Selasa, 29 Juli 2025

Ekonom Jujur di Masa Kompromi: Penghormatan untuk Kwik Kian Gie (1935–2025)

Dalam sejarah ekonomi Indonesia, tak banyak nama yang menghadirkan rasa hormat sekaligus kejernihan moral seperti Kwik Kian Gie. Pada malam 28 Juli 2025, di usia 90 tahun, bangsa ini kehilangan salah satu sosok negarawan paling berintegritas—seorang ekonom, pendidik, dan pemikir yang keheningannya justru menggema melampaui batas birokrasi dan dunia akademik.

Lahir tahun 1935 di Juwana, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Kwik tumbuh di tengah bayang-bayang kolonialisme dan semangat kebangkitan nasional. Meski berdarah Chinese-Indonesia, identitas keindonesiaannya tak pernah goyah. Pendidikan di Belanda bukan menjauhkannya dari tanah air, justru membuatnya makin terikat pada nasib bangsanya. Sekembalinya, ia tak memilih jalan kemapanan pribadi, melainkan perjuangan di ruang publik yang sering tak nyaman dan penuh kritik.

Kontribusi Kwik dalam pemikiran ekonomi Indonesia bukan sekadar teknokratik atau ideologis, melainkan sangat etis. Di tengah gelombang neoliberalisme yang menyapu Asia Tenggara, ia menawarkan jalan yang berakar pada keadilan sosial, ketahanan nasional, dan martabat manusia. Ia mengingatkan bahaya Indonesia menjadi pion pasar modal global dan keras menolak dominasi lembaga asing atas kebijakan nasional. Bagi Kwik, kedaulatan bukan slogan—tapi pertahanan.

Sebagai Menteri Koordinator Ekonomi di era Presiden Abdurrahman Wahid, dan Kepala Bappenas di masa Presiden Megawati, ia hadir sebagai suara langka yang penuh integritas. Ia bicara dengan tajam, bertindak dengan hati-hati, dan memerintah tanpa kesombongan. Saat banyak orang menggenggam kekuasaan erat-erat, Kwik justru mengundurkan diri demi menjaga prinsip. Keputusan itu membuat namanya makin abadi dalam ingatan publik.

Namun, pengaruh Kwik tak berhenti di jabatan. Ia dikenal sebagai penulis dan pemikir publik yang menavigasi negeri ini melalui badai ekonomi lewat tulisan-tulisan yang tajam namun jernih. Ia tak mengejar populisme, tapi tulisannya menggugah—karena ia jujur. Ia tak takut mengkritik penguasa, termasuk kawan sendiri. Di usia senja pun, ia tetap waspada: mengkritik utang luar negeri, ketergantungan asing, dan lunturnya kapasitas negara.

Dalam bukunya Gonjang‑Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu (1998, Gramedia Pustaka Utama) berisi kritik tajam terhadap kondisi ekonomi pasca-reformasi: harga kebutuhan pokok yang melambung, PHK massal, dan ketimpangan yang memperkuat dominasi elite. Dari buku ini, dapat ditemukan pernyataan beliau mengenai perlunya reformasi ekonomi yang sehat dan penataan ulang sistem perbankan serta monopolisme bisnis.
Dalam buku Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan (2016, Gramedia Pustaka Utama), Kwik mengkaji bagaimana eksploitasi sumber daya alam Indonesia diteruskan oleh elite lokal melalui struktur ekonomi yang gak berpihak pada rakyat. Ia juga nyentil liberalisasi yang dinilai melanggar konstitusi dan ketahanan bangsa.
Dari Gonjang‑Ganjing Ekonomi Indonesia, Kwik mengingatkan bahwa “reformasi politis saja tak cukup tanpa reformasi ekonomi yang menyentuh rakyat kecil.”
Sementara dalam Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan, ia menyebut perlunya “gerakan kemerdekaan kedua”, yakni sebuah kebangkitan nasional yang melibatkan pengembalian kendali sumber daya kepada rakyat, bukan hanya elite atau asing.

Dalam Saya Bermimpi Jadi Konglomerat (1993, Gramedia Pustaka Utama), Kwik Kian Gie menyuguhkan satire tajam yang terasa seperti dagelan, tapi sebenarnya nyentil sistem ekonomi kita yang kerap memuja kebohongan berjubah sukses. Dengan gaya cerita naratif dari sudut pandang tokoh “saya” yang mengaku bercita-cita jadi konglomerat, pembaca diajak menyelami absurditas bagaimana kekayaan bisa diraih bukan karena kerja keras atau inovasi, tapi karena akal-akalan dan kedekatan dengan kekuasaan.
Kwik memparodikan realitas: tokoh utamanya ingin kaya cukup dengan ongkang-ongkang kaki, main saham fiktif, kredit ekspor palsu, dan ‘berteman baik’ dengan para pejabat bank. Semua dijalankan bukan karena pintar secara teknis, tapi karena pintar mencari celah hukum dan tahu harus menyogok siapa. Nah, mirisnya, semua ini bukan hanya fiksi—karena banyak yang benar-benar terjadi di Indonesia.
Di balik kelucuannya, buku ini sebenarnya adalah kritik mendalam terhadap sistem perbankan dan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada konglomerat daripada rakyat kecil. Kwik seperti ingin bilang: "Hei, ini negara bukan tempat judi elite. Kalau yang jujur terus kalah, ya jangan heran kalau generasi muda ikut-ikutan jadi licik."
Buku ini bukan sekadar satire—ia cermin besar. Cermin yang memantulkan wajah ekonomi kita: apakah kita membangun ekonomi yang adil dan produktif, atau cuma jadi taman bermain para mafia berdasi?

Dalam Bab pertama buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat, Kwik Kian Gie langsung ngegas dengan gaya satire yang tajam banget. Naratornya—si “saya”—ngaku punya mimpi besar: jadi konglomerat, tapi bukan lewat kerja keras atau bikin produk keren. Nggak, bos. Ia pengen kaya raya cuma dengan main akal-akalan, kayak elite bisnis yang main belakang tapi tetap tampil necis.
Ceritanya, ia pengen duduk manis sambil uang ngalir kayak air. Gimana caranya? Ya dengan ngajuin kredit ke bank pakai jaminan palsu, ngeklaim ekspor fiktif, dan maenin kertas-kertas saham yang isinya nol. Semua itu disusun dengan wajah tanpa dosa—kayak itu hal biasa aja. Dan justru itu yang bikin geli sekaligus miris.
Kwik bikin naratornya ngomong dengan nada datar, seolah itu strategi bisnis cerdas. Padahal, di balik gaya bercanda itu, ada tamparan keras buat sistem ekonomi kita yang rusak dari akarnya. Di Indonesia, kata Kwik, yang sering menang itu bukan yang jujur, tapi yang licik dan punya koneksi.
Bab ini semacam pengantar buat nyodorin pertanyaan maut ke pembaca: “Di negeri ini, apa bener orang jujur masih bisa naik kelas?” Jawabannya gak dikasih langsung, tapi kita disuruh mikir. Dan dari awal banget, Kwik udah ngajak kita ngelihat kenyataan ekonomi negeri ini lewat kacamata satire, yang lucu tapi nyesek di dada.

Yang bikin Bab 1 buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat terasa nendang banget adalah kejujurannya yang nyeleneh tapi ngena. Kwik Kian Gie gak buka cerita dengan ceramah soal etika atau moralitas. Enggak sama sekali. Beliau malah nyodorin “pengakuan dosa” dari tokoh fiksi yang ngaku pengen jadi orang kaya tanpa perlu kerja keras, tanpa bikin produk, apalagi mikirin orang lain. Pokoknya asal cuan, halal atau haram urusan belakangan.
Yang bikin pembaca melek adalah gimana tokohnya ngomong dengan polos tapi penuh sindiran. Ia bukanlah reformis, tapi kayak orang yang udah paham banget celah sistem dan siap manfaatin semuanya. Bukan pengusaha sejati, tapi pengakali sejati. Dan di balik suara tokoh ini, jelas banget Kwik lagi nyindir cara main para konglomerat sungguhan yang ngeruk untung bukan dari kerja produktif, tapi dari manipulasi dan koneksi.
Ada momen kocak tapi bikin miris: sang tokoh dengan bangga bilang ia nggak perlu tahu barang apa yang diekspornya—yang penting punya orang dalam di bank. Logika absurd kayak gini justru terasa realistis di Indonesia, dimana yang punya akses lebih penting daripada yang punya kapasitas.
Tapi yang paling keren adalah: Kwik nggak pernah keluar dari peran naratornya. Nggak ada komentar “ini loh yang salah.” Ia biarin tokohnya ngomong bebas, seolah-olah itu normal. Dan justru di situlah letak kekuatannya—kita diajak mikir, ketawa getir, lalu tiba-tiba sadar: “Eh, ini kan kejadian beneran di dunia nyata.”

Pada awal tahun 1990‑an di Indonesia, istilah "konglomerat" bukan lebih dari sekadar kumpulan bisnis besar. Media dan publik pakai istilah ini untuk nudging kepada figur kaya yang kekuatannya bukan cuma dari duit doang—tapi juga koneksi ke kekuasaan. Mereka itu bos besar yang bisa pake pengaruh ke pemerintah buat dapat izin usaha, akses bank, sampai monopoli sektor tertentu.
Di media waktu itu “konglomerat” sering disandingkan dengan konsep “oligarki”—sebuah geng kecil elite ekonomi yang punya dominasinya sendiri atas bisnis dan politik. Di era Soeharto, kroni-kroni ini dapat keistimewaan dari rezim—mulai dari pengelolaan pertambangan, kehutanan, perbankan, hingga impor—yang bikin mereka jadi raja-raja bisnis tanpa perlu bersaing sebersih di pasar bebas. Media sih bilang “konglomerat”, tapi niatnya nyorong image mereka itu semacam influencer rezim, yaitu oligarki de facto.
Kalau orang zaman itu bilang “konglomerat”, jangan dibayangin cuma bos perusahaan besar. Yang dimaksud adalah orang yang bisa main politik juga—penguasa bayangan di balik kebijakan pemerintah dan duit negara.

Dalam Bab 2 buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat, Kwik makin menggila dengan satire-nya. Sang tokoh utama sekarang makin “mahir” ngejalanin mimpinya jadi konglomerat: ia dapetin kredit ekspor dari bank pemerintah, tapi barang ekspornya? Bohongan doang. Kagak ada truk jalan, kagak ada peti kemas—cuman tumpukan kertas dan stempel palsu.
Dengan gaya santai yang ngeselin sekaligus ngocok perut, tokohnya cerita gimana gampangnya ngibulin sistem. Yang penting punya akses ke pejabat bank, tahu jalur birokrasi, dan punya “teman-teman yang bisa diajak kerjasama”. Dokumen ekspor bisa dibikin di meja makan, asal formatnya bener. Uangnya cair, barangnya fiktif, dan semua orang di sistem kayak pura-pura nggak lihat. Dan sang tokoh? Bangga dong, merasa cerdas bukan main.
Yang bikin ngilu adalah: ini semua ditulis kayak komedi, tapi ini kejadian beneran. Kwik sengaja gak pakai nada marah atau ceramah. Ia cukup tampilkan keabsurdan sistem yang malah ngasih panggung buat para pemain curang.
Kwik juga nunjukin bahwa masalahnya bukan cuma di satu dua orang jahat. Ini tuh soal sistem yang ngebuka peluang lebar-lebar buat kejahatan, bahkan seolah-olah disediakan karpet merah. Pejabat bea cukai, bankir, sampai kementerian semua ikut andil—baik karena bebal, ikut main, atau sekadar tutup mata.
Akhir bab ini bikin kita ketawa getir. Lucu sih, tapi juga bikin pengen lempar buku. Soalnya Kwik lagi-lagi berhasil ngasih tahu kita: “Bro, yang rusak bukan cuma pelakunya, tapi panggung tempat mereka joget juga.”

Di Bab 3, satire Kwik makin pedas dan bikin nyengir pahit. Sang tokoh utama yang udah sukses “main ekspor fiktif”, sekarang naik level: ia masuk dunia manipulasi utang dan kolusi perbankan. Target barunya? Bikin perusahaan palsu yang tugasnya bukan produksi, tapi ngajuin pinjaman pakai data-data daur ulang yang palsu tapi kelihatan legal.
Kwik ngebayangin sang tokoh kayak pesulap utang—main juggling pinjaman antar bank pakai jaminan yang sama, tapi dicetak ulang pakai nama dan format beda-beda. Dan tentu saja, semuanya mulus karena ia punya “tim sukses”: dari pejabat bank yang bisa disogok, notaris licik, sampe pengacara yang siap bantu tutup lubang aturan. Pokoknya sistemnya bukan bocor—tapi emang dibikin buat bisa dikadalin.
Yang bikin gregetan, si tokoh ceritanya pakai nada santai kayak lagi sharing tips startup. Padahal yang ia dilakukannya skema pembohongan besar-besaran. Ia bahkan nyinyirin para pengusaha jujur, katanya mereka itu "kurang pintar", karena terlalu serius bikin produk dan ngebayar pajak. “Ngapain repot?” katanya.
Bab ini nggak cuma menghibur dengan gaya sarkas Kwik, tapi juga bikin kita ngerasa ngeri. Karena semua kebohongan itu kayak beneran kejadian di sekitar kita—dari perusahaan bodong, bank yang tutup mata, sampe auditor yang pura-pura bego karena dibayar mahal.
Dan di ujung bab, Kwik kayak bisik-bisik ke pembaca: “Yakin lo masih mau jadi orang baik di negeri yang sistemnya justru ngegaji penipu?”

Buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat bukan sekadar satire lucu-lucuan—ini semacam kuliah umum moral yang disamarkan jadi cerita kocak. Lewat tokoh utama yang “cerdas menipu”, Kwik Kian Gie ngajak kita masuk ke dunia yang absurd tapi familiar: tempat orang bisa jadi tajir melintir tanpa kerja keras, cukup main dokumen palsu, sok networking, dan sedikit main mata dengan sistem.
Tapi jangan salah, di balik gaya bercandanya, pesan-pesan Kwik tuh nendang banget.
Pertama, beliau bilang dengan sangat halus tapi telak: korupsi di negeri ini bukan kecelakaan sistem—tapi udah jadi bagian dari desainnya. Yang curang bukan nyempil di pojok, tapi duduk manis di panggung utama. Jadi, kalau loe jujur dan kerja keras tapi tetep kalah, itu bukan salah loe—itu karena sistemnya memang ngasih hadiah buat yang licik.
Kedua, ia nyentil gimana bahasa sering dipakai buat ngebungkus kebusukan. Tipu-tipu dibungkus jadi “strategi bisnis”. Kredit fiktif disebut “inovasi pembiayaan”. Penipuan berjamaah diklaim “kreativitas pasar”. Sang tokoh utama bahkan gak rumongso dirinya penipu—ia justru bangga karena “lebih pintar dari yang lain.” Dan itu ngaca banget ama kenyataan di lapangan.
Ketiga, Kwik nunjukin bahwa kerusakan moral itu merata—bukan cuma di pengusaha, tapi juga di pejabat, bank, notaris, bahkan hukum. Semua udah kayak orkestra yang kompak main lagu yang salah, tapi penontonnya malah tepuk tangan. Ini bukan soal satu-dua oknum, tapi sistem yang emang “ramah penipu”.
Di ujung semua ini, Kwik ngasih pesan diam tapi mengguncang: kalau masyarakat terus-terusan memuja yang culas dan menginjak yang jujur, yang hancur bukan cuma ekonomi—tapi juga nurani bangsa. Dan bangsa yang kehilangan nurani, biarpun punya tambang emas dan sawit sejagat, tetap bakal runtuh dari dalam.

Warisan Kwik sebagai pendidik pun luar biasa. Ia turut mendirikan Prasetiya Mulya Business School dan Sekolah Bisnis Kwik Kian Gie, mencetak generasi yang melihat ekonomi bukan sekadar soal uang, tapi alat pengabdian publik dan penyembuh bangsa.

Di negeri yang kadang kompromi mengalahkan nurani, Kwik tetap teguh. Ia tak haus pujian, ia teguh pada pertanggungjawaban. Ia tak bermain drama, ia menuntut substansi. Semasa hidup, ia kadang disalahpahami. Tapi setelah wafat, kita sadar: sosok sepertinya sangatlah sedikit.

Kwik Kian Gie tak hanya mewariskan kebijakan atau tesis ilmiah, tapi warisan integritas sipil, kejujuran ekonomi, dan cinta tanah air yang tak pernah goyah. Saat Indonesia terus menapak masa depan yang tak pasti, suaranya tetap terasa—bukan dalam sorak, tapi perenungan; bukan dalam slogan, tapi dalam standar.

Ia mengajarkan bahwa nasionalisme sejati tak perlu keras, yang penting konsisten. Bahwa ekonomi sejati bukan soal dingin angka, tapi kehangatan hati. Dan bahwa mata uang paling berharga dalam hidup bermasyarakat bukanlah pengaruh, melainkan kejujuran.

[English]