Rabu, 23 Juli 2025

Syariah vs Hukum (1)

Suatu hari, seorang hakim memutuskan bahwa tanah sengketa jatuh ke tangan seorang saudagar kaya. Padahal jelas-jelas tanah itu dulunya milik seorang anak yatim. Tapi karena sang saudagar punya dokumen resmi dan prosedurnya “katanya” udah sesuai, hakim pun bepihak padanya. Padahal semua tahu dokumen itu hasil rekayasa. Waktu sang anak yatim nangis dan protes, sang hakim cuma jawab dingin, “Begitulah hukum.”

Sementara itu, di pengadilan lain yang pakai Syari’ah, kasus serupa muncul. Tapi sebelum sidang dimulai, hakimnya ngomong ke semua yang hadir: “Allah adalah Hakim yang sebenarnya, dan sidang ini di bawah pengawasan-Nya.” Setelah penyelidikan, terungkap kalau meski si orang kaya punya dokumen, doski sebenernya nyolong hak anak yatim itu. Hakim pun mutusin buat kasih tanahnya ke si yatim, dan langsung nyobek dokumen palsunya sambil ngomong, “Keadilan itu bukan soal kertas, tapi soal kebenaran. Dalam pandangan Allah, kezaliman gak bisa dilegalkan.”

Anekdot ini nyentil banget. Di satu sisi, hukum buatan manusia sering terjebak dalam formalitas, permainan surat, dan kepentingan elite. Tapi Syari’ah? Syari'ah dimulai dari hati nurani, kejujuran, dan rasa takut kepada Allah. Kalau hukum biasa bilang, “Hukum ya hukum,” Syari’ah bilang, “Kebenaran di atas segalanya.” 

Dalam karyanya Islam: Between the Ignorance of Its Followers and the Incompetence of Its Scholars (1978, Holy Koran Publishing House, diterjemahkan ke dalam English oleh Khaled Farag dari tajuk berbahasa Arabnya al-Islām bayna Jahl Abnā’ih wa ‘Ajz ‘Ulamā’ih), hakim Abdel-Qādir Oudeh bilang bahwa kemunduran dunia Islam itu bukan karena konspirasi Yahudi, Barat, atau alien—melainkan karena masalah internal: umat yang asal ikut-ikutan tanpa ilmu, dan ulama yang kehilangan arah, entah karena malas mikir, terlalu takut ngomong yang benar, atau udah tenggelam sama kepentingan politik.
Beliau nyorot banget gimana banyak orang Islam cuma fokus ke ritual doang, tapi nggak paham makna iman. Sedangkan para ulama, yang harusnya jadi penerang, malah sering terjebak pada tafsir lama yang udah nggak relevan, kompromi politik, atau malah cari panggung. Ini kritik yang tajam, tapi bukan buat bikin putus asa—justru biar sadar. Hakim Abdel-Qādir Oudeh ngajak semua kalangan, baik awam maupun cendekia, buat balik ke Islam yang sejati: yang adil, cerdas, dan punya nurani tinggi.
Intinya? Islam itu kuat, tapi yang bikin lemah adalah kita sendiri yang malas mikir dan para tokoh yang nggak berani berdiri di tengah badai.

Hakim Abdel-Qadir Oudeh adalah seorang ulama, pakar hukum, sekaligus pejuang keadilan asal Mesir yang hidup di awal abad ke-20. Beliau lahir pada tahun 1903 di desa Kafr El-Haj Sherbiny, Provinsi Dakahlia, Mesir. Sejak kecil udah khatam Qur’an, terus lanjut kuliah hukum dan lulus tahun 1930. Ia pernah jadi murid ulama beken macam Sheikh Abdul Wahhab Khallaf dan Sheikh Muhammad Abu Zahrah—pokoknya ilmunya mantap.
Kariernya di dunia hukum melejit, dari jaksa sampai jadi hakim. Tapi tahun 1951, beliau mundur dari dunia peradilan dan buka firma hukum sendiri. Kenapa? Karena beliau ngerasa Syari’ah Islam harus dibela dan ditegakkan, bukan ditinggalin demi hukum buatan manusia.
Gak cuma cerdas, beliau juga vokal di dunia politik, dan dikenal dekat dengan Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood). Waktu Presiden Muhammad Naguib mau dikudeta pasca revolusi 1952, Abdel-Qadir Oudeh turun langsung ke jalan memimpin demo besar-besaran buat dukung Naguib. Gara-gara itu, ia jadi musuh utama rezim militer baru.
Lalu, ia dijebak dalam kasus rekayasa—insiden El-Mansheya. Meski ia bahkan nggak ada di tempat kejadian, penguasa waktu itu tetap menjatuhkan hukuman mati. Beliau akhirnya digantung pada 7 Desember 1954, dan dikenang banyak orang sebagai syahid yang mati demi kebenaran.
Beberapa karyanya yang legendaris antara lain: Legislasi Pidana Islam, Islam dan Kondisi Hukum Kita, Islam dan Kondisi Politik Kita, dan Uang dan Kekuasaan dalam Islam.
Tapi mahakaryanya yang paling dikenang ya buku ini: al-Islām bayna Jahl Abnā’ih wa ‘Ajz ‘Ulamā’ih. Kalau diterjemahkan menjadi Islam: Antara Kebodohan Para Pengikutnya dan Ketidakmampuan Para Ulamanya. Karya ini jadi tamparan keras buat umat dan ulama yang ‘offside’.

Hakim Abdel‑Qādir Oudeh membuka kitabnya dengan kritik tajam terhadap kebodohan yang merajalela di kalangan umat Islam. Ia menyoroti bahwa banyak dari kaum awam menjalankan agama secara ritualistik tanpa memahami makna atau nilai moral yang mendasarinya. Menurutnya, kebodohan spiritual seperti ini justru lebih merusak daripada penindasan dari luar.
Di saat yang sama, beliau mengecam para ulama. Menurut Oudeh, pengertian asli tentang ‘keilmuan’ dalam Islam dulu didasarkan pada ketakwaan, keikhlasan, dan amal shalih—bukan sekadar nama besar, silsilah, atau keilmuan teori belaka. Kini, banyak ulama menjadikan ilmu sebagai sekadar barang dagangan, gak menghidupi ajarannya. Bukannya membantu umat tumbuh bijak dan adil, banyak ulama malah bertahan pada tafsir lama atau menutup diri dari kebutuhan umat. Sehingga bab awal ini menjadi panggilan kuat untuk merebut kembali Islam yang hidup dan etis—Islam yang berakar pada ilmu sejati dan praktik yang tulus.

Hakim Abdel-Qadir Oudeh langsung gaspol dengan mengkritik umat Islam yang bangga menyebut diri Muslim, tapi nggak ngerti sama sekali aturan dan prinsip dasar agamanya. Menurut beliau, Syari’ah Islam itu bukan cuma soal salat dan puasa—tapi mencakup semuanya: akidah, ibadah, hukum, politik, administrasi, sampai urusan negara. Islam itu utuh, holistik, bukan agama yang bisa dipotong-potong sesuai selera.
Beliau menekankan bahwa ada dua jenis hukum dalam Islam: satu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (seperti ibadah dan akidah), dan satu lagi yang mengatur hubungan antarmanusia dan tatanan sosial-politik (kayak hukum perdata, pidana, bahkan tata negara). Dan dua-duanya nggak bisa dipisah. Islam itu agama yang nyatuin masjid dan istana, spiritualitas dan keadilan sosial. Kalo loe pilih-pilih syariat mana yang mau diterapkan, itu sama aja kaya merusak pondasi Islam dari dalam.
Beliau juga membandingkan hukum buatan manusia dengan Syari’ah. Hukum manusia itu lemah, terus berubah, dan penuh kompromi. Tapi Syari’ah, karena datang dari Allah yang Maha Sempurna, sifatnya lengkap, luhur, dan berlaku sepanjang zaman. Beda banget: hukum negara butuh polisi buat ditegakin, tapi Syari’ah bisa bikin orang taat meski gak ada yang ngawasin, karena yang dijaga itu bukan cuma reputasi—tapi juga akhirat.
Oudeh memperingatkan: para ulama dan pemimpin jangan berani-berani meninggalkan Syari’ah. Ia menyalahkan penjajahan, budaya latah pada Barat, dan kelalaian ulama sebagai penyebab hukum Eropa masuk ke negeri-negeri Muslim. Dan hasilnya? Chaos. Moral rusak. Umat kehilangan arah. Islam cuma jadi simbol, bukan sistem kehidupan.

Saat Hakim Abdel-Qadir Oudeh menyatakan bahwa “Hukum-hukum Islam ditetapkan untuk agama dan dunia”, maksudnya adalah bahwa Syari’ah Islam gak cuma ngurusin akhirat atau ibadah semata. Hukum-hukum Islam itu dirancang untuk mengatur dua aspek kehidupan sekaligus: hubungan batin antara manusia dan Rabbnya (agama), dan juga urusan lahiriah antar manusia dalam kehidupan sosial (dunia).
Bagian yang menyangkut agama meliputi akidah, ibadah, dan akhlak—yang membentuk keikhlasan, ketakwaan, dan kedekatan spiritual seorang Muslim. Tapi Islam gak cuma berhenti di sajadah. Islam juga masuk ke ranah hukum, ekonomi, politik, bahkan hubungan internasional dan keluarga. Aturan-aturan duniawi ini juga bersumber dari wahyu dan wajib dijalankan, sama seperti aturan salat dan puasa.
Dengan menyatukan yang sakral dan yang sipil, Islam menempatkan dirinya sebagai sistem hidup yang utuh—nggak cuma nyelametin jiwa, tapi juga ngerapiin tatanan dunia. Oudeh menegaskan bahwa keseimbangan ini vital banget—kalau salah satunya diabaikan, rusak deh keseluruhan bangunan agama. Jadi, hukum Islam itu ibarat dua mata uang: satu mengarah ke langit (untuk Allah), satu lagi mengarah ke bumi (untuk manusia).

Hakim Abdel-Qadir Oudeh mengatakan bahwa “Hukum-hukum Syari’ah tidak bisa dipisah-pisahkan”, maksudnya adalah bahwa hukum Islam harus diterima dan dijalankan secara utuh dan menyeluruh. Menurut beliau, umat Islam gak boleh seenaknya memilih hukum mana yang mau diikuti dan mana yang mau diabaikan. Cara seperti itu, katanya, justru merusak keutuhan ajaran yang telah ditetapkan oleh Allah dan bertentangan dengan perintah Al-Qur’an agar tunduk sepenuhnya pada petunjuk Ilahi.
Oudeh menguatkan argumennya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengecam orang-orang yang “beriman pada sebagian Kitab, dan mengingkari sebagian yang lain.” Ia menganggap bahwa memecah Syari’ah—dengan hanya menjalankan aspek ibadah atau moral, tapi meninggalkan hukum pidana, politik, atau sosial—adalah bentuk penyimpangan yang berbahaya. Menurutnya, Syari’ah itu bukan kayak katalog pilihan gaya hidup rohani, tapi sistem hukum dan etika yang menyatu, dari hal paling pribadi sampai tatanan negara.
Jadi ketika beliau bilang “Hukum Syari’ah itu tidak bisa dibagi-bagi,” itu bukan cuma pernyataan hukum, tapi juga peringatan akidah. Oudeh menolak keras kecenderungan zaman sekarang yang cuma menjadikan Islam sebagai urusan pribadi dan menyingkirkan perannya di ruang publik. Baginya, menerapkan Syari’ah secara utuh adalah kewajiban iman, dan memecahnya adalah bentuk ketidakjujuran intelektual sekaligus bahaya spiritual.

Hakim Abdel-Qadir Oudeh bilang bahwa hukum Islam gak dibatasi oleh wilayah, suku, ras, atau zaman. Syari’ah bukan cuma buat orang Arab, bukan juga cuma cocok buat zaman Nabi doang. Ia sistem hukum dan moral yang diturunkan langsung dari Allah buat seluruh umat manusia, sepanjang masa, dimanapun mereka berada. Menurut Oudeh, justru di sinilah kekuatan terbesar Syari’ah: gak ngikutin hawa nafsu manusia, tapi berdiri di atas hikmah Ilahi.
Beliau menegaskan bahwa hukum-hukum Syari’ah nggak dibuat khusus untuk masyarakat padang pasir abad ke-7. Ajaran tentang keadilan, pemerintahan, tanggung jawab sosial, dan akhlak pribadi itu tetap relevan buat siapa aja—mau tinggal di Jakarta, London, Lagos, atau New York. Karena yang dibahas itu bukan soal budaya, tapi soal fitrah manusia dan nilai kebenaran.
Oudeh juga menyoroti bahwa Syari’ah bukan sistem yang kaku. Ia tahu masyarakat itu beda-beda, makanya di dalamnya ada prinsip umum dan aturan khusus, supaya bisa diterapkan secara fleksibel tapi tetap dalam koridor wahyu. Jadi waktu Oudeh bilang Syari’ah itu “global,” itu sindiran elegan buat orang-orang yang bilang hukum Islam udah kuno atau cuma cocok buat museum sejarah. Justru sebaliknya—Syari’ah itu relevan banget, timeless, dan bisa jadi solusi moral buat dunia yang makin bingung.

Hakim Abdel-Qadir Oudeh ngetegasin bahwa hukum Islam itu udah paripurna—gak butuh tambal sulam manusia, apalagi revisi seenaknya. Syari’ah yang diturunkan lewat Al-Qur’an dan Sunnah itu, menurut beliau, udah mencakup semua hal yang dibutuhin buat ngatur hidup manusia—baik secara spiritual, etika, hukum, sampai urusan politik dan negara. Beda banget sama hukum buatan manusia yang tiap ganti presiden aja bisa berubah total, Syari’ah berdiri di atas hikmah Allah yang nggak lekang oleh zaman.
Oudeh menekankan bahwa kelengkapan Syari’ah ini mencakup segala aspek kehidupan. Dari urusan hati sampe perkara negara, semua ada aturannya. Tapi jangan salah paham—Syari’ah itu nggak kaku. Justru karena punya prinsip umum, metode adaptif kayak qiyās (analogi hukum) dan ijtihād (pemikiran independen), Syari'ah bisa menyesuaikan diri sama perubahan zaman, tanpa kehilangan jati diri keilahiannya.
Beliau juga nyentil keras mereka yang bilang Syari’ah itu udah kuno atau nggak cocok lagi buat zaman sekarang. Buat Oudeh, ngomong kayak gitu tuh sama aja kayak nggak ngerti dari mana Syari’ah itu berasal. Ia bukan undang-undang bikinan parlemen, tapi petunjuk hidup dari Sang Pencipta. Nganggap Syari’ah masih “belum lengkap” itu menurut beliau bukan cuma salah paham—itu udah masuk kategori sombong intelektual dan pengkhianatan spiritual. Justru karena  permanen, itulah bukti kalau Syari'ah udah sempurna.
Jadi jangan salah: yang tetap bukan berarti kaku, dan yang abadi bukan berarti kuno. Syari’ah itu kayak matahari—nggak perlu diperbarui, karena dari dulu sampai nanti, Syari'ah tetap jadi sumber cahaya yang paling murni.

Hakim Abdel-Qadir Oudeh ngebedain dengan tegas—bahkan bisa dibilang nyentil banget—antara hukum Allah dan hukum bikinan manusia. Kata beliau, Syari’ah itu asalnya dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Jadi, petunjuk-Nya gak mungkin salah, cacat, atau kadaluarsa. Aturan-aturan dalam Syari’ah lahir dari keadilan sejati dan pemahaman menyeluruh tentang manusia, bukan dari hasil debat di meja parlemen.
Sementara itu, hukum buatan manusia, menurut Oudeh, lahir dari akal yang terbatas, penuh bias, dan kadang-kadang disetir kepentingan politik atau tekanan sosial. Makanya, hukum manusia itu sering banget berubah-ubah, tambal sana-sini, dan kadang isinya malah lebih mikirin keuntungan ekonomi atau suara pemilu ketimbang keadilan. Gak heran kalau hukum semacam ini sering mandul dalam menegakkan keadilan sejati.
Oudeh juga menyoroti bahwa Syari’ah punya kekuatan moral yang jauh lebih dalam dibanding hukum buatan. Kalau hukum negara butuh polisi buat nakutin orang supaya taat, Syari’ah justru bikin orang patuh dari dalam—karena iman dan rasa takut akan pertanggungjawaban di akhirat. Itulah yang menurut beliau bikin Syari’ah unggul total: bukan cuma dari isi hukumnya, tapi dari siapa yang bikin—langsung dari Sang Pencipta.
Kesimpulannya? Hukum manusia gak bakalan pernah bisa nyamain Syari’ah. Karena yang satu lahir dari hawa nafsu dan kepentingan sesaat, yang satu lagi lahir dari wahyu Ilahi yang penuh hikmah dan keadilan abadi.

Hakim Abdel-Qadir Oudeh menjelaskan bahwa Syari’ah itu, bukan sekadar kumpulan pasal-pasal hukum. Ia adalah sistem hidup yang datang dari wahyu Ilahi, mencakup iman, ibadah, akhlak, etika sosial, sampai tatanegara. Di dalam Syari’ah, hukum nyatu ama iman—setiap perbuatan bukan cuma diukur dari sah atau tidaknya, tapi juga dari niat, hati, dan tanggungjawabnya di hadapan Allah.
Sementara itu, hukum buatan manusia, menurut Oudeh, sifatnya sempit, mekanis, dan terpisah-pisah. Ia hanya peduli soal “apa yang dilakukan,” bukan “kenapa dilakukan.” Hukum sekuler biasanya nggak peduli apakah seseorang jujur karena takut polisi atau karena nurani—yang penting nggak melanggar aturan. Dan cara menegakkannya pun eksternal: ada polisi, jaksa, dan sanksi. Nggak ada dimensi hati nurani di situ.
Syari’ah beda total. Ia mengatur yang kelihatan dan yang tersembunyi. Bukan cuma ngatur perbuatan, tapi juga mengawasi niat dan menanamkan rasa malu pada Allah. Dalam Syari’ah, hukum dan ruh saling menyatu. Ada rasa takut yang lembut, bukan karena ditangkap, tapi karena nggak mau mengecewakan Allah. Syari’ah bikin orang sadar bahwa mereka hidup di bawah pengawasan Ilahi, bahkan ketika nggak ada CCTV.
Jadi, “sifat” Syari’ah itu emang beda kelas. Ia bukan cuma sistem hukum—tapi sistem hidup. Ia gak memperlakukan manusia cuma sebagai objek hukum, tapi sebagai makhluk mulia yang punya tujuan suci. Dan karena itu, menurut Oudeh, Syari’ah gak bisa dinilai pakai kacamata hukum sekuler. Syari'ah mainnya di liga yang beda—liga langit.

Dalam membahas “Perbedaan utama antara Syari’ah dan hukum buatan manusia,” Hakim Abdel-Qadir Oudeh menyoroti beberapa hal mendasar, dan tiga yang paling mencolok adalah: asal-usul, cakupan, dan motivasi di balik ketaatan terhadap hukum itu sendiri.
Pertama, soal asal-usul. Hakim Oudeh menegaskan bahwa Syari’ah itu datang langsung dari Allah, lewat wahyu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Karena asalnya dari Allah, prinsip-prinsipnya udah pasti sempurna, abadi, dan gak bisa diacak-acak oleh hawa nafsu manusia. Sementara hukum buatan manusia? Ya lahirnya dari parlemen, akademisi, atau penguasa—yang notabene punya bias, kepentingan politik, dan kadang gampang goyah tergantung tren. Maka hukum buatan manusia itu rapuh, bisa dimainin, dan sering jadi alat kekuasaan.
Kedua, cakupan. Syari’ah itu super luas. Gak cuma ngatur pidana dan perdata, tapi juga akidah, ibadah, etika pribadi, kehidupan keluarga, dan moral sosial. Dari hal paling privat sampai publik, semuanya ada panduannya. Sedangkan hukum sekuler cuma ngurus yang kelihatan dan bisa diawasi polisi. Soal iman, niat, atau urusan hati? Nggak masuk radar.
Ketiga, motivasi. Dalam Syari’ah, orang taat bukan karena takut digerebek polisi, tapi karena cinta sama Allah dan takut hisab di akhirat. Ada dorongan batin, kayak taqwā, keikhlasan, dan kendali diri. Tapi hukum sekuler? Ketaatannya bergantung pada sanksi. Selama nggak ketahuan, ya bebas aja. Jadi patuhnya bukan karena percaya itu benar, tapi karena takut ditangkap.
Tiga hal ini—asal, jangkauan, dan niat—jadi bukti kuat versi Oudeh bahwa Syari’ah bukan sekadar sistem hukum biasa. Syari'ah main di level yang beda. Bukan cuma buat ngatur dunia, tapi juga buat ngarahin jiwa manusia menuju surga.