Jumat, 25 Juli 2025

Paradoks Indonesia (1)

Yang dimaksud Paradoks Indonesia di sini adalah buku karya Prabowo Subianto yang bertajuk lengkap "Paradoks Indonesia: Negara Kaya Raya, Tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin". Buku ini nggak sekadar tulisan politisi yang sok tahu, tapi semacam tamparan keras buat bangsa sendiri. Prabowo blak-blakan nunjukin ironi gede: Indonesia ini kaya luar biasa—dari tambang, laut, hutan, sampai sawah—tapi kok rakyatnya masih banyak yang hidup pas-pasan?
Prabowo Subianto telah menulis delapan buku antara tahun 1998 hingga 2023, ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Karya pertamanya adalah Komando: Mengabdi Kepada Negara dan Bangsa (1998), dilanjutkan dengan Kembalikan Indonesia: Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa (2004), Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009), Surat Untuk Sahabat (2013), Paradoks Indonesia (2017), Indonesia Menang (2018), dua volume Kepemimpinan Militer (Buku 1 dan 2, tahun 2021–2022), Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022), serta Strategi Transformasi Bangsa (2023). Pada tahun 2025, terbit edisi terjemahan bahasa Rusia berjudul Ob iskusstve voennogo liderstva ("Tentang Seni Kepemimpinan Militer") yang diterbitkan seiring dengan kunjungan kenegaraan Prabowo Subianto ke Rusia sebagai tanda pertukaran intelektual dan diplomasi budaya.

Paradoks Indonesia yang rilis tahun 2017 menjadi salah satu yang paling berani dan paling “makjleb.” Bukan cuma kritik ekonomi, tapi semacam manifesto perubahan. Ada angka-angka, ada sejarah, ada sentilan buat elite, dan ada harapan juga—semua diramu dengan gaya khas Prabowo yang militernya masih kentel banget.
Lewat perpaduan data ekonomi, kisah sejarah, dan analisis tajam, Prabowo menyuguhkan potret bangsa yang luar biasa potensial tapi seperti jalan di tempat karena salah urus dan terlalu tergantung sama asing.

Bayangin, Chapter 1-nya Paradoks Indonesia itu dimulai dengan konsep “Indonesia itu kayaaaa banget!”. Ada tanah subur, emas, nikel, migas, laut segede lapangan sepak bola dunia, cuaca tropis nongol tiap hari—tapi sayang, rakyatnya masih banyak yang kepepet hidupnya. Nah, Prabowo men-drop bom emosional: parahnya, hampir setengah kekayaan negara dipegang cuma segelintir elit—satu persen orang teratas! Sementara rakyat banyak masih susah cari nasi hangat tiap hari.
Filosofinya juga mantap: Padahal kita punya UUD 1945 versi orisinal yang bilang ekonomi harus dikuasai oleh negara dan rakyat (Pasal 33), bukan jadi lahan oligarki. Tapi kenyataannya, sistem saat ini condong ke kapitalisme ekstraktif dan demokrasi “uang saku tebal” yang bikin aturan mudah dibeli dan rakyat cuma jadi penonton.
Jadi latar ceritanya tuh, Prabowo ngajak kita yang baca, “Hei bro, lihat nih paradoksnya. Kita punya segalanya, tapi malah banyak yang tetep nguap karena kelaparan ideologis.” Beliau bikin pembaca nge-klik untuk bangkit bareng—membangun kesadaran nasional dan ambil bagian dalam perubahan supaya Indonesia bisa jadi Macan Asia yang gak dicuekin negara lain. Pokoknya, bab pertama ini semacam “wake‑up call” nasional: waktunya kita berubah bareng-bareng!

Salah satu anekdot yang populer buat ngegambarin Paradoks Indonesia tuh kek gini, coba bayangin, ada nelayan di pelosok Indonesia timur, tinggal di surga tropis yang lautnya penuh ikan. Tapi tiap hari doi tetep hidup pas-pasan. Kapalnya cuma perahu kayu tambalan, jaringnya udah keropos, dan hasil tangkapannya cuma cukup buat makan hari itu. Padahal ikannya banyak. Tapi doi gak punya kulkas buat nyimpen, gak bisa ngangkut jauh, dan kalau jual di pasar, harganya dipermainkan tengkulak. Ironisnya? Ikan yang doi tangkap malah diekspor, nongol di etalase supermarket luar negeri seharga ratusan dolar sekilonya.
Prabowo suka banget ngangkat contoh kayak gini buat nunjukin betapa absurdnya keadaan kita. Rakyat Indonesia tuh hidup di atas tumpukan emas—tapi yang menikmati malah orang-orang jauh dari kampungnya. Bukan karena nelayannya males atau gak punya potensi, tapi sistem yang bikin mandeg. Tengkulak untung, eksportir cuan, elite ketawa di Jakarta, sementara sang nelayan tetap numpang hidup sama laut.
Buat Prabowo, ini bukan cuma ketimpangan ekonomi, tapi juga pengkhianatan terhadap keadilan, martabat, dan janji kemerdekaan. Pokoknya, kaya tapi melarat—itulah "Paradoks Indonesia". 

Indonesia itu ibarat rumah mewah yang dapurnya kosong. Gunungnya nyimpen emas, lautnya penuh ikan, lahannya subur banget—tapi jutaan warganya masih harus mikir keras buat sekadar makan layak. Kontras yang bikin jidat berkerut inilah yang disebut Prabowo Subianto sebagai “Paradoks Indonesia”. Kok bisa negara sekaya ini, tapi rakyatnya masih banyak yang hidup pas-pasan? 

Di Bab Kedua Paradoks Indonesia, Prabowo ngebahas gimana para elite ekonomi—konglomerat gede, pola penguasa, dan segelintir kelompok berpengaruh—jadi pengendali utama kekayaan negeri. Beliau ngejelasin, cuma sebagian kecil masyarakat yang pegang otoritas buat bikin aturan ekonomi dan ngeraup untung dari sumber daya nasional. Bab ini kayak benang merah yang nunjukin betapa ekonomi dan politik diatur untuk ngejaga status quo, bikin rakyat biasa kebingungan cari ruang buat maju.
Prabowo ngegambarin gimana para elite itu gak cuma kuasain sektor tambang, pertanian, infrastruktur, dan perbankan, tapi juga pakai pengaruhnya buat rombak regulasi dan lembaga demokrasi demi keuntungan sendiri. Menurutnya, mereka betah hidup di sistem dimana kekayaan cuma berputar di lingkar elite, sementara rakyat jelata cuma nonton dari pinggir lapangan. Demokrasi, dalam konteks ini, jadi panggung transaksional: siapa bayar banyak, itulah pemenangnya. Lewat data, kisah nyata, dan analisis tajamnya, Prabowo bikin kita tergelitik: negara yang katanya makmur ini justru abai sama keadilan ekonomi.

Di Bab Ketiga, Prabowo langsung nyorot hal paling mendasar: Indonesia tuh gak miskin karena nasib atau karena dunia kejam—tapi karena salah kelola ekonomi dari dalam negeri sendiri. Prabowo nunjek para pengambil kebijakan yang, katanya, malah milih jalur ekonomi yang ngawur dan jauh dari akar bangsa.
Menurut Prabowo, Indonesia dulu punya semangat ekonomi yang berdikari—yang mikirin rakyat, bukan korporasi asing. Tapi belakangan, negara ini malah kayak buka pintu lebar-lebar buat pasar bebas, liberalisasi, dan ketergantungan ke luar negeri. Akibatnya? Industri dalam negeri dan pertanian babak belur.
Ia juga nyindir keras para elite yang udah jauh banget nyimpang dari UUD 1945 dan cita-cita pendiri bangsa. Ia mengatakan, arah ekonomi sekarang tuh udah miring total—yang kaya makin makmur, yang miskin makin tergencet. Padahal jelas-jelas konstitusi kita nyuruh lindungi yang lemah dan bangun kemakmuran bersama.
Makanya di bab ini, Prabowo ngajak balik ke jalur ekonomi yang nasionalis, adil, dan berdaulat. Kita gak bisa terus jadi peniru sistem luar yang gak cocok sama kondisi kita. Udah waktunya bikin resep sendiri—pakai bahan lokal, nilai-nilai lokal, dan buat rakyat lokal juga.

Di Bab Keempat, Prabowo Subianto langsung tancap gas ke isu paling nyesek: kenapa negara sekaya Indonesia masih banyak rakyatnya yang miskin? Jawabannya, karena ada kebocoran kekayaan nasional yang terus-menerus dibiarkan. Menurutnya, ini bukan sekadar salah kelola, tapi udah masuk kategori pengkhianatan sistematis terhadap kedaulatan ekonomi bangsa.
Prabowo nyalahin para elite politik dan ekonomi yang katanya lebih percaya mazhab ekonomi globalis ketimbang mikirin kepentingan nasional. Akibatnya? Kekayaan alam kita dijual mentah-mentah ke luar negeri, lalu kita impor lagi barang jadi dengan harga mahal. Ini bukan perdagangan, ini penjajahan gaya baru—alias neo-kolonialisme versi ekonomi.
Ia ibaratkan Indonesia kayak ember bocor: berapa pun kekayaan masuk, tetep tumpah ke luar karena lubangnya dibiarin. Lubang itu bisa dari korupsi, institusi yang lemah, sampai perjanjian dagang yang timpang. Solusinya? Prabowo bilang kita harus balik ke ekonomi nasionalis—negara kudu ambil alih kontrol, jagain sektor strategis, dan mikir jangka panjang, bukan cuma untung instan.
Bab ini nendang banget. Campuran antara kritik tajam ke sistem kapitalis global dan semangat buat rebut lagi kendali. Buat Prabowo, selama kebocoran ini belum ditambal, Indonesia bakal terus jadi bangsa penonton di negeri sendiri.

Di bab pamungkas, bab lima, Prabowo gak lagi bahas data atau analisis ekonomi. Ia ngajak kita semua—terutama para pemimpin, intelektual, anak muda, dan patriot sejati—buat bangkit dari tidur panjang. Judul babnya aja udah langsung ngajak refleksi: “Menjawab Tantangan Sejarah”. Kata Prabowo, Indonesia sekarang ada di persimpangan jalan. Mau terus jadi negeri kaya yang rakyatnya tetep miskin, atau mau jadi bangsa besar yang adil, mandiri, dan makmur kayak yang dicita-citain para pendiri republik?
Prabowo gak percaya ini nasib. Beliau bilang “Paradoks Indonesia” itu bukan kutukan langit, tapi hasil pilihan salah arah dari para elite dan sistem selama puluhan tahun. Tapi beliau juga tegas: sekarang udah bukan waktunya nyalahin masa lalu. Pertanyaannya sekarang: kita berani gak ambil alih kembali nasib republik ini dan tulis ulang ceritanya?
Menurut Prabowo, kita butuh revolusi dua arah: ekonomi dan moral. Negara ini harus bangun dan muter haluan—bukan buat elite, tapi buat rakyat. Buat dia, perubahan gak cukup cuma dari kebijakan, tapi juga dari cara pikir. Kita harus stop jadi bangsa yang minder, dan mulai jadi bangsa yang punya tekad dan nyali.
Bab ini penuh semangat, agak emosional, tapi bener-bener nendang. Prabowo tutup bukunya dengan kalimat yang menggugah: dunia hanya menghormati negara yang kuat. Dan kuat menurut dia, bukan soal senjata atau duit asing, tapi soal persatuan dan harga diri bangsanya sendiri.

Menurut Prabowo, Indonesia itu ibarat harta karun dunia yang belum dibuka petanya. Negara ini gak cuma kaya batu bara, emas, gas, dan hasil laut, tapi juga punya tanah subur, letak strategis di jalur perdagangan dunia, dan—yang paling penting—generasi muda yang melimpah dan penuh semangat.
Buat Prabowo, negara lain tuh bisa iri liat kekayaan kita: dari nikel sampai laut yang kaya biota. Tapi sayangnya, semua itu masih belum dimaksimalkan. Bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang pemimpin yang punya visi dan nyali. Prabowo menyesalkan kenapa kekayaan sebesar itu malah lebih banyak dinikmati pihak asing atau bocor ke luar negeri.
Ia juga nyorotin pentingnya bonus demografi. Dengan mayoritas penduduk muda, seharusnya kita bisa jadi bangsa yang produktif, kreatif, dan mandiri. Tapi kalau mereka gak dikasih pendidikan dan lapangan kerja yang layak, potensinya bisa jadi bumerang.
Buat Prabowo, potensi Indonesia itu bukan angan-angan kosong. Itu fakta sejarah yang nyata. Tinggal sekarang: kita mau bangkit dan manfaatin semua itu, atau terus jadi bangsa yang cuma bangga di pidato tapi lapar di dapur?

Bagi Prabowo, koperasi itu senjata rakyat kecil buat melawan ketimpangan ekonomi. Ia bilang koperasi bukan cuma urusan simpen-pinjem, tapi alat perjuangan buat ngejagain yang lemah dari gempuran kapital gede dan praktik monopoli yang ngeruk untung sendirian. Makanya, menurutnya, koperasi harus dikasih panggung lagi, dikasih napas lagi, dan dikasih peran strategis di ekonomi nasional.
Tapi Prabowo juga ngaku sedih karena koperasi sekarang banyak yang kayak hidup segan mati tak mau. Ada yang mati suri, ada yang salah kelola, ada juga yang jauh melenceng dari semangat awal. Katanya, masalah utamanya tuh karena koperasi gak pernah benar-benar dipeluk sama para pengambil kebijakan. Pemerintah lebih pilih nyembah pasar bebas dan ngasih karpet merah buat korporasi besar, ketimbang bangun ekonomi kerakyatan lewat koperasi.
Prabowo percaya, ngehidupin koperasi bukan cuma soal strategi ekonomi, tapi juga soal tanggungjawab moral. Itulah cara paling nyata buat bikin pembangunan gak cuma numpuk di pusat, tapi nyebar sampe ke akar rumput. Buatnya, ekonomi Indonesia yang adil dan berdaulat itu gak bisa dilepas dari penguatan koperasi.

Di bagian akhir bukunya, Prabowo ngasih pesan amat tegas: Indonesia gak boleh buang-buang waktu lagi. Negeri ini udah dikasih modal alam luar biasa, tapi tanpa pemimpin yang jujur, visioner, dan punya nyali, semua itu bisa jadi sia-sia. Buat Prabowo, nasib Indonesia gak ditentukan orang lain—tapi ditentukan oleh rakyatnya sendiri. Tantangan dari luar memang banyak, tapi yang paling berat justru pertarungan di dalam: soal karakter dan arah bangsa.
Prabowo ngulangin lagi keyakinannya: Paradoks Indonesia itu bukan takdir tetap. Bisa dibalik, bisa diakhiri, asal ada kemauan politik yang tulus dan komitmen nasional yang kuat. Ia ngajak semua pihak—kaya atau miskin, tua atau muda, lintas agama dan partai—buat bersatu dalam satu tujuan: balikin Indonesia ke jalur yang benar, jalur bermartabat dan mandiri.
Buku ini gak ditutup dengan keluhan atau pesimisme. Justru ditutup dengan ajakan buat bangkit. Prabowo percaya Indonesia gak ditakdirkan jadi bangsa yang lemah dan terus dieksploitasi. Kita punya semua syarat buat jadi bangsa yang kuat, berdaulat, dan disegani. Asal rakyatnya—terutama anak mudanya—mau berjuang bareng-bareng dengan semangat, disiplin, dan cinta tanah air.

Lewat buku Paradoks Indonesia, Prabowo Subianto ngirim pesan yang keras tapi jujur: tragedi terbesar Indonesia tuh bukan soal kemiskinan, tapi karena potensi luar biasa negeri ini dikhianati oleh puluhan tahun salah urus dan pudarnya moralitas. Ia nantang para pembaca—terutama para pemimpin dan generasi muda—buat berhenti nyalahin keadaan dan mulai bangkit rebut lagi harga diri, kedaulatan, dan kemakmuran yang seharusnya jadi milik rakyat Indonesia. Dengan gaya yang patriotik dan penuh keyakinan moral, buku ini bukan cuma peringatan keras, tapi juga peta jalan buat kebangkitan nasional. Dan setelah ulasan ini berakhir, kita bakal lanjut menyusuri pemikiran Prabowo dalam buku lanjutannya, Paradoks Indonesia dan Solusinya, dimana ia mulai buka-bukaan soal strategi konkret buat nutup paradoks ini dan bener-bener mewujudkan kemajuan yang adil dan nyata.