Yang ngitung angka pengangguran di Indonesia tuh BPS alias Badan Pusat Statistik. BPS ini ngikutin standar internasional dari ILO alias International Labour Organization, tapi tentu aja dibumbui dengan rasa lokal khas Nusantara.
Nah, menurut standar itu, seseorang baru disebut “pengangguran” kalau dia udah cukup umur buat kerja (biasanya minimal 15 tahun), nggak kerja sama sekali dalam seminggu terakhir, siap kerja kapan aja, dan lagi aktif cari kerja. Tapi yang sering kejadian di Indonesia, banyak orang yang masuk “wilayah abu-abu”—kerja serabutan, dagang kecil-kecilan, atau malah udah nyerah cari kerja karena capek ditolak terus. Nah, orang-orang kayak gini nggak dihitung pengangguran, meskipun hidupnya pas-pasan dan masa depan kerjaannya kayak sinetron yang nggak jelas ending-nya.
Secara internasional, ILO punya tiga kategori utama: pekerja, pengangguran, dan yang di luar angkatan kerja (kayak ibu rumah tangga atau mahasiswa full-time). Tapi tiap negara punya gaya sendiri dalam menerapkan itu, apalagi kalau negaranya punya sektor informal yang super gemuk kayak Indonesia. Makanya, meskipun angka resmi kelihatan cakep, bisa jadi itu belum ngitung yang “nganggur terselubung,” yang kerja setengah hati, atau yang gajinya kagak nutup buat beli kopi kekinian.
Jadi gini, bestie–kalau ngikutin hitungan resmi versi BPS (yang ngikut ILO), yang dihitung cuma orang ‘kelabu banget’: mereka yang umur kerja, nganggur total, dan lagi aktif nyari kerja. Pendeknya, yang bener-bener jobless aja yang masuk hitungan. Padahal kenyataannya, banyak orang kerja cuma setengah hati—misal ojol, dagang online, atau kerja di bawah 35 jam seminggu—yang sebetulnya pengen kerja lebih, tapi nggak dihitung.
Nah, kalau pakai definisi yang lebih luas, tuh angka penganggur Indonesia bisa melejit. BPS bilang sekitar 8 % tenaga kerja itu malah 'underemployed' alias kerja dikit tapi pengen banyak. Banyak riset juga bilang, kalau masukin yang nyerah nyari kerja alias ‘discouraged workers’, bisa jadi, angka pengangguran yang sebenarnya mencapai 14 %! Lebih lengkap, ternyata ILO itu nyaranin sama, bestie—ngitung juga underemployment dan potensi angkatan kerja yang setengah keluar tapi masih pengen masuk kerja.
Jadi, mantap dong? Kalau cuma ngeliat angka resmi, kayaknya oke. Tapi kalau mulai masukin kerja susulan, nyerah minta kerja, dan jobless kayak gitu—wah, realita sih jauh lebih pelik dan seru!
Kalo cuman ngeliat angka resmi dari BPS yang pengangguran "sejati" aja, kelihatannya santuy—sekitar 4,8–4,9 %. Tapi kalau kita tambahin versi versi 'ngga seenggaknya kerja tapi kagak cukup' sama 'yang udah nyerah cari kerja', ceritanya beda total!
Pertama, ada sekitar 8 % dari 153 juta pekerja alias sekitar 12,2 juta orang yang disebut underemployed—kerjanya kurang dari 35 jam seminggu, tapi pengen jam lebih. Kedua, sepertiga pekerja atau sekitar 52 juta orang cuma part-time, yang banyak di antaranya kerja informal dan suka nggak terang masa depan kerjanya.
Tambah lagi perkiraan 'penganggur tersembunyi'—orang yang udah stop cari kerja karena hopeless—yang bisa capai 15 juta jiwa. Kalau digabungin semua, bisa jadi tingkat pengangguran sejati plus underutilisation kerja di Indonesia itu sekitar 12–14 %!
Soalnya, angka resmi emang terlihat keren di atas kertas, tapi realitanya itu loh… kaya plot twist sinetron: dramanya masih terlalu banyak, bestie!
Kalau kita liat data pengangguran versi luas—bukan cuma yang resmi—ceritanya jadi lebih real. Berdasarkan data BPS paling update di Februari 2025, yang disebut underemployment alias kerja kurang dari 35 jam tapi pengen lebih itu sekitar 8 %, atau kira‑kira 12,2 juta orang dari total 153 juta pekerja.
Kalau ditelusuri ke belakang, jalan ceritanya mirip—tahu nggak, data kayak dari Indonesia Investments nunjukin underemployment stabil di kisaran 7–9 % selama 2020–2024, sementara pekerja informal tetap ngeban sekitar 55–65 % dari total pekerja. Parahnya, di 2023 sekitar 30 % pekerja kerja di bawah 35 jam seminggu—ini tanda nyata tenaga kerja kita banyak yang “nganggur tapi nggak resmi”.
Dan sekitar 16 juta pekerja di 2024 bilang kalau mereka pengen kerja lebih banyak jamnya—naik sekitar 80 % sejak 2018.
Belum lagi yang disebut discouraged workers, alias yang udah bosen nyari kerja dan mundur sendiri—jumlahnya nggak keitung resmi, tapi riset bilang bisa jutaan orang.
Jadi kalau digabungin—underemployment (8 %), part-time/informal (~25–30 %), plus para discourager beberapa juta—turun ke angka pengangguran versi luas itu kira‑kira 15–20 %, jauh lebih tinggi daripada angka resmi 4,8 % doang.
Implikasi dari data pengangguran yang lebih luas di Indonesia sebenarnya jauh lebih ruwet ketimbang yang dikasih liat angka-angka resmi. Memang sih, di atas kertas angka pengangguran kelihatan turun—tapi itu cuma berlaku buat yang lagi aktif nyari kerja dan belum dapet-dapet. Padahal, kenyataannya, jutaan warga Indonesia kerja serabutan, nggak punya kontrak, gaji nggak menentu, dan jauh dari kata aman. Mereka ini nggak masuk hitungan “pengangguran” versi BPS, tapi juga nggak bisa dibilang kerja beneran yang bikin hidup layak.
Tren ini nunjukin bahwa pasar kerja kita masih belum cukup kuat buat nampung semua angkatan kerja baru. Anak muda yang baru lulus atau korban PHK terpaksa ngojek online atau dagang cilok cuma buat dapur tetap ngebul. Mereka sih “kerja” secara teknis, tapi jelas belum sejahtera. Masalahnya, karena nggak kelihatan di data resmi, pemerintah bisa aja ngerasa udah sukses ngurangin pengangguran, padahal masalahnya masih numpuk di bawah permukaan.
Akhirnya, ini bisa bikin kebijakan publik jadi salah arah. Pemerintah bisa aja lebih mikirin pencitraan jangka pendek daripada reformasi jangka panjang. Kalau masalah ketenagakerjaan informal ini nggak dibenahi—mulai dari pelatihan skill sampai industrialisasi—ekonomi kita bisa-bisa kejebak di lingkaran setan produktivitas rendah.
Trus, kenapa angka kemiskinan di Indonesia kelihatan lebih rendah dari ekspektasi? Ya karena BPS pakai standar lokal, bukan standar internasional. Tapi bukan berarti datanya ngaco atau bohong ya—ini soal kacamata yang dipakai aja. BPS ngitung kemiskinan pakai garis yang dihitung dari kebutuhan dasar makan (minimal 2.100 kalori per hari) plus kebutuhan non-makanan kayak sewa rumah, transport, dan pendidikan. Tahun 2024, batasnya ada di sekitar IDR 595 ribu per bulan per kepala.
Sementara itu, standar global kayak punya World Bank jauh lebih tinggi karena dihitung pakai metode PPP (Purchasing Power Parity)—semacam cara biar harga antarnegara bisa dibandingin secara adil. Garis kemiskinan versi negara menengah bawah itu US$4,20 per hari, dan buat yang menengah atas bisa sampai US$8,30 per hari. Kalau ukuran ini dipakai di Indonesia, ya otomatis jumlah orang miskin langsung meledak—bisa 20 % bahkan lebih dari 68 %, tergantung standar yang dipakai.
Jadi meskipun versi BPS menunjukkan penurunan, kalau kita pakai kacamata dunia, situasinya bisa kelihatan jauh lebih genting. Bukan karena ada yang ngibul, tapi karena beda cara ngitung. Walaupun begitu, para pengamat tetap nyentil: kalau kita cuma pakai definisi lokal, bisa-bisa kita nganggap kondisi rakyat "baik-baik saja" padahal banyak yang hidupnya sebenarnya di ujung tanduk.
Tren data kemiskinan resmi BPS selama 5 tahun terakhir: Maret 2019 berada di 9,41 % (sekitar 25 juta jiwa), melonjak jadi 9,78 % (26,4 juta) di 2020 pas pandemi, terus puncak 10,14 % (27,5 juta) di 2021. Tapi setelah itu mulai drop ke 9,54 % di 2022, 9,36 % di Maret 2023, dan paling segar Maret 2024 turun ke 9,03 % (25,2 juta)—terendah sejak satu dekade terakhir!.
Kalau pakai standar internasional ala World Bank, lobster banget skalanya. Di 2024, sekitar 5,4 % orang Indonesia hidup di bawah garis ekstrem (US$3 per hari), terus kalau garis US$4,20 per hari naik jadi 19,9 %, dan pakai ukuran US$8,30 per hari—woah—sampai 68,3 % dianggap “miskin” menurut ukuran negara berpendapatan menengah atas.
Jadi, ya, meski BPS ngasih kabar kalau kemiskinan nasional lagi turun (dari 10 % jadi sekitar 9 %), kalau dilihat pakai standar dunia, jumlah rakyat yang masih “cukup susah” itu bisa jauh lebih banyak, bestie!
Klasifikasi kemiskinan ala BPS gak cuma yang miskin beneran doang. Berdasarkan data September 2024 yang dirilis Mei 2025, cuma 8,57 % masyarakat alias sekitar 24 juta jiwa yang statusnya pas di bawah garis kemiskinan resmi.
Tapi tunggu dulu, ada juga 24,42 % alias sekitar 68 juta jiwa yang disebut rentan miskin—artinya penghasilannya cuma 1–1,5× garis miskin (masih di pinggir jurang, bro). Lanjut, kelas menengah baru alias emerging middle class itu 49,29 %, kira‑kira 138 juta orang yang penghasilannya 1,5–3,5× garis kemiskinan (kayaknya oke, tapi kalau ekonomi goyah bisa kacau juga). Yang bener‑bener kelas menengah aman cuma 17,25 % atau 48 juta jiwa. Yang udah kaya beneran, alias affluent, cuma 0,46 %—sekitar 1,3 juta jiwa aja.
Intinya: walaupun yang “miskin” resmi kelihatan kecil, jumlah yang hidup di zona bahaya ekonomi jauh lebih besar. Mereka yang rentan atau yang baru mulai merangkak ke kelas menengah itu suhu hidupnya still boiling—sekali kena guncangan ekonomi atau krisis kecil, bisa langsung jeblok lagi.
Buat ngadepin peliknya masalah pengangguran di Indonesia, Kabinet Presiden Prabowo kudu mikir lebih dari sekadar bikin program kerja yang tampak keren di baliho. Udah waktunya pemerintah ngebenerin dari akar, bukan cuma hiasan permukaan. Pertama-tama, sektor informal yang selama ini jadi “penampung darurat” harus dibawa naik kelas. Caranya? Kasih insentif biar UMKM mau daftar resmi, sediain jaminan sosial buat pekerja serabutan, dan benahin aturan ketenagakerjaan biar semua pekerja—baik kontrak, lepas, atau harian—punya perlindungan yang layak.
Selain itu, investasi ke peningkatan skill tenaga kerja harus jadi fokus utama, bukan cuma embel-embel di brosur kampanye. Dunia kerja sekarang makin ke arah digital, ramah lingkungan, dan otomatis. Jadi, pelatihan vokasi harus di-upgrade dan nyambung langsung sama kebutuhan industri. Nggak semua orang mesti kuliah; yang penting mereka punya keahlian, alat, dan akses ke jalur kerja yang jelas dan stabil. Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta bakal jadi kunci biar pelatihan nggak asal-asalan.
Yang nggak kalah penting, strategi industrinya juga mesti dirombak. Selama kita terus ngandelin tambang atau pabrik asing buat bikin barang murah, ekonomi kita bakal stuck di produktivitas rendah. Pemerintah kudu dukung industri yang punya nilai tambah, bangun rantai pasok dalam negeri, dan kasih ruang buat koperasi serta startup lokal yang berinovasi dari bawah. Cuma dengan nge-restart cara produksi, lapangan kerja bisa tumbuh sehat dan tahan banting.
Dan jangan lupa: Indonesia itu negara kepulauan, bukan satu kota gede. Jadi, strategi penciptaan kerja juga harus dibagi-bagi ke daerah. Biar masing-masing wilayah bisa ngembangin ekonomi lokal sesuai karakter dan potensi mereka. Kalau semua dipukul rata dari pusat, ya siap-siap kecewa bareng-bareng.
Buat ngentasin kemiskinan beneran, Kabinet Presiden Prabowo gak bisa cuma ngandelin bansos dan nyulik-nyulik angka statistik biar keliatan kinclong. Ngecut kemiskinan itu bukan cuma soal ngasih makan hari ini, tapi juga soal ngasih alat, hak, dan peluang biar orang bisa lepas dari kemiskinan yang nular turun-temurun. Itu butuh niat gede buat bikin ekonomi tumbuh secara adil, layanan publik yang merata, dan reformasi institusi yang serius.
Pertama, pemerintah kudu serius ngerombak desa. Bukan sekadar bikin jalan atau irigasi, tapi bener-bener ngebantu petani kecil dapet akses lahan, harga jual yang adil, teknologi ramah lingkungan, dan koperasi yang kuat. Reformasi agraria udah nggak boleh dijadiin beban politik, tapi harus dilihat sebagai cara adil buat ningkatin produktivitas.
Kedua, layanan pendidikan dan kesehatan yang bagus harus dijamin merata, apalagi buat daerah terpencil dan kelompok yang dimarjinalkan. Ini bukan amal, Bro, tapi investasi jangka panjang. Kalau anak-anak di Papua, NTT, atau pulau-pulau kecil masih tertinggal dalam baca-tulis, gizi, dan imunisasi, pertumbuhan ekonomi sebesar apapun nggak bakal ngecut kemiskinan sampai ke akar.
Ketiga, sistem perlindungan sosial harus diperluas dan didigitalisasi—bukan cuma buat cegah kebocoran, tapi juga buat jaga martabat. Jangan anggap orang miskin itu cuma penerima bantuan pasif. Mereka tuh warga negara yang punya potensi, bisa kerja, dan bisa bantu muterin roda ekonomi kalau dikasih kesempatan yang fair.
Dan yang paling penting: orang kaya mesti ditarik pajaknya beneran. Keadilan pajak itu harga mati. Kalau negara nggak bisa bagi kekayaan secara adil, ya semua kebijakan kemiskinan itu ibarat ngepel lantai tapi keran bocor masih nyala. Negara yang gagal narik pajak dari atas, ya jangan sok-sokan mau nyembuhin luka di bawah.
Lalu, sambil nyeruput es cappuccionp dan menaikkan alis penuh drama, Cangik bertanya, “Tapi serius nih, Limbuk—emang bener para demonstran itu dibayarin ama para koruptor?