Rabu, 24 September 2025

Reformasi POLRI

Sebelum kita nyemplung lagi ke soalan PBB dan dunia perkoperasian, yuk kita bahas dulu dikit soal Reformasi POLRI. Soalnya, tiap kali topik ini muncul, pasti ada yang nyeletuk, “Emang, apanya yang perlu direformasi sih?”

Reformasi POLRI itu butuh keberanian plus visi yang jelas. Ia bukan cuma soal ganti struktur atau bikin surat edaran keren, tapi butuh revolusi budaya yang nembus semua level. Polisi harus balik ke misi dasar: melayani dan melindungi rakyat sambil tegakkan hukum tanpa pilih kasih. Kalau enggak serius, reformasi cuma jadi gaya-gayaan doang.

Budaya di tubuh POLRI harus berubah total. Dari yang dulunya toleran sama korupsi, nepotisme, dan intimidasi, jadi mementingkan integritas, profesionalisme, dan empati. Pendidikan dan pelatihan harus tanam nilai ini dari awal masuk sampai jadi jenderal. Polisi harus ngerti, legitimasi mereka datang dari kepercayaan rakyat, bukan dari takut-takutin atau koneksi.

Transparansi itu wajib. Rekrutmen, promosi, dan disiplin harus terbuka dan berbasis prestasi. Jangan sampai pangkat naik cuma karena punya koneksi atau amplop. Pengawas internal aja nggak cukup, harus ada badan independen yang berani mengawasi tanpa takut atau pilih-pilih.

Depolitisasi juga penting banget. POLRI harus bebas dari tekanan politik, entah dari partai, pejabat pemerintah, atau pengusaha besar. Kalau polisi dianggap jadi alat kepentingan politik atau pribadi, publik nggak bakal percaya lagi.

Modernisasi harus jalan bareng reformasi budaya. Polisi harus melek teknologi dan siap mental menghadapi tantangan sekarang, mulai dari cybercrime sampai terorisme dan digital surveillance. Tapi efisiensi nggak boleh bikin mereka kehilangan sisi humanis. Rakyat harus ngerasa dilindungi, bukan ditakuti, dan teknologi harus bantu keadilan, bukan bikin aparat jadi galak.

Partisipasi publik nggak bisa ditawar. Di era digital sekarang, rakyat punya informasi dan medsos. Reformasi nggak bisa jalan sendiri tanpa rakyat. Dengerin keluhan mereka, tanggapi, dan ajak mereka terlibat supaya reformasi nggak cuma jalan, tapi juga dihormati dan dipercaya.

Korupsi di POLRI harus diberesin tuntas. Dari pungli di jalanan sampai manipulasi promosi dan proyek, korupsi bikin institusi kehilangan legitimasi. Reformasi harus tegas, bikin budaya di mana pelanggaran nggak ditolerir dan nggak disembunyikan.

Transparansi juga wajib diterapin buat anggaran dan alokasi sumber daya. Publik harus tahu duit dipake buat apa, supaya kepercayaan naik dan kesempatan buat nyolong atau boros berkurang. Teknologi dan sistem laporan terbuka bisa bantu ngawasin ini.

Polisi harus dekat sama masyarakat. Bukan cuma aparat jauh yang ditakutin rakyat, tapi partner yang bikin masyarakat percaya dan mau kerja sama. Tindakan adil dan responsif bakal bikin POLRI makin dipercaya.

Kesejahteraan mental dan fisik polisi juga penting. Kalau mereka kelelahan, gaji nggak sebanding, atau trauma, gampang banget salah kaprah di lapangan. Investasi di kesejahteraan mereka otomatis juga lindungin rakyat.

Belajar dari negara lain juga bisa bantu. Kolaborasi internasional bisa kasih contoh terbaik buat akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme. Dari situ, bisa ambil ide yang cocok sama tantangan unik Indonesia.

Tapi siap-siap, pasti ada yang nolak. Yang enak hidup dari sistem lama pasti bakal ngerem perubahan. Tekad politik, tekanan publik, dan komunikasi terbuka harus jalan bareng biar bisa lewatin halangan ini.
Sebelum Komite Reformasi Kepolisian bentukan Presiden resmi jalan, Kapolri udah duluan bikin tim reformasi versi internal. Menurut analis dan laporan media, keberadaan dua badan ini bikin potensi tumpang tindih dan gesekan jadi nyata banget. Masalahnya bukan sekadar duplikasi kerja, tapi juga soal siapa yang paling berhak, mana yang dianggep sah, sampai kemungkinan adanya manuver politik di balik reformasi ini.
Salah satu risiko yang paling kelihatan adalah duplikasi fungsi. Kritikus bilang kedua tim sebenernya ngerjain hal yang sama: ngevaluasi struktur, kultur, dan mekanisme internal POLRI. Kalau nggak ada koordinasi jelas, hasil kerja mereka bisa saling tindih, bikin rekomendasi jadi bikin bingung, bahkan bisa saling bertentangan.
Tantangan lain ada di hierarki dan legitimasi. Tim Kapolri itu sifatnya internal dan jelas ada di bawah komandonya. Sementara Komite Presiden Prabowo punya mandat langsung dari Istana. Kondisi kayak gini bisa bikin bentrok otoritas: Kapolri bisa aja ogah nurut sama arahan pihak eksternal, sedangkan Komite Presiden pasti pengen keliatan independen dengan ngeluarin rekomendasi tegas.
Pengamat juga nyorot soal risiko politisasi. Banyak pengamat bilang kalau langkah Kapolri bikin tim reformasi internal duluan sebelum Komite Presiden resmi lahir itu kayak manuver politik, meskipun secara aturan ya sah-sah aja. Soalnya dari segi timing, tim internal itu muncul duluan sebelum Keppres tentang Komite Reformasi POLRI keluar. Publik jadi nangkep vibes kalau Kapolri pengen ngegas duluan biar kelihatan narasi reformasi itu datang dari internal institusi, bukan arahan presiden atau hasil kontrol eksternal. Di satu sisi keliatan mandiri, tapi di sisi lain malah bisa bikin kesan reformasi jadi kurang kredibel.

Risiko politisasi makin gede kalau reformasi dimulai dari pucuk pimpinan yang masih pegang kendali penuh. Kata para kritikus, tim internal bisa jadi cuma alat buat ngebenerin citra Kapolri ketimbang alat buat bener-bener ngubah struktur dan budaya institusi. Alih-alih jadi pemicu perubahan, yang ada fokusnya malah geser buat ngejaga wibawa bos besar dan nutupin sorotan publik, sementara masalah yang udah numpuk nggak keurus.

Soal persepsi publik juga nggak kalah penting. Banyak yang baca langkah Kapolri ini kayak trik buat “nangkep momentum politik” dan main branding. Apalagi setelah Komite Presiden muncul dengan wajah-wajah publik yang dihormati kayak Prof. Mahfud MD. 

Rakyat bisa bingung siapa sih yang sebenernya tanggung jawab soal reformasi ini. Kebingungan itu bisa bikin skeptis dan nurunin kepercayaan publik sama prosesnya. 

Akhirnya, kesuksesan reformasi POLRI diukur dari pengalaman rakyat. Kalau rakyat ketemu polisi yang adil, bukan pungli, dilindungi, bukan ditakuti, dan ada pertanggungjawaban, baru bisa dibilang reformasi beneran.
Era digital, ancaman global, dan ekspektasi publik bikin reformasi makin urgent dan kompleks. POLRI harus adaptif terus, seimbangin inovasi sama etika, otoritas sama empati, kekuasaan sama akuntabilitas. Struktur organisasi juga harus dibenerin. Pangkat, divisi, dan prosedur operasi harus fokus ke keadilan, bukan nguatkan power pribadi. Setiap kebijakan, aturan, dan keputusan harus dukung misi ini.
Kolaborasi tim internal dan eksternal penting banget. Tim internal ngerti operasi sehari-hari, tim eksternal bawa perspektif independen dan akuntabilitas publik. Keduanya harus koordinasi biar nggak bentrok rekomendasi dan implementasinya lancar.
Yang terpenting: kepercayaan publik harus dibalikin. Tanpa trust, legitimasi hilang, polisi keliatan cuma alat kekuasaan, bukan pelayan keadilan. Trust dibangun lewat praktik adil, konsisten, dan transparan yang nempatin rakyat di pusat segala keputusan.

Kalau digambarin pakai bahasa gampang, polisi itu nggak lahir ujug-ujug, tapi tumbuh barengan ama kebutuhan masyarakat buat jaga ketertiban, ngelindungi orang, dan bikin aturan bisa jalan. Awalnya, fungsi kayak gini masih simpel, dikerjain sama tetua adat, kelompok keluarga, atau dewan komunitas. Tapi pas kota makin gede dan kekuasaan politik makin terpusat, barulah tugas itu pindah ke badan resmi yang dikontrol negara—itulah cikal bakal polisi modern.

Jean-Paul Brodeur dalam bukunya The Policing Web (2010, Oxford University Press) ngejelasin kalau polisi itu sebenernya nggak pernah berdiri sendirian, tapi bagian dari “jaring” praktik pengawasan. Jadi, polisi negara selalu hidup barengan sama aktor lain kayak satpam, penegak komunitas, atau bahkan lembaga adat. Kata Brodeur, tugas polisi bukan cuma soal ngejar kriminal, tapi juga jadi simbol otoritas dan menjaga tatanan sosial. Doski bilang polisi itu “tangan negara yang kelihatan dalam usaha mempertahankan ketertiban” (Brodeur, 2010: hlm. 45). Jadi, polisi itu sebetulnya sama pentingnya dalam hal citra kekuasaan kayak dalam hal keamanan nyata.

David H. Bayley di bukunya Police for the Future (1994, Oxford University Press) juga bilang hal serupa. Menurutnya, polisi itu nggak cuma buat nangkep penjahat, tapi buat “ngasih rasa aman ke publik dengan bikin ketertiban sosial terlihat.” Jadi, dari patroli keliling, mediasi konflik kecil, sampai respon kalau ada darurat, kehadiran polisi itu sendiri udah bikin orang merasa ada yang jaga. Kesimpulan Bayley: polisi itu lahir karena manusia butuh rasa tenang di tengah konflik dan ketidakpastian.

Kalau ditarik benang merahnya, polisi ada karena negara mau nunjukin kalau mereka punya monopoli atas kekerasan yang sah. Polisi jadi wajah sehari-hari dari kekuasaan itu: di satu sisi ngasih rasa aman, di sisi lain nunjukin kontrol. Dari zaman dulu sampai sekarang, polisi selalu berdiri di tengah tarik-ulur antara jadi pelindung masyarakat dan jadi simbol otoritas negara.

Kalau diliat dari sejarahnya, polisi itu lahir karena negara butuh cara buat ngumpulin kekuasaan, ngatur rakyat, dan bikin stabilitas di tengah masyarakat yang makin ribet. Tujuannya nggak melulu soal ngejar maling atau ngusir bandit, tapi lebih gede: jaga ketertiban sosial, ngelindungin harta benda, dan bikin pemerintah keliatan sah di mata rakyat. Polisi jadi simbol “negara hadir,” bikin orang merasa aman sekaligus inget kalau ada aturan yang ngawasin. Jadi dari awal, polisi itu memang kombinasi antara pelindung dan alat kontrol.

Kalau ditanya dimana polisi modern pertama kali dibentuk, jawabannya biasanya balik ke Eropa abad ke-18. Di Paris tahun 1667 udah ada Lieutenance Générale de Police, tapi yang dianggap tonggak polisi modern itu London Metropolitan Police tahun 1829 yang didirikan sama Sir Robert Peel. Bedanya? Polisi London ini sipil, pakai seragam, terbuka ke publik, dan fokusnya pencegahan kejahatan, bukan cuma reaksi setelah kejadian. Model Peel ini yang kemudian jadi standar global: polisi harus dapat kepercayaan rakyat, keliatan hadir lewat patroli, dan nggak semata-mata ngandelin kekerasan.

Kalau ditarik ke filosofi dasarnya, tugas polisi sejak awal didirikan itu jadi jembatan sehari-hari antara kekuasaan negara dan masyarakat. Jadi polisi bukan sekadar ngejar penjahat, tapi hadir sebagai simbol kalau hukum dan ketertiban itu selalu ada di sekitar kita. Fondasi filosofisnya ada dua sisi: di satu sisi ngasih rasa aman biar warga bisa hidup tanpa takut dirampok atau diserang, di sisi lain jadi alat negara buat mastiin aturan dipatuhi.

Pemikir kayak Max Weber udah bilang, negara modern itu pegang monopoli atas kekerasan yang sah. Nah, polisi jadi wujud paling kelihatan dari monopoli itu. Bedanya sama tentara, kalau tentara dipakai buat urusan eksternal dan situasi darurat, polisi justru hadir terus-menerus dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Filosofinya, polisi bukan cuma reaktif setelah ada masalah, tapi preventif—bikin orang tenang sekaligus inget kalau ada otoritas negara yang ngawasin.

Lantaran itulah, dari awal, polisi itu lebih dari sekadar penegak hukum. Ia institusi sosial yang dibentuk buat bikin ketertiban di tengah potensi kekacauan. Tugas utamanya adalah nunjukin kalau kebebasan dan keamanan itu bisa jalan bareng cuma kalau ada otoritas yang dipercaya buat jadi penengah konflik, ngatur perilaku, dan ngejaga aturan. Paradoxnya jelas: polisi ngelindungin kebebasan justru dengan cara bikin batasan. Dan itu yang jadi inti peran filosofis mereka sampai sekarang.

Jadi kalau dirangkum, maksud didirikan polisi itu ada dua: bikin penegakan hukum lebih profesional, bukan yang represif, dan bikin lembaga yang bisa ngingetin orang tiap hari soal pentingnya ketertiban. Dari sini keliatan ada pergeseran besar dalam cara negara mikir: mereka sadar kalau stabilitas itu nggak cukup dijaga pakai tentara, tapi butuh institusi khusus yang kerja tiap hari ngurusin kehidupan desa maupun kota.

English