Kamis, 31 Juli 2025

Paradoks Indonesia (5)

Masalah rekening dormant bikin masyarakat Indonesia gelisah karena aturannya datang tiba-tiba kayak hujan di tengah jemuran, tanpa penjelasan yang jelas atau sosialisasi yang memadai. Banyak orang, terutama di kampung atau yang nggak akrab sama teknologi, kaget banget pas tahu rekening mereka dinyatakan “mati suri” dan nggak bisa diakses lagi. Uang hasil jerih payah bertahun-tahun seolah bisa lenyap gitu aja, tanpa permisi. Ketakutan makin memuncak karena masyarakat merasa bank dan otoritas keuangan lebih mikirin soal aturan ketimbang rasa aman dan kepercayaan nasabah. Kata para pengamat, niat awalnya sih buat memberantas dana mencurigakan, tapi yang kena justru rakyat kecil yang emang jarang transaksi tapi sah-sah aja. Rasa-rasanya rakyat biasa kayak dihukum atas hal-hal yang nggak pernah mereka tahu salah, sementara yang tajir melintir tetep bebas ngatur triliunan kayak enggak ada hukum yang berlaku buat mereka.
Aturan soal rekening nggak aktif alias dormant di Indonesia sebenernya datang dari Bank Indonesia dan OJK. Biasanya, rekening dianggap dormant kalau nggak ada aktivitas dari pemiliknya—kayak setor tunai, narik duit, atau transfer—selama 6 sampai 12 bulan, tergantung kebijakan bank masing-masing. Begitu dicap dormant, rekening bisa kena pembatasan, mulai dari nggak bisa diakses, dipotong biaya tidur, sampai akhirnya ditutup. Katanya sih aturan ini dibuat buat efisiensi dan ngehindarin penyalahgunaan rekening nganggur. Tapi praktiknya bikin banyak orang ngangkat alis. Banyak nasabah ngaku nggak pernah dikasih tahu soal batas waktunya, apalagi konsekuensinya. Tahu-tahu pas mau ambil uang, eh... rekeningnya udah dikunci. Kurangnya transparansi ditambah ribetnya prosedur buat ngaktifin lagi bikin orang merasa kayak diusir dari sistem keuangan yang dulu mereka percaya.
Sebenernya OJK lewat PPATK tuh ngategorikan rekening sebagai dormant kalau nggak ada aktivitas sama sekali dari pemilik—seperti transfer, setor, tarik—dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah lewat tiga bulan tanpa jejak transaksi, PPATK bisa langsung nge‑freeze rekening itu demi cegah penyalahgunaan kayak pencucian uang atau jual-beli rekening gelap. Makin serem kan? Tapi jangan khawatir, saldo nasabah tetep aman, cuma aksesnya diblokir sementara.
Emang sih, beberapa bank punya aturan internal yang bilang kalau rekening dianggap dormant setelah enam atau bahkan dua belas bulan nggak aktif. Tapi yang perlu diketahui, itu bukan kewajiban hukum, cuma kebijakan bank aja. Kalau PPATK lihat gak ada aktivitas dalam tiga bulan, bisa langsung freezing. Wuilaa—rekening loe resmi dianggep nganggur ama negara.

Keluhan masyarakat soal aturan rekening dormant ini makin rame aja, kayak konser dadakan di tengah pasar. Banyak yang ngerasa kecele karena tiba-tiba rekening dibekukan tanpa peringatan duluan. Keluhan paling sering tuh: “Nggak ada notifikasi apa-apa, tahu-tahu gak bisa narik duit!”. Bayangin, duit sendiri, tapi pas mau dipake malah kayak disandera. Ini jadi pukulan banget buat orang-orang desa, lansia, atau mereka yang nyimpen duit cuma buat keperluan darurat dan gak sering transaksi.
Yang bikin makin geregetan adalah prosedur ribet buat ngaktifin lagi. Harus ke bank langsung, bawa dokumen setumpuk, ngantri lama, dan nunggu nasib kayak ngurus SIM hilang. Ujung-ujungnya banyak yang ngerasa kayak sistem keuangan ini bukan buat bantuin rakyat, tapi buat ngawasin dan ngontrol. Orang jadi takut, jangan-jangan suatu hari duit kita bisa dibekukan cuma karena “kebanyakan diam”. Kritik pun berdatangan: kok yang hemat dan jarang transaksi malah diperlakukan kayak tersangka, sementara duit-duit gede mencurigakan tetep bebas ngapung ke mana-mana?
Kalau keluhan masyarakat soal rekening dormant ini cuma dianggap angin lalu, dampaknya bisa bahaya banget—bukan cuma buat bank, tapi juga buat kepercayaan publik yang udah rapuh kayak kaca retak. Bayangin aja, kalau orang mulai mikir duit di bank bisa dibekuin seenaknya, mereka bakal tarik semua saldo dan milih simpan uang di bawah kasur. Nggak cuma itu, bisa-bisa muncul tren nabung di arisan, simpan duit di warung, atau bahkan main keuangan gelap yang susah diawasi negara. Ekonomi jadi makin rapuh, dan pengawasan keuangan makin susah kayak cari sinyal di gunung.
Kepercayaan yang udah rusak itu susah banget diperbaiki, apalagi buat masyarakat desa, orang tua, atau yang penghasilannya pas-pasan. Kalau keluhan mereka terus dicuekin, negara bakal dinilai lebih sayang ngontrol daripada ngurus rakyat. Dan kalau ini terus berlarut, bisa-bisa rakyat mulai “melawan secara finansial”—ogah pakai bank, ogah patuh, makin lebar jurang antara si kaya dan si biasa-biasa aja. Yang paling serem? Ketidakpuasan ekonomi bisa cepet banget berubah jadi gerakan sosial. Dari masalah rekening nganggur, bisa-bisa nanti muncul gelombang “#UangkuBukanNegaramu” di medsos.

Para kritikus bilang, aturan rekening dormant dari OJK ini sih sah secara hukum, tapi nggak punya rasa, datang di momen yang keliru, dan jauh dari realita kehidupan rakyat yang lagi susah. Di saat banyak orang lagi jungkir balik cari nafkah, nyicil tabungan kecil-kecilan, atau bangkit dari masa pandemi, kok ya malah muncul kebijakan yang seolah curiga sama rekening diam? Kenapa yang diawasi justru rakyat kecil yang nyimpen receh, bukan rekening jumbo yang lalu-lalang transfer miliaran tanpa keringat?
Sebagian pengamat keuangan menyebut kebijakan ini “tuli terhadap keadaan”, kayak pejabat yang nggak pernah naik angkot. Mereka khawatir, kebijakan ini justru bikin rakyat menjauh dari sistem perbankan, dan balik lagi ke cara lama: simpan duit di kaleng biskuit atau di bawah kasur. Padahal, di tengah inflasi, PHK, dan harga kebutuhan yang makin menggila, yang dibutuhin rakyat tuh justru ruang gerak, motivasi buat nabung, dan jaminan bahwa uang mereka aman—bukan ancaman dibekukan.
Lembaga-lembaga masyarakat sipil pun udah mulai bersuara, minta agar OJK tunda dulu penerapan aturan ini, minimal sampai edukasinya merata, sistem notifikasinya jelas, dan prosedur keluhannya nggak ribet kayak ujian SIM. Kalau tetap dipaksakan, aturan ini bisa jadi simbol kesombongan lembaga di tengah derita rakyat.

Balik ke buku "Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045". Dalam bukunya, Prabowo blak-blakan bilang bahwa tantangan terbesar Indonesia bukan cuma soal invasi asing atau perang militer—tapi justru dari dalam: kelemahan institusi, rapuhnya persatuan nasional, dan fondasi ekonomi yang ringkih. Korupsi, ketimpangan sosial, dan birokrasi yang payah bikin negeri ini gak bisa gaspol maju.
Ia juga serius banget ngomongin soal bom waktu demografi—jumlah anak muda makin banyak, tapi gak diimbangi lapangan kerja, pendidikan, dan gizi yang cukup. Kalau terus dibiarin, generasi frustrasi ini bisa bikin sosial meledak suatu hari nanti.
Masalah strategis lain yang dibahas adalah soal kedaulatan ekonomi. Kata Prabowo, Indonesia udah terlalu lama jualan bahan mentah. Yang kaya malah negara lain, sementara kita jalan di tempat. Tanpa bikin industri nasional dan upgrade kualitas SDM, kita bakal terus jadi negara "penyedia bahan mentah" doang.
Terus, ia juga nge-highlight soal ketertinggalan teknologi dan ketergantungan pangan. Tiap ada krisis global, kita kelabakan karena banyak banget bahan pangan impor. Solusinya? Prabowo minta negara push abis-abisan ke kemandirian pangan dan riset teknologi. Wajib!
Dan yang gak kalah penting: persatuan nasional. Prabowo wanti-wanti soal politik identitas, gerakan separatis, dan elit yang saling jegal. Katanya, itu semua bikin Indonesia gampang goyang. Jadi, kita perlu pemimpin yang sadar sejarah, punya kapasitas, dan punya nurani buat rakyat.

Versi Prabowo soal "Strategi Indonesia Maju" itu kayak peta jalan buat ngegas Indonesia jadi negara berdaulat, maju, dan makmur pas 100 tahun merdeka—tahun 2045 nanti. Gak cuma soal ekonomi, tapi juga soal nilai, etika, dan cara negara ini dijalankan.
Menurutnya, ada tiga hal utama yang harus digenjot. Pertama, ekonomi yang pro-rakyat—negara harus ikut campur buat pastiin kekayaan dan peluang gak cuma dinikmati elite. Kedua, demokrasi yang beneran dari rakyat, bukan disabotase sama cukong atau pemilik modal. Ketiga, daya tahan bangsa—terutama dalam pangan, energi, kesehatan, dan pertahanan.
Prabowo juga kunci banget soal SDM keren—pendidikan harus direformasi, teknologi harus dikejar, dan warga negaranya harus cerdas, beretika, dan cinta Tanah Air. Menurut Prabowo, tanpa manusia unggul, kita cuma jadi penonton di panggung dunia.
Soal ekonomi, ia ngedorong Indonesia jadi kekuatan industri mandiri yang ekspor produk jadi, bukan cuma ngirim bahan mentah. Tapi, ia juga ngegas soal keberlanjutan—jadi negara maju tapi tetap hijau dan tahan banting.
Prabowo juga pengen birokrasi dirombak total. Ia benci sistem bagi-bagi jabatan dan politik transaksional. Maunya, yang duduk di posisi penting itu orang terbaik—bukan karena koneksi, tapi karena kapabilitas.
Yang bikin strategi ini beda adalah sentuhan moral dan sejarah. Buat Prabowo, strategi ini bukan sekadar teknokratik, tapi bagian dari janji suci buat wujudin impian para pendiri bangsa—keadilan sosial, kesetaraan, dan harga diri nasional. Jadi, ini bukan sekadar program, tapi sumpah bersama buat nebus kemerdekaan yang belum tuntas.

Pas masuk pertengahan 2025, strategi “Indonesia Maju” ala Prabowo mulai diuji di lapangan. Mimpi soal ekonomi yang pro-rakyat udah keliatan lewat subsidi pertanian dan program food estate. Tapi sayangnya, banyak yang bilang yang diuntungkan justru korporat gede, bukan petani gurem. Jadi, janji manis di buku belum tentu semanis di sawah.
Di sisi demokrasi, seruan buat politik yang beneran dari rakyat malah ketahan angin kencang. Oligarki makin kuat, media dikuasai segelintir orang, partai-partai jadi alat dagang kekuasaan. Bahkan, beberapa menteri di kabinet Prabowo yang katanya antitransaksional, ternyata orang lama juga. Jadi, rakyat cuma bisa nanya, “Mana meritokrasinya, Bang?”
Soal SDM, program beasiswa dan vokasi emang udah jalan, tapi ketimpangan masih gila-gilaan. Daerah-daerah pelosok masih susah akses pendidikan berkualitas. Kalau gak ada reformasi pendidikan yang nendang, bonus demografi bisa-bisa jadi bumerang.
Lingkungan dan ketahanan ekonomi juga ikut diuji. Cuaca makin gak bisa diprediksi, harga pangan naik turun, dan ekspansi industri nikel buat baterai EV bikin konflik sama warga lokal dan rusak alam. Jadi, walau kelihatan keren di PowerPoint, pelaksanaannya masih banyak PR.
Intinya, tahun 2025 ini kayak kaca pembesar buat strategi Prabowo. Visinya keren, nasionalis banget, tapi eksekusinya masih setengah hati. Tanpa nyali politik, integritas birokrasi, dan kemauan buat benerin sistem dari akarnya, mimpi “Indonesia Emas” bisa-bisa cuma jadi poster kampanye yang pudar di tiang listrik.

Strategi “Percepatan Pembangunan” versi Prabowo itu ibarat sirine darurat buat Indonesia: udah gak bisa lagi jalan pelan-pelan, waktunya ngebut! Kalau kita mau beneran jadi negara besar pas 100 tahun merdeka nanti, katanya, kita mesti stop mikir linear, dan mulai gerak dengan pola krisis — kayak negara yang lagi dikejar deadline.
Prabowo bilang, birokrasinya harus dirampingkan. Lembaga-lembaga yang tumpang tindih dibabat habis. Prabowo usul dibentuk satuan tugas khusus, komando eksekutif, sampai mekanisme intervensi langsung dari Presiden buat ngebut di sektor-sektor vital kayak pangan, energi, dan pertahanan. Pokoknya, kalau bisa beres hari ini, jangan tunggu rapat minggu depan.
Trus, infrastruktur jadi tulangpunggung. Gak cuma jalan tol di Jawa, tapi juga akses digital dan logistik di pelosok. Menurut Prabowo, pembangunan gak boleh lagi Jawa-sentris. Wilayah luar harus ikut ngebut biar gak terus-terusan ketinggalan.
Urusan duit juga jadi sorotannya. Negara harus berani keluarin anggaran besar, meski harus ngutang—asal jelas buat apa, dan hasilnya produktif. Ngirit di saat negara lagi butuh, katanya, bukan bijak, tapi malah pengecut.
Yang paling keren: ia minta seluruh potensi bangsa dimobilisasi. Anak muda harus dilatih kayak pasukan, dikasih beasiswa yang bukan cuma pintar, tapi juga cinta Tanah Air. Harus ada generasi elite baru di pendidikan, kesehatan, dan teknologi. Dan jangan lupa: kekayaan alam jangan sampai dikuasai asing lagi.
Prabowo ulangi satu hal penting: waktu kita gak banyak. Kalau kita gak ngebut sekarang, bonus demografi bakal kelewat sia-sia, dan mimpi jadi negara besar tinggal jadi poster. Intinya, ini bukan soal tambah kecepatan aja, tapi soal ubah cara pikir dan cara kerja bangsa dari dalam.

Pas 2025 udah jalan, strategi “percepatan pembangunan” ala Prabowo mulai diuji keras. Janji buat potong jalur birokrasi dan ngebut eksekusi kayaknya masih banyak macetnya. Urusan tumpang tindih antar kementerian belum kelar, dan gaya “komando eksekutif” sering mandek gara-gara aturan hukum yang ruwet plus jaringan politik lama yang gak dibongkar-bongkar.
Infrastruktur sih masih jadi andalan — proyek-proyek gede di Kalimantan, Papua, dan Sumatra udah jadi headline. Tapi ya gitu... banyak juga yang molor, bengkak anggaran, sampai ditolak warga karena gak melibatkan mereka dari awal. Narasi “anti-Jawa-sentris” emang udah mulai naik, tapi pembagian hasil pembangunan ke daerah masih lamban banget.
Keberanian fiskal yang dikampanyekan Prabowo? Baru terasa setengah-setengah. Stimulus dan pengadaan alat pertahanan emang jalan, tapi sektor vital kayak reformasi kesehatan, pendidikan di desa, dan digitalisasi belum dapet anggaran yang sepadan. Banyak yang curiga pemerintah terlalu takut utang, atau malah belum punya peta jalan yang solid.
Soal SDM? Nah, ini juga. Program pelatihan dan beasiswa udah ada, tapi belum masif dan belum se-ideologis yang Prabowo mimpikan. Belum ada tuh generasi baru yang dilatih layaknya “pasukan elite pembangunan” yang punya semangat patriotik total.
Intinya? Mental “darurat pembangunan” yang dimaui Prabowo—ngebut kayak negara lagi perang—belum nyebar di seluruh birokrasi. Kalau gaya kerja masih kayak biasa, politik masih transaksional, dan elite-elite lama masih dipertahankan, ya strategi percepatan cuma akan jadi jargon indah di buku, bukan aksi nyata di lapangan.

Di tahun 2025, Indonesia kayak lagi main level bonus yang penuh jebakan: krisis energi, konflik sosial, dan utang luar negeri yang makin berat jadi ujian buat strategi ngebut-ngebutan ala Prabowo.
Krisis energi makin nyolot karena harga minyak dunia naik turun gak jelas, dan proyek energi terbarukan masih ketahan birokrasi. Di atas kertas sih, Prabowo pengen swasembada energi dan makanan. Tapi kenyataannya, kita masih ngegantung sama batubara dan bensin impor. Rencana buat ngebut ke arah tenaga surya, nuklir, dan hidro? Banyak yang kejebak rapat dan investor yang maju mundur.
Sementara itu, konflik sosial makin sering muncul. Ketimpangan ekonomi, desa yang gak kebagian pembangunan, plus proyek tanah yang ngusir warga, bikin banyak daerah dari Sumsel sampai Papua mulai gerah. Mimpi Prabowo soal pemuda patriotik yang bangun negeri malah dilawan warga yang ngerasa dikorbanin. Tanpa musyawarah dan pendekatan yang inklusif, “percepatan” bisa dianggap sebagai paksaan dari atas, bukan gerakan bersama.
Dan jangan lupakan utang luar negeri. Pemerintah emang berani ambil utang buat ngebangun, sesuai semangat Prabowo. Tapi sekarang, cicilan utang udah ngabisin banyak dari APBN. Kritikus was-was, jangan sampai kita jeblos ke jebakan utang, apalagi kalau proyeknya dikerjain kontraktor asing atau lewat skema yang gelap.
Singkatnya? Strategi percepatan ini keren banget di narasi, tapi tantangan 2025 itu keras dan nyata. Gak cukup pakai jargon atau slogan. Kita butuh koordinasi yang solid, keputusan yang cepat tapi tepat, dan keberanian buat ngebenerin sistem dari akar-akarnya — bukan cuma polesan doang.

Visi percepatan ala Prabowo Subianto gak bisa dilepas dari tiga medan laga utama di 2025: digitalisasi, transformasi pangan, dan ketahanan militer — yang semuanya nunjukin ambisi besar, tapi juga rintangan gede.
Soal digitalisasi, Prabowo ngebayangin Indonesia langsung loncat ke era AI dan cloud tanpa babibu. Tapi realitanya, yang canggih baru kota besar aja. Startup fintech tumbuh subur di Jakarta dan Bandung, tapi di ujung timur Indonesia, sinyal aja masih suka ngilang. Program AI buat layanan publik masih ketahan SDM yang minim dan sistem keamanan siber yang baru seumur jagung. Kata para pengamat, digitalisasi kita masih condong ke elit—rakyat desa dan UMKM belom dapet panggung.
Lanjut ke transformasi pangan, Prabowo ngotot supaya Indonesia mandiri makan, gak ngandelin beras dan kedelai impor terus. Tapi 2025 belum ideal juga. Cuaca makin gak jelas, lahan sawah makin nyusut karena disulap jadi perumahan, dan sistem distribusi pangan masih acak-acakan. Emang sih, mulai muncul pertanian urban dan hidroponik modern, tapi petani tradisional masih tercekik tengkulak dan harga pasar. Tanpa reformasi serius di gudang pangan, irigasi, dan modal koperasi, mimpi kedaulatan pangan kayaknya masih jauh di awan.
Terakhir, ketahanan militer—tema yang dari dulu jadi napas Prabowo. Anggaran pertahanan emang naik sedikit, tapi hasilnya belum bikin Indonesia berdiri mandiri. Senjata masih beli dari luar, industri militer lokal belum punya rantai pasok yang kokoh. Konsep “pertahanan rakyat semesta” keren di konsep, tapi di lapangan belum kelihatan wujudnya. Program pelibatan pemuda juga belum nyampe level sistem nasional yang siap tanggap.
Singkatnya? Tiga pilar ini—digital, pangan, dan pertahanan—adalah saluran utama buat ngidupin mimpi Indonesia berdikari ala Prabowo. Tapi sampai pertengahan 2025 ini, denyutnya masih belum stabil. Semangatnya udah ada, tapi sistemnya belum mantap. Udah mulai jalan, tapi belum ngegas penuh.

Menurut Prabowo, syarat utama biar Indonesia bener-bener jadi negara Emas tahun 2045 itu bukan cuma soal infrastruktur atau program canggih, tapi soal kemauan politik dan keberanian pemimpin nasional. Harus ada nyali buat nabrak sistem yang timpang dan berani berpihak ke rakyat kecil, bukan elite doang.
Prabowo percaya, kalau pemimpinnya lurus, nasionalis, dan punya nurani sosial, maka rakyat kecil—petani, buruh, anak muda—bakal ikut naik kelas. Reformasi ekonomi itu bukan sekadar angka GDP naik, tapi soal nurani: kekayaan Indonesia harus dipake buat rakyatnya, bukan bocor ke luar negeri atau dikuasai segelintir konglomerat.

Beberapa program andalan yang jalan di 2025 tuh bener-bener kelihatan banget kalau Indonesia butuh pemimpin yang peduli rakyat kecil—tepat sasaran dan punya nyali buat bersihkan sistem. Contohnya ya Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dikelola Badan Gizi Nasional. Mau tahu targetnya? Hampir 82,9 juta orang; dari siswa SD hingga ibu hamil dan menyusui—dijalanin lewat koperasi lokal. Program ini disambut positif oleh pakar gizi dan aktivis hak asasi, karena bener-bener bantu boost kesehatan dan perekonomian rakyat kecil.
Masih kurang? Di awal Januari 2025 juga langsung keluar instruksi Presiden soal perumahan warga miskin. Hasilnya: 40 ribu rumah murah untuk mereka yang digaji di bawah Rp8 juta, bayar nol persen PPN, BPHTB, dan PPh. Izin bangunan yang tadinya bisa butuh berminggu-minggu, sekarang kelar dalam hitungan jam—beberapa bahkan selesai 4 jam aja.
Selain itu, instansi khusus baru dibentuk: Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP2K). Dulu cuma tim riset, sekarang jadi lembaga kabinet. Dipimpin Budiman Sudjatmiko, tugasnya ngurusi pengentasan kemiskinan secara terkoordinasi di seluruh kementerian.
Ada lagi yang bikin heboh bulan Juli 2025: pemerintah suntik dana ke empat bank BUMN supaya bisa kasih kredit murah (6%) ke lebih dari 80.000 koperasi desa. Itu langkah nyata buat bilang: sistem ekonomi desa bukan mainan elite, tapi bisa diberdayakan kalau dikasih pintu kontribusi apalagi modal murah.
Nah, semua program dan reformasi ini nunjukin gaya kepemimpinan Prabowo yang tegas, kece, dan pro‑rakyat kecil. Ini bukti kalau visi bisa jadi nyata kalau dieksekusi dengan moral yang kuat. Bukan cuma slogan, tapi berdampak nyata buat yang selama ini tersisih.

Meski banyak kritik pedas mampir ke Kabinet Prabowo, para ahli dan pengamat tetep ngasih catetan: ada beberapa pencapaian yang pantas dihargai sampai Juli 2025.
Pertama, program Makan Bergizi Gratis (MBG) emang spektakuler. Mulai Januari, pilot-nya sudah menyasar ratusan ribu orang dan disebut media internasional sebagai salah satu program nutrisi sekolah terbesar di dunia—total targetnya lebih dari 82 juta peserta.
Soal ekonomi, pemerintah sukses capai target investasi nasional jauh sebelum waktunya, yang bikin investor makin percaya sama Indonesia.
Inflasi juga jadi sorotan positif. Indonesia masuk daftar negara dengan inflasi sangat rendah dunia di paruh pertama 2025—banyak pihak ngecek, moneter dan koordinasi kebijakan jalan banget.
Harga kebutuhan pokok juga stabil pas Ramadan dan Lebaran—ini bikin biaya hidup gak melonjak, masyarakat adem. Selain itu, arus mudik Lebaran tahun ini jadi yang paling tertib dan kecelakaan di jalan, turun drastis, jadi salah satu bukti koordinasi publik yang lumayan oke.
Selain itu, Prabowo juga mendapat sanjungan dari diplomatik karena sukses nego tarif dagang. Zona pabean sama Uni Eropa 0% tarif dan tarif ekspor ke AS turun drastiswalaupun AS masih main kadal-kadalan soal tarif resiprolkalnya Trump.
Satu lagi nih, soal layanan kesehatan. Inisiatif Zona Ekonomi Khusus Kesehatan Sanur dan Bali International Hospital digadang-gadang bikin Indonesia bisa jadi rumah sakit rujukan internasional—critics ngacungin jempol buat modernisasi fasilitas medis nasionalnya.

Dalam buku Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045, Prabowo Subianto nggak cuma jualan visi politik, tapi juga nawarin kerangka moral buat masa depan Indonesia. Ia ngajak negeri ini keluar dari jebakan negara setengah-setengah, mendorong ke arah yang adil, bermartabat, dan tahan banting secara ekonomi. Buat Prabowo, kepemimpinan itu bukan sekadar jabatan, tapi mandat buat balikin kedaulatan ke tangan rakyat. Negara harus melayani warganya, bukan jadi alat segelintir elite. Lewat isu ketahanan pangan, demokrasi yang dibenahi, dan persatuan nasional, transformasi versi Prabowo bukan angan-angan, tapi misi yang bisa dicapai—asal negerinya mau ambil kendali sendiri.
Di pertengahan tahun 2025 yang lagi penuh drama—dari krisis energi sampai sosial media yang makin panas—gagasan-gagasan Prabowo jadi terasa makin relevan. Mau setuju atau enggak, buku ini jadi pemantik: ngajak kita bayangin Indonesia yang kuat, adil, dan berdaulat. Ini bukan sekadar peta jalan, tapi tantangan. Ujiannya sekarang ada di eksekusi: bisa gak semua janji ini diwujudkan dalam kebijakan yang nyata dan merata? Akankah tahun-tahun ke depan diisi dengan reformasi sejati, atau cuma jadi panggung jargon politik doang? Waktulah yang bakal menjawabnya.