Masalah rekening dormant bikin masyarakat Indonesia gelisah karena aturannya datang tiba-tiba kayak hujan di tengah jemuran, tanpa penjelasan yang jelas atau sosialisasi yang memadai. Banyak orang, terutama di kampung atau yang nggak akrab sama teknologi, kaget banget pas tahu rekening mereka dinyatakan “mati suri” dan nggak bisa diakses lagi. Uang hasil jerih payah bertahun-tahun seolah bisa lenyap gitu aja, tanpa permisi. Ketakutan makin memuncak karena masyarakat merasa bank dan otoritas keuangan lebih mikirin soal aturan ketimbang rasa aman dan kepercayaan nasabah. Kata para pengamat, niat awalnya sih buat memberantas dana mencurigakan, tapi yang kena justru rakyat kecil yang emang jarang transaksi tapi sah-sah aja. Rasa-rasanya rakyat biasa kayak dihukum atas hal-hal yang nggak pernah mereka tahu salah, sementara yang tajir melintir tetep bebas ngatur triliunan kayak enggak ada hukum yang berlaku buat mereka.
Aturan soal rekening nggak aktif alias dormant di Indonesia sebenernya datang dari Bank Indonesia dan OJK. Biasanya, rekening dianggap dormant kalau nggak ada aktivitas dari pemiliknya—kayak setor tunai, narik duit, atau transfer—selama 6 sampai 12 bulan, tergantung kebijakan bank masing-masing. Begitu dicap dormant, rekening bisa kena pembatasan, mulai dari nggak bisa diakses, dipotong biaya tidur, sampai akhirnya ditutup. Katanya sih aturan ini dibuat buat efisiensi dan ngehindarin penyalahgunaan rekening nganggur. Tapi praktiknya bikin banyak orang ngangkat alis. Banyak nasabah ngaku nggak pernah dikasih tahu soal batas waktunya, apalagi konsekuensinya. Tahu-tahu pas mau ambil uang, eh... rekeningnya udah dikunci. Kurangnya transparansi ditambah ribetnya prosedur buat ngaktifin lagi bikin orang merasa kayak diusir dari sistem keuangan yang dulu mereka percaya.
Sebenernya OJK lewat PPATK tuh ngategorikan rekening sebagai dormant kalau nggak ada aktivitas sama sekali dari pemilik—seperti transfer, setor, tarik—dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah lewat tiga bulan tanpa jejak transaksi, PPATK bisa langsung nge‑freeze rekening itu demi cegah penyalahgunaan kayak pencucian uang atau jual-beli rekening gelap. Makin serem kan? Tapi jangan khawatir, saldo nasabah tetep aman, cuma aksesnya diblokir sementara.
Emang sih, beberapa bank punya aturan internal yang bilang kalau rekening dianggap dormant setelah enam atau bahkan dua belas bulan nggak aktif. Tapi yang perlu diketahui, itu bukan kewajiban hukum, cuma kebijakan bank aja. Kalau PPATK lihat gak ada aktivitas dalam tiga bulan, bisa langsung freezing. Wuilaa—rekening loe resmi dianggep nganggur ama negara.
Keluhan masyarakat soal aturan rekening dormant ini makin rame aja, kayak konser dadakan di tengah pasar. Banyak yang ngerasa kecele karena tiba-tiba rekening dibekukan tanpa peringatan duluan. Keluhan paling sering tuh: “Nggak ada notifikasi apa-apa, tahu-tahu gak bisa narik duit!”. Bayangin, duit sendiri, tapi pas mau dipake malah kayak disandera. Ini jadi pukulan banget buat orang-orang desa, lansia, atau mereka yang nyimpen duit cuma buat keperluan darurat dan gak sering transaksi.
Yang bikin makin geregetan adalah prosedur ribet buat ngaktifin lagi. Harus ke bank langsung, bawa dokumen setumpuk, ngantri lama, dan nunggu nasib kayak ngurus SIM hilang. Ujung-ujungnya banyak yang ngerasa kayak sistem keuangan ini bukan buat bantuin rakyat, tapi buat ngawasin dan ngontrol. Orang jadi takut, jangan-jangan suatu hari duit kita bisa dibekukan cuma karena “kebanyakan diam”. Kritik pun berdatangan: kok yang hemat dan jarang transaksi malah diperlakukan kayak tersangka, sementara duit-duit gede mencurigakan tetep bebas ngapung ke mana-mana?
Kalau keluhan masyarakat soal rekening dormant ini cuma dianggap angin lalu, dampaknya bisa bahaya banget—bukan cuma buat bank, tapi juga buat kepercayaan publik yang udah rapuh kayak kaca retak. Bayangin aja, kalau orang mulai mikir duit di bank bisa dibekuin seenaknya, mereka bakal tarik semua saldo dan milih simpan uang di bawah kasur. Nggak cuma itu, bisa-bisa muncul tren nabung di arisan, simpan duit di warung, atau bahkan main keuangan gelap yang susah diawasi negara. Ekonomi jadi makin rapuh, dan pengawasan keuangan makin susah kayak cari sinyal di gunung.
Kepercayaan yang udah rusak itu susah banget diperbaiki, apalagi buat masyarakat desa, orang tua, atau yang penghasilannya pas-pasan. Kalau keluhan mereka terus dicuekin, negara bakal dinilai lebih sayang ngontrol daripada ngurus rakyat. Dan kalau ini terus berlarut, bisa-bisa rakyat mulai “melawan secara finansial”—ogah pakai bank, ogah patuh, makin lebar jurang antara si kaya dan si biasa-biasa aja. Yang paling serem? Ketidakpuasan ekonomi bisa cepet banget berubah jadi gerakan sosial. Dari masalah rekening nganggur, bisa-bisa nanti muncul gelombang “#UangkuBukanNegaramu” di medsos.