Selasa, 30 September 2025

G30S/PKI: Sebuah Renungan

Ada beberapa anekdot sejarah yang nunjukin gimana kultus individu di negara komunis sering bertabrakan dengan prinsip etika dan kesejahteraan manusia—nilai-nilai yang jadi inti Pancasila.

Salah satu contoh masyhur yalah era “Little Red Book” Mao Zedong di China. Selama Revolusi Kebudayaan (1966–1976), gambar dan kutipan Mao dianggap hampir seperti kitab suci. Warga, termasuk anak-anak, diwajibkan atau dipaksa membawa dan menghafal buku tersebut, dan kalau nggak nunjukin loyalitas publik, bisa dihina, dipenjara, atau bahkan dibunuh. Birokrat, guru, dan intelektual bisa dicaci hanya karena mempertanyakan kebijakan partai atau berpikir mandiri. Kultus Mao menjadikan ketaatan ideologis soal hidup dan mati, menomorduakan moral, keadilan, dan martabat manusia—jelas bertentangan dengan prinsip Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Contoh lain adalah Korea Utara di bawah Kim Il-sung dan Kim Jong-il. Potret pemimpin ada dimana-mana, anak-anak sekolah wajib menyanyikan lagu pujian, dan warga diharuskan menunjukkan penghormatan setiap hari. Praktiknya, kultus ini membangun rasa takut, menekan dissent, dan memaksa ketaatan buta, yang bertentangan dengan Pancasila tentang pengambilan keputusan partisipatif (“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”) dan persatuan yang dibangun dari nilai moral dan kemanusiaan, bukan paksaan.

Di Uni Soviet, era Joseph Stalin juga memberi pelajaran jelas. Stalin dipuja sebagai “Bapak Bangsa,” propaganda menggambarkannya sebagai sosok yang sempurna. Orang-orang takut mengkritik kebijakan, dan penangkapan, pembersihan, serta eksekusi sewenang-wenang terjadi sering. Pengangkatan satu individu di atas hukum dan kepentingan kolektif jelas bertentangan dengan visi Pancasila tentang pemerintahan etis, seimbang, dan menghormati kehidupan manusia.

Anekdot-anekdot ini nunjukin bahwa kultus individu menggantikan tanggungjawab kolektif dengan loyalitas pribadi, menekan pertimbangan moral, dan membangun sistem sosial berbasis ketakutan dan penyembahan—sebenarnya kebalikan dari nilai-nilai yang ingin dijaga Pancasila.

Kultus individu yang terlihat di banyak negara komunis jelas bertentangan dengan dasar falsafah Pancasila karena Pancasila menekankan tanggung jawab kolektif, kepemimpinan yang bermoral, dan prioritas bangsa di atas individu. Salah satu prinsip utamanya, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, kesetaraan, dan akuntabilitas moral. Ketika seorang pemimpin dipuja seakan setara dewa, ketaatan pada individu bisa mengalahkan etika, hak asasi manusia, dan kesejahteraan masyarakat—persis yang Pancasila larang.

Lebih jauh, prinsip Pancasila “Persatuan Indonesia” mendorong harmoni antar-komunitas dan menentang dominasi otoriter. Kultus invidu memusatkan kekuasaan pada satu orang, sering menekan perbedaan pendapat, memanipulasi ideologi untuk kemuliaan pribadi, dan memunculkan rasa takut daripada persatuan. Ini bertentangan langsung dengan ideal Pancasila bahwa pemerintahan hendaknya melayani rakyat dan kepentingan bersama, bukan ego satu individu.

Selain itu, prinsip Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” menuntut pengambilan keputusan yang partisipatif dan bijaksana. Kultus individu menghilangkan musyawarah nyata, menggantinya dengan perintah dari satu figur. Ini merusak visi Pancasila tentang demokrasi yang berakar pada musyawarah dan penghormatan terhadap kehendak kolektif.

Singkatnya, penyembahan pada satu pemimpin bertentangan dengan Pancasila karena memprioritaskan kekuasaan dan loyalitas pada individu di atas pemerintahan yang etis, keadilan sosial, martabat manusia, dan pengambilan keputusan kolektif. Pancasila berusaha menyeimbangkan otoritas dengan moralitas dan persatuan dengan keberagaman, sementara kultus individu membalikkan nilai-nilai ini untuk mengangkat satu orang di atas hukum, rakyat, dan tanggung jawab moral.

Sebagian dari kita ada yang menafikan bahwa Komunis tidak mempercayai agama, mereka bilang, "masih ada kok tokoh komunis yang tetep memeluk agamanya."

Ya, memang ada tokoh komunis yang tetep beragama, meskipun terdengar kontradiktif. Teori Marxis klasik, yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, memang mengkritik agama dengan keras, terkenal dengan ungkapan “agama itu candu rakyat,” dan mendorong ateisme sebagai bagian dari pandangan materialis. Banyak rezim komunis, terutama di Uni Soviet dan China, secara aktif menekan praktik keagamaan.
Sejarah menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks. Misalnya, José Carlos Mariátegui, pemikir Marxis asal Peru, mencoba memadukan nilai-nilai moral dan spiritual dari Katolik ke dalam pemahaman tentang keadilan sosial, tanpa mengadopsi ateisme kaku. Begitu pula Ernesto Cardenal, imam Katolik sekaligus penyair Nikaragua, aktif dalam revolusi Sandinista sambil tetap mempertahankan identitas agamanya. Di negara-negara seperti Polandia, Hungaria, dan Cekoslowakia, ada anggota partai komunis yang tetap menjalankan Katolik atau Ortodoks, seringkali menyeimbangkan antara loyalitas partai dan keyakinan pribadi. Bahkan di Indonesia, Tan Malaka, tokoh komunis penting, masih merujuk pada konsep spiritual dalam tulisannya meskipun mengadvokasi prinsip sosialis dan materialis.
Memang, anggapan bahwa semua komunis otomatis ateis tak selalu benar. Meskipun komunisme ortodoks secara resmi ateis, keyakinan individu sering menyesuaikan dengan budaya lokal dan keyakinan pribadi, sehingga memungkinkan ideologi komunis dan iman beragama hidup berdampingan secara mengejutkan.

Akan tetapi, nah ini yang bakal jadi problem: Kalau negara komunis bener-bener terwujud, praktik hubungan antara komunisme dan agama jadi jauh lebih rumit. Dalam teori komunisme ortodoks, agama dianggap alat yang mengalihkan orang dari perjuangan kesetaraan sosial dan ekonomi, sehingga negara biasanya mendorong ateisme sebagai sikap resmi. Dalam praktiknya, ini sering berujung pada pembatasan lembaga keagamaan, pengawasan terhadap pemimpin agama, dan propaganda anti-agama.
Contoh, di Uni Soviet, gereja-gereja ditutup, pendidikan agama dilarang, dan para rohaniwan sering dianiaya atau dipaksa patuh pada arahan negara. Di China pada masa Mao, kuil dan masjid dihancurkan, dan ritual keagamaan dikontrol ketat atau bahkan dilarang total selama Revolusi Kebudayaan. Namun, di negara seperti Kuba atau Vietnam, negara akhirnya memberi sedikit kebebasan beragama sambil tetap menjaga kontrol politik yang ketat, karena meniadakan iman sepenuhnya tidak realistis.
Bahkan pun ketika agama dibolehkan, biasanya tetap tunduk pada negara: aktivitas keagamaan diawasi, dan loyalitas pada partai komunis harus lebih diutamakan daripada urusan spiritual. Keberlangsungan iman di konteks seperti ini tergantung pada ketahanan komunitas dan kemampuan mereka menyesuaikan praktik di bawah pengawasan. Singkatnya, di negara komunis sepenuhnya, agama bisa ada, tapi jarang benar-benar bebas dari kontrol politik.

Bagi seorang individu komunis yang tetap memiliki keyakinan agama, konflik biasanya belum muncul selama ia tetap sebagai pribadi dan bukan penguasa negara. Iman dan ideologi politik bisa hidup berdampingan secara pribadi, seperti kasus José Carlos Mariátegui atau Ernesto Cardenal. Ketegangan biasanya muncul ketika gerakan komunis mencoba membentuk negara, karena komunisme ortodoks sebagai sistem pemerintahan biasanya menuntut kesesuaian dengan ateisme dan ideologi materialis.

Begitu negara komunis terbentuk, struktur politik dan hukum biasanya bertentangan dengan praktik agama independen. Negara cenderung menundukkan agama pada tujuan politik, mengatur lembaga keagamaan, serta memantau atau membatasi aktivitas spiritual. Pemimpin agama yang memegang kekuasaan politik atau mencoba memengaruhi kebijakan di luar kerangka negara sering dianggap ancaman. Inilah sebabnya kita melihat kasus di Uni Soviet, China, dan Korea Utara di mana bahkan individu yang nominalnya beragama menghadapi tekanan, pengawasan, atau penganiayaan ketika komunisme menjadi sistem pemerintahan resmi.

Dalam arti tertentu, ideologi komunis berfungsi seperti agama sekuler bagi para pengikutnya. Meski Marxisme-Leninisme secara resmi ateis, doktrinnya sering ditinggikan menjadi kerangka moral dan eksistensial yang menuntut iman mutlak, ketaatan, dan pengabdian, mirip praktik keagamaan. Prinsip-prinsip inti—seperti perjuangan kelas, materialisme historis, dan kemenangan proletariat—dianggap sebagai kebenaran tak tergoyahkan yang membimbing setiap aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Rezim komunis sering menciptakan ritual, simbol, dan bahkan teks “suci” (misal Little Red Book Mao atau tulisan Lenin) yang harus diinternalisasi pengikut. Pemimpin sering dipuja seperti nabi atau penyelamat ideologi, memperkuat karakter kuasi-religius gerakan tersebut. Dalam hal ini, ideologi itu sendiri menjadi obyek penyembahan, dan dissent dianggap bid’ah. Pertanyaan etis dan moral dibingkai sepenuhnya melalui lensa ideologi, bukan pertimbangan manusiawi atau prinsip universal.
“Agama ideologi” ini menjelaskan mengapa negara komunis sering menunjukkan semangat fanatisme mirip agama, termasuk mobilisasi massal, indoktrinasi anak-anak, dan intoleransi terhadap pandangan berbeda. Ini juga yang menjelaskan kenapa kultus individu dan ortodoksi ideologis menjadi pusat: sistem menggantikan iman kepada Tuhan dengan iman pada ide revolusioner dan pemimpin “nabi” yang mewujudkannya.

Singkatnya, koeksistensi antara komunisme dan agama biasanya bisa dikelola pada level individu atau pemikiran intelektual, tetapi konflik sistemik muncul ketika komunisme menjadi aparatus negara yang berkuasa atas masyarakat.

Ada juga yang bilang, "Lihat tuh Putin, di media diberitakan tampak menghormati agama Islam." Nah bagaimana sebenarnya sikapnya terhadap agama di negaranya sendiri?

Citra publik Vladimir Putin memang terlihat menghormati agama, termasuk Islam, terutama di media internasional. Dalam wawancara dan acara publik, ia sering menekankan warisan Rusia yang multikultural dan multiagama, bertemu dengan pemimpin Muslim dan menghadiri perayaan Islam. Hal ini membuat beberapa pengamat beranggapan bahwa Putin pribadi menghormati Islam dan agama lain.
Namun, kenyataannya di Rusia lebih kompleks. Putin dan negara Rusia terutama mendukung Gereja Ortodoks Rusia, yang sangat terkait dengan identitas nasional dan ideologi negara. Agama lain, termasuk Islam, Yahudi, dan Buddha, diakui secara resmi, tetapi beroperasi di bawah regulasi ketat. Organisasi keagamaan harus mendaftar ke negara, dan aktivitas keagamaan diawasi dengan ketat, terutama jika dianggap sensitif secara politik atau terkait pengaruh asing. Komunitas Muslim di Rusia, khususnya di wilayah seperti Chechnya dan Dagestan, memiliki otonomi dan dukungan publik tertentu, tetapi mereka juga diawasi, dan bentuk perbedaan pendapat bisa dianggap ekstremisme.
So, sikap Putin yang terlihat menghormati Islam lebih mencerminkan kebijakan strategis untuk mengelola populasi Rusia yang beragam secara agama dan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang mempersatukan. Kebebasan beragama memang ada, tapi bersyarat, dikontrol ketat, dan tunduk pada kepentingan politik negara.

Situasi di China dan Korea Utara jauh lebih ketat dibanding Rusia soal agama, meskipun dengan cara yang berbeda. Di China, Partai Komunis secara resmi mendorong ateisme, menganggap agama sebagai potensi sumber kerusuhan sosial atau pengaruh asing. Semua organisasi keagamaan harus terdaftar ke negara dan beroperasi di bawah kontrol ketat pemerintah. Misalnya, gereja Kristen, kuil Buddha, dan masjid Islam diawasi, dan aktivitas keagamaan “bawah tanah” atau tak terdaftar sering ditekan. Situasi untuk Muslim, terutama Uyghur di Xinjiang, mendapat kecaman internasional karena pengawasan massal, indoktrinasi paksa, dan pembatasan praktik tradisional.
Di Korea Utara, rezim menganggap agama sebagai ancaman terhadap otoritas absolut keluarga Kim. Agama tradisional seperti Buddha dan Kristen hampir dilarang, hanya organisasi agama yang dikontrol negara yang diizinkan, biasanya sebagai kedok untuk penampilan internasional. Pemerintah memprioritaskan ideologi Juche, sebuah kultus politik dan semacam religius tentang kemandirian yang berpusat pada keluarga Kim, yang menggantikan keyakinan spiritual tradisional sepenuhnya. Praktik agama pribadi dihukum berat dan bisa dianggap pengkhianatan.
Singkatnya, sementara Rusia membolehkan pluralisme terkontrol demi strategi, China hanya mentolerir agama di bawah pengawasan negara dan menekan perbedaan pendapat, dan Korea Utara meniadakan ekspresi agama independen sepenuhnya, menjadikan kehidupan spiritual sepenuhnya tunduk pada kultus politik negara.

Bisa dibilang benar bahwa sebagian besar negara komunis yang ada sekarang berkuasa melalui cara-cara kekerasan atau paksa, meskipun detailnya berbeda-beda tiap negara. Pada abad ke-20, gerakan komunis sering mengandalkan perjuangan bersenjata, revolusi, atau perang saudara untuk menggulingkan pemerintahan yang ada. Misalnya, Bolshevik mengambil alih kekuasaan di Rusia lewat Revolusi Oktober 1917, yang melibatkan pertempuran jalanan, pemberontakan bersenjata, dan runtuhnya pemerintah sementara. Di China, Partai Komunis di bawah Mao Zedong memantapkan kekuasaan setelah perang saudara panjang melawan Kuomintang, termasuk kampanye militer besar, perang gerilya, dan penderitaan sipil yang luas.

Vietnam mengalami perjuangan selama beberapa dekade, pertama melawan penjajahan Prancis dan kemudian melawan Vietnam Selatan serta sekutunya dari AS, mengakibatkan korban jiwa besar sebelum rezim komunis menyatukan negara itu pada 1975. Revolusi Kuba, dipimpin Fidel Castro dan Che Guevara, mengandalkan perang gerilya dan pemberontakan strategis untuk menggulingkan pemerintahan Batista. Bahkan rezim komunis Korea Utara dibentuk setelah pembagian Korea yang penuh kekerasan dan perang saudara serta perang proksi yang brutal.

Buku The Black Book of Communism (1999) ini tuh kayak drama horor sejarah versi nyata, yang ngebuktiin betapa brutalnya rezim komunis sepanjang abad ke-20. Ditulis sama sekelompok akademisi Eropa, buku ini ngumpulin semua cerita tentang teror sistematis, pembantaian massal, kerja paksa, dan eksekusi di bawah nama besar kayak Lenin, Stalin, Mao, Pol Pot, dan lain-lain. Intinya, ideologi komunis tuh sering dijalankan pake cara keras: represi, sensor, dan teror negara buat nahan kekuasaan, yang ujungnya bikin jutaan orang mati dan penderitaan merata. Mereka ngecek catatan sejarah detail-detailnya, nunjukin kalau trik-trik kontrol ala komunis itu mirip-mirip, nggak peduli nyawa manusia. Jadi, buku ini bilang kalau kekerasan itu bukan cuma kecelakaan sejarah, tapi bagian dari harga yang harus dibayar untuk ngejar cita-cita masyarakat tanpa kelas—moral dan human cost-nya gede banget.
Bayangin kalau The Black Book of Communism itu semacam film horor sejarah yang ngungkap sisi gelap dari ideologi komunis di abad ke-20. Di Uni Soviet, misalnya, pemerintah Bolshevik ngebunuh puluhan ribu sandera dan tahanan, serta ratusan ribu petani dan buruh yang memberontak antara tahun 1918 dan 1922. Puncaknya, ada Pembersihan Besar di akhir 1930-an yang ngebunuh banyak orang, termasuk intelektual dan lawan politik, buat ngukuhin kekuasaan Stalin. Di China, di bawah Mao Zedong, pemerintah komunis juga pake eksekusi massal, kamp kerja paksa, dan pembersihan buat ngilangin musuh-musuh yang dianggap gak sejalan dan maksa orang buat nurut sama ideologi mereka. Revolusi Kebudayaan (1966–1976) jadi salah satu contoh paling brutal, dimana orang-orang yang dianggap musuh dihukum mati, disiksa, atau dipaksa kerja keras.
Kamp kerja paksa juga jadi senjata ampuh buat ngerem lawan politik. Di Uni Soviet, sistem Gulag ngerampas kebebasan jutaan orang, ngebuat mereka kerja keras di kondisi yang gak manusiawi, dan banyak yang akhirnya meninggal. Di Kamboja, di bawah rezim Khmer Merah, kamp kerja paksa juga dipake buat nyiksa dan ngebunuh orang-orang yang dianggap musuh negara.
Pembersihan juga jadi cara umum buat ngilangin orang-orang yang dianggap ancaman. Di Eropa Timur, pembersihan Stalinis ngebunuh dan nahan banyak orang, termasuk pemimpin politik, pejabat militer, dan warga biasa. Biasanya, tuduhannya nggak jelas dan cuma buat bikin orang takut dan tetep nurut.
Angka korban jiwa dari semua kekerasan dan represi ini luar biasa banyak. Buku ini ngitung-ngitung kalau negara-negara komunis bertanggungjawab atas kematian lebih dari 94 juta orang, lewat eksekusi, kelaparan buatan, kerja paksa, deportasi, dan bentuk represi lainnya. Ini nunjukin banget gimana kekerasan dan teror jadi bagian penting dari cara mereka ngejalanin negara komunis. 

Meskipun gak semua gerakan komunis identik dalam cara kekerasannya, pola sejarah menunjukkan bahwa kekerasan bersenjata, paksaan, dan sering pertumpahan darah menjadi inti pembentukan sebagian besar negara komunis. Transisi damai menuju komunisme sangat jarang terjadi.

Dari perspektif Indonesia, komunisme tetap bertentangan secara fundamental dengan ideologi negara, Pancasila. Pancasila, yang menjadi dasar filosofi negara Indonesia, menekankan kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa), kemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), persatuan bangsa, demokrasi, dan keadilan sosial. Komunisme, khususnya dalam bentuk Marxis-Leninis ortodoks, bersifat ateis dan materialis, sering menolak keyakinan agama dan mengutamakan perjuangan kelas di atas pertimbangan moral atau spiritual.
Secara sejarah, ketidaksesuaian ini menjadi salah satu alasan pemerintah Indonesia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1966 setelah peristiwa 1965. Ideologi ateis PKI dan upaya mereka menerapkan prinsip Marxis dianggap mengancam tatanan agama, sosial, dan politik yang Pancasila ingin tegakkan. Bahkan saat ini, setiap gerakan yang mempromosikan komunisme tetap dicurigai dan dibatasi secara hukum melalui undang-undang yang secara eksplisit melarang penyebaran ajaran Marxis-Leninis.
Meskipun secara individu ada yang mungkin bisa menyeimbangkan keyakinan agama dengan ide komunisme, sebagai sistem politik dan ideologi, komunisme tetap bertentangan dengan prinsip inti Pancasila, terutama sila pertama tentang kepercayaan kepada Tuhan dan komitmennya terhadap pemerintahan yang bermoral dan beretika.

Peringatan G30S/PKI itu kayak flashback yang bikin kita sadar, betapa rapuhnya negara kalau ideologi jadi monster yang nggak terkendali. Tanggal 30 September 1965 nggak cuma sekadar sejarah, tapi tragedi nyata—enam jenderal tewas, chaos total, Indonesia shock parah. Bayangin aja, keluarga korban remuk, komunitas jadi panik, negara jungkir balik. Ini bukan film action, ini kehidupan nyata yang nunjukkin bahayanya fanatisme buta.

Hari itu ngajak kita semua mikir, jangan sampe ambisi politik nutup mata sama kemanusiaan. Korban G30S/PKI itu manusia beneran, punya keluarga, mimpi, dan tanggungjawab ke bangsa. Kehilangan mereka tuh warning keras: ideologi tanpa etika bisa bikin dunia runtuh. Efeknya nggak cuma malam itu—politik Indonesia jungkir balik bertahun-tahun.
Hari ini ngajak kita nanya, gimana bangsa bisa ngehindarin ekstremisme yang menggoda? Nggak cuma soal ideologi, tapi gimana ideologi bisa ngerusak nyawa kalo nggak dikontrol. G30S/PKI ngajarin kalau loyalitas ke ideologi bisa lebih kuat daripada rasa kemanusiaan. Renungan ini juga soal nilai Indonesia: persatuan, keadilan sosial, dan moral yang lebih tinggi.

Hari ini mendorong kita jagain Pancasila, balance antara Tuhan, manusia, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Kebebasan itu mahal, dan kita harus waspada supaya kekerasan nggak balik lagi. Pendidikan jadi senjata penting, biar generasi muda nggak gampang kena jebakan ekstremisme. Belajar sejarah nggak cukup; harus ada critical thinking, empati, dan kesadaran moral.

Peringatan G30S/PKI itu kayak reminder buat ngedoa sekaligus tanggungjawab warga. Doa buat yang tewas, komitmen buat mencegah pertumpahan darah lagi. Setiap tahun bangsa berhenti sejenak, sadar kalau damai itu nggak otomatis. Peristiwa 1965 jadi lensa buat liat politik sekarang—ada ekstremisme nggak? ada otoriter nggak?
Hari ini ngajak kita resolve perbedaan politik lewat diskusi, bukan darah. Pluralisme itu kekuatan, tapi harus dijaga terus, jangan sampe hancur. G30S/PKI ngingetin: ideologi harusnya untuk manusia, bukan manusia buat ideologi. Ini nunjukkin bahaya kalau ideologi nutup mata sama empati dan keadilan.

Upacara, pidato, hening sejenak—itu semua buat ingetin bangsa soal sejarah kolektif. Inget sejarah jangan dari dendam atau politisasi, tapi pelajaran moral. Transparansi sejarah penting, biar nggak gampang dimanipulasi. G30S/PKI ngajarin kita soal human cost dari fanatisme. Jangan lengah, ambisi politik dan ideologi kaku bisa ngancurin kepercayaan sosial.

Hari ini juga ngajak mikir soal leadership—pemimpin hendaknya etis, nggak cuma power hungry. Nyawa yang hilang nunjukkin tanggungjawab pemimpin itu nyata banget. Warga juga harus aktif, karena politik itu ada konsekuensi. Dengan mengingat, rakyat hormatin korban sekaligus prinsip keadilan.

Ini bikin kita sadar bahaya ketaatan buta ke gerakan politik. Peringatan ini juga bikin identitas nasional makin kuat karena sejarah perjuangan dijaga. Renungan ini ngajak tiap orang mikir, gimana mereka merespon ketidakadilan atau manipulasi politik. Tanggungjawab pribadi itu penting, jaga stabilitas dan etika. Kebebasan itu mahal, harus dijaga terus. Damai, demokrasi, dan keadilan sosial itu proyek terus, bukan pencapaian statis.

Anniversary ini juga ruang buat refleksi budaya: seni, literatur, dan media bisa ngejelasin trauma sejarah. Kritis sama masa lalu, bayangin masa depan bebas kekerasan yang sama. G30S/PKI ngajarin pentingnya dialog, moderasi, dan etika di politik. Sejarah itu nggak cuma fakta, tapi shaping moral awareness.
Hari ini bikin moral kolektif makin kuat, tragedi bareng butuh tanggungjawab bareng. Jaga kemanusiaan di atas ideologi, empati di atas fanatisme, keadilan di atas loyalitas buta.

Akhirnya, G30S/PKI bukan cuma sejarah, tapi kompas moral buat Indonesia: hormati nyawa, jaga demokrasi, lawan ekstremisme. Biar sejarah nggak terlupakan dan pelajaran 1965 terus guiding masa kini dan masa depan bangsa. Generasi muda bisa baca ini sambil scroll timeline, tapi tetep ngerasain beratnya pesan moral sejarah. G30S/PKI ngajarin kalau kita harus kritis, peduli, dan nggak gampang termakan ideologi gila.
Hari ini bukan cuma nangisin masa lalu, tapi nge-charge moral dan semangat bangsa. Semua warga diajak pause, inget korban, dan keep komitmen: politik itu untuk nyawa, bukan darah.

English

Sabtu, 27 September 2025

Asal(kan) Bapak Senang (1)

Media itu punya peran yang gokil banget buat demokrasi yang bener. Doski kayak jembatan antara pemerintah sama kita semua, ngasih info yang akurat, jujur, dan cepet soal urusan politik dan kebijakan, biar kita rakyat jelanta ini gak asal comot tapi ngerti jalan ceritanya. Selain itu, media juga jadi penjaga, ngawasin pemerintah jangan sampai korupsi atau bikin ulah, biar mereka tetep harus tanggungjawab ke rakyat. Media juga nyediain tempat buat debat dan ngobrol bareng, bikin suara-suara beda bisa nyambung dan demokrasi makin warna-warni. Tapi yang paling penting, media harus tetep bebas dan gak boleh dikuasain sama politik atau duit, biar perannya dalam jagain demokrasi nggak hilang di tengah jalan. Pokoknya, media itu jantungnya demokrasi yang sehat!

Pada tanggal 27 September 2025, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas Pers Istana milik jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia. Pencabutan ini terjadi setelah Diana mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dinilai oleh pihak Istana sebagai alasan pencabutan kartu tersebut. Pencabutan kartu ini dilakukan dengan pengambilan langsung ID Pers di kantor CNN Indonesia pada pukul 19.15 WIB.
Keputusan pencabutan kartu pers ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dewan Pers menilai tindakan ini dapat menghambat kebebasan pers dan meminta agar akses liputan Diana Valencia segera dipulihkan agar ia dapat kembali menjalankan tugas jurnalistiknya di Istana. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, meminta Biro Pers Istana memberikan penjelasan agar tidak menghambat pelaksanaan tugas jurnalistik serta mengingatkan semua pihak untuk menghormati kebebasan pers yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menanggapi peristiwa ini dengan mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan kepada Biro Pers untuk mengomunikasikan dan mencari jalan keluar terbaik terkait pencabutan kartu identitas pers tersebut.
Secara umum, kasus ini dianggap sebagai isu penting yang menyangkut kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi, dengan desakan agar pihak Istana memberikan klarifikasi resmi dan membuka dialog konstruktif dengan insan pers untuk mencegah hambatan terhadap tugas jurnalistik di masa mendatang.

Andaikata pencabutan kartu pers itu memang kehendak Presiden Prabowo, rasanya susah banget dipercaya, soalnya, ngeliat cara beliau ngejawab waktu wawancara; santai aja, gak ada tanda-tanda marah atau kesel. Tapi ngomongin reaksi publik, netizen dan kelompok pers tuh pada ngamuk, ngecam keras pemerintah karena dianggap ngekangin kebebasan pers. Apalagi pertanyaan sang jurnalis itu soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang lagi heboh gara-gara ada kasus keracunan makanan, jadi mestinya pertanyaan kayak gitu malah penting buat publik.
Dewan Pers sama organisasi jurnalis kayak PWI dan IJTI pada komplain abis-abisan soal ini. Mereka bilang kerjaan jurnalis ya buat nanya-nanya ke pejabat publik, jangan sampe ada sensor atau hukuman begituan. Publik juga ngerasa Presiden Prabowo udah jawab dengan tenang dan siap tindak lanjut, jadi pencabutan kartu pers itu malah berlebihan banget.
Mereka bilang, seharusnya bukan cara ngebatesin pertanyaan, tapi bikin aturan biar waktu jurnalis bisa diatur tanpa ngilangin akses dan hak mereka. Kasus ini nunjukin kekhawatiran soal transparansi pemerintah dan penghormatan ke pers di Indonesia. Akhirnya muncullah tuntutan supaya akses sang jurnalis dipulihin lagi dan pemerintah ngasih penjelasan resmi kenapa bisa cabut kartu pers tersebut.

Di sosial media, reaksi soal pencabutan kartu pers buat wartawan CNN Indonesia tuh ramai banget dan banyak yang enggak setuju. Netizen dan jurnalis pada heboh nge-post pakai hashtag yang nyuarain soal kebebasan pers dan pentingnya wartawan buat ngontrol pejabat publik. Di Twitter (X) sampai viral banget hashtag yang bahas soal kebebasan pers dan transparansi pemerintah. Banyak yang kesel dan curiga sama alasan pemerintah, apalagi si jurnalis cuma nanya soal program MBG yang emang penting buat rakyat.
Banyak forum jurnalis dan kelompok pemred juga dukung reporter CNN ini dan minta Biro Pers Istana jelasin kenapa bisa cabut kartu itu. Mereka bilang kalau ngeblok pertanyaan wartawan sama aja ngejek prinsip demokrasi dan hak publik dapet info.
Para tokoh dan komentator media juga bilang kalau jawaban Presiden Prabowo waktu itu santai dan profesional, jadi nggak ada alesan buat ngasih sanksi ke wartawan. Netizen banyak yang bilang ini kayak sensor, bukan prosedur resmi yang masuk akal.
Intinya, di sosial media malah makin banyak suara yang nyalahin pemerintah karena dianggap mau ngekang kebebasan pers dan minta kartu persnya dikasih balik supaya demokrasi tetep berjalan lancar.

Kejadian pencabutan kartu pers baru-baru ini di Istana Presiden bisa banget dikaitkan ama fenomena budaya yang dalam banget, yaitu ungkapan "Asal Bapak Senang." Frasa ini artinya kira-kira "yang penting bos senang," dan nunjukin sikap yang udah menyebar luas di dunia politik dan birokrasi Indonesia, dimana bawahan lebih mementingkan manjain atasan ketimbang transparansi, kebenaran, dan akuntabilitas. Dalam kasus pencabutan kartu pers, mentalitas budaya ini kelihatan dari usaha membungkam pertanyaan kritis wartawan, yang nunjukin lebih pilih kontrol dan kepatuhan daripada keterbukaan dan dialog yang konstruktif. Jadi, kejadian ini nggak cuma soal kebebasan pers, tapi juga contoh nyata gimana dinamika patron-klien ngefek ke pemerintahan dan wacana publik di Indonesia.
Ungkapan "Asal Bapak Senang" asalnya dari nama band zaman Presiden Soekarno. Lama-lama jadi idiom yang dipake buat ngejek budaya laporan atau perilaku yang cuma buat manjain bos atau pejabat, tanpa peduli fakta atau integritas. Maknanya negatif, yaitu ngelakuin apapun buat bikin atasan senang, walau harus nutupi kebenaran. Sumber primer yang menyebut band "Asal Bapak Senang" (ABS) berasal dari kesaksian sejarah dan buku autobiografi orang-orang yang dekat dengan Presiden Soekarno dan pasukan pengawal beliau. Band ini dibentuk oleh Detasemen Kawal Pribadi (DKP) pimpinan Mayor Polisi Iskandar Winata dan Komandan Mangil Martowidjojo untuk menghibur Presiden Sukarno saat menari di istana, terutama tari lenso dan cha-cha. Sukarno sangat menyukai musik dari band ini yang dikenal dengan singkatan ABS, meskipun beliau dikabarkan gak tahu kepanjangan nama itu dan kadang menyebutnya sambil bercanda sebagai "Brul Apen."
Sumber penting yang menyebut ini termasuk autobiografi Sukarno, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams, dan kesaksian dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno karya Bambang Widjanarko, ajudan Sukarno. Wawancara dengan sejarawan, keturunan tokoh terkait, dan artikel di beberapa situs web juga menjelaskan detail ini sebagai narasi primer atau hampir primer. Jadi, asal usul "Asal Bapak Senang" sebagai nama band sudah terdokumentasi dengan baik dalam kesaksian sejarah dan literatur terkait era Sukarno, menjadikannya sumber primer yang kredibel.

Seiring waktu, frasa ini berkembang menjadi ungkapan yang menggambarkan perilaku bawahan yang menjilat atau hanya menyampaikan kabar menyenangkan kepada atasan tanpa memperhatikan kebenaran. Walaupun bermula pada masa Soekarno, makna negatif dan budaya politik birokratis ini menjadi sangat populer dan melekat pada era Orde Baru di bawah Soeharto. Pada masa tersebut, mentalitas "Asal Bapak Senang" semakin dalam sebagai strategi bertahan untuk menyenangkan penguasa dan menghindari konsekuensi.
Meskipun asal usul frasa tersebut berasal dari masa Sukarno sebagai nama band, konotasi negatifnya yang metaforis dan lebih luas sebagai budaya politik dan birokrasi menjadi populer dan mengakar selama rezim Orde Baru. Fenomena budaya inilah yang berkembang dari anekdot sejarah yang berkaitan dengan lingkaran Soekarno, tetapi memperoleh makna dan penggunaan politiknya yang utuh, seringkali kritis, pada masa Soeharto. 
Ungkapan “asal bapak senang” itu berarti model kerja “yang penting bos senyum, urusan hasil belakangan.” Biasanya dipakai buat ngegambarin bawahan yang rajin ngasih laporan indah-indah ke atasan, padahal kenyataannya amburadul. Intinya, selama pimpinan happy, data bisa dipoles, masalah bisa disembunyikan, bahkan realita bisa dibikin ala sinetron happy ending. Ungkapan ini udah jadi sindiran klasik buat budaya ABS alias asal bapak senang, dimana yang dijaga bukanlah kualitas kerja atau tanggungjawab, tapi mood sang bos. Akhirnya sistem kayak gini rapuh, karena yang ditonjolin cuma pencitraan, bukan substansi—mirip kayak akun medsos artis yang penuh filter tapi aslinya beda jauh.

Baik di Inggris maupun Amerika, makna dari “asal bapak senang” tuh relatable banget—cuman cara ngungkapinnya aja yang beda gaya. Dalam British English, orang biasanya bilang “just to please the boss,” kayak “ya udah nurut aja biar atasan seneng,” gitu. Kalau mau rada lebih halus tapi tetep nyindir, mereka pakai “to curry favour with the boss”—kesannya kayak carmuk, tapi pakai bumbu formal. Nah, kalau udah masuk mode ngatain, istilah “brown-nosing” muncul. Ini udah level ngejilat yang gak pake malu-malu, kayak pegawai yang rela jadi karpet merah demi pujian bos.
Dalam versi Amrik, vibe-nya mirip tapi lebih blak-blakan. “Just to please the boss” tetep dipakai, tapi yang paling nendang tuh “to suck up to the boss.” Ini udah kayak gaya sinetron kantor—ada yang rela jadi yes-man demi naik jabatan. “Curry favor” juga dikenal di sana, tapi kagak sepopuler “suck up.” Intinya sih, dua-duanya ngerti maksudnya, cuman kalau Inggris bilang “brown-nosing,” Amerika ngejawabnya “sucking up.” Sama-sama ngejilat, beda aksen aja.

Ungkapan “asal bapak senang” itu bukan sekadar kelakuan lucu—terma ini nempel ke dalam struktur insentif dan kode sosial yang nentuin gimana organisasi dan masyarakat ngomong, ngambil keputusan, dan bagi-bagi pujian. Intinya: kalo yang paling penting cuma bikin bos happy, kebenaran, kritik, atau pemikiran jangka panjang, kerap jadi korban.
Dari sisi kebudayaan, “asal bapak senang” muncul dari gabungan rasa hormat terhadap hierarki dan nggak mau ributin suasana. Di banyak masyarakat kolektivis, jaga muka dan harmoni sosial itu wajib, makanya orang belajar nyaringin kritik dan nyajiin masalah dengan cara yang gak ngerendahin atasan. Lama-lama ini jadi kebiasaan: staf bawahan siap-siap membingkai informasi sesuai selera atasan, ritual hormat—bahasa halus, laporan yang sudah dipoles, pesta peresmian—ngegantiin diskusi jujur. Efeknya? Kohesi jangka pendek terjaga, tapi budaya keterbukaan dan keingintahuan yang bikin organisasi maju jadi terkikis.
Dari sudut politik, terma ini nunjukin gimana patronase dan manajemen pencitraan bisa ngerusak akuntabilitas. Kalau pemimpin lebih ngehargai loyalitas dan menghukum berita gak enak, pejabat bakal punya insentif kuat buat ngelaporinnya rapi-rapi atau buatin prestasi yang syutingnya bagus ketimbang beresin masalah nyata. Jadinya, kebijakan bisa lebih tergencet soal tampilan daripada bukti, proyek yang “instagramable” jadi prioritas atas proyek yang beneran nguntungin publik. Yang lebih parah, “asal bapak senang” bisa melahirkan korupsi, institusi yang dikendalikan, dan politik panggung yang penuh sandiwara.
Secara sosial, praktik ini ngerubah cara orang percaya dan ngomong dalam publik. Kalau warga atau rekan kerja udah tahu keputusan didorong buat nyenengin orang berkuasa, mereka bisa jadi sinis atau mundur dari partisipasi. Jaringan informal tukar-favor merajalela, orang dalam diuntungin, yang nggak punya patron jadi tersingkir. Di sisi lain, konformitas nyiptain ilusi kesepakatan yang mematikan suara minoritas—baru kelihatan bahayanya waktu krisis ngebuka betapa jauh jurang antara citra dan realita.
Dari segi ekonomi, “asal bapak senang” bakal nyeret alokasi sumber daya, pengambilan risiko, dan produktivitas organisasi ke arah yang keliru. Perusahaan atau birokrasi yang ngutamain bikin bos seneng, bisa jadi nggak nginvestasi ke sistem pengawasan, ngeabaiin tanda bahaya dini, atau ngebiarin duit ngalir ke proyek yang ciamik di foto tapi miskin nilai. Akibatnya: modal dan talenta salah tempat, inovasi direm, moral hazard meningkat karena ukuran suksesnya deket ama penguasa, bukan hasil nyata. Lama-lama, ekonomi yang kebanyakan budaya begitu bisa kena growth rendah dan institusi rapuh.
Kalo ngomongin solusi, itu bukan berarti soal nyalahin orang doang, tapi merombak insentif. Cara-cara yang berhasil antara lain nyediain kanal aman buat kritik, lindungi whistleblower, bikin metrik kinerja transparan, dan rotasi evaluator biar penghargaan nggak cuma buat yang pandai cari muka. Budayakan feedback yang konstruktif, belajar dari kegagalan, dan cek-and-balance institusional supaya panggung “asal bapak senang” makin sempit—diganti budaya kerja yang nyata, bertanggungjawab, dan tahan banting.

Ungkapan “asal bapak senang” punya akar dari kultur hierarki yang udah lama melekat dalam birokrasi, militer, maupun dunia kerja Indonesia. Istilah ini mulai menguat di abad ke-20, terutama pas zaman Orde Baru di bawah Suharto, dimana loyalitas ke atasan lebih penting daripada ngomong apa adanya. Dalam suasana seperti itu, bawahan paham betul: yang dinilai bukan hasil nyata, tapi laporan yang bisa bikin “bapak”—istilah yang nunjukin otoritas patriarkis sekaligus kepemimpinan paternalistik—merasa puas. Data dipoles, masalah disapu di bawah karpet, dan prestasi dilebih-lebihkan selama bikin atasan senyum.
Popularitasnya muncul dari pengalaman sehari-hari. Rakyat biasa ngeliat sendiri gimana pejabat, pegawai negeri, bahkan karyawan swasta suka ngeganti gaya dan ucapan demi jaga muka di depan bos. Akhirnya lahir sindiran “asal bapak senang” buat ngegambarin jurang antara cerita resmi yang indah-indah dan realita lapangan yang berantakan. Istilah ini jadi semacam satire sosial, yang sampai sekarang masih dipakai buat ngekritik gaya kepemimpinan, birokrasi, maupun budaya kerja yang lebih mentingin penampilan ketimbang substansi.
Di era demokrasi sekarang pun, istilah ini belum basi. Di kantor-kantor, masih banyak yang enggan ngasih kritik karena takut gangguin harmoni sama manajemen. Dalam politik, panggung pencitraan, event yang serba wah, dan narasi di media acapkali lebih utama ketimbang kebijakan yang bener-bener efektif. Bahkan di medsos, budaya “asal bapak senang” bisa kelihatan jelas: banyak akun rame-rame bikin narasi manis buat gembosin kritik, intinya lebih mikirin nyenengin penguasa daripada jujur ke publik.
Des, “asal bapak senang” masih hidup sampai sekarang, dan relevansinya justru makin kelihatan di dunia modern yang serba tampil. Ungkapan ini ngingetin kita kalau kemajuan sejati butuh keberanian buat ngerombak sistem yang masih kasih hadiah buat pencitraan, tapi ngehukum orang yang ngasih masukan jujur. Selama budaya ini belum berubah, terma ini bakal terus dipakai, baik sebagai satire maupun sebagai cermin sosial.

Nah, kalau dibawa ke Indonesia masa kini, istilah “asal bapak senang” makin kelihatan jelas dalam praktik sehari-hari. Dalam politik, gampang banget dicontohin lewat proyek infrastruktur yang dikebut biar bisa gunting pita sebelum masa kampanye. Jalan tol, bandara, sampai ibukota baru dijual lewat drone shot megah dan pidato bombastis. Tapi di balik itu, sering muncul kabar kalau proyeknya masih bolong sana-sini, biaya bengkak, atau perencanaannya gak matang. Itu persis “asal bapak senang”: yang penting bos bisa senyum di depan kamera, soal detailnya belakangan.
Di birokrasi juga sama. Banyak laporan kinerja yang tampilannya kece—penuh grafik warna-warni, jargon motivasi, sampai kata-kata manis—tapi isinya lebih banyak kamuflase ketimbang transparansi. Data kemiskinan atau pengangguran kadang dipoles biar kelihatan sukses, meski rakyat di lapangan kagak ngerasain apa-apa. Para bawahan ngerti, kalau ngomong apa adanya bisa dimarahin atau diasingkan, jadi mending ngasih laporan yang manis-manis ajah.
Dunia korporat pun nggak kebal. Di BUMN, misalnya, banyak kasus dimana pegawai enggak berani laporin risiko keuangan atau kelemahan desain proyek, takut ngacoin suasana rapat direksi. Akhirnya masalah numpuk, whistleblower diabaikan, dan skandal baru meledak pas sudah telat banget. Lagi-lagi pola “asal bapak senang” yang bikin penyakit kecil jadi krisis besar.
Di era digital, istilah ini malah punya versi baru. “Bapak” bukan cuma atasan nyata, tapi juga simbol pemimpin, bos korporasi, bahkan selebgram. Pasukan buzzer siap ngebanjirin timeline dengan puja-puji terstruktur rapi, sampai kritik hilang tenggelam. Hasilnya, publik dapat citra sukses serba wah, padahal realitanya jauh banget.
Jadi jelas, “asal bapak senang” bukan cerita masa lalu Orde Baru aja. Ungkapan ini masih relevan di zaman demokrasi, bisnis modern, bahkan jagat medsos. Selama sistem kita masih lebih suka pencitraan ketimbang kejujuran, istilah ini bakal terus dipakai, jadi pengingat pedas betapa gampangnya realita dikorbanin demi bikin yang berkuasa tetep sumringah.

[Bagian 2]

Jumat, 26 September 2025

Para Buzzer

Buzzer itu kalau di dunia elektronik sih simpel aja: komponen kecil yang kalau kena listrik langsung bunyi tit-tit, biasanya ada di alarm, timer, sampai bel rumah. Tapi kalau dibawa ke ranah sosial politik, apalagi di Indonesia, istilah “buzzer” bermakna yang jauh lebih rame. Mereka ini biasanya akun-akun medsos, acap anonim, yang digerakkan buat “mendengungkan” narasi tertentu. Bisa aja tujuannya promosi produk atau nge-backup citra tokoh publik, tapi nggak jarang juga dipakai buat nyerang lawan politik atau bahkan nyebarin hoaks. Bedanya sama buzzer elektronik yang cuma berisik sebentar, buzzer medsos ini bisa bikin gelombang pengaruh gede banget, sampai-sampai opini publik bisa ikut goyah. Jadi, kalau di dunia nyata buzzer cuma bikin kuping berdengung, di dunia maya buzzer bisa bikin jagat medsos mendidih.

Di zaman sekarang, beternak buzzer—baik yang “resmi” digaji negara maupun yang “tidak resmi” tapi dilirik dengan mata sebelah—udah jadi ciri khas demokrasi rapuh maupun rezim otoriter yang mapan. Secara resmi, negara kayak Rusia, China, dan Turki udah bikin operasi digital skala besar dengan pasukan troll, bot, dan akun manusia buat ngatur narasi global. Rusia punya Internet Research Agency yang terkenal banget gara-gara ikut campur pemilu luar negeri dan ngebanjirin debat domestik dengan propaganda pro-Kremlin. China dengan “Pasukan 50 Cent”-nya juga mirip, ngatur percakapan online biar sesuai garis partai sambil nutup suara kritis. Turki di bawah Erdoğan udah melatih brigade digital yang loyal ke partai penguasa, memastikan hashtag bisa trending sesuai pesanan, dan pengkritik langsung disapu bersih. Buat mereka, buzzer bukan aib, tapi alat resmi diplomasi digital—senjata politik dalam negeri sekaligus pengaruh internasional.

Tapi fenomena ini nggak berhenti di negara otoriter. Negara yang suka pamer demokrasi—kayak India, Brasil, dan Filipina—juga rame beternak buzzer, meski bentuknya semi-resmi. Partai politik nyewa perusahaan swasta atau jaringan influencer buat bikin ilusi dukungan rakyat, terutama pas musim pemilu. India sering dituduh punya sel IT yang kerjaannya banjirin media sosial dengan pesan pro-pemerintah sambil ngegas jurnalis dan oposisi. Di Brasil, Bolsonaro naik lewat mesin digital yang doyan nyebar meme, hoaks, dan narasi tandingan agresif. Filipina di era Duterte malah jadi studi kasus dunia gimana troll farm bisa bikin politik kasar terasa normal dan bikin publik makin nggak percaya sama media arus utama. Pemerintah jarang ngaku terang-terangan, tapi praktiknya jalan terus dengan dukungan dana negara dan kontrak korporasi.

Indonesia sendiri jadi contoh campuran, dimana buzzer awalnya cuma buat marketing produk tapi akhirnya dipersenjatai buat politik. Dari Pilgub Jakarta 2012 sampai Pilpres 2014 dan 2019, buzzer makin melembaga, kerja buat elit politik sekaligus pebisnis. Riset CSIS dan Oxford udah nunjukin kalau Indonesia masuk daftar negara yang punya tentara digital—baik bot maupun manusia—yang tugasnya ngebelokin debat, nyerang pengkritik, dan bikin legitimasi instan. Pemerintah mungkin nggak ngumumin secara resmi, tapi jejak orkestrasi mereka—hashtag serentak, konten barengan, sampai suara kritis yang mendadak hilang—susah banget buat diabaikan.
Terdapat bukti kalau pemerintahan Jokowi pernah ngeluarin duit negara buat bayarin para buzzer dan influencer. Menurut laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis Agustus 2020, pemerintah pusat udah ngeluarin sekitar Rp 90,45 miliar buat bayar influencer antara 2017 dan 2020. Konon, dana ini dipakai buat kampanye media sosial yang tujuannya nyebarin informasi soal program-program pemerintah, termasuk penanganan pandemi COVID-19. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif jadi yang paling banyak ngeluarin anggaran, dengan 22 paket pengadaan senilai Rp 77,66 miliar, sementara Kementerian Komunikasi dan Informatika ngeluarin Rp 10,83 miliar lewat empat paket.
Katanya sih, Pemerintah pake influencer buat nyampaikan kebijakan ke publik, dengan harapan mereka bisa nyampein pesan dengan cara yang lebih relatable. Misalnya, selama pandemi, beberapa selebriti diundang ke Istana Negara buat ngobrol dan sosialisasiin protokol kesehatan serta langkah-langkah pemerintah. Tapi, langkah ini menuai kritik karena dianggap bisa ngereduksi informasi publik jadi sekadar promosi negara, dan berpotensi nyebarin disinformasi

Buzzer ini hidup di zona abu-abu, antara kerja resmi negara dan kerja bayangan yang diem-diem tapi jalan. Di beberapa negara mereka pakai seragam negara, di tempat lain mereka sembunyi di balik akun anonim, kontraktor, atau influencer. Yang nyambungin mereka semua adalah kemampuan buat nyulap ruang digital jadi arena yang dipersenjatai, di mana kebenaran bisa ditawar, kekuasaan jadi panggung, dan demokrasi pelan-pelan tenggelam dalam dengung buatan yang disebut “suara rakyat.”

Di tengah hiruk-pikuk media sosial, buzzer udah bukan barang baru lagi. Dulu sih cuma dipakai buat promosi produk, tapi sekarang mereka jadi mesin propaganda paling murah sekaligus paling efektif. Di tangan orang-orang berkuasa, buzzer berubah jadi tentara bayaran digital—senjatanya bukan peluru, tapi kata-kata, manipulasi, dan kebisingan informasi. Mereka bikin opini palsu, ngatur jalannya diskusi publik, sampai nyerang siapa pun yang dianggap ancaman politik—bahkan rakyat biasa yang cuma nuntut haknya.
Ironisnya, di negeri yang ngaku demokratis, suara rakyat malah tenggelam oleh riuhnya obrolan pesanan. Inilah wajah politik kotor era digital. Penguasa nggak lagi cuma ngandelin aparat negara, tapi juga ngerekrut pasukan tanpa wajah yang kerja 24 jam demi bikin ilusi dukungan rakyat.
Mayoritas warga nggak sadar kalau opini yang banjir di timeline mereka tuh bukan murni, tapi pesenan, buatan, dan diarahkan dengan satu tujuan: jaga kekuasaan, berapa pun biayanya. Kayak yang dibongkar Wasisto Raharjo Jati dalam Digital Propaganda (2019), buzzer bukan soal kebebasan berekspresi, tapi soal mempertahankan dominasi politik lewat tipu-tipu sistematis.

Di Indonesia, awalnya di sekitar 2009, buzzer cuma buat promosi netral. Tapi sejak Pilgub Jakarta 2012, mereka mulai dipakai buat politik: bikin citra, nyerang lawan, dan ngacak-ngacak opini di medsos. Ross Tapsell lewat bukunya Media Power in Indonesia (2017) nunjukkin gimana elit politik ngegiring jaringan ini jadi senjata persepsi.
Masuk 2014, buzzer udah naik level jadi industri bayangan. Mereka nggak lagi sekadar promosi, tapi propaganda. Meme, infografik, dan hashtag yang kelihatannya spontan ternyata kampanye hitam terselubung. Sama kayak yang diomongin Woolley & Howard dalam Computational Propaganda (2018), fenomena buzzer di Indonesia ternyata nyambung ke tren global soal pasukan siber yang ngerusak demokrasi.
Penelitian CSIS plus Oxford (Samantha Bradshaw & Philip Howard) nunjukkin kalau Indonesia termasuk 70 negara yang ngoperasikan “cyber troops” buat propaganda dan manipulasi. Kasus serupa juga dikupas Benkler cs. dalam Network Propaganda (2018), yang ngulik gimana medsos di AS dipenuhi narasi hasil amplifikasi terkoordinasi.

Buzzer sekarang nggak sekadar jual opini bayaran. Mereka bikin strategi flooding, ngebanjirin medsos pake konten siap saji biar realitas ketutup. Patrikarakos lewat War in 140 Characters (2017) bilang, perang medsos udah bisa seberat perang nyata.
Salah satu jurus andalannya: hashtag hijacking. Lagi rame topik apa, buzzer masuk, terus belokin arah diskusinya. Kelihatannya kayak ada dukungan massal, padahal itu cuma astroturfing. Merlyna Lim dalam Many Clicks but Little Sticks (2013) nunjukin betapa gampangnya aktivisme online asli kalah sama kampanye terkoordinasi.

Buzzer punya struktur tim yang rapi. Rekrutmen pakai seleksi ketat, ada grup rahasia di WhatsApp/Telegram, dan fungsi tiap anggota dibagi: ada yang bikin konten, sebarin, sampai tim serang. Kisahnya mirip sama yang dibahas Jessikka Aro dalam Putin’s Trolls (2022) soal pabrik troll Rusia.
Sekarang mereka pakai akun manusia beneran, hybrid bot-manusia, bahkan akun bajakan biar susah dibedain dari user asli. Mereka bikin debat palsu antar akun satu tim biar kelihatan organik. Nggak cuma di Twitter, buzzer juga main di grup privat kayak WhatsApp, manfaatin rasa percaya antar teman atau keluarga.
Kompas sempet ngulik gimana rekrutmen buzzer diatur ketat, lengkap sama level influencer dan sistem bayaran. Contoh panasnya, “Cyber Army” pimpinan Madya Muzaki yang kebongkar Mei 2025 karena ngerecokin kasus korupsi. Timnya 150 orang, dibayar Rp864 juta buat nyebar narasi negatif.

Buzzers makin brutal: mereka nyebar hoaks (2023 aja tercatat 2.300 lebih, separonya politik), doxing, bullying, sampai pembunuhan karakter. Demokrasi jadi ringkih kalau kebenaran ditutup-tutupi dan kritik dihukum. Mereka hidup subur karena algoritma medsos lebih milih konten emosional daripada kebenaran. Sensasi dapat bonus viral, fakta malah tenggelam. Dan ironisnya, upaya platform buat ngeberesin hoaks bisa juga dituduh jadi sensor.
Kerusakan buzzer itu berlapis: ngerusak diskusi sehat, ngikis kepercayaan publik, bikin orang takut bicara, ngatur kebijakan, sampai ngebiasain gaya otoritarian halus. Intinya, buzzer bukan sekadar akun berisik—they’re political weapons. Kalau dibiarkan, mereka bisa ngancurin jiwa demokrasi itu sendiri.

Selama rangkaian kunjungan Mas Wapres, mulai dari kunjungan regional di berbagai kota Indonesia hingga perjalanan terakhirnya ke Papua Nugini pada September 2025, buzzer konsisten dikerahkan untuk memanipulasi persepsi publik. Di media sosial, para tentara digital ini banjirin timeline dengan narasi yang menggambarkan setiap kunjungan sebagai sukses besar, menyoroti interaksi hangat dengan pemimpin lokal, dan membesar-besarkan dukungan rakyat seolah nyata. Hashtag dukungan, foto yang sengaja diatur, bahkan akun palsu, semua dipakai untuk menciptakan echo chamber digital di mana suara-suara kritis tenggelam. Para pengamat mencatat bahwa sementara komunikasi resmi fokus pada diplomasi dan protokol, kampanye online seringkali melangkah lebih jauh, menyerang pengkritik dan mendiskreditkan interpretasi lain dari kejadian tersebut.
Operasinya sangat terkoordinasi: tim buzzer dibagi berdasarkan fungsi, dengan pembuat konten, distributor, dan unit serang balik yang koordinasi lintas platform. Grup WhatsApp dan Telegram jadi semacam pusat komando, di mana arahan diberikan secara real-time untuk menanggapi topik trending atau komentar negatif. Dalam beberapa kasus, tim yang sama bahkan membuat debat palsu antar akun untuk menciptakan ilusi diskusi publik. Kunjungan ke Papua Nugini, meski minor secara geopolitik, diubah menjadi spektakel digital yang dirancang untuk memproyeksikan pengaruh, mengamankan persetujuan domestik, dan mencegah kritik terhadap pemerintahan.
Pembuatan konten dikelola dengan struktur bertingkat: tim utama bikin visual dan narasi, tim kedua menyebarkannya ke jaringan luas, dan tim ketiga memantau respons, menandai kritik, dan menyiapkan kontra-narasi. Grup WhatsApp dan Telegram jadi pusat komando real-time, koordinasi posting, like, retweet, dan amplifikasi komentar dilakukan di sana. Dalam beberapa kasus, jaringan akun yang sama bikin “debat” antar akun pro-pemerintah, bikin pengamat online percaya kalau diskusi itu asli.
Kampanye ini nggak cuma soal tampilan media sosial. Influencer direkrut buat bikin video dan live stream yang memuji inisiatif lokal Wakil Presiden, sementara media minor didorong untuk menampilkan liputan positif. Komentar kritis atau pertanyaan—baik dari jurnalis independen maupun aktivis lokal—cepat tertutup oleh balasan dan laporan terkoordinasi, efektif membungkam dissent di ruang digital.

Fenomena ini mencerminkan tren global, dimana negara otoriter maupun demokratis semakin mengandalkan operatif digital untuk membentuk narasi. Di Indonesia, garis antara dukungan sukarela dan orkestrasi berbayar makin kabur, dengan pemerintah dan kepentingan swasta sama-sama memanfaatkan kecepatan dan jangkauan buzzer. Yang dulu cuma taktik marketing kecil kini berkembang menjadi alat politik canggih, mampu mempengaruhi persepsi di dalam maupun luar negeri, terutama saat acara profil tinggi seperti kunjungan resmi pimpinan negara.
Setiap kali muncul kritik—baik dari jurnalis independen, aktivis lokal, atau akun media sosial yang satir—jaringan buzzer langsung tancap gas. Dengan naskah yang sudah dipersiapkan, balasan terkoordinasi, dan amplifikasi cepat, mereka membalas dissent baik dengan persuasi halus maupun serangan terang-terangan. Komentar negatif sering kali tenggelam dalam banjir komentar dukungan, retweet, dan emoji, bikin orang lain mikir kalau kritik itu cuma suara minoritas. Meme satir atau video kritis cepat-cepat dilaporkan, ditandai, dan kadang digandakan versi “benar” atau diubah narasinya supaya tetap terlihat positif.
Grup WhatsApp dan Telegram jadi pusat komando untuk counter-attack ini. Arahan dikirim real-time: tim ditugaskan buat ngebanjirin hashtag kritis yang trending, menyerbu kolom komentar, dan mengerahkan akun hybrid—campuran manusia dan bot—supaya terlihat ada mass rebuttal yang nyata. Bahkan akun yang dibajak atau dipakai ulang digunakan strategis supaya terlihat partisipasi beragam, padahal semua itu hasil orkestrasi.

Efek jangka panjang dari operasi buzzer yang terus menerus mulai terlihat jelas di lanskap politik Indonesia. Seiring waktu, kehadiran pesan digital yang terkoordinasi secara konstan bikin batas antara opini publik asli dan konsensus yang dibuat-buat jadi kabur. Warga yang scroll timeline media sosial mereka bisa jadi cuma nemu narasi yang dikurasi, hashtag dukungan, dan konten amplifikasi dari akun hybrid, sementara suara kritis terisolasi dan tersisihkan. Ekosistem ini menciptakan suasana di mana masyarakat susah banget membedakan debat asli sama kebisingan yang diatur, yang akhirnya melemahkan kemampuan mereka buat bikin keputusan yang informed.
Selain membentuk persepsi, buzzer juga punya dampak nyata terhadap kebijakan dan diskursus publik. Contoh paling kentara adalah revisi UU KPK tahun 2019, yang dibarengi kampanye digital masif yang ngebanjirin timeline dengan penjelasan sederhana, ajakan emosional, dan media yang diubah-ubah. Dengan nge-frame hukum itu seolah populer dan penting, buzzer berhasil meredam potensi resistensi dan menormalisasi tren otoritarian, semua tanpa paksaan yang terlihat. Bahkan acara budaya atau hiburan pun nggak luput; diskusi media sosial soal regulasi sepakbola, festival lokal, atau kampanye kesehatan publik dibelokkan halus supaya sesuai prioritas resmi, sering bikin aspirasi akar rumput tersisih.
Dimensi psikologisnya juga nggak kalah penting. Bombardir pesan dukungan terus-menerus, kontra-narasi, dan intimidasi online ke pengkritik menciptakan iklim yang bikin warga takut ngomong. Banyak yang sadar kalau tren itu dibangun secara artifisial, jadi ragu buat kasih kritik atau ikut debat bermakna karena takut backlash terkoordinasi. Dengan cara ini, buzzer nggak cuma mendistorsi kenyataan tapi juga nge-set perilaku publik, secara perlahan ngubah partisipasi sipil sesuai kepentingan elit politik dan aktor swasta.
Efek kumulatifnya bikin ruang digital Indonesia jadi medan perang dimana kebenaran bisa ditawar, dissent diawasi, dan deliberasi demokratis makin kalah sama narasi yang diatur. Yang dulunya kelihatan kayak alat marketing harmless kini jadi instrumen kontrol politik yang powerful, nunjukin kalau di era modern ini, pengaruh dan persepsi sering sama pentingnya bahkan lebih menentukan daripada legislasi dan tata kelola.

Penggunaan buzzer oleh pejabat pemerintah tuh bikin debat panas soal legitimasi politik dan alasan hukumnya. Dari sisi politik, bayar buzzer bisa dilihat sebagai cara buat ngatur opini publik, nyampein kebijakan, dan jaga dukungan rakyat. Beberapa pihak pemerintah bilang, kampanye media sosial, termasuk pake influencer, cuma alat humas modern buat bikin transparansi dan partisipasi warga. Tapi kritiknya, kalau usaha ini dikemas kayak opini rakyat asli padahal disetting, atau dipake buat ngebungkam kritik, itu malah ngegerus demokrasi dan ngebohongin keinginan asli masyarakat.
Dari sisi hukum, penggunaan dana publik buat bayar buzzer lebih tricky. Di Indonesia, aturan mengharuskan transparansi dan akuntabilitas dalam belanja negara, terutama buat kampanye komunikasi dan informasi publik. Kalau uang dipake buat sengaja manipulasi narasi atau menyerang pengkritik, bukan buat ngasih info objektif ke publik, itu bisa dilihat melanggar regulasi belanja negara, hukum anti-korupsi, atau kode administrasi negara. Memang gak ada undang-undang yang langsung bilang “bayar influencer itu ilegal,” tapi salah pakai anggaran buat kepentingan partisan, bisa digugat lewat audit, pengawasan, dan prinsip good governance.
Boleh atau nggaknya penggunaan buzzer tergantung niat, transparansi, dan proporsinya. Kalau tujuannya buat ngasih info ke masyarakat, bikin engagement, dan promosiin program pemerintah, mungkin masih bisa diterima politik dan hukum. Tapi kalau niatnya cuma bikin rakyat kelihatan setuju, nge-bungkam kritik, atau ngeubah fakta, praktik ini jadi ethically questionable, politiknya meragukan, dan bisa aja secara hukum bermasalah.

Penggunaan buzzer oleh pejabat pemerintah bisa bermasalah secara hukum kalau nyangkut penyalahgunaan duit negara, nggak transparan, atau sengaja manipulasi opini publik buat kepentingan politik tertentu. Di Indonesia, undang-undang mewajibkan anggaran negara dipakai sesuai prinsip akuntabilitas dan jelas tujuannya. Kalau dana dipakai buat bayar influencer atau koordinasi kampanye online tanpa laporan publik yang terang, wajar kalau muncul pertanyaan: apakah pengeluaran ini sesuai aturan belanja negara?
Lebih lagi, kalau tujuan pake buzzer buat menekan kritik, menyerang pengkritik, atau bikin kesan dukungan publik palsu, itu bisa melanggar standar administrasi dan etika pemerintahan. Memang nggak ada hukum yang secara spesifik bilang “bayar influencer itu ilegal,” tapi salah pakai anggaran buat kepentingan politik bisa digugat lewat undang-undang anti-korupsi, mekanisme audit, dan aturan penggunaan sumber daya publik yang benar. Para ahli hukum dan lembaga pengawas menekankan: transparansi, tujuan jelas, dan proporsionalitas itu wajib. Kalau nggak, praktik ini bisa dianggap penyalahgunaan kekuasaan negara dan bisa bikin pejabat kena sorotan publik bahkan masalah hukum.
Risiko hukumnya muncul dari kombinasi niat, kurangnya transparansi, dan kemungkinan alokasi anggaran buat tujuan partisan. Kuncinya: apakah penggunaan buzzer bener-bener buat komunikasi publik yang sah atau udah masuk ke manipulasi dan propaganda tersembunyi, yang jelas susah dibenarkan menurut hukum Indonesia.

Transparansi tuh fondasi utama demokrasi yang sehat. Dengan transparansi, warga bisa tahu apa aja yang dilakuin pemerintah, kebijakan apa yang jalan, dan duit publik dipakai buat apa. Kalau transparansi dijaga, masyarakat bisa ngawasin keputusan pejabat, minta pertanggungjawaban, dan bikin pilihan yang tepat saat pemilu. Transparansi juga ngehindarin penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik rahasia yang bikin kepercayaan ke institusi hancur. Plus, legitimasi pemerintahan naik, soalnya kalau warga ngerti kenapa dan gimana keputusan dibuat, mereka lebih mungkin dukung atau ikut diskusi dengan konstruktif.
Publik punya peran super penting buat dorong transparansi. Warga bisa minta akses dokumen resmi, nanya soal pengeluaran pemerintah, ikut hearing publik, dan pakai media buat ngawasin kebijakan. Organisasi masyarakat sipil, watchdog, sama jurnalis independen bantu nge-boost pengawasan publik lewat investigasi dan publikasi temuan mereka, bikin pejabat makin accountable. Selain itu, ikut aktif dalam urusan publik, kayak laporan kejanggalan, ikutan audit, dan tantang praktik yang nggak jelas, bikin tata kelola demokrasi makin kuat. Singkatnya, transparansi nggak cuma soal hukum atau administrasi, tapi kontrak sosial antara pemerintah dan warga, dan publik itu penjaga utamanya.

Dalam konteks buzzer dan media sosial, transparansi pemerintah jadi makin krusial. Kalau pejabat pake buzzer buat ngatur opini publik, warga punya hak buat tau duit publik dipakai buat apa, kampanye ini dijalanin gimana, dan tujuannya apa. Tanpa transparansi, masyarakat susah bedain mana opini asli rakyat dan mana hasil settingan buzzer, yang akhirnya ngegerus kepercayaan ke institusi demokrasi.
Peran publik tuh kayak watchdog, ngawasin kampanye online dan nanya soal strategi komunikasi pemerintah. Organisasi masyarakat sipil dan media independen bisa investigasi, ngungkapin struktur, sumber dana, dan taktik operasi buzzer. Warga juga bisa kritis sendiri, ngenalin pola pesan yang terkoordinasi, nggak gampang nyebarin konten nggak jelas, dan minta klarifikasi ke pejabat. Alat kayak permintaan informasi publik, hearing, dan jurnalistik investigatif penting banget buat nge-bongkar operasi pengaruh digital yang tersembunyi.
Dalam perang lawan kampanye online manipulatif, publik itu penegak transparansi utama. Dengan tetap terupdate, nanya-nanya, dan minta pertanggungjawaban, warga bisa mencegah penyalahgunaan dana publik dan jaga integritas diskursus demokrasi. Transparansi nggak cuma prinsip hukum—tapi juga kewajiban sipil, biar masyarakat bisa bedain fakta sama propaganda, memastikan komunikasi pemerintah bener-bener buat kepentingan publik, bukan buat agenda politik tertentu.

Kalau warga atau publik nemuin pengerahan buzzer, sebaiknya waspada tapi tetep kritis. Langkah pertama, upgrade literasi media. Pahami gimana konten media sosial dibuat, dibanjirin like, dan kadang dimanipulasi buat ngatur opini publik. Dengan ngerti pola pesan yang terkoordinasi, manipulasi emosional, dan akun palsu, kita bisa lebih santai nggak gampang kebawa arus tren palsu atau “persetujuan palsu” yang sengaja dibuat.
Kedua, publik kudu rajin cross-check info. Cek ke beberapa sumber terpercaya, bandingin berita, dan pakai organisasi fact-checking yang kredibel supaya nggak gampang terpengaruh kampanye online yang diatur. Warga juga bisa diskusi di ruang privat atau komunitas kecil, jangan cuma ikut-ikutan debat trending yang biasanya diatur buzzer.
Selain itu, ikut ngawasin pemerintah juga penting. Warga bisa minta transparansi soal penggunaan anggaran buat kampanye media sosial, dukung kebijakan yang atur iklan politik tersembunyi atau operasi pengaruh yang nggak jelas. Organisasi masyarakat sipil, media independen, dan watchdog jadi penting buat nge-boost awareness dan bikin pejabat serta pihak swasta bertanggung jawab.
Terakhir, bangun budaya kritis dan tanggungjawab sipil. Sadar kalau engagement kita—like, share, komentar—bisa bermanfaat, jadi kudu bijak berinteraksi sama konten online. Dengan cara ini, masyarakat bisa lawan pembentukan opini palsu, jaga diskursus publik yang asli, dan bantu demokrasi tetep kuat.

Dalam demokrasi yang sehat, warga punya peran super penting sebagai fondasi sekaligus penjaga sistem. Warga nggak cuma penerima kebijakan dan keputusan pemerintah, tapi juga partisipan aktif yang bisa ngaruhin tata kelola lewat voting, engagement sipil, dan diskursus publik. Dengan nyoblos, masyarakat milih pemimpin dan wakil yang mewakili nilai dan prioritas mereka, sekaligus nge-legitimasi proses demokrasi.
Selain pemilu, warga ngawasin tindakan pemerintah, minta pertanggungjawaban soal kebijakan, penggunaan dana publik, dan ketaatan pejabat terhadap hukum. Warga aktif ikut debat, hadir di hearing publik, ajukan petisi, dan dukung organisasi pengawas atau media independen yang ngecek tindakan pejabat. Partisipasi publik bikin pemerintah tetap responsif, transparan, dan selaras sama kepentingan masyarakat, bukan cuma agenda politik tertentu.
Lebih dari itu, warga ikut bangun budaya demokrasi dengan cara promosiin pemikiran kritis, dorong dialog, dan lawan misinformasi atau manipulasi. Publik yang waspada, melek informasi, dan aktif bikin pemerintah susah nyalahgunain kekuasaan, korupsi, atau ngegerus norma demokrasi. Demokrasi itu hidup dan kuat kalau warga sadar hak dan tanggungjawabnya, serta ngejalaninnya dengan bijak, supaya tatakelola bener-bener refleksi dari kehendak kolektif, bukan diktat segelintir aktor berkuasa.

Di era demokrasi digital sekarang, peran publik jadi lebih kompleks dan krusial dari sebelumnya. Warga nggak cuma pemilih atau peserta di ruang fisik, tapi juga aktor di ekosistem online yang luas, di mana media sosial, influencer, dan buzzer terkoordinasi bisa nge-boost opini asli maupun palsu. Dalam konteks ini, jadi warga aktif berarti nggak cuma ikutan kebijakan dan keputusan pemerintah, tapi juga bisa bedain info mana yang asli dan mana yang hasil settingan.
Partisipasi publik sekarang butuh literasi digital, pemikiran kritis, dan kewaspadaan tinggi. Warga harus belajar ngenalin kampanye terkoordinasi, deteksi disinformasi, dan nggak gampang nyebarin konten yang dimanipulasi. Dengan cross-check info di sumber terpercaya dan pakai platform fact-checking, publik bisa lawan manipulasi opini dan jaga diskursus demokrasi tetap asli. Organisasi masyarakat sipil dan media independen jadi jembatan, nge-investigasi dan nge-bongkar taktik manipulatif, sementara warga nge-boost temuan itu lewat engagement yang bertanggung jawab.
Selain itu, warga bisa bikin pejabat accountable dengan minta transparansi soal komunikasi digital pemerintah, termasuk penggunaan dana publik buat kampanye media sosial. Ikut tanda tangan online, komentar kritis di pengumuman resmi, dan debat konstruktif jadi cara warga ngeklaim pengaruh dan jaga demokrasi di era digital. Singkatnya, publik yang waspada, melek digital, dan kritis adalah pertahanan paling efektif lawan manipulasi, biar demokrasi Indonesia tetep refleksi suara asli rakyat, bukan narasi settingan segelintir orang berkuasa.

Kamis, 25 September 2025

Alarm Merah MBG: Mau Nunggu sampai Ada Korban Jiwa?

Jelang akhir September 2025, Bandung Barat tiba-tiba jadi setting drama thriller kesehatan publik. Program Makan Bergizi Gratis alias MBG, yang awalnya digadang-gadang jadi “bekal generasi emas”, malah berubah jadi sumber keracunan massal. Lebih dari 1.300 siswa dari SD sampai SMK tumbang: muntah, pusing, diare. Pemerintah daerah langsung pasang status “kejadian luar biasa”, tapi respons nasional? Masih nunggu “episode comeback” Presiden yang lagi dinas luar negeri.
Yang bikin makin absurd, keracunan tetep lanjut meski supplier makanan udah diganti. Siang 25 September, korban nambah 730 orang. Di Banggai Kepulauan, kasus serupa udah bikin moratorium lokal. Tapi di level pusat? Masih sepi, kayak nunggu plot twist.

Sejak MBG resmi digelar Januari 2025, kasus keracunan makin hari makin naik, kayak tren skincare viral tapi versi horor. Menurut BGN, udah ada 4.711 kasus keracunan yang terverifikasi sampai 22 September. Tapi JPPI bilang, “Eh, tunggu dulu!”—versi mereka tembus 6.452 kasus, dan CISDI nyebut 5.626 kasus. Kok beda-beda? Karena BGN cuman ngitung yang udah dicek lab, sementara JPPI dan CISDI masukin juga yang dicatet media dan laporan lapangan.
Ini bukan cuma beda angka, tapi beda cara ngelihat masalah. MBG yang awalnya digadang-gadang jadi program gizi unggulan, sekarang malah jadi “menu misteri” yang bikin anak-anak masuk IGD. Dari dapur ke darurat, dari janji kampanye ke krisis kesehatan. 

Publik mulai kehilangan kesabaran. CISD (Center for Indonesian Strategic Development Initiative), semacam “detektif data kebijakan”, nunjukin tren keracunan udah muncul sejak Januari. Pemerintah sempat nyalahin sendok—literally bilang siswa keracunan karena makan pakai tangan. Netizen pun auto ngamuk. Tiap bulan ada drama baru: Juni soal korupsi, Agustus soal minyak babi, September soal surat perjanjian orang tua. Program MBG yang tadinya jadi “jalan ninja” menuju 2045, sekarang kayak lagi di ujung tanduk.
Kelompok masyarakat sipil nggak tinggal diam. Mereka minta moratorium nasional, audit total, kanal pelaporan yang aman, desain ulang yang nyambungin pendidikan dan kesehatan, standar keamanan pangan yang ketat, perlindungan buat pelapor, dan pembatasan makanan ultra-proses tinggi gula, garam, lemak.
Di tengah spekulasi soal sabotase politik, publik cuma pengen satu hal: tanggungjawab. Program ini harusnya jadi “bekal masa depan”, bukan “bom waktu” atau "makan bisa gawat." Kalau dibiarkan, bisa jadi “gol bunuh diri” buat pemerintah dan bikin citra MBG hancur lebur. 

The National School Lunch Program karya Gordon W. Gunderson (1971, Departemen Pertanian AS), makan siang sekolah itu bukan sekadar isi piring—ia investasi masa depan. Gunderson bilang, anak yang kenyang bukan cuma sehat, tapi juga lebih fokus, lebih pintar, dan lebih siap bersosialisasi. Intinya: kalau perut kosong, otak nggak bisa diajak mikir.
Doski memandang makan siang sekolah itu kayak infrastruktur negara—sepenting guru dan buku pelajaran. Bukan amal, tapi hak publik. Apalagi di masa krisis kayak Depresi Besar dan Perang Dunia II, program ini punya dua fungsi: ngasih makan anak-anak dan bantu petani yang kelebihan stok. Gunderson percaya, dengan ngasih makan anak-anak, negara juga lagi “ngasih makan” masa depan: tenaga kerja, kekuatan sipil, dan nurani bangsa. Makan siang sekolah itu bukan cuma soal gizi. Ia soal ngebentuk generasi yang kuat, cerdas, dan berdaya.

National School Lunch Act di Amerika Serikat, yang disahkan tahun 1946, lahir bukan cuma karena butuh aturan, tapi karena negara sadar: anak-anak nggak bisa belajar kalau perutnya kosong. Latar belakangnya dramatis—di masa Depresi Besar dan Perang Dunia II, banyak calon tentara muda dinyatakan nggak layak karena gizi masa kecil mereka buruk. Negara pun mulai mikir: kalau anak-anak kelaparan, masa depan bangsa ikut lemah.
Tujuan utama undang-undang ini ada dua. Pertama, ngasih makan bergizi buat semua anak sekolah, tanpa pandang latarbelakang. Kedua, bantu petani dengan beli surplus hasil panen buat dijadikan makanan sekolah. Tapi lebih dari itu, ia janji moral: sekolah bukan cuma tempat belajar, tapi juga tempat anak-anak bisa makan dengan layak.
Gordon W. Gunderson, tokoh penting di balik program ini, bilang ini bukan sekadar hukum, tapi komitmen nurani. Nampan makan siang jadi simbol keadilan dan harapan—intervensi senyap tapi berdampak besar. Karena di balik setiap anak yang kenyang, ada peluang untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi.

Gunderson cukup blak-blakan soal ribetnya distribusi makanan di program makan siang sekolah. Gunderson cerita gimana ngatur logistik makanan buat jutaan anak sekolah di berbagai penjuru Amerika itu kayak main Tetris sambil lari maraton. Tiap daerah punya gaya sendiri: ada yang infrastrukturnya oke, ada yang jalannya kayak medan perang.
Awalnya, makanan surplus dari petani dipakai buat isi piring anak sekolah. Tapi itu bukan berarti tinggal kirim truk dan beres. Banyak makanan basi di jalan, ada yang nyasar ke sekolah yang nggak butuh, dan ada yang datang telat pas jam makan udah lewat. Gunderson bilang, ini bukan cuma soal makanan, tapi soal koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan sekolah lokal—kayak drama sinetron birokrasi.
Solusinya? Upgrade gudang penyimpanan, perbaiki jalur transportasi, dan bikin SOP yang jelas. Pemerintah juga mulai kasih pelatihan buat pengelola sekolah biar nggak bingung pas barang datang. Lama-lama, dari yang awalnya chaos, sistemnya jadi lebih rapi dan tahan banting.
Jadi, buku ini nggak cuma bahas visi besar, tapi juga realita di lapangan—dari makanan nyasar sampai truk mogok. Gunderson nganggep itu bagian dari proses tumbuhnya program yang tadinya berantakan jadi tulang punggung gizi anak sekolah.

Kalau program MBG dilihat pakai “kacamata Gunderson” dari buku The National School Lunch Program, maka MBG bukan cuma kebijakan, tapi janji nurani. Gunderson ngajarin kita bahwa ngasih makan anak sekolah itu bukan urusan logistik doang—ia komitmen negara. Kalau MBG mau ngikutin semangat Gunderson, maka harus lepas dari gaya “proyek pencitraan” dan berubah jadi infrastruktur senyap tapi penting: makanan itu sepenting buku pelajaran, sepenting ruang kelas.
Gunderson bicara soal keadilan, ketahanan sistem, dan desain yang matang. Ia tahu, ngasih makan anak-anak butuh lebih dari niat baik—perlu koordinasi antar kementerian, rantai pasok yang rapi, dan kepercayaan publik. MBG sekarang masih terseok di titik-titik itu. Kasus keracunan, proses pengadaan yang gelap, dan minimnya akuntabilitas bikin program ini kelihatan lebih ambisius daripada siap.
Kalau mau sejalan dengan filosofi Gunderson, MBG harus jadi barang publik, bukan proyek politik. Artinya: keamanan pangan harus jadi DNA-nya, pengawasan harus dibuka ke publik, dan setiap piring makan yang disajikan harus jadi cermin integritas bangsa. Gunderson bilang, anak nggak boleh belajar dengan perut kosong. MBG harus lebih berani: anak nggak boleh sakit gara-gara makanan yang seharusnya menyehatkan.

School Meals: Building Blocks for Healthy Children (disunting oleh Virginia A. Stallings, Carol West Suitor, dan Christine L. Taylor) merupakan laporan dari Institute of Medicine’s Committee on Nutrition Standards for the National School Lunch and Breakfast Programs sebenarnya kayak blueprint buat ngerombak total cara sekolah ngasih makan anak-anak di Amerika, biar bukan cuma kenyang tapi juga sehat lahir batin. Isinya bukan sekadar angka gizi atau tabel kalori, tapi nyambungin riset ilmiah, rekomendasi diet, sampai masalah realistis kayak biaya dan logistik dapur sekolah. Pesan utamanya: makan siang sekolah jangan dipandang remeh, karena ini investasi buat masa depan anak-anak biar mereka terbiasa makan buah, sayur, biji-bijian, dan porsi seimbang dari kecil. Kalau kita tarik ke program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia, vibes-nya mirip banget: sama-sama percaya kalau sepiring makanan di sekolah itu modal bangsa buat lahirkan generasi yang kuat. Bedanya, PR besar MBG ya harus pastiin kualitasnya oke, bukan sekadar bagi-bagi nasi bungkus, biar benar-benar jadi fondasi sehat, cerdas, dan produktif di masa depan. 

Kalau kita bandingin standar gizi yang ada di School Meals: Building Blocks for Healthy Children sama potensi kerangka untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia, keliatan banget beberapa insight yang bisa bikin MBG lebih fokus ke kesehatan, bukan cuma kenyang doang. Model Amerika tuh super terstruktur: mereka nentuin kisaran harian dan mingguan buat kalori, protein, vitamin, mineral, buah, sayur, biji-bijian, plus batasan buat lemak jenuh dan garam. Tujuannya biar tiap anak, nggak peduli pilihannya apa, tetep dapet gizi seimbang buat tumbuh, mikir tajam, dan sehat jangka panjang. Sementara MBG sekarang lebih fokus ke cukup kalori dan akses makan, yang emang penting buat lawan kelaparan, tapi kadang kurang nge-cover spektrum gizi lengkap buat tumbuh maksimal. Kalau MBG bisa nyontek sistem Amerika, bisa bikin target jelas buat vitamin dan mineral penting, masukin buah, sayur, biji-bijian di tiap menu, sambil ngejaga batas garam, gula, dan lemak jahat, tapi tetep nyambung sama kebiasaan makan lokal. Kombinasi aksesibilitas plus kualitas gini bisa bikin MBG nggak cuma program bagi-bagi nasi, tapi jadi strategi bikin generasi yang lebih sehat, cerdas, dan tahan banting.

School Lunch Politics: The Surprising History of America’s Favorite Welfare Program
 (2008, Princeton University Press) oleh Susan Levine, bukan cuma soal makan siang anak sekolah, tapi soal drama ideologi, ras, kelas sosial, dan tarik ulur kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Levine nunjukin bahwa makan siang sekolah itu bukan sekadar gizi—ia cerminan nilai-nilai bangsa. Dari paranoia era Perang Dingin sampai perjuangan hak sipil, dari debat soal peran gender sampai ribut-ribut anggaran, nampan makan siang berubah jadi arena politik. Makanan yang disajikan di sekolah ternyata nyambung ke pertanyaan besar: siapa yang layak dibantu, makanan sehat itu apa, dan seberapa jauh pemerintah boleh ngatur hidup warga lokal.
Buku ini juga bahas gimana ras dan kemiskinan ngaruh ke akses makan siang, dan gimana orang tua, aktivis, dan pejabat saling bentrok soal menu dan biaya. Gaya Levine tajam tapi penuh empati—doi bongkar kontradiksi program yang dicintai tapi juga sering jadi sasaran kritik. Buatnya, makan siang sekolah itu bukan cuma soal kalori, tapi soal kewarganegaraan, martabat, dan politik kepedulian.

Kalau kita pakai kacamata Susan Levine dari buku School Lunch Politics, masalah MBG bukan cuma soal makanan basi atau supplier yang ngawur—ini soal siapa yang punya kuasa atas piring anak-anak, siapa yang didengar, dan gimana negara mendefinisikan “peduli”. Levine nunjukin bahwa makan siang sekolah itu selalu politis. Bukan cuma urusan gizi, tapi juga soal keadilan, martabat, dan siapa yang dianggap layak dibantu.
Jadi, cara ngatasin MBG bukan sekadar ganti vendor atau bikin SOP baru. Indonesia harus sadar: ngasih makan anak itu tindakan politik. Harus transparan, melibatkan warga, dan berhenti jadi program yang dikendalikan dari atas. Levine bilang, kalau makan siang dianggap sekadar “bantuan” atau “proyek pencitraan”, maka gampang jadi bahan skandal. Tapi kalau dibangun atas dasar hak, martabat, dan akuntabilitas publik, maka bisa tahan banting.
MBG harus diubah jadi infrastruktur sipil, bukan proyek musiman. Artinya: masuk ke undang-undang, pengawasan dibuka ke publik, dan orang tua, guru, serta komunitas lokal dilibatkan dalam rencana menu, cek keamanan, dan sistem umpan balik. Levine ngajarin kita bahwa makanan itu nggak pernah netral—dia bawa sejarah, identitas, dan keadilan. Kalau MBG mau bertahan dan berkembang, dia harus jadi program yang mau mendengar, mau berubah, dan menghormati orang-orang yang dilayaninya.

Rethinking School Lunch Guide (2004, Center for Ecoliteracy) kayak “kitab suci” buat para pejuang kantin sekolah yang pengen revolusi makanan anak-anak. Gak ada satu penulis tunggal, tapi isinya hasil kolaborasi tim kece yang ngerti banget soal edukasi, gizi, lingkungan, dan cara mikir sistemik. Buku ini ngajak kita buat mikir ulang soal makan siang di sekolah—bukan cuma soal kenyang, tapi soal pendidikan, kesehatan, dan cinta lingkungan. Kantin sekolah tuh bisa jadi ruang belajar, bukan cuma tempat anak-anak ngantri nugget. Lewat makanan, anak-anak bisa belajar soal ekologi, budaya, dan tanggung jawab sosial. Buku ini juga gak naif—dia tahu perubahan itu susah. Makanya, dikasih strategi, studi kasus, dan cara-cara buat ngajak guru, kepala sekolah, dan warga buat bareng-bareng ubah sistem makanan sekolah.
Kalau kantin sekolah bisa jadi tempat revolusi, buku ini adalah manifestonya. Mau bikin anak-anak makan sehat sambil belajar jadi warga dunia yang peduli? Mulai dari sini. Menurut Rethinking School Lunch Guide, kantin sekolah tuh bukan cuma tempat anak-anak ngantri nasi goreng atau beli es teh manis. Kantin itu diposisikan kayak panggung utama buat pendidikan yang hidup dan nyata. Bayangin aja: anak-anak belajar soal lingkungan, keadilan sosial, dan budaya lewat makanan yang mereka makan tiap hari.
Kantin jadi semacam “kelas berjalan”—dimana tiap suapan bisa jadi pelajaran soal keberlanjutan, gizi, dan solidaritas. Ini bukan cuma soal menu sehat, tapi soal sistem makanan yang adil dan bermakna. Kantin sekolah, menurut buku ini, bisa jadi jantungnya sekolah yang peduli, bukan cuma perut yang kenyang. Jadi, kalau kantin biasanya dianggap figuran, buku ini bikin kantin jadi pemeran utama dalam drama pendidikan masa depan.
Kalau MBG itu kayak lagu kebebasan belajar, kantin sekolah adalah beat-nya. Buku Rethinking School Lunch Guide ngajarin kita bahwa kantin tuh bisa jadi ruang belajar yang merdeka—bukan cuma soal makan, tapi soal mikir, ngerasain, dan beraksi. Bayangin anak-anak belajar soal asal-usul makanan mereka, kenapa sayur lokal lebih oke, atau gimana sistem pangan bisa adil buat semua. Mereka gak cuma duduk di kelas, tapi ikut nyusun menu, ngobrol sama petani, bahkan bikin kampanye makanan sehat.
Kantin jadi tempat praktik MBG yang nyata—belajar kontekstual, relevan, dan berbasis komunitas. Di situ, anak-anak bisa jadi peneliti, aktivis, dan koki kecil yang ngerti bahwa makan itu juga soal keadilan, budaya, dan keberlanjutan.
Kalau MBG itu panggung buat pendidikan yang merdeka, kantin sekolah adalah spotlight-nya. Dan buku ini? Sutradara yang ngajarin kita cara bikin pertunjukan yang bikin anak-anak lapar—bukan cuma lapar makanan, tapi lapar makna.

Program MBG lagi di titik kritis, kayak karakter utama yang harus milih: lanjut dengan luka, atau berhenti sebentar buat sembuh. Pertanyaannya bukan cuma “apa yang perlu dievaluasi?”, tapi “apa yang bikin program ini bisa bikin anak-anak keracunan massal?”
Jawabannya: evaluasi semuanya. Dari rantai pengadaan, cara milih supplier, standar keamanan makanan, sampai sistem distribusi dan siapa yang ngawasin. Bahkan cara pemerintah komunikasi pas krisis pun harus ditinjau ulang. Ini bukan cuma soal nasi dan lauk, tapi soal sistem yang ngatur semuanya.

Salah satu masalah utama MBG itu soal payung hukum—alias belum punya fondasi undang-undang yang kuat. Jadi program ini kayak ngegas tanpa SIM: jalan sih, tapi rawan ditilang, gampang disalahgunain, dan bisa dibelokin kemana aja sesuai arah angin politik.
Kalau kita bandingin sama program makan siang sekolah di Amerika versi Gunderson, bedanya kayak langit dan bumi. Di sana, ada National School Lunch Act tahun 1946 yang bukan cuma ngatur teknis, tapi juga jadi janji moral: anak-anak gak boleh belajar dalam keadaan lapar. Gunderson anggap undang-undang itu bukan sekadar aturan, tapi komitmen nurani negara.
Sementara MBG? Masih jalan pakai “semangat eksekutif”, belum punya pondasi hukum yang bikin doi tahan banting. Standar gizi bisa berubah, pengawasan bisa kabur, dan pendanaan bisa naik-turun tergantung siapa yang pegang kemudi. Kalau mau jadi program publik yang serius, MBG harus dikunci dalam undang-undang—biar nggak cuma jadi janji kampanye, tapi jadi institusi yang benar-benar hidup.

Ketiadaan payung hukum buat MBG itu kayak bangun rumah di atas pasir. Programnya jalan, tapi goyang terus. Tanpa undang-undang yang jelas, MBG jadi kayak proyek musiman—bisa berubah arah, bisa hilang pendanaan, dan susah diawasi. Nggak ada standar tetep, nggak ada jaminan berkelanjutan. Semua tergantung siapa yang lagi pegang kemudi politik.
Secara operasional, ini bikin ribet. Kalau ada kasus keracunan, siapa yang tanggungjawab? Kalau orangtua protes, kemana mereka harus lapor? Tanpa aturan hukum, semua pertanyaan itu kayak dilempar ke angin. Publik pun jadi ragu. Program yang ngasih makan jutaan anak nggak seharusnya jalan kayak kampanye. Harusnya kayak layanan publik—punya SOP, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Secara simbolik, nggak ada payung hukum itu kayak bilang: “Gizi anak itu opsional, bukan prioritas.” MBG jadi kelihatan kayak gestur politik, bukan komitmen negara. Kalau mau serius, MBG harus dikunci dalam undang-undang. Biar bukan cuma bertahan, tapi juga punya makna yang tinggi.

Haruskah MBG dihentikan sementara? Iya. Tapi bukan berarti dibuang. Moratorium itu bukan mundur, tapi rehat strategis. Berhenti sampai programnya siap jalan lagi dengan aman, transparan, dan bermartabat. Bukan soal berapa minggu, tapi soal kapan siap.
Selama masa jeda, pemerintah hendaknya buka telinga lebar-lebar. Ajak masyarakat sipil, guru, ahli gizi, dan korban buat bantu desain ulang. Masa jeda ini harus aktif, bukan pasif—bukan diam, tapi benahi.
Terus gimana caranya biar MBG nggak lagi dianggap “proyek MBG”? Ganti gaya. Stop bikin MBG jadi ajang kesempatan swafoto pejabat, trofi politik atau privilese buat para kawan dan pendukung. Soalnya, ekonominya hanya berputar di orang-orang yang, itu-itu aja. Jadikan MBG sebagai komitmen senyap tapi konsisten buat kesejahteraan anak. Desentralisasi kontrol, libatkan warga, bikin MBG jadi program yang dikerjakan bareng rakyat, bukan buat rakyat. Kalau itu bisa dilakukan, MBG bisa berubah dari program rapuh jadi janji yang tangguh. By the way, kok lunch tray atau ompreng MBG harus impor dari China? 

English