[Bagian 5]Para kritikus udah lama teriak soal pengangguran di Indonesia, bukan cuma dilihat sebagai masalah ekonomi, tapi kayak bom waktu sosial yang siap meledak kapan aja. Meski pemerintah sering ngumumin angka pengangguran turun, banyak pakar bilang itu cuma angka doang—di baliknya justru makin banyak kerjaan serabutan dan informal yang gak jelas masa depannya, gak ada jaminan, apalagi jenjang karier.Anak muda, terutama lulusan baru, jadi korban utama. Nyari kerja tuh sekarang bukan soal kemampuan, tapi soal “siapa yang loe kenal.” Gak heran kalau banyak yang ngerasa capek hati dan putus asa. Apalagi dengan makin banyaknya otomasi industri, minimnya lapangan kerja di sektor formal, dan kebijakan yang bolak-balik kayak sinetron sore hari—semua itu dianggap ikut andil dalam makin parahnya pengangguran.Program pemerintah sih ada—pelatihan, modal usaha, dan segala macam—tapi kebanyakan cuma tempelan. Kelihatan keren buat headline, tapi gak nyentuh akar masalah kayak kurikulum jadul, industri yang ogah gandeng kampus, dan investasi jangka panjang yang masih kayak PHP. Intinya, kalau pengangguran masih dianggap masalah musiman, bukan masalah sistemik, Indonesia bisa-bisa ngelewatin bonus demografi cuma buat jadi negara yang makin timpang.Akar masalah pengangguran di Indonesia tuh nggak sesimpel “kagak ada kerjaan,” tapi lebih kayak benang kusut antara sistem pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya kerja kita sendiri. Yang paling jelas: sekolah dan kampus acapkali ngeluarin lulusan yang ilmunya nggak nyambung sama kebutuhan industri zaman sekarang. Banyak yang lulus, tapi bingung mau kerja apa karena nggak ada skill yang relevan.Ekonomi Indonesia juga tumbuh, tapi bukan di sektor yang banyak nyerap tenaga kerja. Yang naik justru sektor padat modal—pabrik gede, tambang, atau teknologi—yang butuh mesin lebih banyak daripada manusia. Di desa-desa, akses ke pasar dan infrastruktur masih cupu, bikin usaha lokal susah berkembang. Sementara di kota, cari kerja kayak ikut reality show: penuh saingan dan penuh koneksi.Masalahnya makin parah karena korupsi dan birokrasi yang semrawut. Banyak program penciptaan kerja yang jadi ajang pencitraan atau malah jadi ladang proyek, bukan solusi jangka panjang. Sektor informal pun tumbuh besar, tapi kayak jebakan batman—kerjaan banyak, tapi gaji kecil, nasib kagak jelas, dan kagak ada jaminan apa-apa.Dan jangan lupa: tiap tahun jutaan orang baru masuk angkatan kerja, tapi lapangan kerja gak tumbuh secepat itu. Migrasi ke kota makin banyak, tapi kotanya sendiri udah sesak. Kalau pemerintah dan sistem gak mau bebenah beneran, pengangguran bakal terus jadi penyakit lama yang dikasih perban doang—kelihatan sembuh, padahal masih parah di dalam.Buku “Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045” ditulis oleh Prabowo Subianto dan diterbitkan oleh PT Media Kita pada tahun 2022, bisa dibilang kelanjutan dari karya sebelumnya, Paradoks Indonesia, dan isinya jadi semacam panduan strategis jangka panjang menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia.Di buku ini, Prabowo ngerancang visi transformasi besar-besaran buat Indonesia—tujuannya jelas: ngelawan kemiskinan, ngurangin ketimpangan, dan lepas dari ketergantungan ekonomi. Beliau ngajak bangsa ini buat balik lagi ke nilai-nilai dasar UUD 1945—yakni keadilan, kedaulatan, dan pembangunan yang bener-bener mikirin rakyat kecil. Menurut Prabowo, sumber daya alam dan jumlah anak muda yang gede adalah aset utama bangsa ini, tapi semua itu bakal sia-sia kalau nggak dikelola dengan jujur dan visioner.Lewat dua belas pilar dasar dan empat tujuan nasional, Prabowo kasih langkah-langkah nyata buat ngantar Indonesia jadi negara emas di tahun 2045—negara yang makmur, berdaulat, adil, dan punya martabat tinggi. Sepanjang buku, Prabowo terus ulangin satu pesan: kalau mau berubah, kita butuh persatuan, disiplin, dan kebangkitan moral. Gak bisa setengah-setengah, Bro!Latar belakang ditulisnya buku Strategi Transformasi Bangsa muncul dari rasa resah Prabowo Subianto atas jurang yang makin lebar antara potensi luar biasa Indonesia dan kenyataan pahit yang masih dirasain rakyat banyak. Menjelang 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045, menurutnya Indonesia kudu ambil langkah strategis jangka panjang yang berani—kalau nggak mau jadi penonton doang di panggung dunia. Keresahannya soal ketimpangan ekonomi, politik yang makin rusak, dan bangsa yang makin tercerai-berai jadi bahan bakar utama lahirnya buku ini. Bukan buat nyinyir, tapi buat kasih arah.Buku ini bisa dibilang kelanjutan dari Paradoks Indonesia, tapi kali ini dengan fokus ke solusi yang lebih konkret. Prabowo pengin kasih peta jalan buat bangsa ini, yang bisa nyatuin elite dan rakyat akar rumput dalam satu visi: keadilan, kemakmuran, dan kedaulatan. Intinya sih, ini buku bukan cuma buat dibaca—tapi buat ngebangunin nurani. Supaya kita nggak ngelupain darah dan keringat para pendiri bangsa, dan bisa warisin republik yang lebih kuat dan bermartabat ke generasi selanjutnya.Waktu ngebayangin Indonesia Emas 2045, Prabowo Subianto kasih gambaran yang gak nanggung-nanggung: sebuah republik yang adil, makmur, dan berdaulat—bukan sekadar jargon, tapi bener-bener kerasa di hidup rakyat sehari-hari. Buatnya, 100 tahun Indonesia merdeka gak cukup dirayain dengan marching band dan baliho gede—tapi harus dibuktiin lewat kesejahteraan yang nyata. Indonesia Emas versi Prabowo itu negeri yang mandiri, punya strategi jangka panjang, dan dipimpin oleh orang-orang berintegritas.Menurutnya, buat sampai ke sana gak cukup cuma modal semangat. Harus ada disiplin, rencana yang matang, keberanian politik, dan yang paling penting: persatuan. Tujuannya bukan cuma bikin ekonomi tumbuh, tapi juga nyiptain keadilan sosial, ketahanan pangan dan energi, teknologi yang maju, dan posisi Indonesia yang disegani di dunia. Tapi semua itu cuma bisa kejadian kalau negaranya kuat, pemimpinnya punya akhlak, dan rakyatnya punya rasa tanggung jawab buat bangsa ini.Menurut Prabowo, cita-cita abadi bernegara itu nggak sekadar target politik jangka pendek, tapi janji suci yang udah tertulis sejak awal di UUD 1945 dan Pancasila. Janji buat bikin semua rakyat bisa hidup bermartabat, adil, dan bebas dari ketakutan atau kelaparan. Negara, menurutnya, harus jadi pelindung rakyatnya, bukan pelayan segelintir elite. Siapapun yang jadi pemimpin, harus tetap pegang teguh misi ini—karena ini bukan cuma aturan, tapi amanah.Ia terus ngulangin: negara harus berpihak ke yang lemah, ngebela yang miskin, dan ngangkat suara yang selama ini disenyapin. Dan buat ngejalanin itu, butuh pemimpin yang berani, punya nasionalisme sejati, dan setia sama cita-cita luhur para pendiri bangsa. Buat Prabowo, idealisme ini nggak bisa dinego. Ini inti dari arti kemerdekaan itu sendiri—bukan buat segelintir orang, tapi buat semua anak bangsa.Soal capaian Indonesia sampai hari ini, Prabowo Subianto nada bicaranya lebih ke “boleh bangga, tapi jangan keburu puas.” Beliau ngakuin ada kemajuan—kayak pembangunan infrastruktur, akses pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi beliau juga bilang, kalau dibandingin sama potensi besar yang kita punya—entah itu tambang, laut, atau jumlah anak muda—kemajuannya masih nanggung banget.Menurutnya, kita masih kejebak sama masalah klasik: korupsi, tata kelola yang lemah, dan ketergantungan sama modal asing. Jadi, daripada tepuk tangan duluan, Prabowo ngajak kita ngaca—negara tetangga udah jauh di depan dalam hal industri, teknologi, dan pemerataan ekonomi. Buatnya, sukses itu bukan soal angka-angka keren di layar TV, tapi soal rakyat kecil bisa ngerasain langsung hasil pembangunan di isi dompet dan isi piring mereka.Sebelum lanjut lebih jauh dengan buku karya Prabowo Subianto, mari kita lakukan tinjauan sejenak sepuluh bulan terakhir masa pemerintahan Prabowo Subianto.Dalam sepuluh bulan pertama jabatan Presiden Prabowo Subianto—dari Oktober 2024 sampai Juli 2025—kritikus makin banyak yang ngeluarin statement keras: programnya besar, tapi manajemennya amburadul, gaya otoriter makin kentara, dan banyak kebijakan tiba‑tiba berubah.Program Makanan Gratis buat anak dan ibu hamil digembar-gemborkan budgetnya US $28 miliar per tahun, tapi banyak kritik soal sustainabilitas keuangannya dan pemotongan anggaran besar-besaran di pendidikan dan infrastruktur. Mahasiswa protes, bikin tagar #DarkIndonesia karena dana dipotong, kuliah dan beasiswa dibatalin tiba-tiba.Gak cuma itu, keterlibatan TNI di sektor sipil makin bikin greget. Militer sekarang urus pertanian, farmasi, dan program sosial. Undang-undangnya juga memungkinkan tentara aktif duduk di posisi sipil atau BUMN—ini bikin banyak pihak was-was kalau demokrasi bakal mundur kayak zaman dulu.Potongan anggaran melalui Inpres efisiensi Rp 306,7 triliun bikin banyak kementerian “mati suri”. Infrastruktur mandek, beasiswa hilang, pegawai sipil bingung kerja apa. Kritikus bilang ini bikin birokrasi lumpuh dan bikin rakyat banyak kecewa.Politik juga jadi sorotan: hampir semua partai parlemen masuk koalisi, oposisi tipis banget. Analis bilang ini bahaya buat checks and balances, negara bisa jalan sendiri tanpa kontrol efektif.Soal lingkungan pun gak dilewatkan. Proyek besar seperti Food Estate dan tambang di Raja Ampat jalan terus tanpa transparansi, rakyat lokal dikit dilibatkan, akhirnya banyak lingkungan yang dirusak dan protes pecah.Kelompok masyarakat sipil juga hati-hati menyorot dominasi eksekutif yang makin kuat, termasuk usulan cara pilih kepala daerah berubah ke DPRD—mereka takut ini tanda otoritarianisme halus mulai tumbuh.
Litbang Kompas—unit risetnya Kompas—ngadain survei antara tanggal 4–10 Januari 2025. Mereka mewawancarai 1.000 orang secara tatap muka di 38 provinsi, dengan margin error sekitar ±3,1%, dan hasilnya: 80,9% responden puas sama Presiden Prabowo Subianto di 100 hari pertamanya menjabat. Ada juga survei dari Indikator Politik Indonesia di 16–21 Januari 2025 yang angkanya hampir sama: 79,3% puas — makin memantapkan tingkat kepercayaannya. Para kritikus ngingetin, popularitas bisa runtuh kalau institusi terus lemah dan ketimpangan makin tajam.Di bulan Juni 2025, hasil survei dari Median nunjukin kalau 65,2% rakyat puas sama kinerja pemerintahan Prabowo–Gibran. Survei ini digelar tanggal 12–18 Juni lewat Google Form ke pengguna medsos, dengan 907 responden dari 38 provinsi. Ada 44,3% bilang puas dan 20,8% bilang sangat puas, sementara sekitar 31% gak puas.Tapi pas awal Juli, survei internal pemerintah yang disampaikan oleh Menko Polkam nyebutin angka puas mencapai 81,2%. Survei ini ngukur dari lima aspek utama: sosial budaya (95,1%), keamanan nasional (83,1%), stabilitas politik (70,8%), penegakan hukum (67,8%), dan kinerja ekonomi makro (67,4%).Hasil lembaga independen di pertengahan Juni kasih angka kepuasan di kisaran 60‑an persen, tapi data resmi pemerintah awal Juli tunjukin lebih optimis—di atas 80 persen gitu. Tapi… ehmm… serius? Banyak yang nyinyir, “Ya iya lah puas… kalo yang bikin survei pemerintah sendiri!” Kalau pemerintah survei dirinya sendiri, itu rawan bias. Bisa aja respondennya disaring, pertanyaannya digiring, atau hasilnya disesuaikan buat pencitraan. Tanpa audit independen, ya siapa yang percaya?Survei Median Juni 2025 memang nunjukin ada penurunan kepuasan publik—rating puas turun ke 65,1%, padahal dulu Februari atau Januari lembaga lain deklarasinya masih di kisaran 80-an persen. Menurut eksekutif Median, banyak responden kasih alasan puas karena program pemberantasan korupsi berhasil—12,6% nyebut ini secara eksplisit. Ada juga alasan lain seperti kerja nyata mulai keliatan (7,7%), janji kampanye dipenuhi (7,2%), pemerintah dinilai cepat dan amanah (5,1%), plus Program Makan Bergizi Gratis (5%).Median menilai angka 65,1% itu sebagai pertanda hati-hati: optimisme publik mulai goyang. Meski masih mayoritas yang puas, penurunan ini nunjukin adanya rasa takut soal pemotongan anggaran, bingungnya kebijakan, dan inkonsistensi dalam hasil nyata. Buat mereka, angka ini jadi alarm: rakyat belum cukup puas hanya sama program besar—tapi butuh integritas kelembagaan yang kuat dan responsif dengan kebutuhan sehari-hari rakyat kecil.Masuk akal banget sih kalau banyak yang mulai kecewa di bulan Juni 2025. Awalnya sih rakyat happy-happy aja, apalagi program makan gratis digas pol. Tapi makin ke sini, banyak yang ngerasa: "Lho, ini negara jalan mundur apa gimana?"Pertama, gara-gara Inpres No. 1/2025, Prabowo motong anggaran sampai Rp 306 triliun. Imbasnya? Beasiswa dibatalin, proyek jalan tol macet, bahkan dana operasional kampus seret. Mahasiswa ngamuk, kepala daerah ngeluh, dan masyarakat bawah ngerasa kayak dikibulin.Kedua, rakyat mulai ngerasa aneh kok TNI makin banyak ngurusin hal-hal sipil. Dari tanam-tanaman sampai obat, tentara turun tangan. Banyak yang takut ini kayak ulangan masa Orde Baru, yang penuh komando dan minim demokrasi.Ketiga, Program Makan Gratis juga makin disorot. Katanya buat rakyat, tapi dananya gede banget dan gak jelas gimana efek jangka panjangnya. Banyak yang bilang, “Gak salah bantu orang makan, tapi jangan sampai bikin negara bangkrut.”Kritikus banyak yang kompak nge-bully performa sejumlah menteri di Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo. Banyak yang bilang, banyak orang ditunjuk cuma sekadar duit atau kursi politik—nggak sesuai kapasitas—hingga ujung-ujungnya suka bikin blunder. Survei oleh CELIOS nya jurnalis-jurnalis yang paham teknik pemerintahan bilang, setidaknya lima menteri itu performanya payah banget: Menteri HAM dapat skornya –113, abis banget. Padahal gak ada satu pun yang dapet nilai “sangat baik”. Gak cuma itu, mereka juga nyorot kabinetnya yang kegedean parah—ada 48 menteri dan 56 wakil menteri. Ini bikin banyak kebijakan jadi tumpang tindih, lambat dieksekusi, dan bikin boros anggaran. Ini namanya “politik bagi-bagi kursi”, bukan kabinet yang diisi orang kompeten.Belum lagi soal banyaknya menteri yang “bekas” era Jokowi. Buat investor mungkin bikin tenang. Tapi kritiknya: loyalitas mereka dianggap masih ke rezim sebelumnya—jadi warga ngerasa kabinetnya gak solid dan susah dipercaya sepenuhnya.Skeptisisme publik dan pakar saat ini nyimpulin: kabinet Prabowo dinilai penuh dengan orang kurang qualified, sering blunder, mayoritas nyalahin rakyat, dan kabinet jumbo penuh jabatan politik. Banyak juga yang bilang menteri belum tentu dukung total visi Prabowo karena loyalitasnya dianggap belum kelar dari Jokowi.Kalau Ketua MPR bilang “keputusan MK soal wakil menteri bisa diabaikan aja,” para kritikus langsung ngamuk. Mereka bilang: “Yang namanya Mahkamah Konstitusi itu kan penegak hukum konstitusi, bukan cuma saran doang!” Pengamat hukum dan masyarakat sipil langsung melayangkan kritik: itu jelas bikin aturan jadi abal-abal dan bikin lembaga negara kelihatan lemah.Mereka juga ngingetin: MK udah bolak-balik bilang wakil menteri itu posisinya sama kayak menteri dalam aturan. So, kalau boleh rangkap jabatan, sama aja ngangkangi hukum. Kalau dilewatin dengan santai, dikhawatirkan jadi pintu belakang bagi arisan jabatan politik dan malah memperkuat oligarki elite.Omongan Ketua MPR yang seolah bilang surat saran MK bisa dikesampingkan, dianggap banyak pihak sebagai bentuk meremehkan norma konstitusi—dan bikin publik makin takut kalau elite politik cuma mikirin pragmatisme, bukan prinsip keadilan dan integritas hukum.Pas Prabowo ngebalas hashtag #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu, netizen bilang caranya nanggepin tuh kurang empati. Alih‑alih dengerin keresahan rakyat, doi malah nyindir soal tagar itu “cuma disusun orang pesimis yang dibayar koruptor.” Banyak yang merasa itu gaya meminggirkan mereka yang protes dan bikin rakyat biasa makin ngerasa suara mereka gak dianggep.Reaksi ini bikin banyak orang mikir: Presiden kayaknya gak nyambung sama kondisi bawah. Dengan nyebut orang yang protes gak nasionalis atau bayaran, ia malah nunjukin seolah rakyat gak boleh curhat soal kebijakan—padahal pemotongan anggaran pendidikan, ekspansi militer ke sipil, dan peluang yang makin sempit itu nyata banget.Emang sih ada segelintir pendukung yang bilang gaya tegas gitu langsung memecah optimisme. Tapi banyak yang khawatir cara ini malah bikin rakyat merasa pemerintahnya lebih milih bungkamin kritik daripada ngajak ngobrol. Kesannya jadi makin kuat: Prabowo itu bukan sosok yang berpihak sepenuhnya ke rakyat bawah. Apa iya?
[Bagian 3]