Sabtu, 20 September 2025

Undercover dan White Paper (1)

Silvio Berlusconi, mantan PM Italia, beberapa kali kena tuduhan soal ijazah atau sertifikasi yang dipermudah atau kontroversial. Walau pengaruh politik dan media bikin doski tetep berkuasa, isu ini bikin publik mulai ragu dan kepercayaan terhadap institusi turun. Rakyat nanya-nanya: layakkah kekuasaan pemimpin ini karena merit atau cuma warisan jaringan? Kasus ini nunjukin kalau kredibilitas ijazah langsung pengaruh ke pandangan demokrasi.

Kenegarawanan itu bisa dibilang level “ultimate boss” dalam kepemimpinan. Kalau politisi biasa sibuk mikirin kursi, masa jabatan, sama deal politik jangka pendek, seorang negarawan justru mikirin nasib bangsa jauh ke depan, bahkan sampai generasi yang belum lahir. Negarawan bukan cuma jago ngomong atau jago kampanye, tapi punya visi, kearifan, dan keberanian buat ambil keputusan yang kadang nggak populer tapi penting demi keberlangsungan negara. Bedanya jelas: politisi nyari selamat, negarawan ninggalin warisan moral dan institusi yang bikin rakyat percaya.
Dalam obrolan politik masa kini, istilah kenegarawanan itu seperti aura elegan plus kecendekiaan yang bikin pemimpin beda kelas dari sekadar politisi biasa. Lihat saja Nelson Mandela: habis diganjar 27 tahun dipenjara, bukannya dendam-dendaman, malah ngajak rekonsiliasi biar Afrika Selatan gak kejeblos ke jurang perang saudara. Kekuatannya bukan cuma di pidato yang bikin merinding, tapi juga di sikap nahan diri, kebesaran hati, dan keengganan buat bikin kebijakan berdasarkan sakit hati. Di Indonesia, ada juga contoh kayak Mohammad Hatta. Hidupnya sederhana, lurus, bahkan rela cabut dari jabatan Wakil Presiden karena prinsipnya udah gak klop sama arah negara. Hatta nunjukin kalau kekuasaan itu bukan harta karun buat dipeluk, tapi titipan yang bisa ditinggalin kalau udah gak lagi buat kepentingan rakyat.

Bandingin dengan kondisi sekarang, dimana isu ijazah palsu dan dokumen kependudukan meragukan bikin bapak-anak politik jadi bahan gugatan, jelas banget ada jurang lebar dari standar kenegarawanan. Kalau legitimasi pemimpin terus-menerus dipertanyakan bukan karena oposisi rewel, tapi karena urusan kebenaran yang gak kelar-kelar, ya kepercayaan rakyat bakal luntur habis. Di situ, kenegarawanan jatuh derajatnya jadi sekadar manuver bertahan hidup. Warisan politik ayah ke anak jadi kayak perusahaan keluarga rapuh, berdiri di atas kertas-kertas penuh tanda tanya, bukan di atas kepercayaan rakyat. Dan itulah tragedi paling getir: politik berubah jadi drama dokumen bermasalah, bukannya panggung mulia untuk membangun bangsa.

Dalam demokrasi yang sehat, kenegarawanan itu kayak lem tak kelihatan yang bikin lembaga, kepercayaan publik, dan legitimasi keputusan tetep nempel kuat. Kalau pemimpin punya integritas, meski kebijakannya gak semua orang suka, jabatannya tetep dihormati karena kredibilitasnya nyata. Tapi kalau isu ijazah palsu atau dokumen meragukan jadi headline terus, debat publik berubah arah. Bukannya ribut soal visi dan kebijakan, orang malah sibuk nanya: “Eh, doski ini beneran layak jadi pemimpin gak sih?” Nah, kalau udah gitu, luka buat demokrasi jauh lebih dalam. Presiden jadi goyah, DPR ikut kena getahnya, peradilan ikut tercoreng, birokrasi kelihatan kayak gak berdaya. Demokrasi jadi kayak rumah mewah tapi isinya kosong, prosedurnya jalan, tapi rohnya hilang.
Khusus di Indonesia, drama bapak-anak bikin rapuhnya demokrasi makin kelihatan. Harusnya bisa dipoles sebagai estafet kepemimpinan, eh malah kelihatan kayak proyek warisan keluarga yang kebungkus masalah legalitas. Kalau mantan presiden sama wapres yang sekarang kena gugatan mirip-mirip, citra “dinasti kuat” gampang banget kebalik jadi “dinasti rapuh.” Anak muda yang nonton drama ini dapet pesan pahit: ternyata merit dan kejujuran kalah telak dibanding koneksi dan kontrol. Lama-lama demokrasi jadi kayak reality show politik, di mana yang penting bukan kebenaran tapi citra, bukan moral tapi trik media.

Kenegarawanan itu gak bisa dipisahin dari pendidikan, bukan cuma pendidikan formal soal ijazah, tapi juga soal kedewasaan intelektual dan kedisiplinan moral. Seorang pemimpin sejati ngerti kalau ilmu itu bukan aksesoris, tapi pondasi utama buat bikin kebijakan yang bener. Saat seorang negarawan nunjukin ijazah yang sah, itu bukan sekadar formalitas birokrasi, tapi tanda bahwa doski pernah melewati proses belajar, diuji, dan terbukti mampu. Ijazah di sini jadi lebih dari sekadar kertas—ia semacam janji terbuka ke rakyat bahwa kekuasaannya berdiri di atas persiapan, bukan asal jadi. Sebaliknya, kalau dokumen kayak gitu mulai dipertanyakan, aura kenegarawanan langsung runtuh. Pemimpin yang tadinya, harusnya, kelihatan bijak dan jujur, malah jadi keliatan oportunis yang cuma ngotot pegang kuasa. Akibatnya, jembatan kepercayaan antara rakyat dan penguasa ambruk. Karenanya, pendidikan itu bukan cuma soal karir pribadi, tapi juga soal legitimasi publik. Tanpa itu, kenegarawanan tinggal jadi jargon kosong belaka.

Salah satu contoh paling nyata ada pada kisah John F. Kennedy. Pendidikannya yang di Harvard bukan sekadar prestise elit, tapi jadi bagian penting dari citranya sebagai pemimpin modern, intelektual, dan mumpuni di era Perang Dingin. Latarbelakang akademis itu bikin rakyat percaya sama kemampuannya, terutama pas krisis Misil Kuba, dimana ketenangan dan pengetahuannya nyelametin dunia dari potensi perang nuklir. Ijazahnya bukan cuma simbol privilege, tapi bukti nyata bahwa doi emang udah ditempa buat jadi negarawan. Sebaliknya, di banyak negara lain, begitu ada pemimpin ketahuan ijazahnya palsu atau meragukan, dampaknya parah banget: ada yang langsung mundur, ada gelombang demo besar-besaran, bahkan bisa bikin runtuhnya kepercayaan publik total. Kalau udah begitu, yang kena bukan cuma individu, tapi stabilitas negara juga ikut hancur. Jadi jelas, kalau kenegarawanan dipisahin dari pendidikan yang asli, hasilnya tinggal panggung sandiwara tanpa isi.

Buku Jokowi Undercover itu bisa dibilang kayak “buku isu politik edisi deluxe,” bukan karena desas-desusnya, tapi justru karena kekuatan klaimnya. Ditulis Bambang Tri Mulyono, isinya soal ijazah Jokowi dan latarbelakang keluarganya. Faktanya? Gegara diterbitkan, gegerlah satu negeri. Pemerintah pada era itu, langsung turun tangan, bukunya dilarang dengan alasan bikin hoaks dan meresahkan masyarakat, penulisnya pun akhirnya dipenjara.
Tapi di balik drama itu ada pertanyaan lebih serius: batas kebebasan mengutarakan pendapat itu sampai dimana, sih? Pihak yang setuju pelarangan bilang demokrasi gak boleh kasih panggung buat fitnah, sedangkan pengkritik justru ngeliat ini sebagai sinyal bahaya—jangan-jangan semua suara sumbang nanti bisa gampang dibungkam atas nama “anti-hoaks”. Jadi akhirnya bukunya sendiri gak penting, yang penting ialah pertempuran simbolis soal siapa yang berhak menentukan kebenaran di ruang publik.
Dari sisi budaya, fenomena ini nunjukin betapa masyarakat kita doyan banget sama teori konspirasi, apalagi kalau udah nyangkut elite politik. Rasa gak percaya ke penguasa bikin orang gampang jatuh hati ke “narasi alternatif”, meskipun mungkin rapuh. Jadi, Jokowi Undercover itu lebih pas disebut cermin kegelisahan, kecurigaan, dan rapuhnya batas kehidupan demokrasi di Indonesia.
Memang benar, Jokowi Undercover punya banyak pendukung tertentu, karena pas banget dengan rasa curiga sebagian rakyat terhadap presiden yang masih berkuasa pada waktu itu. Di masyarakat yang udah penuh rasa gak percaya ke elit, buku setipis apapun buktinya bisa langsung jadi bahan bakar, karena gak perlu membuktikan apa-apa—cukup nge-echo keraguan yang udah ada di kepala pembacanya. Masalahnya, buku ini muncul di masa Jokowi masih pegang kursi, jadi jelas dianggap berbahaya, bukan lantaran isinya, tapi karena efeknya bisa ngeganggu legitimasi kekuasaan. Pas pemerintah membungkamnya, justru makin kuatlah dugaan sebagian orang: “Tuh kaan, berarti ada yang disembunyiin, nih!”
Akhirnya buku ini bukan sekadar teks, tapi menjadi properti drama politik. Pendukung bilang, “dibungkam karena benar,” para buzzer di era itu bilang, “ah itu cuma hoaks murahan.” Ironinya, makin ditekan, makin besar aura misterinya di kalangan bawah tanah pembacanya. Jadi, yang sebenernya dibunuh itu bukannya narasi, tapi justru kredibilitas penguasa yang makin kelihatan defensif.

Dalam era Reformasi, Indonesia seharusnya udah masuk babak baru: lebih terbuka, transparan, dan demokratis. Kejatuhan Soeharto 1998 digadang-gadang jadi akhir dari sensor negara, biar rakyat bisa bebas adu gagasan. Tapi kasus Jokowi Undercover nunjukin refleks lama masih hidup. Begitu bukunya keluar, langsung dilarang dan penulisnya dipenjara. Gaya ini mirip logika Orde Baru: kalau ada ancaman buat legitimasi, sekecil apa pun, harus diberesin cepet-cepet. Bedanya, kalau dulu pakai tangan besi, sekarang dibungkus rapi pakai istilah “anti-hoaks” atau “demi demokrasi.” Selain itu, ada pulak orang-orang yang bersiap mengadu ke polisi untuk mempidanakan pelaku, yang belum tentu bersalah. Jadi meskipun tampak reformis, insting kontrol ala Orde Baru masih suka nongol, cuma pakai kostum baru.
Ironinya, langkah begini justru bikin pemerintah kelihatan lemah. Alih-alih nunjukin kekuatan lewat debat terbuka, malah tampak defensif, seolah takut ama tulisan di atas kertas. Ini jadi paradoks Reformasi: katanya demokrasi, tapi panik kalau ada narasi alternatif. Akhirnya, bayang-bayang otoritarianisme masih nyempil di balik topeng demokrasi, bikin rakyat sadar kalau kebebasan berpendapat itu tetep aja bersyarat.
Nah, dari sisi psikologi publik, cara ngebungkamnya malah sering blunder. Begitu buku dilarang, banyak orang nganggep bukan berarti isinya ecek-ecek, tapi justru makin yakin “wah, pasti bener nih, makanya ditutup-tutupin.” Efek psikologisnya dikenal sebagai “buah terlarang”: makin dilarang, makin pengin. Jadi bukannya hilang, malah jadi magnet, seolah berisi pengetahuan rahasia yang pemerintah takutkan.
Inilah dinamika penjelasan mengapa teori konspirasi gampang banget hidup di negeri yang penuh sensor dan rasa curiga. Buat rakyat yang udah merasa jauh dari elit politik, tiap suara yang dibungkam otomatis naik derajat jadi pahlawan, tiap buku yang dilarang langsung dipandang wahyu tersembunyi. Jokowi Undercover sebenernya gak begitu powerful, tapi lantaran respon negara yang represif justru bikin bukunya bertenaga simbolis dan popularitasnya meningkat, hingga menjadi legenda bawah tanah dalam imajinasi publik.

Dalam jangka panjang, kasus Jokowi Undercover ninggalin goresan yang lebih dalam: rasa curiga rakyat ke negara makin menjadi-jadi. Walaupun mayoritas orang gak baca bukunya, kabar soal pelarangan itu udah cukup buat nancep di ingatan kolektif: pemerintah kalau dikritik masih pilih sensor, bukan argumen. Dari situ lahir kesan kalau kekuasaan itu rapuh, gampang panik, dan di balik jargon demokrasi masih nyimpen naluri lama buat ngontrol narasi. Bahayanya bukan semata orang percaya semua teori konspirasi, tapi orang jadi kehilangan kepercayaan pada kebenaran resmi. Pas rakyat curiga negara doyan nutup-nutupin, bahkan komunikasi jujur pun bisa dianggap propaganda.
Efek panjangnya jelas: erosi kepercayaan. Legitimasi demokratis gak cuma datang dari pemilu, tapi juga dari citra bahwa pemerintah terbuka, kredibel, dan pede. Begitu sensor dipakai, legitimasi otomatis melemah. Warga mulai mikir, “ah, pasti ada apa-apanya nih,” dan rumor jadi lebih kuat daripada fakta. Apalagi di era digital, info ngalir bebas di medsos. Yang dibungkam di kertas malah hidup lagi online, diperbanyak, dipelintir, dan jadi monster yang udah gak bisa dikontrol negara.
Warisan Jokowi Undercover bukan pada klaim isinya, tapi pada rasa curiga yang awet. Kasus ini nunjukin betapa tipisnya batas antara demokrasi Reformasi dan refleks otoriter. Tiap kali negara ngebungkam, sebenarnya mereka nulis bab baru di “kitab kecurigaan” rakyat—dan kitab itu, gak kayak buku mana pun, gak bisa dilarang.

Populisme di Indonesia tumbuh subur lewat gaya merakyat, jualan kesederhanaan, dan narasi bahwa pemimpin itu “bagian dari kita,” bukan “bagian dari mereka.” Jokowi jadi poster boy gaya ini: mantan tukang kayu yang jadi presiden, bapak-bapak kaos oblong yang nongkrong sama warga. Tapi justru karena populer lewat citra, posisinya rapuh—populisme itu berdiri di atas kepercayaan personal, bukan institusi. Nah, Jokowi Undercover nyerang tepat di titik lemah ini. Bukan karena buktinya kuat, tapi karena berani nanya: “Aslinya doski siapa, sih?” Begitu biografi dipertanyakan, citra yang udah dipoles bertahun-tahun pun bisa ikut goyah.
Di sini jelas banget benturan sama politik pencitraan. Politik modern Indonesia udah kayak ajang branding: pemimpin dipaketin kayak produk, dijual lewat momen viral dan narasi manis. Tapi branding punya titik lemah: begitu aura “asli” retak sedikit aja, susah banget dipulihin. Jokowi Undercover jadi bahan bakar buat kecurigaan publik bahwa semua ini cuma settingan. Dan makin pemerintah ngebela mati-matian, makin terasa bahwa citranya memang buatan, bukan alami.
Populisme ama teori konspirasi akhirnya saling menghidupi. Populisme bikin panggung yang kinclong, konspirasi nyodorin teriakan dari kursi penonton: “Itu palsu!” Rakyat di tengah-tengah jadi bingung sendiri, kadang tepuk tangan, kadang geleng-geleng. Pada akhirnya, Jokowi Undercover gak bikin Jokowi tumbang, tapi nunjukin rapuhnya gaya politik yang terlalu bergantung pada pencitraan. Pelajarannya jelas: populisme bisa bikin menang pemilu, tapi bikin demokrasi ringkih, karena kesetiaan rakyat ditambatkan ke orang, bukan ke sistem.

Di seluruh dunia, kisah Jokowi Undercover bukan hal yang aneh. Demokrasi dimana-mana lagi kena krisis kepercayaan: pemimpin populis naik lewat citra yang dipoles habis-habisan, sementara teori konspirasi muncul jadi narasi tandingan. Di Amerika, Barack Obama dihantui teori “birther” yang ngegas soal tempat lahirnya—sama absurdnya kayak tuduhan di Jokowi Undercover—tapi cukup kuat buat bikin gaduh politik nasional. Di Eropa, tokoh populis macam Viktor Orbán di Hungaria sampai Matteo Salvini di Italia sama-sama jualan gaya merakyat, tapi branding mereka malah makin ngundang curiga dan skeptisisme. Benang merahnya jelas: makin kuat politik bertumpu pada pencitraan, makin gampang ditembus konspirasi.
Era digital bikin situasi ini makin kacau. Sosial media bukan sekadar nyebarin info, tapi juga memperbesar keraguan, bikin ruang gema tempat prasangka berubah jadi keyakinan keras. Begitu pemerintah main sensor, polanya sama aja di seluruh dunia: bukannya mematikan rumor, malah bikin rumor abadi. Rakyat pun jadi mikir, “wah, semua elite pasti ada yang ditutup-tutupin”—entah itu ijazah Jokowi, akta lahir Obama, atau rekening pejabat Uni Eropa. Yang lahir bukan cuma distrust ke satu orang, tapi distrust ke demokrasi itu sendiri.
Karenanya, Jokowi Undercover sebenernya bagian dari keluarga besar teks konspirasi global yang tumbuh subur di lahan populisme dan polarisasi. Buku itu nunjukin betapa rapuhnya demokrasi kalau modalnya bukan institusi kuat, tapi karisma personal. Begitu karismanya dipertanyakan—kendati mungkin buktinya tipis—retakan langsung muncul di façade legitimasi. Dan begitu retakan kelihatan, gosip dan rumor bakal selalu nemu jalan buat ngerembes masuk.

Kebenaran dalam politik itu bukan cuma soal fakta; ia adalah kontrak rapuh antara penguasa dan rakyat, tentang apa yang rela kita terima sebagai nyata. Kekuasaan bertahan bukan hanya dengan bukti, tapi dengan performa kredibilitas. Begitu kredibilitas itu diragukan, kayak kasus Jokowi Undercover, pertempuran bukan lagi soal dokumen, tapi soal imajinasi. Rakyat gak cuma nimbang mana benar mana salah; mereka juga memproyeksikan rasa takut, curiga, dan harapan ke layar politik. Di titik itu, teori konspirasi bukan sekadar nyeleneh, tapi ekspresi bengkok dari kebutuhan yang lebih dalam: keinginan buat ngerti kekuasaan yang terasa jauh dan gak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Itulah kenapa sensor sering gagal. Ketika narasi dibungkam, kekuasaan lupa bahwa manusia itu bukan konsumen fakta, tapi tukang cerita. Begitu mereka gak percaya ama penjelasan resmi, mereka bikin narasi tandingan sendiri. Imajinasi ngisi kekosongan yang ditinggal diam. Dan di ruang kosong itu, gosip sekecil apa pun bisa menjelma jadi mitos kuat. Secara filosofis, mitos bukan cuma kebohongan; ia wadah makna, cara manusia bikin chaos jadi masuk akal. Bahayanya, kalau mitos sepenuhnya gantiin fakta, demokrasi turun level jadi teater tempat dimana yang penting bukan kebenaran, tapi siapa punya narasi paling laku.
Jadi pelajaran dari Jokowi Undercover sebenarnya filosofis banget: kebenaran dalam politik hendaknya dipupuk dengan kepercayaan, bukan dipaksakan lewat pembungkaman. Demokrasi bertahan bukan dengan ngebungkam rasa curiga, tapi dengan menghadapinya secara terbuka, nunjukin kekuatan bukan dengan ngumpet, tapi dengan menjawab. Kalau nggak, tiap usaha mengubur keraguan cuma bikin akar curiga makin dalam, sampai lahan pikiran rakyat jadi subur buat prasangka doang. Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan cuma nasib satu pemimpin atau satu buku, tapi kemungkinan adanya kenyataan bersama yang jadi fondasi hidup demokratis.

[Bagian 2]