.
Tahun 2024, survei juga mengungkap bahwa sekitar 63% penduduk susah akses rumah sakit, dan 61% susah akses ke Puskesmas . Kalau dilihat ranking global, Indonesia berada di sekitar urutan 39, masih di atas Malaysia dan Thailand, tapi jurang antara kota besar dan daerah terpencil—seperti Nusa Tenggara Timur—masih lebar .
Sistem kesehatan kita sebenarnya udah maju: banyak orang punya asuransi dan akses awal. Tapi kualitas layanan, pemerataan wilayah, dan proteksi keuangan masih rapuh. Dari angka-angka ini, ceritanya agak mirip: kalau loe punya kartu BPJS, loe bisa berobat—tapi bukan berarti gampang ketemu dokter atau terlindungi sepenuhnya, apalagi kalau loe tinggal di pelosok.

Kritik terhadap BPJS Kesehatan bukan datang dari satu masalah kecil, tapi dari rantai panjang masalah sistemik yang bikin layanan terasa abal-abal. Salah satu yang paling nyakitin adalah klaim rumah sakit yang sering tertunda atau diperdebatkan. Saat BPJS menunda pembayaran—karena kode dokumen salah, admin enggak lengkap, atau dicurigai 'over-treatment'—rumah sakit jadi malas dan bisa tolak atau tunda pasien, bahkan yang seharusnya darurat.
Faktor kedua adalah kurangnya sumber daya. Banyak fasilitas minim staf admin, sarana seadanya, dan masih pakai cara lama. Ditambah lagi, prosedur birokrasi rumit seperti jalur rujukan dan slot appointment BPJS yang terbatas bikin antrian panjang, petugas kelelahan, dan miskomunikasi antara pasien dan rumah sakit.
Lalu ada masalah yang lebih berat soal penanganan fraud, akreditasi, dan desain sistem. BPJS pakai filter AI untuk cegah fraud, tapi sosialisasinya minim, jadi banyak klaim sah malah terganjal dan pasien jadi korban . Bahkan, ada rumah sakit yang kontraknya dicabut karena gak lulus akreditasi, membuat cakupan layanan menyempit dan pasien harus melangkah jauh cari perawatan .
Terakhir, ada ketimpangan antara teori dan praktik. BPJS di atas kertas menyediakan layanan luas, tapi pasien dan dokter melaporkan: obat pas-pasan, kunjungan spesialis molor, urusan admin bikin mumet, dan kualitas pelayanan berbeda tergantung RS-nya. Bagi masyarakat, BPJS seringkali cuma dianggap kartu asuransi murah yang ngajak ke klinik biasa—bukan sistem perawatan menyeluruh yang mudah dan nyaman.
BPJS Kesehatan itu tetep jadi penyelamat hidup banget buat banyak orang Indonesia. Tapi ya gitu deh, selama masalah-masalah strukturalnya—mulai dari duit, birokrasi, pemerataan, sampai teknologi—belum beres, kayaknya frustrasi yang dihadapi BPJS ini nggak bakal hilang-hilang deh.

Banyak warga Indonesia yang mengeluhkan layanan BPJS Kesehatan bukan soal hal kecil, tapi karena masalahnya cukup mendasar, menyangkut dokter, paramedis, dan prasarana rumah sakit. Salah satu keluhan paling banyak disebut adalah diskriminasi layanan: pasien BPJS sering diperlakukan sebelah mata dibanding pasien pribadi atau asuransi, dibatasi ke dokter tertentu, dan sering merasa bahwa dokter terlambat datang atau jadwal konsultasinya terbatas, sehingga pelayanan menjadi tak pasti.
Keluhan besar berikutnya adalah tentang rumitnya birokrasi dan ketidakkonsistenan administrasi. Untuk berobat, pasien harus lewat sistem rujukan yang panjang, antre berjam-jam (terkadang tiga hingga empat jam hanya untuk daftar), dan sering mengalami ketidaksesuaian antara data kartu BPJS dan layanan yang dijanjikan . Volume pasien BPJS yang sangat tinggi juga bikin laboratorium, apotek, dan layanan spesialis jadi lamban .
Keluhan juga datang dari paramedis dan tenaga medis, yang kadang dianggap kurang ramah atau malah kelelahan. Ada laporan tentang suster yang salah tusuk infus, dokter yang tidak jelas penjelasannya, dan petugas apotek yang minim informasi .
Tidak ketinggalan, banyak keluhan prasarana dan keterbatasan fasilitas. Rumah sakit—terutama di daerah—kadang minim ruang tunggu layak, ruangan inap yang memadai, peralatan medis, bahkan obat yang harus dibeli sendiri meski sudah dijanjikan tercover.
Selain itu, ada masalah besar soal klaim dan regulasi yang tak transparan. Pembayaran klaim yang sering tertunda, kebijakan baru yang berlaku surut, dan audit yang membingungkan membuat pihak rumah sakit dan pasien sama-sama kehilangan kepercayaan.
Meski BPJS digagas untuk memperluas akses kesehatan—sebuah cita-cita mulia—banyak warga merasa mereka dapat akses, tapi harus melewati jalur penuh hambatan: antre panjang, pilihan terbatas, pelayanan gak konsisten, dengan fasilitas yang seringkali mengecewakan. Kartu BPJS mungkin membuka pintu, tapi yang muncul sesudahnya sering terasa seperti labirin, bukan pelayanan yang efisien dan layak.

Kalau Indonesia serius mau jadi negara yang benar-benar jamin hak kesehatan, ya harus invest besar-besaran di fasilitas, tenaga medis, dan kebijakan tepat sasaran—biar setiap rakyatnya, bukan cuma yang di kota, bisa sehat dengan layak.
Akses ke layanan kesehatan itu bukan cuma soal pelayanan teknis—itulah dasar martabat manusia dan kekuatan bangsa. Kalau rakyat bisa berobat tepat waktu, dengan biaya terjangkau, dan kualitas yang layak, mereka bisa hidup lebih utuh dan produktif. Orang sehat bisa kerja, sekolah, cari nafkah, dan bantu keluarganya. Jadi sebenarnya, kesehatan itu bukan urusan pribadi doang, tapi juga aset publik yang nentuin sejahteranya seluruh masyarakat.
Buat negara, akses kesehatan yang merata jadi cermin kedewasaan moral dan kecerdasan ekonomi. Negara yang serius bangun sistem kesehatan buat semua rakyat biasanya punya angka kemiskinan lebih rendah, umur harapan hidup lebih tinggi, dan rasa percaya antarwarga yang lebih kuat. Dan pastinya, mereka hemat biaya jangka panjang—karena mencegah itu lebih murah daripada mengobati. Lagipula, kalau rakyat merasa kesehatan itu hak, bukan hadiah, mereka makin percaya sama negara, dan demokrasi pun jadi kuat karena didukung empati dan kepercayaan.
Akhirnya, akses kesehatan bukan cuma soal "biar nggak sakit"—tapi soal membangun negeri di mana rakyatnya bisa tumbuh dan berkembang, bukan sekadar bertahan hidup.

Berdasarkan Global Peace Index 2025, negara paling aman di dunia itu kayak VIP loungeIceland juaranya selama 17 tahun berturut-turut karena kriminal rendah, militer minimal, dan rasa percaya antarwarga yang tinggi. Ikutan lima besar ada Irlandia, Selandia Baru, Austria, dan Swiss—semuanya stabil, sistemnya rapih, dan jaring sosialnya kuat.
Sedangkan di "zona bahaya", ada Yaman, Sudan, Sudan Selatan, Afghanistan, dan DR Congo—negara-negara dengan konflik mematikan, institusi rubuh, dan kondisi sosial yang runtuh total.

Islandia itu kayak negara damai dalam film Studio Ghibli—damai banget bukan karena kebetulan, tapi karena kerja keras sistemik. Mereka gak punya tentara, kejahatan bersenjata nyaris nol, dan jumlah tahanan sangat sedikit. Polisi di sana jarang bawa senjata api dan lebih fokus ke pendekatan humanis. Warga Islandia hidup dalam masyarakat yang kompak: kesenjangan ekonomi rendah, pendidikan merata, dan pemerintahnya terbuka banget buat rakyatnya. Anggaran negara juga dipakai dengan bijak—buat kesehatan, kesejahteraan mental, dan pelayanan publik. Kekerasan itu bukan cuma jarang, tapi seolah nggak masuk akal secara budaya.
Yaman? Ceritanya kebalik banget. Dulu terkenal karena sejarah dan arsitektur megah, sekarang jadi simbol kehancuran. Sejak perang sipil pecah tahun 2014, negara ini pecah belah—dikuasai berbagai kelompok bersenjata yang bikin rakyat menderita. Rumah sakit dibom, sekolah hancur, dan jutaan orang ngungsi. Infrastruktur dasar seperti air, listrik, dan makanan kolaps total. Kelaparan merajalela, penyakit menyebar, dan kepercayaan ke negara nyaris hilang. Pemerintah lumpuh, hukum nggak jalan, dan yang berlaku cuma hukum rimba. Hidup di Yaman sekarang kayak main roulette tiap hari—nyawa bisa hilang sewaktu-waktu.
Dua cerita ini nunjukin satu hal penting: keamanan bukan soal punya polisi atau tentara banyak, tapi soal bangun negara yang adil, peduli, dan bisa dipercaya rakyatnya.

Kenapa Ini Penting?
  • Negara yang aman itu kayak perumahan elite: warganya bisa jalan-jalan tanpa takut, percaya sama aparat, dan akses layanan juga baik.
  • Negara paling berbahaya itu kayak neraka darat: sehari-hari bisa mati konyol, negara runtuh, dan pelayanan dasar lumpuh—bayangin susahnya hidup di sana.

Indonesia berada di peringkat ke-48 dari 163 negara versi Global Peace Index 2024 dengan skor 1,857, yang menempatkannya dalam kategori negara "high peace" atau cukup aman. Di Asia Tenggara, posisi Indonesia terbilang bagus—mengalahkan Vietnam dan Filipina—meski masih di bawah negara-negara seperti Singapura (sekitar posisi 5), Malaysia (18), dan Thailand (103).
Apa artinya ini di dunia nyata? Di satu sisi, Indonesia relatif aman dibanding daerah konflik global, dan bahkan makin membaik berkat langkah antiteror yang sukses—tercatat tidak ada serangan serius dalam beberapa tahun terakhir. Tapi di sisi lain, posisi ini juga menunjukkan ada masalah nyata seperti rawan pencurian, kejahatan di kota, konflik sosial, dan hukum yang masih inkonsisten di berbagai daerah.

Singkatnya, jadi negara dengan perdamaian tinggi itu berarti Indonesia bukan wilayah perang, tapi juga belum sepenuhnya bebas dari masalah keamanan harian. Bagi banyak orang, kehidupan sehari-hari memang relatif aman—tapi jelas masih banyak pekerjaan buat meningkatkan standar kepolisian, penyelesaian konflik lokal, dan rasa percaya masyarakat.

Per awal 2025 nih, Surabaya jadi kota besar paling aman se-Indonesia—nge-top di skor 80 dari 100 soal indeks keamanan buat traveler. Bandung juga aman (78), begitu pula Denpasar (60), bahkan Jakarta stabil. Kota-kota kecil seperti Yogyakarta dan Semarang juga nyaman banget karena kriminalitasnya rendah dan warganya saling percaya.
Sedangkan sisi gelapnya, ada Medan, Depok, Tangerang, Bekasi, dan beberapa daerah di pinggiran selatan Jakarta yang sering disebut “enaknya waspada!” Medan terkenal karena kriminal jalanan, macet parah, dan praktik suap-sogok—sampai dijuluki “Gotham City”-nya Indonesia di akun netizen.
Apa artinya ini bagi warga?
Kalau loe tinggal di kota aman kayak Surabaya atau Bandung—loe bisa santai jalan malam, percayain layanan publik, dan ngerasain hidup kota tanpa was-was. Tapi kalau loe di Medan atau Depok—harian loe bisa penuh drama: takut kena copet, macet brutal, nyetir bisa bikin jantung dag-dig-dug, dan hukum kadang tebang pilih. Bahayanya gak sampai kaya film perang, tapi cukup bikin kualitas hidup dan rasa aman jadi berkurang.

Jadi, menakar kesetaraan ekonomi itu bukan cuma soal grafik dan statistik, tapi soal kisah nyata: siapa yang maju, dan siapa yang terus tertinggal. Negara bisa aja punya gedung tinggi dan internet cepat, tapi kalau jutaan warganya kerja serabutan tanpa perlindungan, ya kesetaraan itu masih mimpi yang panjang.

[Bagian 8]
[Bagian 6]

Sabtu, 28 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (6)

Kejelasan moral itu bukan buah dari renungan dalam keheningan, melainkan lahir dari percakapan. Ia tak tumbuh dalam diam yang merasa paling benar, tapi muncul dari gesekan gagasan—tempat keyakinan diuji dan empati disadarkan. Kebenaran jarang ditemukan dalam kesendirian; ia menampakkan diri dalam pencarian makna yang dilakukan bersama.

Ada cerita klasik dari kelas etika di sebuah perguruan tinggi yang pas banget buat tema ini. Suatu hari, dosen etika ngasih soal ujian akhir yang kelihatannya simpel: “Bisakah berbohong itu dibenarkan?” Ia berharap para mahasiswa bakal nulis esai panjang lebar soal benar dan salah. Tapi ada satu mahasiswa yang cuma ngumpulin selembar kertas kosong dengan satu kalimat: “Tergantung—yuk kita obrolin!”
Awalnya sang dosen sempet kepikiran mau ngasih nilai nol karena itu jelas bukan esai. Tapi makin dipikirin, makin doski sadar kalau jawaban itu justru kena banget. Kejelasan moral itu sering lahir bukan dari mikir sendirian di kamar, tapi dari ngobrol bareng, debat sehat, dan dengerin sudut pandang orang lain. Nilai-nilai hidup itu sering bentrok, dan justru di sanalah percakapan jadi penting.
Akhirnya mahasiswa itu lulus. Bukan karena jawabannya lengkap, tapi karena jawabannya jujur dan berani. Ia jadi pengingat buat seluruh kelas: belajar etika itu bukan soal ngafalin aturan, tapi soal rembukan: belajar dengerin, nanya balik, dan mikir bareng-bareng sampai nemu makna yang lebih dalem.

Gagasan bahwa kejelasan moral itu sering muncul dari percakapan, bukan dari mikir sendirian di kamar, merupakan bagian penting dari tradisi demokrasi deliberatif. Intinya, buat ngerti mana yang benar dan adil, kita enggak cukup cuma merenung sendirian kayak filsuf sok sibuk. Kita butuh ngobrol—dengerin orang lain, argumen kita ditantang, dan berani buka pikiran buat perspektif yang beda. Di situlah nurani kita diuji dan dilatih, kayak otot yang makin kuat tiap diajak diskusi.
Salah satu rujukan yang ngebahas ini adalah “Democracy and Its Critics” karya Robert A. Dahl (1989). Doski bilang, demokrasi itu bukan cuma soal milih pemimpin tiap lima tahun, tapi tentang ruang obrolan publik yang sehat, dimana nilai-nilai bisa diperdebatkan secara terbuka. Terus ada juga “The Idea of Public Reason Revisited” dari John Rawls (1997), yang bilang bahwa di masyarakat yang majemuk, keputusan politik itu harus bisa dijelasin pake alasan yang bisa diterima orang lain—bukan cuma berdasarkan keyakinan pribadi doang, tapi lewat nalar bersama.
Intinya: pas kita ngobrol dan tukar pikiran, kita enggak cuma dengerin pandangan orang lain—kita juga bisa nemu sisi dari diri kita sendiri yang belum pernah kita sadari. Percakapan enggak selalu bikin semua orang langsung setuju, tapi bisa bikin cara kita mikir soal benar dan salah jadi lebih dalam dan jernih. Dan seringkali, itu jauh lebih penting daripada jawaban cepat.

Skarang, kuy kita balik ke topic Equality.
Kesetaraan, kalau dilihat dari sisi sosial dan budaya, itu soal bagaimana semua orang diperlakukan setara—bukan cuma di mata hukum, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, gak ada tuh yang dipandang lebih rendah atau lebih tinggi hanya karena warna kulitnya, agamanya, gender-nya, orientasi seksualnya, asal budayanya, atau status sosialnya. Dalam dunia sosial, kesetaraan bukan sekadar aturan di atas kertas, tapi bagaimana bikin lingkungan yang bikin semua orang ngerasa dihargai, bisa bersuara, dan identitasnya diakui. Nah, dari sisi budaya, kesetaraan itu soal menghargai keberagaman tradisi dan gaya hidup—jadi tiap budaya punya tempat yang sama untuk diungkapkan, tanpa takut dipinggirkan atau didiskriminasi. Intinya bukan bikin semua orang jadi sama, tapi bikin semua orang diperlakukan dengan adil dan bermartabat.

Kesetaraan sosial itu maksudnya kondisi dimana semua orang dalam masyarakat punya hak, tanggungjawab, dan peluang yang sama—tanpa peduli latarbelakang atau identitas sosial mereka. Jadi, entah kaya atawa miskin, dari suku mana pun, agama apa pun, atau gender apa pun, semua orang berhak dapat akses pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, dan bisa ikutan ngambil bagian dalam politik. Bukan berarti semua orang harus hidup sama percis atau sukses bareng-bareng, tapi sistemnya enggak boleh memihak satu kelompok doang. Yang dikejar itu ngilangin tembok-tembok yang bikin orang susah maju, dan bikin pembagian kekuasaan, sumber daya, sama peluang jadi adil. Intinya, biar tiap orang punya ruang buat berkembang dengan bermartabat dan bebas.

Salah satu rujukan keren dan berpengaruh yang ngebahas soal kesetaraan sosial secara mendalam ialah “The Spirit Level: Why More Equal Societies Almost Always Do Better” karya Richard Wilkinson dan Kate Pickett (2009). Dalam karya ini, dua penulisnya nunjukin kalau negara-negara yang tingkat kesenjangan ekonominya rendah—alias lebih setara—cenderung punya kualitas hidup yang jauh lebih baik. Mulai dari pendidikan, tingkat kejahatan, kesehatan mental, sampai rasa saling percaya antar warga, semuanya lebih positif. Mereka pakai data dan riset yang padat buat ngebuktiin bahwa ketimpangan itu bukan cuma soal duit doang, tapi soal bagaimana masyarakat hidup bareng secara sosial. Karya ini udah jadi rujukan wajib buat banyak pembuat kebijakan, guru, sampai aktivis yang lagi cari cara bikin dunia lebih adil. Intinya sih: negara yang sukses itu bukan yang paling kaya, tapi yang bisa membagikan hasil kekayaannya secara adil, merata ke seluruh rakyatnya.
Rujukan lain yang juga punya pengaruh gede dalam bahas kesetaraan sosial adalah “Justice: What’s the Right Thing to Do?” karya Michael J. Sandel (2009). Buku ini ngajak pembacanya mikir soal apa itu keadilan, apa itu kebaikan bersama, dan gimana struktur sosial serta kebijakan bisa nentuin apakah hidup orang-orang berjalan setara dan bermartabat. Walau bahasannya banyak ngulik filosofi politik, Sandel tetep ngebawa topik ini ke level kehidupan nyata dengan gaya yang relatable. Doi ngajak kita bertanya: sebagai sesama warga dalam satu masyarakat, sebenarnya kita punya tanggungjawab apa satu sama lain? Sandel juga ngebantah gagasan bahwa keadilan cuma soal kebebasan pribadi atau keadilan pasar. Menurutnya, masyarakat yang adil itu yang bisa ngasih ruang, hormat, dan kesempatan buat semua orang, apalagi yang sering disingkirkan sistem. Jadi, buku ini tuh semacam peta moral buat ngebayangin ulang dunia yang benar-benar setara.
Sandel mulai dengan cerita klasik yang bikin mikir, namanya "trolley problem". Bayangin ada kereta tanpa masinis melaju kencang ke arah lima orang yang terikat di rel. Tapi loe lagi bediri deket tuas yang bisa ngarahin kereta ke rel lain—masalahnya, di rel satunya ada satu orang yang juga bakal ketabrak. Nah, loe bakal tarik tuasnya apa enggak? Ini bukan sekadar soal logika, tapi soal nurani dan nilai moral.
Sandel pakai dilema ini buat ngenalin dua aliran besar dalam filosofi moral. Yang pertama, utilitarianisme, yang bilang keputusan terbaik itu yang ngasih manfaat paling besar buat paling banyak orang. Yang kedua, etika deontologis, yang pegang teguh prinsip moral, meski hasilnya mungkin enggak menguntungkan. Sandel enggak ngasih jawaban pasti, tapi ngajak kita mikir: sebenernya, adil itu yang kayak gimana, sih?
Sandel nunjukin bahwa keadilan itu enggak cuma urusan hukum atau politik, tapi bagian dari pilihan hidup sehari-hari. Doi ngajak kita bukan cuma nanya, “Apa yang harus gue lakuin?”, tapi juga “Kenapa gua judu bgelakuin itu?”, dan “Nilai apa yang sebenarnya gua pegang?”
Menurut Sandel, keadilan itu bukan cuma soal nurut aturan atau ngejalanin hukum doang; tapi soal gimana kita, sebagai masyarakat, ngobrol bareng dan mikir bareng buat mutusin apa yang secara moral itu benar. Buat Sandel, keadilan itu bukan cuma tentang “gue bebas ngelakuin apa aja” atau “hak gue harus dijaga”, tapi lebih luas lagi: soal kebaikan bersama.
Sandel bilang, masyarakat yang adil itu bukan yang tiap orang sibuk urus dirinya sendiri, tapi yang warganya mau terlibat, dikusikan nilai-nilai, dan bareng-bareng nentuin apa yang penting buat hidup bareng. Keadilan sejati enggak netral, enggak pura-pura objektif—justru menuntut kita buat mikir soal tanggungjawab ke orang lain, dan berani bersuara kalau ada yang enggak beres secara moral. Keadilan itu soal memperlakukan orang dengan bermartabat, bikin sistem yang adil, dan nyiptain ruang dimana semua orang bisa berkembang—bukan sebagai individu yang sendirian, tapi sebagai bagian dari komunitas yang punya nurani.

Liberalism and the Limits of Justice adalah salah satu karya Michael J. Sandel yang paling serius dan berpengaruh, pertama terbit tahun 1982. Dalam karyanya ini, Sandel ngebongkar habis pemikiran liberal John Rawls, terutama ide Rawls soal “keadilan sebagai keadilan yang adil” dari karyanya yang legendaris A Theory of Justice. Sandel ngegas bahwa cara Rawls memandang manusia—sebagai individu rasional yang bebas, netral, dan terlepas dari nilai-nilai atau komunitasnya—itu terlalu abstrak dan jauh dari realita.
Sandel ngejelasin inti dari filosofi politik liberal—terutama versi yang dipopulerkan sama John Rawls. Menurut pandangan liberal ini, negara yang adil itu bukan negara yang maksa warganya buat hidup dengan satu definisi “hidup yang baik.” Sebaliknya, tugas negara adalah ngasih kebebasan seluas mungkin ke rakyatnya buat milih sendiri nilai, tujuan, dan keyakinan hidup mereka, tanpa tekanan atau paksaan buat hidup dengan cara tertentu.
Makanya, aturan dan prinsip hukum dalam masyarakat harus netral. Mereka enggak boleh berpihak atau ngasumsikan satu pandangan agama, moral, atau budaya itu lebih unggul dari yang lain. Keadilan, dalam kacamata liberal, harus lepas dari anggapan tentang hidup yang bermakna atau mulia. Netralitas ini dimaksudkan buat ngejaga kebebasan individu dan bikin hidup bareng jadi damai di tengah keberagaman.
Tapi sepanjang karyanya, Sandel ngajak kita mikir ulang: netralitas kayak gitu bener-bener mungkin enggak sih? Atau jangan-jangan justru bermasalah? Doski bilang, rasa benar dan salah kita itu enggak lahir dari ruang kosong, tapi dari komunitas dan nilai-nilai tempat kita tumbuh. Jadi meskipun kutipan ini nunjukin cita-cita mulia liberalisme—yakni adil lewat sikap netral—Sandel ngajak kita nanya: apa netral itu cukup buat bikin masyarakat yang benar-benar adil dan bermakna?
Menurut Sandel, kita tuh enggak hidup dalam ruang hampa yang bisa milih moral kayak milih menu makan siang. Kita udah kebentuk dari kecil oleh sejarah, budaya, keluarga, dan komunitas yang bikin nilai-nilai kita punya makna. Jadi, kalau mau bangun masyarakat yang adil, enggak cukup cuma ngandelin kebebasan individu doang. Harus ada pengakuan bahwa kita hidup bareng, terikat sama orang lain lewat hubungan moral dan budaya. Karya ini nendang banget buat para pemikir dan aktivis karena ngajak mikir ulang: keadilan itu enggak bisa netral total, dan manusia bukan robot rasional yang bisa dilepas dari akar sosialnya.
Karya ini punya hubungan erat sama konsep kesetaraan, walaupun dibahas dari sudut pandang filosofi, bukan sekadar ekonomi atau hukum. Sandel ngasih kritik tajam ke ide liberal yang bilang semua orang bisa diperlakukan setara kalau dianggap sebagai individu yang netral dan bebas—kayak karakter game yang baru di-klik.
Buat Sandel, kesetaraan sejati enggak cukup cuma ngasih hak dan peluang yang sama ke semua orang. Kita juga harus ngakuin bahwa hidup manusia itu dibentuk oleh komunitas, nilai, sejarah, dan identitas moral mereka. Jadi, kalau mau adil, kita enggak cuma perlu bagi-bagi sumber daya secara merata, tapi juga harus ngerti latarbelakang orang dan apa yang bikin pilihan mereka bermakna.
Pandangan komunal ini bilang, kesetaraan enggak bisa berdiri di atas anggapan bahwa semua orang itu sama dan lepas dari konteks sosial. Sandel ngajak kita buat ngeliat kesetaraan bukan sebagai ilusi netralitas, tapi sebagai penghargaan atas realitas hidup orang—siapa mereka, dari mana mereka, dan nilai apa yang mereka bawa.
Sandel ngajak kita mikir, bukan cuma “Apanya yang adil?”, tapi juga “Kita mau hidup dalam masyarakat yang kayak gimana, sih?” Buat Sandel, keadilan sejati itu enggak bisa dilepas dari refleksi moral dan keterlibatan warga. Keadilan harus mikirin nilai-nilai yang nyatuin kita, tanggungjawab sosial yang kita punya satu sama lain, dan semangat gotong royong yang jadi fondasi hidup bareng. Buat doski, keadilan itu bukan cuma soal hak individu atau efisiensi sistem, tapi soal bikin masyarakat di mana kebaikan bersama itu diperjuangkan, dan orang diperlakukan bukan sebagai konsumen doang, tapi sebagai warga yang punya harga diri dan makna hidup.

Nah, secara budaya, equality itu menghormati perbedaan—bukan malah ngejudge. Jadi, loe gak bisa bilang budaya loe paling keren, terus ngehina yang lain cuma karena makan pakai tangan, pakai bahasa daerah, atau punya cara sendiri nunjukin cinta. Equality budaya itu kayak pesta rakyat: tiap suku, tiap bahasa, tiap cara hidup punya tempat buat tampil—enggak perlu nyamain gaya, yang penting saling ngangkat.
Kesetaraan budaya itu soal ngasih pengakuan, rasa hormat, dan perlakuan adil ke semua identitas budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Maksudnya, enggak ada tuh budaya yang dianggap paling “beradab” atau paling “modern”, sementara yang lain dikesampingkan. Semua orang berhak nunjukin jati diri budayanya—entah itu lewat bahasa, nilai-nilai, cara berpakaian, sampai cara beribadah—tanpa takut dikucilkan atau didiskriminasi.
Kesetaraan budaya bukan berarti semua budaya kudu disama-samain, tapi justru semua budaya dikasih ruang yang setara buat bersuara dan tampil di ruang publik. Ini tantangan buat budaya dominan yang suka merasa paling benar sendiri. Kesetaraan budaya ngajarin kita kalau keberagaman itu bukan masalah yang harus diberesin, tapi kekayaan yang harus dirayakan. Intinya sih, soal rasa punya tempat—biar semua orang, dari mana pun asalnya, bisa ngerasa diakui, dihargai, dan diterima di rumah besar yang kita sebut “masyarakat”.

Dalam “Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights” (1995, Oxford University Press), Will Kymlicka bilang bahwa keadilan dalam masyarakat yang beragam itu enggak cukup cuma ngasih hak individu yang sama ke semua orang. Kita juga harus ngasih pengakuan dan perlindungan khusus buat kelompok-kelompok budaya minoritas, biar mereka bisa tetap melestarikan bahasa, tradisi, dan jati diri mereka di tengah masyarakat yang lebih besar. Buat Kymlicka, kesetaraan budaya itu bukan soal nyamaratakan semua orang, tapi soal ngasih ruang yang adil buat semua perbedaan bisa hidup dan tumbuh.
Kymlicka ngenalin konsep politik multikulturalisme buat ngadepin tantangan yang muncul di negara demokrasi liberal yang isinya masyarakat beragam budaya. Doski bilang, liberalisme klasik yang cuma fokus ke hak individu yang setara seringkali enggak cukup buat ngelindungin kebutuhan dan kerentanan kelompok minoritas—apalagi masyarakat adat dan kelompok nasional minoritas.

Nah, yang dimaksud politik multikulturalisme oleh Kymlicka adalah pengakuan bahwa keadilan itu kadang enggak bisa disamain ke semua orang. Harus ada yang namanya hak yang berbeda berdasarkan kelompok—kayak hak istimewa secara hukum atau politik yang dikasih ke kelompok budaya minoritas, biar mereka bisa tetap jaga identitas, bahasa, dan cara hidup mereka. Contohnya bisa kayak otonomi pendidikan, pengakuan atas tanah adat, atau perlindungan bahasa minoritas di institusi publik.
Menurut Kymlicka, hak-hak ini bukan keistimewaan, tapi alat buat ngasih kesetaraan yang nyata. Soalnya kalau enggak ada, kelompok minoritas sering dipaksa buat nyatu ke budaya dominan dan akhirnya kehilangan ciri khas dan harga diri mereka. Jadi, politik multikulturalisme itu ajakan buat mikir ulang soal kesetaraan—bukan sebagai pemaksaan kesamaan, tapi sebagai penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan.

Pandangan Will Kymlicka soal hak individu dan hak kolektif jadi ciri khas banget dari teori kewarganegaraan multikultural miliknya. Dia bilang, dua jenis hak ini sebenarnya enggak harus saling tabrakan—malah justru harus jalan bareng kalau kita serius mau bikin keadilan di masyarakat yang beragam. 
Menurut Kymlicka, demokrasi liberal selama ini terlalu fokus ke hak individu: kayak kebebasan berpendapat, beragama, atau hak ngatur hidup sendiri. Tapi, kalau konteksnya masyarakat yang isinya beragam budaya, fokus ini bisa diam-diam ngebela budaya mayoritas dan nge-press minoritas.
Makanya, Kymlicka ngenalin konsep group-differentiated rights alias hak kolektif khusus buat komunitas minoritas. Hak ini bisa bentuknya otonomi wilayah, perlindungan bahasa, atau pengakuan hukum yang unik—intinya buat bantu minoritas bertahan dan berkembang di tengah dominasi budaya mainstream. Tapi Kymlicka juga tegas: hak kolektif ini enggak boleh nginjak hak individu di dalam kelompok itu. Justru sebaliknya, hak kolektif seharusnya jadi fondasi yang bikin orang bisa lebih bebas dan bermakna secara pribadi—karena budaya itu tempat orang nemu jati diri.
Kymlicka percaya bahwa kalau dirancang dengan hati-hati dan adil, hak kolektif bisa jadi pelengkap, bukan musuh, dari hak individu. Hak kolektif itu semacam jembatan—yang bikin kebebasan pribadi dan rasa memiliki budaya bisa jalan bareng, tanpa harus saling meniadakan.

Buat Kymlicka, liberalisme itu enggak harus dibuang, tapi perlu banget direvisi—biar nyambung ama kenyataan masyarakat yang isinya campur aduk budaya. Doski enggak anti-liberalisme, tapi doi kritik keras liberalisme klasik yang terlalu ngejar netralitas dan nganggep semua orang itu kayak individu lepas yang identik, tanpa akar budaya atau identitas. Masalahnya, dunia nyata tuh enggak sesimpel itu. Ada kelompok minoritas dan masyarakat adat yang sejak awal udah berat start-nya, karena sistemnya enggak ngasih ruang yang adil.
Kymlicka ngajak kita mikir ulang: jangan-jangan, kalau liberalisme mau bener-bener adil, harus berhenti pura-pura buta warna dan buta budaya. Alih-alih nyamaratakan semua orang, liberalisme versi baru harus ngakuin bahwa budaya itu penting banget buat nentuin siapa kita, apa yang kita anggap penting, dan pilihan hidup kita.
Menurut Kymlicka, memperbarui tradisi liberal bukan berarti mengkhianati prinsip dasarnya. Justru sebaliknya—dengan ngasih hak-hak khusus untuk kelompok yang memang perlu perlindungan, liberalisme bisa bener-bener nunjukin komitmennya ke kebebasan dan kesetaraan. Jadi, doski bukan ngajak ngebuang liberalisme, tapi ngajak naikin levelnya: dari sekadar netral jadi benar-benar inklusif dan sadar budaya.

Kymlicka percaya banget kalau kebebasan dan budaya itu enggak bisa dipisahin. Menurutnya, orang enggak bisa benar-benar bebas kalo gak punya konteks budaya yang ngasih makna buat pilihan-pilihan hidupnya. Dalam pikiran liberal klasik, kebebasan itu sering dianggap sebagai “bebas milih apa aja tanpa gangguan.” Tapi Kymlicka ngegas: milih itu enggak sekadar soal punya opsi, tapi soal ngerti apa arti dari tiap pilihan itu—dan itu cuma bisa terjadi kalau kita punya latar budaya yang hidup.
Doski bilang, manusia gak pernah ngambil keputusan dari ruang kosong. Cara kita mikir, ngerasa, dan nentuin arah hidup semuanya kebentuk dari budaya tempat kita dibesarkan. Jadi kalau budaya minoritas ditekan atau dibiarkan punah, yang hilang bukan cuma adat atau bahasa—tapi juga fondasi buat bisa ngerasa merdeka secara utuh.
Buat Kymlicka, melindungi budaya itu bukan berarti budaya enggak boleh berubah. Justru sebaliknya—budaya harus bisa berkembang, tapi dalam kondisi dimana orang-orangnya punya ruang aman buat memilih, mempertahankan, atau bahkan menolak warisan budaya mereka sendiri. Kebebasan yang sejati, katanya, bukan berarti hidup dari nol, tapi punya rumah budaya sebagai titik awal buat menjelajah hidup.

Bagi Kymlicka, keadilan dan hak-hak minoritas itu kayak dua sisi koin yang enggak bisa dipisahin. Menurutnya, masyarakat yang adil itu bukan cuma yang ngasih perlakuan sama ke semua orang, tapi juga yang sadar bahwa tiap kelompok punya kebutuhan dan kerentanan yang beda—terutama kelompok minoritas budaya. Buat Kymlicka, keadilan itu bukan buta terhadap perbedaan, tapi justru harus melek dan peka sama perbedaan itu.
Kymlicka bilang, kalau kita cuma fokus ke perlakuan “sama rata”, itu bisa jadi jebakan. Soalnya, kenyataannya enggak semua orang punya akses yang sama ke pengakuan budaya, kekuatan sosial, dan suara di ruang publik. Hasilnya? Yang mayoritas makin dominan, yang minoritas makin ke pinggir.
Makanya Kymlicka bilang keadilan itu harus ngasih hak-hak khusus buat kelompok minoritas—kayak masyarakat adat, kelompok etnis nasional, dan komunitas imigran. Ini bukan soal ngasih “keistimewaan”, tapi soal bikin kondisi yang adil biar mereka bisa hidup dengan martabat, jaga jati diri, dan punya tempat sejajar di kehidupan publik.
Teorinya jadi kritik tajam buat liberalisme model lama yang maunya serba seragam. Kymlicka ngajak kita mikir ulang: keadilan yang sebenarnya itu bukan soal nyamain semua orang, tapi soal dengerin siapa yang selama ini enggak didengar, terus ngasih ruang supaya semua bisa berkembang—bukan sekadar bertahan.

Kymlicka yakin banget bahwa ngasih ruang bicara buat kelompok minoritas itu syarat mutlak kalau kita serius mau bangun masyarakat yang demokratis dan adil. Doski bilang, di negara-negara majemuk, suara minoritas sering banget kehalang—not karena mereka enggak punya gagasan atau kualitas, tapi karena suara mereka ketelan sistem yang dikuasai budaya mayoritas: dari bahasa resmi, institusi politik, sampai norma sosial yang enggak nge-representasiin mereka.
Makanya, menurut Kymlicka, sekadar ngasih hak pilih atau kebebasan ngomong tuh enggak cukup. Harus ada perubahan struktural: misalnya keterwakilan politik khusus, hak bahasa, sampai otonomi komunitas. Ngasih suara ke minoritas itu artinya bikin panggung yang setara, tempat mereka bisa nyuarain keresahan, identitas, dan cita-cita hidup versi mereka—bukan cuma numpang lewat. Dan penting juga diingat: kalau mereka diam, bukan berarti mereka setuju—bisa jadi itu sisa luka dari sejarah panjang dibungkam.
Buat Kymlicka, demokrasi sejati itu bukan cuma soal suara terbanyak, tapi soal dialog yang inklusif. Kalau minoritas enggak diajak ngomong bareng dari awal, itu bukan demokrasi, tapi formalitas kosong. Memberi mereka suara bukan soal kasih keistimewaan, tapi soal ngebenerin ketimpangan yang udah lama dibiarin.

Kymlicka punya pandangan yang tajam soal toleransi—doi ngerti banget pentingnya, tapi juga sadar betul batasnya. Doski bilang, toleransi itu prinsip dasar dalam demokrasi liberal, apalagi dalam masyarakat yang penuh keragaman budaya. Tapi doski juga ngingetin: jangan samain toleransi dengan keadilan. Kadang-kadang, “mentoleransi” itu cuma kedok buat cuek, ngeremehin, atau malah ngejauhkan kelompok lain dari ruang publik.
Menurut Kymlicka, cuma sekadar “membiarkan” minoritas ada itu belum tentu adil. Keadilan multikultural yang sejati itu butuh lebih dari sekadar enggak ganggu—harus ada pengakuan aktif, kebijakan nyata, dan dukungan struktur yang bikin kelompok minoritas bisa tetap jadi diri mereka dan ikut berperan dalam kehidupan bersama.
Tapi Kymlicka juga enggak asal peluk semua perbedaan. Doi jelasin, ada batas-batas toleransi—terutama kalau praktik budaya tertentu melanggar hak asasi manusia atau menindas anggotanya sendiri, kayak perempuan atau anak-anak. Buat Kymlicka, multikulturalisme enggak boleh jadi tameng buat pembiaran terhadap ketidakadilan. Masyarakat yang adil itu harus berani bilang “stop” kalau budaya dijadiin alasan buat nyakitin yang lemah.
Toleransi menurut Kymlicka itu bukan terima semua hal mentah-mentah, tapi bentuk penerimaan yang pakai prinsip dan akal sehat—seimbang antara hormat sama budaya dan memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan.

Kymlicka ngeluarin konsep “the ties that bind” karena doi ngerasa ada yang janggal banget dalam filsafat politik liberal klasik. Liberalisme tradisional sering banget nganggep manusia itu kayak individu lepas yang bisa nyusun ulang hidupnya kapan aja, tanpa peduli latarbelakang budayanya. Tapi Kymlicka nyadar: pandangan ini enggak nyambung sama realita orang-orang yang tumbuh dan hidup dalam konteks budaya, sejarah, dan komunitas tertentu.
Menurutnya, liberalisme yang sok netral soal budaya justru tanpa sadar ngehapus makna identitas dan rasa kebersamaan dalam hidup orang. Dan latar belakang Kymlicka yang ngulik teori politik sambil nyemplung di isu-isu minoritas bikin dia ngerti betul: banyak kelompok—kayak masyarakat adat, etnis nasional, dan imigran—itu bukan kurang hak, tapi sistemnya sendiri yang enggak ngasih tempat buat ikatan budaya mereka.
Makanya, doi ngeluarin ide “the ties that bind” buat mindahin liberalisme dari yang sok netral dan steril, jadi versi yang lebih inklusif dan sadar budaya. Doski pengen nunjukin bahwa ikatan budaya bukan penghalang kebebasan, tapi justru sumber dari makna kebebasan itu sendiri. Karya-karyanya lahir dari gabungan kritik filsafat dan panggilan moral buat buka mata masyarakat demokratis yang sering enggak sadar: suara minoritas itu pelan bukan karena mereka enggak penting, tapi karena mereka terus-menerus diredam.
Buat Kymlicka, konsep “ikatan yang menyatukan kita” itu bukan penghalang kebebasan, tapi justru fondasi yang bikin kita tahu siapa diri kita. Doski bilang, manusia itu bukan robot independen yang hidup di ruang kosong. Kita dibentuk oleh budaya, bahasa, sejarah, dan komunitas tempat kita tumbuh. Ikatan-ikatan itu bukan rantai yang bikin kita terpenjara—tapi akar yang ngasih makna, arah, dan rasa pulang.
Kymlicka ngebantah keras anggapan liberal klasik yang bilang keadilan harus netral total terhadap identitas budaya orang. Menurutnya, kalau kita mau adil beneran, kita justru harus mengakui dan mendukung ikatan-ikatan itu—terutama buat kelompok minoritas, supaya mereka bisa tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya mereka sendiri.
Buat Kymlicka, hak-hak multikultural bukan pengecualian aneh, tapi alat penting buat ngejaga ikatan itu dari ancaman penyeragaman budaya. Kalau ikatan yang menyatukan kita dibiarkan hilang, kita bakal kehilangan sebagian besar dari kemanusiaan kita sendiri.

Dalam "Culture and Equality: An Egalitarian Critique of Multiculturalism” (2001, Harvard University Press), Brian Barry serius ngebahas cara bikin masyarakat yang adil di tengah keragaman budaya. Doski bilang, kesetaraan budaya itu harus melibatkan akses universal ke hak dan sumber daya, dan budaya enggak boleh dijadiin alesan buat mempertahankan ketidakadilan sosial. Karya ini ngajak kita mikir lebih dalam soal gimana caranya budaya dan keadilan bisa jalan bareng tanpa saling nabrak.
Barry ngangkat istilah abuse of culture atau “penyalahgunaan budaya” buat nyentil keras cara sebagian orang pakai alasan budaya buat nutup-nutupin praktik yang sebenarnya enggak adil—bahkan bisa dibilang berbahaya. Menurut Barry, ada kelompok yang ngaku-ngaku minta “hak budaya,” tapi ternyata cuma buat ngebela perilaku yang, kalau dilihat dari luar budaya, udah jelas-jelas enggak bisa diterima—kayak ketimpangan gender, intoleransi agama, atau bahkan kekerasan terhadap anak.
Buat Barry, budaya enggak boleh dijadikan zona suci yang bebas kritik. Kalau budaya dijadiin tameng yang enggak bisa disentuh, itu rawan banget dipakai buat bungkam suara-suara kritis dari dalam komunitas sendiri dan malah ngelindungin mereka yang punya kuasa sambil ngorbanin yang lemah. Barry juga kritik keras para pemikir liberal yang saking pengennya keliatan toleran, malah jadi permisif terhadap praktik yang jelas-jelas melanggar nilai-nilai hak asasi.
Barry pengen multikulturalisme yang tetap nyambung sama nilai-nilai dasar liberalisme: dimana keberagaman budaya disambut, tapi enggak boleh ngalahin prinsip kesetaraan, hak individu, dan akuntabilitas demokratis. Menurutnya, penyalahgunaan budaya itu terjadi saat kita nyamain “menghormati” dengan “membiarkan apa pun atas nama tradisi.”

Barry bilang bahwa kalau kita mau bikin masyarakat yang adil di tengah keragaman budaya, kuncinya bukan kasih perlakuan khusus ke tiap kelompok, tapi bikin sistem yang setara buat semua orang. Buat Barry, keadilan itu berdiri di atas tiga hal: hak yang sama, peluang yang sama, dan tanggung jawab sipil yang sama—terlepas dari kamu dari budaya apa.
Doski gak sejalan ama pemikir multikultural yang minta hak-hak khusus berdasarkan kelompok budaya. Menurut Barry, kalau negara mulai bikin aturan beda-beda tergantung budayanya, itu bisa ngerusak solidaritas dan bikin masyarakat jadi terpecah. Doski percaya bahwa yang bikin hidup orang makin adil itu bukan pengakuan budaya doang, tapi akses nyata ke hal-hal penting kayak pendidikan yang bagus, layanan kesehatan yang layak, dan pekerjaan yang adil.
Buat Barry, memperjuangkan keadilan itu soal ngangkat semua orang sebagai individu yang setara, bukan sebagai “wakil budaya” yang harus diperlakukan beda. Doi gak bilang budaya itu enggak penting—tapi doi ngewanti-wanti jangan sampai budaya dijadikan kacamata utama buat menilai keadilan.
Cara bikin masyarakat yang adil menurut Barry itu simpel tapi berani: aturan yang sama buat semua, perlindungan yang sama buat semua, dan peluang yang sama buat semua—tanpa ngelihat loe datang dari suku mana, ngomong bahasa apa, atau pakai baju adat apa.

[Bagian 7]
[Bagian 5]

Tiga Isu Besar Ekonomi (5)

Di sebuah sekolah menengah di London, seorang guru olahraga bikin lomba lari. Tapi alih-alih semua murid start dari garis yang sama, doski mulai dengan kasih perintah:
“Langkahkan dua langkah ke depan kalau orang tuamu lulusan perguruan tinggi.”
“Dua langkah lagi kalau kamu nggak pernah khawatir soal makanan.”
“Dua langkah ke depan kalau kamu selalu punya Wi-Fi di rumah.”
Begitu selesai, beberapa murid udah mendekati garis akhir—padahal lombanya belum dimulai. Sementara yang lain masih berdiri di belakang, belum melangkah sama sekali.
Lalu sang guru ngomong, “Sekarang kita mulai larinya. Tapi ingat, kalian enggak semua mulai dari tempat yang sama.”
Saat lomba dimulai, yang di depan tinggal lari santai dan menang, sedangkan yang di belakang ngos-ngosan ngejar. Setelah selesai, sang guru bilang, “Inilah dunia nyata. Kita sering nyebut hidup ini adil, tapi kalau titik awalnya beda, ya enggak adil juga namanya.”
Pelajaran hari itu lebih nempel di kepala murid-murid dibanding semua poster motivasi atau pidato bendera tiap Senin. Ini bukan sekadar pelajaran olahraga—itulah pelajaran cepat soal empati, privilege, dan makna "equality" yang sesungguhnya.

"Equality" atau kesetaraan, itu intinya kayak bilang: “Semua manusia itu setara nilainya, bro —enggak peduli loe lahir di istana atau di gang sempit.” Bukan berarti semua orang harus punya mobil yang sama, rumah yang sama, atau followers yang sama banyak. Bukan, tapi setidaknya, gak ada yang ditindas cuma karena beda warna kulit, beda agama, beda gaya hidup, atau beda isi dompet.

Kalau dilihat dari kacamata politik, equality itu kayak jaminan bahwa semua orang punya hak yang sama buat nyalonin diri, milih, didengar, dan dapet perlakuan yang adil di depan hukum. Bukan yang satu bisa bebas karena punya “orang dalam,” sementara yang satu dijeblosin cuma karena miskin dan enggak punya kuasa.

Dalam karya legendarisnya, A Theory of Justice (1971, Harvard University Press), John Rawls enggak mendefinisikan equality sebagai semua orang harus punya barang yang sama, bakat yang sama, atau hasil hidup yang sama. Doski justru nawarin konsep equality yang lebih dalam dan terstruktur, yang disebutnya sebagai “equality as fairness” —kesetaraan yang berangkat dari keadilan.Rawls mendefinisikan keadilan sebagai “fairness”—alias keadilan itu ya soal adil beneran, bukan cuma soal ikut aturan atau kasih hukuman. Buat Rawls, masyarakat yang adil itu bukan yang rapi doang, tapi yang beneran nganggap semua orang itu penting dan layak dihormati, terlepas dari lahir di mana, siapa orang tuanya, atau gimana kondisi awal hidupnya.
Buat ngebuktiin idenya, Rawls bikin eksperimen pikiran yang cerdas: bayangin loe disuruh bikin aturan hidup, tapi loe belum tahu loe bakal lahir sebagai siapa—miskin, kaya, difabel, jenius, perempuan, minoritas, atau apapun. Kondisi ini disebutnya sebagai “veil of ignorance”. Dalam keadaan ini, orang cerdas pasti bakal bikin aturan yang adil buat semua, karena enggak ada yang mau jadi pihak yang dirugikan.
Dari situ, Rawls nyusun dua prinsip keadilan. Pertama, semua orang harus punya hak dan kebebasan dasar yang setara. Kedua, kesenjangan boleh ada, tapi cuma kalau itu bikin hidup orang paling susah jadi lebih baik, dan peluangnya terbuka buat semua orang secara adil.
Dengan kata lain, Rawls enggak bilang semua orang harus sama rata. Tapi dia bilang, kalau mau ada perbedaan, perbedaan itu harus bisa dibela secara moral, alias enggak boleh cuma nguntungin yang udah di atas. Buat Rawls, equality bukan tujuan akhir, tapi landasan utama supaya keadilan bisa beneran hidup di tengah masyarakat demokratis.

Waktu Rawls bilang semua orang harus punya hak dan kebebasan dasar yang setara, doski sebenarnya lagi nyindir keras sistem yang cuma ngasih “kebebasan” ke mereka yang udah punya kuasa. Buat Rawls, hak-hak ini bukan hadiah, bukan bonus loyalitas, dan jelas bukan fasilitas buat kalangan elite doang. Hak dasar itu kayak oksigen—harus otomatis dimiliki semua orang semata karena mereka itu manusia, titik.
Yang doski maksud dengan “kebebasan dasar” itu misalnya: hak bicara, bebas punya keyakinan, bebas berkumpul, hak buat milih pemimpin, bisa nyalonin diri, dan dilindungi hukum secara adil. Dan Rawls enggak mau semua itu cuma berlaku di spanduk kampanye—doski maunya semua itu beneran bisa diakses ama siapa aja, tanpa terkecuali. Bukan cuma yang punya duit, koneksi, atau marga tertentu yang bisa bersuara, sementara yang lain cuma bisa nonton dari pinggir.
Menurut Rawls, hak-hak ini bukan sekadar tempelan, tapi prinsip utama dari keadilan—bahkan lebih penting dari urusan ekonomi atau pertimbangan untung rugi. Negara enggak bisa nyebut dirinya adil kalau masih ada kelompok yang dibungkam, dibatasi, atau dianggap enggak cukup penting buat didengar. Keadilan sejati baru bisa mulai kalau semua warga berdiri di garis yang sama, punya suara yang sama keras, dan bisa ikut bikin aturan main dalam kehidupan bersama.
Rawls ngajak kita main imajinasi: bayangin loe bikin aturan hidup, tapi loe enggak tahu nanti bakal lahir jadi siapa—miskin atau kaya, cowok atau cewek, cerdas atau biasa-biasa aja. Di kondisi yang doi sebut "veil of ignorance", orang rasional pasti bakal bikin aturan yang ngelindungin yang paling lemah. Dari situ lahir dua prinsip penting tersebut
Menurut Rawls, equality itu bukan bikin semua orang jadi seragam, tapi bikin sistem yang adil dan inklusif, dimana yang paling rentan pun tetap punya peluang buat maju. Equality itu bukan bonus, tapi pondasi. Bukan hadiah akhir, tapi titik awal keadilan. Ini bukan teori buat anak-anak debat doang—ini semacam peta moral buat dunia yang beneran pengin lebih manusiawi.

Justice as Fairness: A Restatement” semacam versi “remaster” dari karya legendaris Rawls “A Theory of Justice”, yang bisa dibilang kitab sucinya para pemikir politik abad ke-20. Dalam karyanya ini, Rawls nyederhanain teorinya—biar makin relatable, tapi tetap nendang.
Rawls bilang, keadilan itu nggak selalu soal semua orang diperlakukan sama, tapi soal sistem yang dirancang biar yang paling lemah sekalipun tetep punya peluang buat hidup layak. Doski punya ide jenius yang disebut “original position”: bayangin loe disuruh bikin aturan hidup, tapi loe belum tahu bakal lahir jadi siapa—anak pejabat, anak petani, kaya, miskin, sehat, atau sakit. Dari situ, loe bakal bikin aturan yang adil buat semua, karena bisa aja loe yang nanti kena dampaknya.
Buat Rawls, equality politik itu bukan cuma hak buat nyoblos atau bikin KTP. Tapi juga bikin sistem pendidikan, pajak, dan layanan publik yang beneran ngasih semua orang peluang buat naik kelas. Teorinya udah jadi pondasi perdebatan soal negara kesejahteraan, pajak progresif, dan tanggungjawab negara ke rakyat—bukan cuma basa-basi kampanye.

Dari kacamata filsofis, equality itu bukan sekadar jargon sosial atau janji manis politik saat musim kampanye. Konsep ini konsep moral yang dalam banget, yang berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia punya nilai yang sama sebagai manusia. Para filsuf, dari zaman Aristoteles sampai era sekarang, terus debat soal satu hal: gimana sih caranya memperlakukan semua orang secara setara?
Inti dari equality versi filosofi yalah: nggak ada manusia yang secara bawaan lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Semua layak diperlakukan dengan hormat, tanpa syarat.
Dalam dunia filosofi, equality punya banyak wajah. Ada kesetaraan moral—artinya setiap orang, mau tukang parkir atau profesor, berhak atas rasa hormat yang sama. Ada juga kesetaraan politik, dimana tiap warga punya hak suara yang setara. Lalu ada kesetaraan kesempatan—nggak boleh ada orang yang dibikin susah maju cuma karena lahir dari keluarga susah, beda gender, atau beda warna kulit.
Tapi perdebatan klasiknya begini: apakah equality itu artinya hasil akhirnya harus sama rata buat semua orang? Atau cukup kesempatannya yang setara, sedangkan hasilnya tergantung usaha dan bakat masing-masing? Filsuf kayak John Rawls bilang, gap boleh ada, asal gap itu bikin yang paling bawah ikut naik, bukan makin tenggelam.
Pada akhirnya, equality dalam filsafat bukan tentang semua orang harus sama persis, tapi soal adil, manusiawi, dan enggak ada yang dianggap kurang layak cuma karena dirinya “berbeda”.

Salah satu rujukan paling jujur dan tajam soal equality dari sisi filosofi adalah “Equality and Partiality” karya Thomas Nagel, terbit tahun 1991. Buku ini bukan cuma ngasih teori di atas awan, tapi ngebahas pergulatan batin yang real banget: gimana caranya kita tetep sayang ama keluarga kita, tapi juga adil ke orang lain yang enggak kita kenal?
Nagel bilang, equality itu bukan sekadar bagi-bagi hak atau barang biar rata. Tapi berangkat dari gagasan etis yang dalam: kalau kita keluar dari ego pribadi dan lihat dunia dari sudut pandang netral, kita harus memperlakukan semua orang dengan nilai moral yang sama. Nah, dari sini muncul pertanyaan gawat: loe cinta anak loe, tapi anak orang lain juga punya hak buat dicintai—jadi gimana dong?
Nagel gak kasih solusi instan. Doi justru ngajak kita masuk ke konflik moral antara "sudut pandang pribadi" (yang penuh cinta, identitas, dan loyalitas) dan "sudut pandang impersonal" (yang adil tapi dingin). Karya ini jujur banget: equality itu bukan barang gampangan. Tapi tetep harus diusahakan, karena inilah panggilan moral yang enggak bisa kita cuekin.

Sebelum kita lanjut, mari kita bahas dulu soal Partiality (Keberpihakan).
Partiality itu, kalau pakai bahasa filosofis, artinya kecenderungan alami manusia buat lebih peduli atau kasih perhatian lebih ke orang-orang yang dekat secara emosional atau sosial. Kita cenderung mikirin duluan “orang kita”—kayak keluarga, sahabat, kampung halaman, atau negara sendiri—ketimbang orang asing yang enggak kita kenal. Dan itu bukan karena kita udah mikir logika moral rumit, tapi karena ada rasa, ikatan, dan loyalitas di situ.
Para filsuf enggak nganggap partiality itu dosa atau salah mutlak. Justru, inilah bagian dari kita sebagai manusia. Inilah alasannya kenapa seorang ibu rela ngelindungin anaknya apapun yang terjadi, atau kenapa kita lebih sedih waktu teman kita meninggal, dibanding dengar berita ribuan orang wafat di tempat jauh. Partiality bikin dunia moral kita jadi hangat, personal, dan penuh rasa—karena hidup enggak cuma soal prinsip, tapi juga soal hubungan.
Taapii, di sisi lain, partiality sering bentrok ama prinsip imparsialitas moral—yaitu keyakinan bahwa semua orang seharusnya diperlakukan setara, tanpa pandang bulu. Di sinilah konflik batinnya: gimana caranya kita adil buat semua orang, sementara hati kita lebih duluan mikir soal “yang kita kenal dan kita sayang”?
Intinya, partiality bukan kesalahan moral. Ini kenyataan emosional dan etis. Partiality ngingetin kita bahwa meskipun kita pengin adil buat semua, hidup kita dibangun di atas rasa memiliki, cinta, dan keberpihakan.

Dalam bukunya Partiality (2013, Princeton University Press), Simon Keller ngajak kita mikir ulang soal hal-hal yang sering kita anggap wajar: kayak sayang banget ama keluarga, bela negara, loyal ama sahabat, atau cinta mati ama pasangan. Doski gak asal bilang itu salah, tapi doski nanya balik: emang benar ya kita boleh bersikap beda ke orang cuma karena mereka “dekat” ama kita?
Keller ngebahas ini dari sudut pandang filosofi moral yang serius, kayak ngajak kita duduk bareng Socrates di kafe sambil ngopi dan debat soal etika. Doi bilang, banyak dari sikap kita yang “berpihak” (alias partial) itu bisa bentrok ama prinsip moral yang adil dan netral. Misalnya, pas kita bela negara mati-matian padahal negara kita sendiri mungkin lagi ngelakuin hal yang nggak adil ke orang lain—apa itu tetap bisa dibenarkan?
Buat Keller, perasaan cinta atau loyalitas itu memang kuat dan manusiawi, tapi bukan berarti otomatis benar secara moral. Kita harus siap untuk mempertanyakan: apakah kita lagi sayang beneran, atau cuma ikut-ikutan norma sosial? Doski nggak bilang kita harus jadi robot tanpa perasaan, tapi doski ngajak kita supaya gak semudah itu ngerasa semua bentuk keberpihakan itu pasti baik.
Intinya, Keller itu kayak teman yang tiba-tiba nanya, “Loe cinta ibu loe karena dia ibu loe, atau karena doi orang baik?” Nah, dari situ doski mulai buka diskusi soal apakah cinta dan loyalitas bisa bertahan kalau diuji pakai moral universal.

Kalo loe suka nonton film yang bikin mikir kayak Black Mirror atau The Good Place, buku ini tuh setipe—bikin loe mikir, “Eh, jangan-jangan selama ini gue salah paham soal cinta dan loyalitas.”
Dalam Bab Pertama bukunya, Partiality, Simon Keller tuh kayak pembuka film drama yang pelan tapi dalam. Doski ngajak kita ngelihat kenyataan sehari-hari yang sering banget kita anggap biasa aja: bahwa wajar banget kalau kita lebih mikirin keluarga, teman deket, atau negara sendiri dibanding orang lain. Kayak, ya udahlah, masa iya orang tua nggak boleh belain anaknya? Atau sahabat nggak boleh nutupin kesalahan temennya?
Tapi di sinilah Keller mulai “nusuk”. Doi ngelempar satu pertanyaan mendasar: kalau kita percaya bahwa semua manusia harus diperlakukan sama, lalu kenapa kita boleh berpihak cuma karena hubungan pribadi? Gimana bisa kita nerima prinsip keadilan universal tapi sekaligus ngerasa oke-oke aja jadi ‘team keluarga’ atau ‘team negara’?
Keller nunjukin betapa dalemnya keberpihakan ini udah nempel di hidup kita. Rasanya bukan cuma manusiawi, tapi juga bermoral—kayak cinta, kesetiaan, solidaritas. Tapi di sisi lain, sikap yang sama bisa jadi alasan orang nepotisme, pilih kasih, bahkan jadi kejam ke yang dianggap “bukan bagian dari kita”.
Bab ini gak ngasih jawaban—nggak kayak dosen yang langsung ngasih kesimpulan. Justru doi ngasih ruang buat mikir, buat ngerasain dilema moralnya. Doi bikin kita nanya ulang: “Apa bener gue selalu jadi orang baik cuma karena sayang keluarga atau bela sahabat?” Atau jangan-jangan, kita cuma nyamannya aja berpihak, tapi lupa mikirin keadilannya?
Pokoknya, Bab I ini tuh semacam undangan dari Keller buat ikut dalam perjalanan filosofis yang bakal bikin kita mikir ulang soal siapa yang pantas kita bela… dan kenapa.

Di Bab II, Keller mulai nyentuh titik yang lebih pribadi dan emosional: hubungan antarmanusia. Doi bahas kenapa hubungan kita sama orang-orang terdekat—keluarga, sahabat, pacar, pasangan—bisa bikin kita ngerasa wajar banget ngelakuin hal-hal yang mungkin nggak adil kalau kita lakuin ke orang asing. Intinya, bab ini tuh ngebedah: apakah cinta dan hubungan dekat itu bisa jadi alasan moral buat berpihak?
Keller bilang, cinta itu bukan cuma soal rasa, tapi juga bisa jadi “alasan” buat bertindak. Kalo loe sayang seseorang, loe bukan sekadar pengen nolong doi, tapi loe ngerasa loe berhak atau bahkan harus nolong doi—meskipun itu artinya loe jadi nggak adil ke orang lain. Nah, di sinilah Keller mulai nyelidikin: benarkah hubungan pribadi bikin kita punya "aturan moral" sendiri? Atau jangan-jangan itu cuma cara halus kita buat belain ego?
Yang menarik, Keller nggak langsung nyinyir atau sinis. Doi tahu kok, hubungan dekat itu penting banget buat hidup manusia—bikin kita bahagia, ngerasa hidup punya makna. Tapi doi ngelempar pertanyaan tajam: emang cinta dan loyalitas itu udah cukup buat jadi alasan moral? Atau kita tetep butuh pembenaran dari prinsip keadilan yang lebih luas?
Bab ini jadi kayak persimpangan jalan filsafat. Keller ngajak kita mikir: kalau kita bilang hubungan itu sendirinya cukup jadi alasan moral, kita bisa aja ngerusak prinsip keadilan buat semua orang. Tapi kalau kita bilang hubungan itu nggak cukup, rasanya kita jadi dingin dan kehilangan makna cinta.
Bab II ini tuh semacam momen "galau filsafat"—di mana kita mulai sadar, mungkin nggak semua hal yang terasa benar… itu benar secara etika.

Di Bab III, Keller ngebongkar habis soal loyalitas—sesuatu yang sering banget kita anggap keren dan mulia, tapi sebenernya punya sisi gelap yang nggak banyak orang mau bahas. Buat Keller, loyalitas itu bukan cuma soal rasa setia, tapi soal tindakan: kita sering ngerasa wajib ngebela, nurutin, atau nutupin kesalahan orang—entah itu teman, keluarga, bos, bahkan negara—demi dibilang “loyal.” Tapi pertanyaannya: emang itu bener secara moral?
Keller mulai dengan ngingetin kita bahwa loyalitas tuh selalu dipuji. Orang yang setia sama sahabatnya atau negaranya biasanya dipuja bak pahlawan. Tapi doi nyuruh kita berhenti sebentar dan mikir: sebenernya, apa sih yang kita puji? Apa loyalitas itu baik karena bikin hubungan jadi kuat? Atau justru kadang bikin kita tutup mata dari kesalahan dan ketidakadilan?
Keller ngasih contoh-contoh yang bikin mikir: kayak orang yang tetap bela temennya walaupun temennya salah, atau karyawan yang tutup mulut soal praktik curang kantor karena “udah loyal.” Nah, Keller ngajak kita buat nanya: ini loyalitas atau pembelaan buta? Doi mempertanyakan apakah loyalitas itu punya nilai moral sendiri, atau cuma bernilai kalau kita loyal ke hal yang memang benar?
Bab ini tuh semacam alarm buat kita yang suka bangga dibilang “setia.” Keller nggak bilang loyalitas itu buruk, tapi doi nyuruh kita waspada: jangan-jangan, di balik kata “loyal,” kita lagi ngelindungin hal yang salah. Karena kalau kita tetep setia ke hal yang busuk, ya kita ikut busuk juga.
Bab III ini ngajak kita buka mata: kadang yang kelihatan kayak kesetiaan sejati… sebenernya cuma cara sopan buat jadi penonton diam saat yang salah menang.

Di Bab IV, Keller masuk ke ranah paling panas dan sensitif: patriotisme. Di sini doski ngebongkar habis apakah cinta tanah air itu beneran mulia—atau sebenernya cuma bentuk lain dari fanatisme yang dibungkus kata-kata indah. Doi ngajak kita mikir, bisa nggak sih kita cinta negara sendiri tanpa jadi munafik secara moral?
Keller mulai dari kenyataan yang udah umum banget: patriotisme itu dipuji setinggi langit. Politisi suka ngebakar semangat rakyat pake jargon nasionalisme, tentara dianggap pahlawan karena rela mati buat negara, dan kita semua sering diajarin kalau jadi warga negara yang baik tuh harus cinta tanah air. Tapi Keller ngerem semua itu. Doi nanya, “Bentar deh, emang masuk akal ya kita ngebela negara sendiri hanya karena itu negara kita, padahal kita juga percaya semua manusia itu setara?”
Lewat argumen filosofis yang tajam dan contoh dunia nyata, doski kupas satu per satu alasan yang sering dipake buat ngebela patriotisme: mulai dari budaya, sejarah bersama, identitas nasional, sampai rasa terima kasih. Tapi menurut doi, banyak dari alasan itu rapuh. Kalau kita bisa kritik rasisme atau nepotisme karena milih-milih orang tanpa alasan yang adil, kenapa kita malah ngebolehin patriotisme yang juga milih “kubu” cuma berdasarkan batas negara?
Keller nggak sok idealis juga. Doski ngerti kok, identitas nasional itu punya daya tarik emosional yang kuat. Tapi doi tetep minta kita buat mikir jernih: kapan rasa cinta negara itu bikin kita tutup mata dari ketidakadilan, atau ngerasa lebih hebat dari orang negara lain? Jangan-jangan, patriotisme itu kayak seragam yang rapi—padahal isinya bisa aja kebanggaan kosong.
Bab ini tuh semacam kritik elegan buat nasionalisme yang suka pakai moralitas sebagai tameng. Keller nggak nyuruh kita jadi anti-negara, tapi doski ngajak kita buat lebih jujur: kadang yang kita sebut “cinta tanah air” itu cuma alasan halus buat cuek ama penderitaan orang lain.

Di Bab V, Keller ngajak kita ke titik panas dari seluruh debat moral: bisa nggak sih kita jadi orang baik, tapi tetep berpihak? Di sini doi nabrakin dua dunia: dunia teori moral yang netral dan adil buat semua orang—kayak utilitarianisme atau etika Kantian—lawan dunia nyata kita yang penuh cinta, kesetiaan, dan loyalitas ke orang-orang terdekat. Dan hasilnya? Pertanyaan yang bikin kita garuk kepala: emangnya moralitas itu harus selalu adil buat semua, sampai-sampai kita nggak boleh pilih “orang kita”?
Keller mulai dengan ngasih dua contoh teori moral yang keras kepala. Utilitarianisme bilang kita harus bikin kebahagiaan sebanyak mungkin, tanpa peduli siapa yang kita bantu. Etika Kantian bilang kita harus perlakukan semua orang sebagai tujuan, bukan cuma alat buat bantu keluarga atau teman. Tapi coba lihat hidup nyata: kita rela bolos kerja buat bantu adik pindahan, atau bela sahabat walau doi salah. Nah, Keller nanya: ini tanda kita gagal secara moral? Atau justru teorinya yang kelewat kaku dan nggak nyambung ama kenyataan?
Keller nggak langsung ngasih jawaban. Keller kayak hakim yang sabar—dengerin semua argumen, timbang kanan-kiri. Doski buka ruang buat mikir: jangan-jangan teori moral itu terlalu “dingin”, terlalu ideal, sampai lupa gimana rasanya jadi manusia. Tapi bisa juga, rasa hangat dari cinta dan kesetiaan itu cuma ilusi moral—cara kita ngerasa baik padahal lagi pilih kasih.
Di akhir bab ini, Keller kayak ngajak kita berdiri di depan kaca dan nanya: “Kalau loe mau konsisten secara moral, loe siap nggak kehilangan semua hal yang bikin hidup loe berarti?” Doi nggak kasih akhir yang rapi, tapi doi maksa kita buat jujur: moral yang sempurna mungkin butuh pengorbanan yang nggak semua orang siap lakuin.
Bab ini tuh semacam reality check: loe mau jadi orang yang adil ke semua, atau orang yang hangat buat sebagian? Dan… bisa nggak dua-duanya jalan bareng?

Dalam Equality and Partiality, Thomas Nagel ngajak kita ngadepin kenyataan hidup yang pahit-manis: partiality alias keberpihakan itu bukan musuhnya equality, tapi partner yang selalu ribut dalam satu rumah.
Buat Nagel, partiality itu naluri alamiah kita buat lebih peduli sama orang-orang terdekat—keluarga, sahabat, geng kita, bahkan diri sendiri. Itu muncul dari sudut pandang personal, yang dibentuk ama cinta, kesetiaan, dan identitas. Dan Nagel enggak nyalahin itu. Justru doi bilang, itu bagian penting dari jadi manusia—tempat kita nemuin makna, bangun hubungan, dan ngerti siapa kita.
Namun, di sisi lain, ada yang doi sebut “sudut pandang impersonal”—alias melihat dunia dari posisi netral, dimana semua orang harus diperlakukan setara, tanpa peduli siapa mereka buat kita.
Partiality bukanlah lawan langsung dari equality. Justru partiality itu yang bikin equality jadi perjuangan berat. Kita ditarik dua arah: satu sisi pengen ngebela “orang kita,” sisi lain merasa wajib adil ke semua orang. Nagel enggak maksa kita milih salah satu. Doi malah ngajak kita mikir: gimana caranya hidup di tengah tarik-ulur ini—bisa setia sama yang kita sayang tanpa ninggalin rasa keadilan buat orang lain.
Pesan Nagel sederhana tapi dalem: jadi manusia seutuhnya itu ya soal bisa seimbang antara cinta dan keadilan, antara hati dan prinsip, antara urusan pribadi dan tanggungjawab sosial.

Dari sudut pandang filosofi, equality itu bukan soal bikin semua orang hidupnya sama, bajunya seragam, atau impiannya kembar. Bukan juga utopia polos dimana semuanya rata kayak permukaan meja. Equality itu komitmen moral buat ngakuin bahwa setiap manusia punya nilai yang sama, mau lahir di istana atau di gang sempit, punya gelar atau enggak, bisa lari cepat atau pakai kursi roda.
Para filsuf melihat equality itu kayak kompas moral sekaligus tantangan politik. Inilah sikap etis yang bilang: “Lihat semua orang sebagai manusia penuh martabat, layak didengar, dan berhak punya kesempatan.” Tapi di saat yang sama, mereka sadar: hidup itu enggak hitam putih. Kita punya keluarga, sahabat, geng, nostalgia—yang bikin kita mustahil jadi 100% netral. Makanya kayak yang dibilang Thomas Nagel, equality itu bukan soal ngapus rasa sayang pribadi, tapi ngimbangin itu dengan rasa adil buat semua.

Equality dalam filosofi ngajak kita ngelakuin hal paling manusiawi: sayang ama yang dekat, tapi tetep peduli ama yang jauh. Enggak harus cinta semua orang sama rata, tapi kita semestinya bangun dunia dimana gak ada orang yang diperlakukan kayak doi itu lebih rendah derajatnya.
Equality bukan surga impian. Equality tuh lebih kayak arah moral—cara jalanin hidup di dunia yang ruwet dan enggak adil ini, dengan mata terbuka dan hati yang masih mau ngerasa.


[Bagian 6]
[Bagian 4]