Nah, jadi kemunculan tagar #IndonesiaGelap itu nggak otomatis berarti Indonesia mau kiamat. Yang ada, itu tanda bahwa rakyat lagi ngasih sinyal—mereka resah, kecewa, atau punya harapan yang belum kesampaian. Buat Presiden Prabowo dan kabinetnya, ini seharusnya dianggap bukan sebagai ancaman, tapi sebagai tantangan... bahkan bisa dibilang, undangan buat memperbaiki cara mereka memimpin: biar lebih transparan, lebih adil, dan lebih dengerin suara rakyat.
Tagar itu bukan badai, bestie, tapi judul utama dari keresahan warga yang belum dapet solusi. Dalam demokrasi yang sehat, suara kayak gitu bukan buat dibungkam, tapi buat didengar dan ditindaklanjuti. Jadi ya, #IndonesiaGelap bukanlah akhir, tapi justru lampu sorot—yang nunjukin di mana retaknya sistem, biar bisa diperbaiki sebelum makin parah. Hasil akhirnya—mau jadi keputusasaan atau perubahan—itu tergantung bukan pada yang ngetweet, tapi pada yang punya kuasa untuk ngejawab.
Sampai sekarang, belum ada bukti yang bisa diverifikasi publik yang nunjukin bahwa demo-demo kayak tagar #IndonesiaGelap itu dibiayai ama para koruptor. Emang sih, pemerintah sering curiga atau bahkan tuduh ada yang main di balik layar tiap ada demo, entah itu dari dalam negeri atau luar. Tapi kalau tuduhan kayak gitu nggak dibarengin bukti yang jelas, ya bisa-bisa cuma jadi jurus politik buat ngedistraksi, bukan kebenaran yang beneran.
Apalagi, kalau semua demo dianggap hasil bisikan elit gelap tanpa bukti, itu bisa jadi cara halus buat ngebungkam kritik dan bikin rakyat takut bersuara. Di negara demokrasi, demo itu hak warga. Kalau ada yang emang nyalahgunain demo buat kepentingan licik, tugas aparat lah buat nyelidikin diam-diam dan buktiin di depan publik, bukan asal nuduh rame-rame.
Kalau semua bentuk protes langsung dicap bayaran koruptor, ya itu namanya playing victim level presiden. Padahal bisa jadi demo itu muncul karena rakyat ngerasa bener-bener gelap: harga naik, kerja susah, sekolah mahal, lingkungan rusak. Kalau pemimpin alergi kritik, terus nyalahin semua suara berbeda, ya demokrasi ini lagi-lagi dikebiri pakai dalih patriotisme.
Intinya, kebenaran itu kudu dibuktikan, bukan cukup diumumkan di podium.
Protest: A Cultural Introduction to Social Movements karya James M. Jasper itu keren banget buat yang pengen ngerti demo dan gerakan rakyat dari sisi budaya dan emosi. Doi nggak cuma ngebahas soal duit dan struktur, tapi juga gimana orang memaknai ketidakadilan, marah, solidaritas, dan akhirnya milih aksi—bisa non‑kekerasan atau cari sekutu dulu—itu bagian dari “dilema nakal-atau-baik” ala aktivis yang doi senengin kupas.
Jasper ngajak kita keliling dunia—dari Occupy Wall Street, Arab Spring di Mesir, sampai perlawanan Dalit di India—buat lihat gimana budaya gerakan itu bekerja lewat simbol, musik, cerita historis, kemarahan, atau harapan bersama. Ada juga sidebar yang ngasih bocoran tentang dilema-dilema kayak gimana narik partisipan, jaga momentum, ambil keputusan taktik, dan cara meyakinkan publik atau pihak berpengaruh.
Karya ini cocok buat mahasiswa, aktivis, atau siapa saja yang penasaran sama apa yang bikin gerakan sosial itu hidup. Jasper ngingetin kita: demo itu bukan cuma soal massa, tapi tentang cerita moral, hati yang bergetar, dan pilihan nyata yang dibuat orang-orang—itu yang bikin perubahan bisa terjadi.
Jasper memperkenalkan istilah “melakukan protes” atau “doing protest”—bukan cuma soal komplain ke pemerintah atau tuntutan di atas kertas. Ia lebih ke performa budaya yang hidup: ketika para aktivis memerankan identitas, emosi, dan makna moral secara nyata di depan umum. Protes jadi sebuah aksi penuh simbol, dialog, dan persuasi yang ditujukan ke berbagai audiens—publik, massa, aparat—pokoknya semua yang nonton aksi itu.
Menurut Jasper, “doing protest” itu mencakup cara memilih dan mengekspresikan protes lewat chant, poster, orasi, drama jalanan sampai long march. Doing protest bukan sekadar strategi teknik, tapi alat buat menyampaikan narasi moral dan urgensi bersama. Lewat cara ini, mereka pengin membentuk opini publik, menggerakkan relasi sosial, dan membangkitkan reaksi emosional yang lebih kuat dibanding logika murni.
Menurut James M. Jasper, aksi protes itu bukan sekadar teriak-teriak di jalan atau bawa spanduk. Aksi protes merupakan pertunjukan budaya yang penuh makna. Ia bilang:
“Dulu emosi dianggap bikin kita irasional, tapi sekarang emosi justru bantu kita ngambil keputusan dan ngejar tujuan. Rasa marah yang bercampur keadilan moral—itulah bahan bakar utama protes. Itulah alarm bahwa ada yang nggak beres dan harus dibenerin.”
Jasper juga ngenalin istilah “moral shock”—yaitu semacam guncangan batin yang bikin orang pengen turun aksi, bahkan tanpa diajak komunitas manapun:
“Moral shock itu kayak kejadian mendadak atau info mengejutkan yang bikin hati lo berontak, dan lo jadi pengen ngelawan, walau sendirian.”
Aksi protes, kata doi, adalah soal strategi. Mulai dari bangun identitas kolektif, milih taktik, nyusun narasi, sampai nyari sekutu. Semua itu bagian dari dilema-dilema rumit yang disebut Jasper sebagai “dilema Janus” atau “dilema nakal atau sopan” (naughty-or-nice dilemma).
Di Indonesia, ketika massa teriak “Lawan!”, itu bukan sekadar ngambek rame-rame. Itu bagian dari performa budaya protes yang dikemas dengan simbol, emosi, dan narasi moral. Jasper pasti bakal bilang: “This is protest, culturally performed.”
Lihat aja gerakan kayak #GejayanMemanggil, #IndonesiaGelap, atau bahkan Aksi Kamisan yang konsisten muncul tiap Kamis sore depan Istana. Hashtag di Twitter, poster viral, sampai meme TikTok—itu semua bentuk “moral shock digital”. Orang yang awalnya cuma scroll medsos bisa tiba-tiba pengen turun ke jalan karena merasa nuraninya disentil.
Contoh lain? Kolektif seni kayak Taring Padi di Yogya. Mereka pake mural, poster kayu, wayang, dan musik punk buat ngangkat isu sosial. Ini persis yang Jasper maksud: protes bukan cuma nyuarain tuntutan, tapi juga nyentuh hati dan ngebangun solidaritas lewat seni dan budaya.
Konsep “doing protest” ala Jasper ini, ngajarin kita bahwa protes itu nggak cuma soal ngamuk, tapi soal merancang aksi yang menyentuh, simbolik, dan bikin orang mikir serta ngerasa. Di Indonesia, bentuknya bisa lewat orasi, hashtag, pentas seni, atau bahkan mural dan lagu. Semuanya bukan pelengkap, tapi jantung dari perlawanan.
Jasper ngebongkar cara lama ngeliat gerakan sosial. Buat doi, gerakan sosial itu bukan cuma kumpulan orang marah-marah di jalan, apalagi sekadar reaksi dari kesusahan ekonomi. Lebih dari itu, gerakan sosial adalah drama budaya, penuh emosi, makna, dan mimpi soal dunia yang lebih adil.
Menurut Jasper, gerakan sosial itu ekspresi moral kolektif. Bukan karena dompet kosong semata, tapi karena hati terasa diinjak-injak. Ketika ada ketidakadilan yang bikin hati kita meledak, dan kita nemu orang lain yang ngerasa sama, maka lahirlah sebuah gerakan. Dan lewat gerakan itu, orang-orang “memainkan” nilai-nilai mereka di depan publik—entah lewat demo, musik protes, mural, teater jalanan, atau meme viral.
Jasper bilang, gerakan itu bukan sekadar reaksi budaya—tapi produsen budaya. Mereka ngenalin cara ngomong baru, gaya berpakaian khas, bahkan menciptakan tokoh-tokoh simbolis kayak “Si Anak STM” atau “Emak-emak Penggerak”. Mereka juga bawa mimpi soal masa depan yang lebih bermartabat.
Jasper bilang:
“Gerakan sosial itu sumber nilai, gaya, dan bahkan identitas dalam masyarakat modern.”
Gerakan sosial itu semacam laboratorium budaya, tempat manusia nyoba jadi lebih baik—dan ngasih spoiler ke dunia tentang masa depan yang mereka pengen. Jadi, kalau loe ikut demo sambil nyanyi lagu Fiersa Besari, bawa poster buatan sendiri, terus nangis karena orasi menyentuh—yes, loe lagi jadi bagian dari budaya gerakan itu sendiri.
Menurut James M. Jasper, kalau loe cuma ngeliat demo sebagai sekumpulan orang teriak-teriak bawa spanduk, berarti loe baru lihat kulitnya doang. Jasper ngajarin kita buat ngeliat protes sebagai drama budaya—panggung tempat orang-orang ngungkapin rasa, nilai, dan mimpi soal dunia yang lebih baik.
Contohnya, gerakan mahasiswa 1998. Di mata Jasper, itu bukan cuma soal lengserin Pak Harto. Itu momen dimana mahasiswa memainkan masa depan. Tidur di Gedung DPR, nyanyi lagu perjuangan, naik ke pagar, dan orasi tengah malam—semua itu bukan sekadar taktik, tapi ritual. Mereka lagi “nunjukin” Indonesia baru: yang jujur, demokratis, dan manusiawi. Poster yang mereka gambar sendiri, lagu yang mereka nyanyiin, semua jadi simbol perlawanan dan cara nyatuin rasa.
Trus, liat deh Aksi Kamisan. Itu ibu-ibu, adik, dan keluarga korban pelanggaran HAM berdiri diam pakai baju hitam tiap hari Kamis di depan Istana. Gak teriak, gak bawa toa. Tapi Jasper bilang, itu justru protes level tinggi—karena diam mereka itu teriakan hening yang ngasih makna baru pada ingatan bangsa. Mereka ngajak kita buat inget hal-hal yang negara mau lupain. Setiap berdiri diam itu, mereka lagi nulis ulang narasi sejarah—versi mereka.
Nah, contoh lain yang bikin merinding: Ibu-ibu Kendeng yang ngecor kaki pake semen demi protes tambang semen. Buat Jasper, ini yang disebut “moral shock theatre”—semacam pentas kejutan moral. Gak pake kekerasan, tapi nyentuh jiwa. Bayangin, ibu lo ngorbanin tubuhnya demi jagain tanah? Itu bukan cuma protes, itu puisi budaya. Seakan-akan mereka bilang, “Kalau bumi bisa ngomong, mungkin jeritannya kayak gini.”
Jasper nulis:
“Protes itu bukan cuma strategi, tapi ekspresi terdalam dari rasa dan visi moral para pelakunya.”
Jadi, jangan ngeremehin demo atau aksi jalanan. Kadang mereka bukan cuma ngelawan, tapi lagi nulis kisah dan ngukir jiwa bangsa lewat tindakan simbolik. Mereka bukan sekadar aktivis, tapi sutradara dan aktor yang ngebentuk budaya lewat aksi nyata.
Dalam masyarakat demokratis, pemerintah itu seharusnya nggak ngeliat demo sebagai ancaman, tapi justru sebagai ekspresi sehat dari rakyat yang peduli. Kayak yang dijelasin Robert A. Dahl dalam bukunya "Democracy and Its Critics" (1989, Yale University Press), pemerintah yang sah itu ya yang ngasih ruang buat rakyat ngomong, protes, bahkan marah, selama semua itu bagian dari proses demokrasi. Demo bukan buat dibungkam, tapi buat didengerin—karena bisa jadi itu tanda bahwa ada kebijakan yang nyakitin rakyat.
Dalam "The Responsive City" karya Stephen Goldsmith dan Susan Crawford (2014, Jossey-Bass), dibilang bahwa cara terbaik merespons kritik publik ya bukan dengan marah atau ngecap seenaknya, tapi dengan membuka telinga lebar-lebar. Yang demo itu sering kali bukan lawan, tapi pengingat. Kalau pemerintah malah ngelawan balik atau ngebully massa, itu justru bikin rakyat makin jauh dan bisa meletup jadi krisis sosial. Yang dibutuhin itu komunikasi jujur, forum terbuka, dan pemimpin yang bisa ngempetin ego buat dengerin jeritan warga.
Jadi, kalau rakyat udah turun ke jalan bawa spanduk dan megafon, pemerintah yang waras bukan malah semprot gas air mata atau ngegas di media sosial—tapi justru nanya: "Apa yang belum kami pahami? Apa yang harus kami benahi?"