Minggu, 27 Juli 2025

Paradoks Indonesia (3)

Sebagaimana yang dituturkan Prabowo Subianto dalam bukunya Paradoks Indonesia, peta media mainstream Indonesia didominasi oleh segelintir konglomerat media besar dan media senior yang udah kayak teman nongkrong emak-emak tiap pagi. Betul yang beliau bilang. Kalo kita amati lebih deket, mulai dari TV kayak RCTI, SCTV, Metro TV, Trans TV, sampai TV One, semuanya punya gaya dan afiliasi politik masing-masing. Kalau ke media cetak dan daring, nama-nama seperti Kompas, Tempo, Detik, Tribun Network, CNN Indonesia, dan Republika sering banget jadi sumber rujukan—walau kadang kayak cheerleader pemerintah juga. Kebanyakan media ini dimiliki grup bisnis yang deket banget ama elit politik, jadi jangan heran kalau isi beritanya kadang cenderung "manis-manis sombong" buat kekuasaan. Tapi tenang aja, masih ada juga kok yang coba-coba netral, walaupun ya... tergantung mood bos besar. Di era serba digital, media senior kayak Media Indonesia dan Berita Satu juga ikutan move on ke online biar tetep eksis dan gak kalah ama Gen Z.

Dunia media di Indonesia itu kayak warung makan. Ada yang rasanya manis banget karena nyesuaiin selera penguasa, ada juga yang pedas berani nyentil, bahkan ada yang langsung tumpahin kuah panas ke atas meja kekuasaan! Kita bisa ngebagi media di Indonesia itu jadi tiga kategori.
Yang pertama itu media pendukung pemerintah. Ini media yang kerjanya kayak MC di acara kawinan istana—puji-pujian tiada henti. Mereka doyan banget bikin berita yang nyenengin, dari gaya Mulyono yang katanya sederhana, sampai “pembangunan berkelanjutan” yang seakan tanpa cela. Kritik? Wah, langka banget kayak bakso isi truffle! Sumber utama berita? Ya orang-orang dalam lingkaran kekuasaan aja yang dikasih mic.
Yang kedua, media yang masih punya hati nurani. Ini yang masih percaya ama etika jurnalistik. Kalau ada yang ganjil dari kebijakan pemerintah, mereka gak diem. Mereka ngasih ruang buat akademisi, aktivis, bahkan oposisi yang kadang dianggep toxic ama media lain. Mereka berani ngulik skandal, tapi tetep main aman biar gak dijerat pasal.
Yang ketiga, media oposisi keras. Ini dia nih anak band-nya dunia jurnalistik. Suara mereka keras, judul beritanya provokatif, dan gak takut bikin penguasa ketar-ketir. Mereka berani bongkar pencitraan, ungkap borok yang ditutup-tutupi, dan ngangkat suara civil society, mahasiswa, sampe tokoh-tokoh yang biasanya cuma viral di TikTok.

Media mainstream di Indonesia itu bukan sekadar koran atau stasiun TV biasa—mereka kadangkala jadi 'senjata media' dari konglomerat gede yang punya kepentingan bisnis dan politik. Misalnya nih, RCTI, MNCTV, dan iNews itu milik MNC Group, yang dikendalikan sama Hary Tanoesoedibjo, bos besar yang gak asing lagi di dunia politik dan dikenal deket ama barisan pro-pemerintah. Terus, SCTV dan Indosiar dipegang ama Emtek Group alias Elang Mahkota Teknologi. Mereka juga punya Liputan6.com dan biasanya main aman, fleksibel tergantung arah angin politik. Metro TV dan Media Indonesia digawangi ama Media Group, yang didirikan oleh Surya Paloh, ketua Partai NasDem—dulunya deket ama Jokowi, tapi belakangan tampaknya udah bergeser.
Lanjut ke Trans TV dan Trans7, dua-duanya punya CT Corp, milik Chairul Tanjung. Bos yang satu ini terkenal kalem, gaya politiknya netral-netral gesit gitu deh. Nah, TV One dan ANtv ada di bawah Bakrie Group, yang erat banget ama Aburizal Bakrie dan partai Golkar—partai lama yang selalu punya peran di kekuasaan. Kompas TV dan Kompas.com itu di bawah naungan Kompas Gramedia Group, yang udah lama dikenal sebagai suara kalangan menengah, nasionalis banget, dan agak moderat. Kalau Tempo? Itu punya Tempo Inti Media, dan bisa dibilang masih salah satu yang kritis, suka nyenggol isu panas tanpa tedeng aling-aling. Tribun Network dan Serambi Indonesia, juga dimiliki Kompas Gramedia, tapi lebih ke media lokal dan biasanya gak terlalu frontal. Sementara CNN Indonesia dan Detik.com itu anak-anaknya Trans Media, bagian dari CT Corp juga—jadi udah pasti bergaya korporat dan ngikutin irama pemiliknya.

Bagaimana dengan media oposisi? Di Indonesia, istilah “media oposisi” itu sebenernya cair banget—kagak ada yang resmi nyebut gitu, tapi bisa kebaca dari gaya pemberitaannya yang suka nyolek-nyolek penguasa. Contohnya nih, TV One, punya Bakrie Group, dulu sering banget tampil kritis ke pemerintahan rezim Jokowi, apalagi pas awal-awal. Wajar aja sih, soalnya Golkar (partai-nya si empunya) sempat jadi lawan politik juga.
Trus, ada Republika, dulu sih deket ama ICMI, tapi sekarang di bawah Mahaka Group, yang punya benang merah ke Erick Thohir. Tapi uniknya, Republika sering munculin konten yang lebih konservatif, kadang agak nyentil soal kebijakan liberal dan sekularisme pemerintah.
Nah, kalau loe nyari yang lebih “garis keras” dari sisi agama, ada Suara Islam, Media Umat, dan Hidayatullah.com. Mereka bukan bagian konglomerat media gede, tapi cukup vokal dan gak segan kritik habis-habisan kebijakan pemerintah yang dianggap anti-Islam atau pro-barat. Mereka sering diasosiasikan (walau gak resmi) sama kelompok kayak HTI, FPI, dan semacamnya.
Lalu ada juga Gelora.co, yang dibikin ama eks-politisi PKS yang sekarang bikin Partai Gelora. Medianya ikutan gayanya partai—sering ngingetin soal demokrasi.
Ada lagi Rmol.id dan Pojoksatu.id, yang kadang nulis berita dengan gaya populis dan nasionalis—suka banget ngebahas isu rakyat kecil vs penguasa. Mereka bagian dari Jawa Pos Group, yang gede juga sih.
Terakhir, Narasi TV punya Najwa Shihab, meski gak terang-terangan oposisi, tapi kontennya sering kritis dan dianggep berani nyuarain keresahan rakyat. Apalagi di kalangan anak muda dan aktivis sipil, Narasi jadi semacam oase—kagak ikut arus tapi tetep punya kelas.

Per Juli 2025, ada beberapa media dan platform di Indonesia yang terang-terangan nyinyir ke pemerintah dan gak takut ngumbar kritik terbuka. Contohnya seperti Suara Tanpa Batas dan Jurnal Rakyat, yang tumbuh cepat sebagai platform digital independen dengan reportase yang nggak dipotong sensor, dan sering banget tantang narasi resmi. Watchdoc Indonesia, lewat film dokumenter dan fitur investigatif mereka, konsisten angkat isu sosial dan kritik struktur kekuasaan tanpa kompromi. Lalu Konde.co—meski skala kecil—jadi suara buat kelompok marginal, sering sorot isu yang mainstream media cuekin. Selain itu, Tempo masih juara jadi media kritik paling nyata ke pemerintahan, sampai dapat intimidasi kayak serangan kepala babi ke kantornya, karena mereka gencar bahas revisi UU TNI dan serangan kebebasan pers.
Media-media ini jadi penghalau narasi arus utama; mereka siap ngeliput demo, kasus pelanggaran HAM, kemunduran demokrasi, dan penyalahgunaan institusi—bahkan di tengah situasi politik yang makin represif.

Sampai bulan Juli 2025, Tempo masih menjadi salah satu media paling tahan banting dan dihormati di Indonesia—posisinya tuh unik banget: nggak ikut jadi media penggemar pemerintah, tapi juga nggak main teriak-teriak. Walau auranya sebagai “pahlawan pers reformasi” udah agak pudar, Tempo masih jalan terus sebagai penjaga kekuasaan yang kritis, apalagi di tengah suasana media yang makin banyak ‘masuk angin’ karena tekanan politik dan cuan.

Di tengah lanskap media Indonesia yang makin kepecah dan dramatis per Juli 2025, banyak suara “oposisi” yang gak lahir dari media cetak atau TV, tapi justru mekar di media sosial kayak YouTube ama Twitter (yang sekarang jadi X). Channel-channel ini jadi kayak “media bayangan” yang nyodorin kritik tajam dan versi cerita yang beda banget dari yang disuguhin TV nasional.
Salah satu yang paling ngegas dan ditonton banyak orang adalah channel YouTube Refly Harun, yang gabungin ilmu hukum tatanegara dengan sindiran politik yang kadang pedes banget. Terus ada Rocky Gerung Official yang masih rajin ngebahas politik pakai gaya sarkas, logika tajam, dan kadang kayak stand-up tapi buat mikir.
Ada juga Hersubeno Point dari Hersubeno Arief dan Abrahan Samad Speak Up yang selalu bawa gagasan alternatif dan tajam banget. Kalau bicara jaringan, ada yang bentuknya komunitas atau jaringan wartawan dan aktivis digital kayak Forum News Network (FNN) ama Kanal Anak Bangsa, yang terus-terusan nyorot kemerosotan demokrasi, ketimpangan sosial, dan arah otoriter yang makin kentara di era ini.

Di Indonesia masa kini, media bukan lagi sekadar tukang kabarin berita. Mereka udah kayak pemain tetap di panggung politik. Sampai tahun 2025, sebagian besar media nasional malah dinilai publik terlalu cinta mati sama Presiden Joko Widodo dan lingkarannya. Citra ini muncul bukan cuma karena media sering banget ngangkat keberhasilan Jokowi, tapi juga karena mereka sangat pelit kritik, apalagi soal isu-isu sensitif kayak ijazah, nepotisme, atau langkah politik Gibran.
Media seperti Kompas, Metro TV, Detik.com, Tribun dan TVRI sering disebut-sebut sebagai pengeras suara istana. Pemiliknya? Rata-rata konglomerat yang punya jaringan bisnis dan politik kemana-mana. TVRI yang dibiayai negara, atau BeritaSatu yang dimiliki Lippo Group, biasanya nulis berita pake bahasa diplomatis yang ‘manis’, dengan sorotan yang nyaris selalu ramah ke pemerintah. 
Tapi ini bukan tanpa alasan. Media di Indonesia mainnya rumit: ada politik, ada bisnis, dan yang paling penting—akses ke kekuasaan. Media yang kelewat galak bisa-bisa dicuekin narasumber, dicabut iklan, atau dibungkam secara halus. 
Sementara itu, dunia maya jadi ajang tempur buat suara-suara alternatif. Di YouTube dan Twitter/X, muncul banyak akun dan kanal yang berani nyentil. Ada Refly Harun, Rocky Gerung, Narasi TV, sampai Project Multatuli, yang nyajikan narasi berseberangan dan kadang bongkar hal-hal yang media mainstream cuekin mentah-mentah.
Analisis ini diramu dari hasil pengamatan mesin pencari, tren framing media, laporan lembaga pemantau pers, dan obrolan di medsos. Tujuannya? Bukan buat nuding media mana yang paling parah, tapi biar kita makin jeli pas konsumsi berita. Karena jujur aja, semua pihak bisa bias: si penulis, si media, bahkan kita sebagai pembaca. Ini disclaimer kami yaq! Namanya juga manusia, pasti punya bias. Bisa dari data, bisa dari persepsi. Tapi yang penting, kita sadar bias itu ada, dan kita bandingin banyak sumber supaya gak kemakan satu narasi doang. Intinya? Analisis ini bukan kitab suci. Tapi barangkali bisa menjadi peta awal buat tahu siapa yang lagi nyanyi pujian, siapa yang nyinyir, dan siapa yang bener-bener mikirin publik. Tinggal kita pilih, mau jadi penonton atau pembaca kritis?
Jadi di zaman sekarang, dimana semua narasi bisa dibungkus kayak iklan politik, yang paling penting adalah: jangan langsung telen mentah-mentah! Media itu abu-abu—kadang nyeleneh, kadang nurut, dan sering banget diem di saat yang krusial.

Sekarang, dunia media di Indonesia tampaknya ada di dua sisi. Di satu sisi, media besar masih sibuk nyebarin “soft propaganda”. Di sisi lain, muncul media alternatif digital yang nekat dan vokal banget, walau kadang dibully balik.
Keseimbangan informasi publik tuh bergantung banget ama keberanian media buat nyampein fakta, dan keberagaman sumber berita yang bisa diakses orang banyak. Kalau rakyat cuma baca dari satu jenis media, bisa-bisa cuma dapet versi dongeng kekuasaan.
Makanya, penting banget kita semua buat jadi pembaca yang aktif—bukan cuma nelen mentah-mentah, tapi rajin nyocokin, ngebandingin, dan mikir kritis. Karena di era sekarang, yang diem malah bisa jadi korban paling pertama.

Mari kita balik bicarain lagi bukunya. Di buku Paradoks Indonesia dan Solusinya, Prabowo ngebayangin pers Indonesia yang berani, cinta Tanah Air, dan gak bisa disetir-setir oleh kepentingan asing maupun konglomerat dalam negeri. Menurutnya, tugas media itu mulia: mendidik rakyat, melawan budaya clickbait, dan jaga nilai-nilai bangsa. Pokoknya, media harus idealis, bukan jadi boneka elite.
Tapi, pas kita ngelihat situasi media di tahun 2025, kenyataannya malah makin jauh dari bayangan ideal itu. Sistem tekanan baru mulai muncul sejak Prabowo naik jadi presiden di 2025. Human Rights Watch dan Amnesty sudah catet banyak laporan soal intimidasi dan serangan fisik ke jurnalis, aktivis, dan demonstran—semua itu terjadi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo.
Contohnya, pada Maret 2025, wartawati Tempo dapat kiriman paket horor: kepala babi dan tikus mati tanpa kepala, gara-gara ngulik revisi UU TNI. Ini kejadian pas Prabowo sudah pegang tampuk kekuasaanWaktu massa mahasiswa demo soal anggaran brutal dan revisi UU TNI, banyak wartawan dilawan sama polisi: dipaksa hapus video, dipukuli, bahkan ditahan beberapa jam. Itu semua terjadi saat ini—di era Prabowo.
Para pengamat sama aktivis sipil bilang, suasana sekarang disebut "repression mode soft": bukan dipenjara massal, tapi suaranya di-redam lewat ancaman, pencemaran nama, gugatan hukum, dan sensor halus. Jadi ya, meskipun aktivis belum banyak yang dipenjara, atmosfer yang sekarang jelas muncul sejak Prabowo—kondisi ini baru dan nyata terjadi di bawah pemerintahannya.
Bisa banget sih kalau suasana media di bawah pemerintahan Presiden Prabowo yang sekarang ini belum kelihatan jelas karena beliau baru aja mulai duduk di kursi RI-1. Layaknya presiden baru, Presiden Prabowo mungkin lagi fokus ngerapihin kekuasaan, cari kompromi politik, dan belum mau ribut terang-terangan ama para bos media besar. Jadi, langkahnya masih halus-halus aja, belum ada reformasi dramatis, apalagi buat ngacak-ngacak peta media. Barangkali masih terlalu dini buat menilai secara meyakinkan. 

Dalam membayangkan solusi atas paradoks Indonesia yang gak kelar-kelar, Prabowo membingkai tahun 2045—alias 100 tahun Indonesia merdeka—sebagai momen krusial yang gak boleh cuma jadi perayaan seremonial, tapi semacam tenggat moral. Menurutnya, kekayaan alam yang melimpah dan jumlah anak muda yang besar gak boleh terus-terusan disia-siakan atau dikelola asal-asalan.
Visi Prabowo blak-blakan dan gak tanggung-tanggung. Ia bilang, udah gak zaman lagi pakai solusi tambal sulam. Yang dibutuhin Indonesia sekarang itu perubahan sistemik, bukan sekadar ganti bungkus. Mulai dari bikin ekonomi bener-bener buat rakyat, benahin demokrasi biar suara rakyat gak dimainin, sampai jagain aset negara dari dikeruk asing. Tahun 2045 bukan sekadar ultah—tapi ujian: Indonesia bisa gak lepas dari belenggu ketimpangan, ketergantungan, dan pengkhianatan dari dalam?
Pesannya jelas: Kalau gak gerak sekarang, ya siap-siap terjebak selamanya di paradoks. Kaya sumber daya, tapi tetep aja rakyatnya sengsara.

Di bagian yang berjudul “Ini Potensi Negara Kita”, Prabowo Subianto tegas banget bilang: Indonesia itu kaya luar biasa, bahkan lebih dari yang disadari kebanyakan warganya sendiri. Negara ini dikasih tanah yang subur, laut yang penuh ikan, dan iklim yang bikin kita bisa panen energi dan pangan melimpah. Kata Prabowo, kalau semua ini dikelola dengan benar dan gak dibocorin ke asing terus, Indonesia bisa jadi negara mandiri dan punya daya tawar kuat di dunia.
Tapi ia gak cuma ngomongin sumber daya alam. Buat Prabowo, kekuatan sejati Indonesia juga ada di rakyatnya—yang tangguh, kreatif, dan punya semangat gotong royong. Terutama anak mudanya, yang kalau dapet arahan bener, bisa jadi tulang punggung kemajuan bangsa. Dengan pemimpin yang jujur, pemerintahan yang bersih, dan semangat kebangsaan yang gak cuma jadi jargon, Indonesia bisa bener-bener bangkit dari paradoks—dari negara yang katanya kaya, jadi negara yang rakyatnya juga ikut sejahtera.
Prabowo tegas banget soal pentingnya mewujudkan ekonomi konstitusi, alias ekonomi yang bener-bener ngikutin ruh dan amanat UUD 1945—terutama Pasal 33. Kata beliau, ekonomi Indonesia gak bisa terus dibiarkan liar kayak pasar bebas yang disetir asing. Harusnya ekonomi kita diatur berdasarkan asas kekeluargaan, demi kesejahteraan bareng-bareng dan kedaulatan negara.
Buat Prabowo, balikin ekonomi ke rel konstitusi itu bukan mimpi indah—tapi obat mujarab buat ngelawan ketimpangan, korupsi, dan dominasi segelintir elite. Doski ngajak negara buat punya nyali politik, buat nyetop arus liberalisasi yang dianggapnya udah nyimpang jauh dari semangat pendiri bangsa. Mulai dari nguatkan koperasi, lindungi petani dan buruh, sampai pastiin kekayaan negeri ini muter ke semua rakyat—bukan numpuk di satu geng elite doang.
Buat Prabowo, ekonomi konstitusi bukan sekadar jargon—tapi kewajiban suci buat bangsa ini kalau mau bener-bener merdeka.

Waktu ngomongin soal “Mewujudkan Demokrasi Rakyat”, Prabowo blak-blakan: demokrasi kita gak boleh cuma jadi panggung sandiwara elite. Demokrasi itu harus balik ke akarnya—ke tangan rakyat, bukan dipegang segelintir konglomerat atau dinasti politik. Buat Prabowo, kekuasaan politik mesti direbut lagi sama rakyat, lewat sistem yang jujur, adil, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Prabowo nyindir keras demokrasi yang sekarang, yang katanya gampang banget dimainin. Suara bisa dibeli, survei bisa disulap, media bisa jadi alat pencitraan. Baginya, kedaulatan rakyat bukan cuma soal nyoblos lima tahun sekali—tapi tentang ikut ambil bagian secara nyata, menjaga kepentingan publik, dan membangun budaya politik yang jujur, adil, serta penuh rasa cinta tanah air.
Demokrasi yang sejati, menurutnya, semestinya berpihak ke mereka yang selama ini dibungkam—para wong cilik, petani, dan buruh—bukan terus-terusan kasih karpet merah ke yang udah kaya sejak orok.

Dalam bagian “Menunaikan Janji Kemerdekaan”, Prabowo Subianto menekankan bahwa arti kemerdekaan sejati itu bukan sekadar upacara atau kibaran bendera—tapi soal menepati janji-janji yang dulu diucapkan buat rakyat. Janji tentang keadilan, kesejahteraan, dan martabat hidup yang layak. Ia bilang, meskipun udah merdeka puluhan tahun, masih banyak orang Indonesia yang hidup miskin, tersingkir, dan gak kebagian keadilan. Dan itu, menurutnya, pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Prabowo ngajak bangsa ini buat bangkit secara moral. Menurutnya, merdeka beneran itu artinya tiap warga negara bisa sekolah yang layak, dapet layanan kesehatan manusiawi, gaji yang cukup, dan hidup dengan rasa bangga. Para elite politik harus berhenti nganggap kekuasaan sebagai mesin cuan pribadi—dan mulai ngelihatnya sebagai amanah suci. Para pemimpin bangsa, katanya, punya kewajiban buat nerusin perjuangan para pendiri republik: bangun Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur buat semua, bukan cuma buat segelintir orang.

Sebagai penutup, Paradoks Indonesia dan Solusinya bukan cuma sekadar buku politik—tapi jadi semacam seruan moral, peta jalan strategi, dan jeritan hati buat ngebangunin bangsa ini dari tidur panjang. Lewat buku ini, Prabowo ngingetin kita bahwa kejayaan Indonesia bukan cuma soal tambang melimpah atau jumlah penduduk, tapi soal keberanian buat membenahi arah dan nepatin janji sejarah. Sekarang, saat kita makin deket ke usia 100 tahun merdeka, pertanyaannya udah bukan lagi “punya potensi atau nggak?” tapi “berani wujudkan atau cuma jadi wacana?”. Paradoks Indonesia harus diselesaikan sekarang—dan tanggungjawabnya bukan cuma di pundak para pemimpin, tapi juga di tangan rakyat yang masih peduli dan mau bergerak.

Kita bakal ngebahas buku selanjutnya karya Prabowo Subianto yang bertajuk "Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045", bi'idznillah.