Jumat, 19 September 2025

Renungan tentang Keabadian dalam Islam

Dalam Islam, tersimpan sebuah pengingat sakral bahwa dunia ini bukan rumah, melainkan jalan, sebuah jembatan yang menghubungkan dari buaian tanah menuju keabadian yang tak terlihat. Segala kepemilikan yang mempesona mata kita, setiap gelar yang menghiasi nama kita, bahkan kekuatan yang berdenyut di urat nadi kita, bukanlah milik kita, melainkan titipan singkat dalam hitungan waktu.
Al-Qur’an membuka tabir hakikat dunia dengan kejernihan yang menusuk, menamainya mataa‘ul-ghurūr, kesenangan yang menipu, perhiasan singkat yang berkilau sesaat lalu lenyap didalam bayang-bayang. Tipuannya bukan pada keindahannya, melainkan pada ilusi bahwa ia akan abadi, sebab dunia laksana fatamorgana di padang pasir: menjanjikan air, namun ketika didekati, ia hanyalah debu yang sirna.
Namun, di balik kefanaan ini, iman muncul bagai permata yang tak bisa dipecahkan, kekayaan yang tak bisa dijarah pencuri, dan tak bisa dirampas penguasa mana pun. Seorang mukmin boleh saja kehilangan semua yang bisa ditakar dengan emas atau batu, namun apa yang bersemayam di hatinya tetap utuh, sebab iman bertambat pada yang gaib, dan amal saleh tersimpan untuk keabadian.

Karena itulah Rasulullah ﷺ mengajarkan dengan kejelasan yang tak terbantahkan: 
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tak melihat kepada tubuh-tubuh kalian dan tak pula kepada rupa-rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada setap hati dan amal kalian.”
Kalimat ini merobek ilusi yang ditenun masyarakat, sebab nilai jiwa tak tertulis pada kain sutra atau terpahat di istana marmer, melainkan pada ketulusan yang berdenyut tak terlihat dan tindakan yang terlahir darinya. Apa arti keelokan di mata manusia bila hati berkarat oleh keangkuhan? Apa arti kekayaan bila menjerat nurani dengan kerakusan?

Di keheningan malam, ketika semua topeng terlepas, hanya hati yang berkata jujur, dan hati itulah yang dipandang Allah. Maka seorang mukmin belajar untuk hidup di dunia tanpa larut di dalamnya, berjalan di pasar tanpa terjual oleh ilusi, merasakan manisnya tanpa menjadi budaknya. Ia tahu hidup itu perjalanan di atas waktu yang dipinjam, dan setiap napas adalah koin yang diambil dari kantong yang kian menipis setiap jam. Namun ia juga tahu bahwa setiap kebaikan, setiap doa lirih, setiap langkah sabar, tersimpan dalam catatan keabadian, menjadi harta yang takkan sirna. Karenanya, ketenangan tumbuh bukan dari kelimpahan harta, melainkan dari kekayaan iman, sebab apa yang dunia tahan, Allah ganti dengan kedamaian.

Dunia memikat dengan arak-arakan gemerlapnya, tetapi di balik kilauannya hanya ada hampa, sedangkan iman memberi jiwa damai yang tak terbeli dengan mata uang apa pun. Dan pertanyaan pun bangkit, lembut namun tegas: pada apa kita menambatkan hidup kita? Pada sesuatu yang fanakah, atau pada sesuatu yang bertahan melampaui liang lahat?
Jika identitas kita dibangun di atas pasir yang bergeser, ia akan runtuh ketika badai datang; akan tetapi, bila ditanam di atas iman, tak ada gelombang yang bisa menghanyutkannya.

Hati seorang mukmin menjadi benteng bukan karena tembok batu atau gerbang besi, melainkan karena tawakal kepada Allah, fondasi yang tak terguncang. Ketika cobaan menghantam, ia tak roboh, sebab ia tahu badai membersihkan sekaligus menguji, dan setiap musibah hanyalah panggilan untuk bersandar pada Dia Yang Mahaabadi. Dunia berbisik dengan janji keabadian, namun janji itu hampa; hanya firman Allah yang tetap tegak, tak terputus sepanjang zaman. Karena itu, seorang mukmin melihat harta sebagai amanah, bukan piala; kekuasaan sebagai tanggungjawab, bukan mahkota; dan hidup sebagai kesempatan, bukan jaminan.

Setiap detik itu, lembaran, dan setiap amal itu, goresan tinta pada kisah yang akan dibacakan pada Hari Perhitungan. Apa kemuliaan yang bisa menandingi amal yang dibawa dalam cahaya di hadapan Arasy, sementara semua gelar, harta, dan nama besar tercerai-berai seperti debu diterpa angin?
Maka orang bijak hidup dengan dua pandangan: satu pada saat ini, menggunakan nikmat dunia dengan syukur, dan satu lagi pada keabadian, menyiapkan bekal guna perjalanan tanpa akhir. Sebab kubur takkan bertanya pakaian apa yang dirimu kenakan, mobil apa yang engkau kendarai, melainkan doa apa yang anta panjatkan, hati siapa yang dikau sembuhkan, dan beban siapa yang dikau ringankan.

Dalam kesadaran inilah lahir kerendahan hati, sebab tiada mahkota yang bisa menghiasi kepala yang kelak rebah didalam tanah, dan tiada harta yang bisa membeli keselamatan jiwa. Namun iman memberi mahkota kehormatan bagi yang paling miskin, dan amal shalih mengangkat yang paling lemah melebihi raja. Dunia mungkin menertawakan kesederhanaan, tetapi langit bergembira atas ketulusan, dan Allah menimbang yang tak terlihat dengan timbangan yang tak pernah keliru.

Maka janganlah kita mengejar bayangan dan melupakan cahaya, atau menghabiskan hidup memoles cermin yang akan pecah pada sentuhan pertama keabadian. Mukmin sejati itu ibarat musafir yang berteduh di bawah pohon, tahu bahwa itu bukan rumahnya, hanya persinggahan sebentar sebelum perjalanan berlanjut. Ia mengambil dari dunia secukupnya, bersyukur atasnya, lalu berjalan lagi, meninggalkan bukan jejak kerakusan, melainkan tanda-tanda zikir. Sebab dunia akan tetap ada setelah kita pergi, tetapi ia tak menemani kita; hanya iman dan amal yang berjalan bersama kita ke dalam lengangnya kubur.

Dan ketika sangkakala ditiup dan segala ilusi tersingkap, bukan mahkota penguasa atau harta saudagar yang bertahan, melainkan catatan hati. Di situlah terbukti sabda Rasulullah ﷺ—bahwa Allah tak menatap apa yang menipu manusia, melainkan apa yang sungguh-sungguh mendefinisikan mereka. Betapa indah mengetahui bahwa bahkan amal terkecil, bila tulus, bersifat abadi, sementara pertunjukan sebesar apa pun, bila kosong, hanyalah debu.

Maka setiap senyum yang dibagikan, setiap ketidakadilan yang ditanggung sabar, setiap air mata doa, menjadi permata yang tersimpan dalam perbendaharaan abadi. Dengan demikian, seorang mukmin berjalan dengan ringan, bebas dari beban kepemilikan, sebab dalam hatinya, ia membawa harta-benda yang tak pernah berkurang.

Rahasia kekuatan bukan pada apa yang digenggam, melainkan pada apa yang dititipkan kepada Allah, sebab siapa yang melepas dunia, ia digenggam oleh Pencipta alam semesta. Maka, mari kita renungkan: adakah kita mengejar tepuk tangan manusia yang memudar seperti gema, atau ridha Allah yang kekal selamanya? Menakarkah diri kita dengan apa yang berkarat dan membusuk, atau dengan apa yang bercahaya di keabadian?
Jawabannya bukan pada kata-kata, melainkan pada pilihan, sebab setiap hari kita menulis dengan amal tentang apa yang sebenarnya diyakini hati kita. Dan seorang mukmin menulis bukan untuk sejarah, melainkan untuk takdir; bukan untuk kenangan, melainkan untuk keabadian. Inilah rahmat Islam: bahkan hidup yang singkat bisa mengandung nilai tak terhingga bila dijalani dengan iman dan amal shalih. Sebab jiwa kelak akan berdiri sendiri, telanjang dari segala kepura-puraan, dan hanya cahaya yang dibawanya yang tetap bersama.

Apa yang kita simpan bagi diri kita, akan mati bersama kita, tetapi apa yang kita berikan karena Allah akan bertahan melampaui kubur. Maka, hidup bukanlah lomba untuk mengumpulkan, melainkan kesempatan untuk menyerahkan; bukan upaya mencari keabadian pada debu, melainkan persiapan menuju keabadian dalam cahaya.
Orang mukmin tersenyum di tengah kehilangan, sebab ia tahu tiada yang sesungguhnya hilang bila diberikan di jalan Allah; ia hanya berpindah dari tangan ke catatan abadi. Dan ia tersenyum di tengah kesulitan, sebab ia tahu setiap duri di jalan dihitung, dan setiap langkah yang sabar adalah jembatan yang dibangun menuju surga.

Dunia hanyalah bayangan keabadian, dan keabadian itu fajar yang sejati; orang bijak tak mengejar bayangan, tapi melangkah menuju cahaya. Maka marilah kita bangun sebelum tirai ditutup, sebelum fatamorgana sirna, sebelum hati terkunci. Marilah kita tambatkan nilai diri bukan pada yang pudar, melainkan pada yang kekal; bukan pada debu, melainkan pada ruh; bukan pada ilusi, melainkan pada kebenaran. Dan ketika napas terakhir meninggalkan bibir kita, semoga catatan kita bercahaya oleh amal iman, sehingga yang sementara ini menjadi jalan menuju yang abadi. Sebab pada akhirnya, dunia akan pergi, tetapi apa yang telah kita lakukan dengan tulus karena Allah, akan berjalan bersama kita selamanya.

Dunia ini hanyalah bayangan sementara dan bahwa kekayaan sejati seorang mukmin terletak pada iman dan amal shalih, sementara perenungan doa penutup Surah Al-Baqarah menunjukkan bagaimana iman itu berwujud dalam doa, dalam kerendahan hati mengakui kelemahan, dan dalam kekuatan mencari rahmat Allah. Di antara kedua perjalanan ini ada benang emas: hati yang tahu dunia akan berlalu adalah hati yang sama yang menunduk dalam doa, menitipkan bebannya kepada Dia yang rahmat-Nya tak pernah pudar. Maka pelajaran tentang kefanaan dunia dan kata-kata doa Ilahi itu bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan saling berpelukan, membentuk satu jalan dzikir yang menuntun seorang mukmin dari kesadaran akan sia-sianya dunia menuju ketenangan dalam perlindungan Allah.

اللَّهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Ya Allah, Yang Maha Pengasih Yang tak pernah alpa, janganlah Engkau hukum kami bila ingatan kami terlepas, bila langkah kami tergelincir, atau bila hati kami lalai dari cahaya-Mu.
Duhai Rabb kami, janganlah Engkau wariskan kepada kami beban yang berat dan menyesakkan, sebagaimana Engkau letakkan di pundak umat-umat sebelum kami.
Duhai Rabb kami, janganlah Engkau titipkan kepada jiwa kami sesuatu yang melampaui daya, yang bisa mematahkan harapan dan menumpulkan semangat kami.
Ampunilah dosa-dosa kami yang nyata, maafkanlah kekhilafan yang tersembunyi, dan limpahkanlah rahmat-Mu yang seluas langit dan bumi, agar hati kami kembali teduh dalam naungan kasih-Mu.
Engkaulah Pelindung kami, perisai di kala kami rapuh, cahaya di kala kami tersesat. Maka kuatkanlah kami, duhai Rabb, dan menangkanlah kami atas mereka yang menolak kebenaran-Mu.

English