Hakim Abdel-Qadir Oudeh menjelaskan bahwa cara pembuatan hukum dalam Islam itu beda jauh dari sistem hukum bikinan manusia. Dalam sistem sekuler, hukum dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat, tren politik, dan opini publik yang bisa berubah-ubah. Undang-undang digodok di parlemen, direvisi, diperdebatkan, bahkan bisa dicabut sewaktu-waktu—tergantung siapa yang punya kuasa, siapa yang lobi paling kuat, atau siapa yang punya uang.
Tapi dalam Islam, hukum gak datang dari pemungutan suara atau debat elite. Metode legislasinya langsung bersumber dari wahyu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Dua sumber ini bukan produk kompromi politik, tapi kehendak Ilahi. Di luar itu, para ulama juga pakai alat bantu kayak ijmā‘ (kesepakatan ulama) dan qiyās (analogi hukum) buat ngasih solusi atas masalah baru, tapi tetep di dalam pagar wahyu.
Hakim Oudeh menekankan bahwa hukum Islam itu bukan produk “kehendak mayoritas,” tapi penjabaran dari “kebenaran moral” yang hakiki. Bahkan kalau pakai metode ijtihad atau qiyās, semua tetap jalan dalam batasan Ilahi—kagak bisa seenaknya bikin aturan yang nabrak perintah Allah.
Metode legislasi Syari’ah itu gabungan antara otoritas langit dan ketelitian hukum. Bukan soal ngikutin tekanan politik, tapi soal ngejaga pesan Ilahi agar tetap hidup dan relevan sepanjang zaman. Ini bukan hukum yang dibikin untuk menang pemilu, tapi untuk menjaga keseimbangan dunia dan akhirat.
Dalam pembahasannya soal “Hak penguasa untuk membuat hukum,” Hakim Abdel-Qadir Oudeh masuk ke wilayah sensitif tapi penting dalam politik Islam: boleh nggaknya penguasa bikin peraturan dalam sistem Syari’ah, dan sampai sejauh mana. Oudeh dengan tegas bilang: penguasa nggak punya hak bikin hukum baru yang nabrak atau gantiin hukum Allah yang udah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hukum itu hak prerogatif Allah, titik. Para pemimpin cuma pelaksana, bukan pencipta hukum.
Tapi Oudeh juga ngasih ruang buat dua jenis legislasi terbatas yang masih dibolehkan selama nggak keluar jalur: Legislasi Eksekutif dan Legislasi Regulatif.
Legislasi Eksekutif itu kayak aturan teknis buat ngatur gimana hukum Allah dijalankan. Misalnya, ngatur jam kerja pengadilan, tunjangan hakim, atau siapa yang jadi pejabat daerah. Ini semua bersifat administratif—bukan buat ngerombak hukum Allah, tapi buat ngebantu pelaksanaannya di lapangan.
Legislasi Regulatif itu peraturan yang dibuat buat ngejaga kepentingan umum (maṣlaḥah), asal nggak nabrak prinsip Syari’ah. Contohnya, bikin peraturan lalu lintas, kode etik dagang, atau regulasi kesehatan. Selama itu semua selaras sama nilai Islam dan nggak melewati batas wahyu, maka sah-sah aja.
Tapi Oudeh ngingetin keras: semua peraturan itu tetap harus tunduk pada Syari’ah dan wajib dikaji para ulama. Kalau ada regulasi yang bertentangan sama Al-Qur’an atau Sunnah, meskipun kelihatannya bermanfaat atau populer, tetap aja batal demi hukum. Peran penguasa tuh bukan bikin hukum baru, tapi ngelola pelaksanaan hukum Allah dengan bijak, adil, dan setia pada sumber utamanya: wahyu.
Dengan kata lain, pemimpin boleh ngatur, tapi jangan sampai dpertuhankan.
Hakim Abdel-Qadir Oudeh dengan tegas menyatakan: setiap pemimpin yang nekat ngelangkahin batas yang udah ditetapkan Syari’ah itu bukan cuma zalim—ia lagi ngelawan Allah langsung. Ini bukan sekadar pelanggaran politik, tapi udah masuk ranah pembangkangan spiritual.
Menurut Oudeh, dalam Islam, pemimpin itu bukan pembuat hukum utama. Yang punya hak legislatif absolut cuma Allah. Jadi begitu ada penguasa yang berani-berani ganti, hapus, atau nabrak hukum Allah, doi udah keluar dari jalur. Dalam istilah fiqh, ini disebut ṭughiyān alias kediktatoran tiranik. Bahkan, kalau dilakukan dengan sadar dan sengaja, bisa masuk kategori kufur.
Tapi Oudeh juga ngasih catatan penting: jangan gampang ngevonis. Nggak semua kesalahan penguasa otomatis bikin doski kafir. Harus dilihat dulu niat, tingkat pengetahuan, dan konsistensinya. Tapi kalau doi terus-terusan dan tahu apa yang dilanggarnya, maka secara hukum Islam, kepemimpinannya udah nggak sah, dan aturan yang doi buat nggak punya nilai apa-apa di mata Syari’ah.
Kesimpulannya, kata Oudeh, kalau ada pemimpin yang ngotot bikin hukum tandingan Allah, itu bukan cuma keliru—itu udah kelewat batas. Dan dalam Islam, orang semacam itu nggak layak duduk di kursi kekuasaan. Hukum buatan mereka? Cuma debu di hadapan hukum Allah.
Menurut Hakim Abdel-Qadir Oudeh,
kebanyakan penguasa di dunia Muslim justru melanggar batas yang ditetapkan oleh Syari’ah. Mereka bukan lagi penjaga hukum Allah, tapi malah sok jadi pembuat hukum baru versi mereka sendiri—entah demi ambisi pribadi, tekanan politik, atau pengaruh asing.
Oudeh sedih karena banyak dari penguasa itu ngotot bikin undang-undang yang bertentangan sama ajaran Islam. Mereka nganggap Syari’ah itu kuno, opsional, atau cuma simbol doang. Padahal, sikap seperti ini bukan sekadar salah strategi, tapi udah masuk kategori pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan.
Yang bikin tambah runyam, kata Oudeh, adalah ketika para ulama diem aja. Kalau penguasa melanggar, dan ulama malah mingkem, ya wajar kalau masyarakat jadi kacau—baik secara spiritual maupun hukum. Jadi masalahnya bukan cuma penguasa yang kebablasan, tapi juga sistem yang membiarkan itu terjadi tanpa koreksi.
Nada Oudeh di sini terdengar kayak suara hati yang lelah tapi nggak mau menyerah. Ia bukan cuma ngeluh, tapi ngasih peringatan keras: kalau para penguasa cuek sama batasan dari Allah, maka yang datang kemudian adalah tirani, korupsi, dan kehancuran tatanan moral. Dan itu bukan teori—itu sejarah yang terus berulang.
Hakim Abdel-Qadir Oudeh ngasih tamparan keras buat semua lapisan umat Islam. Ia menggambarkan situasi sekarang itu bukan cuma soal politik atau ekonomi—tapi krisis akidah, keruntuhan moral, dan jauhnya umat Islam dari hukum Syari’ah. Dunia Islam udah kebanyakan nyembah hukum buatan manusia, sementara hukum Allah diparkir di rak buku atau dijadiin simbol kosong. Ini bukan sekadar kegagalan sistem—ini kemunduran jiwa.
Tapi Oudeh nggak nyalahin satu pihak aja. Beliau ngebongkar tanggungjawab empat kelompok utama:
-
Masyarakat Umum:
Menurut Oudeh, rakyat juga salah karena udah terlalu pasrah dan diam. Banyak yang malah nyaman hidup dalam sistem yang jauh dari nilai Islam. Mereka nggak nuntut perubahan, nggak bela Syari’ah, dan makin cuek sama agama. Kalau umat udah nggak peduli, ya jangan heran kalau kezaliman makin merajalela. Umat Islam, katanya, udah kayak singa yang dijinakkan—hilang taring, hilang arah.
-
Pemerintah Islam:
Oudeh ngasih kritik pedas ke pemerintahan yang ngaku Islam tapi hukum Islam-nya malah diabaikan. Mereka lebih sibuk ngejar pengakuan dunia internasional daripada taat sama Allah. Akibatnya? Mereka justru jadi kaki tangan sistem sekuler—dan itu ngebuka jalan buat tirani, kebingungan, dan kehancuran budaya Islam.
-
Para Kepala Negara:
Para pemimpin puncak, kayak presiden dan raja, menurut Oudeh punya dosa paling besar. Mereka punya kuasa buat bikin atau batalin hukum, tapi malah lebih milih politik daripada wahyu. Hukum Allah diperlakukan kayak aksesoris, bukan pondasi utama. Dan yang bikin ngeri, kelalaian mereka bukan karena bodoh—tapi karena lebih mikirin kepentingan dan gengsi.
-
Para Ulama:
Dan ini bagian paling ngebakar: Oudeh nyentil para ulama yang milih diam. Mereka tahu, mereka paham, tapi mereka bungkam. Nggak mau nasehatin penguasa, nggak ngedidik umat, dan nggak lawan ketidakadilan. Diamnya mereka bukan netral—itu pengkhianatan. Kalau penjaga ilmu udah lari dari tugas, maka peradaban Islam bakal membusuk dari dalam.
Intinya? Ini bukan sekadar cari kambing hitam. Ini seruan sadar: perubahan cuma bisa datang kalau semua pihak bangun dari tidur panjang. Dari rakyat biasa sampai ulama dan presiden, semua harus balik ke Al-Qur’an dan Sunnah—bukan cuma buat dibaca, tapi buat dijadikan sistem hidup dan dasar kepemimpinan.
Kalau nggak? Ya siap-siap jadi umat yang dikubur sejarah, bukan ditulis dengan kehormatan.
Pesan penutup dari karya Hakim Abdel-Qadir Oudeh ini adalah tamparan dan seruan perubahan sekaligus. Oudeh nggak pernah bilang Islam itu kuno atau nggak relevan. Justru beliau bilang, yang bikin Islam kelihatan lemah itu umatnya sendiri—khususnya yang nggak paham Syari’ah secara utuh, yang ngejalanin pemerintahan pakai ideologi barat, dan para ulama yang lebih pilih diam daripada bicara kebenaran.
Menurut Oudeh, peradaban Islam hancur bukan karena musuh dari luar, tapi karena pembusukan dari dalam. Umat udah lama ninggalin hukum Allah, lupa sama amanah moral, dan terlalu takut buat berdiri di hadapan kekuasaan. Beliau ngajak semua—rakyat biasa, ulama, sampai pemimpin negara—buat balik lagi ke petunjuk Allah, bukan cuma buat seremoni atau simbol, tapi buat dijadikan sistem hidup dan hukum yang nyata.
Penutupnya bukan nada putus asa, tapi nada kebangkitan. Oudeh percaya, keadilan sejati, kemajuan, dan persatuan cuma bisa lahir kalau umat Islam benar-benar balik ke Al-Qur’an dan Sunnah. Bukan sebagai slogan, tapi sebagai sistem hidup yang utuh. Syari’ah itu bukan penghalang kemajuan—justru satu-satunya sistem yang bisa jaga harga diri manusia, tegakkan keadilan Ilahi, dan bikin masyarakat hidup selaras dengan Penciptanya.