[Bagian 2]Tanggal 22 September 2025, Ellen Johnson Sirleaf—mantan Presiden Liberia sekaligus pemenang Nobel Perdamaian—naik panggung di Sidang Umum PBB laksana tokoh utama film epik. Di momen ulang tahun ke-80 PBB, beliau bukan cuma bernostalgia, tapi juga ngasih tamparan elegan ke para pemimpin dunia: “Kalau PBB mau tetep jadi cahaya harapan, jangan cuma ngomong—gerak dong!”Sirleaf bawa vibes survivor dari Afrika dan kisah bangkitnya Liberia pasca-konflik. Beliau bilang, perdamaian itu bukan hasil pidato manis, tapi buah dari aksi nyata, tanggungjawab, dan sistem yang inklusif. Beliau ngritik gaya politik yang makin egois dan ngajak dunia buat balik ke semangat kerja bareng ala multilateralisme.Yang paling keren, beliau angkat suara soal peran perempuan dalam membangun perdamaian. Menurutnya, kalau dunia masih ngegas tanpa melibatkan perempuan, ya perdamaian cuma jadi mitos. Pidatonya tuh kayak gabungan antara pidato Oscar dan TED Talk: penuh harapan, tapi juga ngasih wake-up call ke semua yang nonton.Kalimat penutup Ellen Johnson Sirleaf tuh kayak punchline di akhir film politik yang bikin penonton berdiri dan tepuk tangan. Beliau bilang, “Jangan cuma mengenang dengan nyaman. Mari berkomitmen ulang dengan keberanian. Piagam PBB bukan barang museum—ia panggilan nurani.”Dengan kata-kata itu, Sirleaf nutup pidatonya kayak tokoh utama yang baru aja ngasih ultimatum moral ke seluruh dunia. Beliau gak mau para pemimpin global cuma datang buat nostalgia seremoni. Beliau tantang mereka buat anggap Piagam PBB bukan sekadar dokumen sejarah, tapi kompas etika yang masih hidup dan harus dipakai sekarang juga.Nada bicaranya tegas, kayak mentor di film distopia yang bilang, “Kalau loe mau jadi pemimpin, jangan cuma gaya—berani dong.” Beliau ngajak dunia buat ngupgrade kepemimpinan: dari basa-basi ke keberanian, dari simbol ke tanggungjawab.Sirleaf nutup pidatonya di Sidang Umum PBB tanggal 22 September 2025 kayak tokoh utama yang baru aja nge-drop monolog klimaks. Beliau bilang, “Jangan cuma ngerayain sambil nyaman-nyaman. Ayo berani komit lagi. Piagam PBB itu bukan barang antik—ia panggilan nurani.” Langsung kayak mic drop di akhir konser Coldplay.Kalimatnya bukan sekadar penutup, tapi kayak alarm moral buat semua pemimpin dunia. Sirleaf ngajak semua negara buat berhenti leha-leha dan mulai kerja keras demi perdamaian, keadilan, dan solidaritas global. Ulang tahun ke-80 PBB jadi bukan sekadar nostalgia, tapi momen introspeksi: loe mau jadi penonton sejarah, atau penulisnya?Yang mimpin sidangnya juga nggak kalah keren: Annalena Baerbock, mantan Menlu Jerman yang sekarang jadi Presiden Majelis Umum PBB. Doski kayak host acara gala diplomatik, tapi dengan aura reformis. Di bawah kepemimpinannya, sidang ini jadi bukan cuma seremoni, tapi panggung buat gebrakan multilateralisme yang lebih inklusif dan responsif.
Yang naik panggung setelah Ellen Johnson Sirleaf, Gro Harlem Brundtland—mantan Perdana Menteri Norwegia yang udah kayak legenda hidup di dunia pembangunan berkelanjutan. Kalau Sirleaf itu vibe-nya pejuang perdamaian, Brundtland tuh kayak nenek bijak yang ngingetin dunia buat nggak lupa janji-janji lama soal lingkungan.Beliau bawa nostalgia dari tahun 1987, waktu beliau bikin “Brundtland Report” yang ngenalin istilah sustainable development. Tapi bukan cuma throwback, beliau juga ngasih teguran halus: “Kita udah terlalu lama janji-janji doang. Saatnya bertindak.” Kalimat penutupnya bikin merinding: “Kita berutang pada anak-cucu kita, bukan cuma untuk mengingat—tapi untuk bertindak.”Dalam pidatonya tanggal 22 September 2025, Gro Harlem Brundtland ngegas dua isu utama yang udah jadi DNA perjuangannya: lingkungan dan kesetaraan gender. Pertama, beliau throwback ke tahun 1987 waktu bikin laporan legendaris Our Common Future. Di situ, beliau ngenalin istilah pembangunan berkelanjutan—kayak blueprint buat masa depan yang gak ngerusak planet. Tapi sekarang, katanya, kita udah kelewat batas. Target SDGs? 80% meleset. Planet? Udah di ambang titik nggak bisa balik.Kedua, beliau buka cerita soal perjuangannya sebagai perempuan di politik Norwegia tahun 70-an, sampai akhirnya jadi PM dan pidato di Konferensi Beijing 1995. Beliau bilang, “Dulu gue optimis kita bakal maju cepat. Ternyata, lambat banget.” Brundtland nggak anggap isu perempuan sebagai pelengkap. Buatnya, keadilan gender itu fondasi perdamaian dan martabat manusia.“We must remember that the United Nations was born not out of comfort, but out of crisis. It was forged in the aftermath of war, by people who had seen the worst and still believed in the best. Today, we face different battles—climate collapse, democratic erosion, inequality—but the spirit must remain. We must act not only for ourselves, but for all generations to come.” [Kita harus ingat bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa lahir bukan dari kenyamanan, melainkan dari krisis. Perserikatan ini dibentuk setelah perang, oleh orang-orang yang telah melihat sisi terburuk dan masih percaya pada sisi terbaik. Saat ini, kita menghadapi berbagai pertempuran—keruntuhan iklim, erosi demokrasi, ketimpangan—tetapi semangatnya harus tetap ada. Kita harus bertindak bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk seluruh generasi mendatang.]Paragraf terakhir Brundtland menjembatani ingatan sejarah dan tanggungjawab masa depan. Beliau mengingatkan Majelis bahwa PBB dibentuk oleh para penyintas bencana—bukan untuk melestarikan masa lalu, melainkan untuk melindungi masa depan. Nadanya penuh khidmat namun mendesak, menyerukan para pemimpin masa kini agar menyalurkan keberanian yang sama dalam menghadapi krisis modern. Ungkapan "for all generations to come" bukan sekadar puitis—melainkan sebuah keharusan moral.Tema Harlah ke-80 PBB, “Better Together,” vibes-nya kayak perayaan sekaligus alarm pengingat. Di satu sisi, PBB udah jalan 80 tahun, tapi masalah dunia masih seabrek—mulai dari perang, krisis kemanusiaan, perubahan iklim, sampai drama teknologi modern. “Better Together” intinya bilang: jangan sok jago sendiri, bro, karena kagak ada negara superpower pun yang bisa selesain masalah global sendirian. Semua baru bisa beres kalau dikerjain rame-rame, kayak proyek kolaborasi band indie yang baru meledak gara-gara teamwork. Tema ini juga nunjukin kesinambungan—ngelirik ke sejarah PBB sejak 1945 sambil ngegas ke depan, dengan pesan bahwa perdamaian, pembangunan berkelanjutan, dan harga diri manusia harus tetep jadi inti kerjasama dunia.
Dalam The Parliament of Man (2006, Vintage Books), Paul Kennedy tuh kayak bikin film dokumenter epik tentang PBB—bukan cuma lembaga rapat-rapat, tapi kayak superhero global yang lagi nyari jati diri. Judulnya aja diambil dari puisi Tennyson, yang ngebayangin dunia bersatu dalam satu “parliament of man (parlemen umat manusia).” Kennedy narasiin PBB kayak hasil remix dari mimpi-mimpi filsuf Eropa dan Amerika, dari Kant sampe Wilson, yang akhirnya jadi kenyataan pas dunia babak belur abis Perang Dunia II.PBB lahir dengan janji mulia: “menyelamatkan generasi mendatang dari horor perang,” ngejaga hak asasi manusia, dan ngegas kemajuan sosial. Tapi Kennedy ngingetin, ini bukan dongeng idealis—ini hasil tawar-menawar politik para pemenang perang. Dewan Keamanan, dengan lima negara superpower yang punya hak veto, itu kayak grup boyband yang bisa nentuin lagu mana yang masuk album—kadang solid, kadang ribut sendiri.Selama puluhan tahun, PBB berkembang jadi entitas multiverse. Ada “banyak versi PBB”: pasukan perdamaian yang kayak Avengers, badan kemanusiaan yang kayak NGO global, lembaga ekonomi yang coba ngejembatanin jurang kaya-miskin, dan institusi budaya-hukum yang jadi penjaga norma dunia. Kennedy juga highlight sisi lembut PBB—pendidikan, kesehatan, pembangunan—yang sering underrated tapi krusial banget.Tapi jangan salah, Kennedy juga nyentil keras. Dewan Keamanan kadang kayak meeting Zoom yang nggak kelar-kelar, bantuan kemanusiaan bisa jadi alat politik, dan birokrasi PBB kadang kayak sinetron—banyak drama, minim aksi. Negara-negara kuat sering cuek atau malah nyabotase, apalagi kalau kepentingan mereka keganggu.Soal masa depan, Kennedy gak pesimis tapi juga gak halu. Di era globalisasi, pandemi, krisis iklim, dan ancaman lintas negara, kagak ada negara yang bisa solo karier. PBB, meski banyak cacat, tetep jadi harapan terbaik buat aksi bareng. Tapi harus direformasi. Tanpa transparansi, inklusivitas, dan kelincahan, PBB bisa jadi fosil sejarah, bukan solusi masa depan.Paul Kennedy bilang bahwa PBB itu kayak “server global” tempat semua negara main bareng—bukan bos super yang bisa ngatur semua, tapi semacam arena dimana negara-negara sepakat bikin aturan main supaya masalah bareng bisa diselesein. PBB nggak selalu bikin headline keren, tapi kerjanya nyata: bantu negara lepas dari kolonialisme, bikin standar hak asasi manusia, ngatur bantuan kemanusiaan, dan bikin aturan internasional yang lama-lama bikin negara main fair.Tapi, jangan ngebayangin PBB entu sempurna. Kennedy jujur soal kegagalan PBB: dari veto besar di Dewan Keamanan sampai misi perdamaian yang kacau. Semua itu lebih karena konflik kepentingan besar antar negara daripada murni salah teknis atau malas. Pesannya? PBB itu harapan dan eksperimen moral sekaligus praktis—buat bikin negara bisa kerjasama. Tapi biar efektif, kita harus realistis: ada reformasi perlahan, negara kuat mau kerja sama, dan harus bisa bikin aliansi baru—baik negara, regional, maupun non-negara—buat masalah global kayak pandemi, iklim, dan pengungsi.Intinya: PBB itu masih relevan banget, tapi kita nggak bisa cuma berharap. Kudu kerja bareng, support reform, dan pastiin semua pemain percaya sistemnya fair. Kalau gitu, server global ini bakal tetep jalan dan berguna buat semua.Di Wartime Origins and the Future United Nations (2015, Routledge), David Plesch dan Thomas Weiss tuh kayak detektif sejarah yang ngebongkar fakta-fakta tersembunyi soal kelahiran PBB. Mereka bilang, PBB itu bukan anak pasca-perang, tapi bayi yang lahir di tengah-tengah Perang Dunia II—kayak superhero yang dibentuk pas dunia lagi chaos, bukan setelahnya.Nama “United Nations” sendiri pertama kali dipakai sama Presiden Roosevelt tahun 1942 buat nyebut geng negara-negara yang lagi lawan Axis. Dari situ, muncul ide gila: bikin sistem global yang bisa ngatur perdamaian, ekonomi, dan bantuan kemanusiaan. Tokoh-tokohnya bukan cuma trio Roosevelt-Churchill-Stalin, tapi juga para birokrat, akademisi, dan tukang bikin blueprint yang kerja di balik layar. Mereka kayak tim kreatif yang nyusun draft buat lembaga-lembaga kayak UNRRA dan Komisi Kejahatan Perang—versi beta dari PBB.Struktur PBB dibentuk bukan karena idealisme doang, tapi karena realitas perang. Dewan Keamanan dengan lima negara veto itu kayak tim inti yang udah jungkir balik di medan perang, jadi wajar kalau mereka minta kursi VIP di panggung perdamaian. Sementara Majelis Umum dan lembaga-lembaga khusus itu kayak ruang ekspresi buat negara-negara kecil dan suara rakyat.Beda ama Kennedy, karya Plesch dan Weiss ini lebih kayak behind-the-scenes documentary. Kalau Kennedy itu sutradara film epik yang ngasih narasi besar, Plesch dan Weiss tuh editor arsip yang nyusun potongan-potongan memo, rapat, dan drama birokrasi jadi cerita utuh. Mereka bikin kita sadar: PBB bukan hasil mimpi damai setelah perang, tapi hasil strategi perang yang pengen dunia nggak hancur lagi.Tema “Better Together” buat Harlah PBB ke-80 tuh bukan sekadar tagline manis—ia hasil dari sejarah berdarah dan mimpi panjang yang diceritain dua buku keren: The Parliament of Man dan Wartime Origins and the Future United Nations.Paul Kennedy tuh kayak sutradara film drama global, nunjukin gimana PBB jadi panggung buat negara-negara beda karakter buat kerja bareng. Dari misi perdamaian sampe bantuan kemanusiaan, Paul Kennedy bilang: dunia makin ribet, dan cuma bisa ditangani kalau kita bareng-bareng. Nggak ada negara yang bisa jadi solo player.Sementara Plesch & Weiss tuh kayak tim dokumenter perang yang ngulik arsip dan ngebongkar fakta: PBB itu lahir bukan dari damai, tapi dari perang. “United Nations” awalnya itu geng negara yang lagi berantem bareng lawan Axis. Mereka kerjasama bukan karena cinta damai, tapi karena kalau nggak bareng, dunia bisa tamat. Jadi, “Better Together” itu bukan harapan masa depan—ia strategi bertahan hidup sejak dulu.Gabungan dua buku ini kayak duet idealis dan realis. Kennedy ngasih mimpi, Plesch & Weiss kasih bukti. Dan dua-duanya sepakat: PBB itu bukan tempat sempurna, tapi tempat dimana kita tetep berusaha bareng, meski beda, meski ribut, meski capek. Karena kalau nggak bareng, ya bubrah.Tema “Better Together” ini makin kerasa relevan kalau kita ngelihat kondisi dunia sekarang. Di tengah perang yang meledak di Gaza, Ukraina, dan Sudan, jelas banget kalau perdamaian gak bisa dicapai cuma pakai otot militer, tapi lewat obrolan, kompromi, dan kerja bareng antarnegara. Pas nyambung ke krisis iklim, pesannya makin nendang: gak ada satu pun negara yang bisa ngelindungin diri sendiri dari banjir bandang, es kutub mencair, atau cuaca ekstrem. Di era digital yang serba nyambung, teknologi memang bisa bikin kita dekat, tapi juga bisa nyebarin hoaks dan bikin ketimpangan makin parah. Makanya, “Better Together” jadi ajakan buat bikin kerangka etika bareng, biar hak-hak manusia tetep aman tanpa ngerem inovasi. Jadi, tema ini bukan sekadar tagline ala marketing, tapi lebih kayak wake-up call: di abad 21, bertahan hidup dan maju cuma bisa kalau manusia kompak, punya nilai bareng, dan ngeliat masalah dunia sebagai satu kesatuan, bukan masalah terpisah.